• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Pelayanan Umum Pengelolaan Irigasi

8.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Biaya Lingkungan 1.Potensi Kerugian Ekonomi PLTA 1.Potensi Kerugian Ekonomi PLTA

8.4.4. Karakteristik Responden

-100 200 300 400 500 600 700 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Produksi Air Minum (M3)

BM L ( Rp ) Tirta Dharma Thames PAM Jaya

Gambar 46. Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya.

8.4.3. Kesediaan Membayar Masyarakat Hulu

Untuk mengetahui nilai jasa air bagi masyarakat hulu, dilakukan survey

contingent valuation method (CVM) terhadap 120 Kepala Keluarga di 4 Kecamatan yang merupakan wilayah hulu DTA Saguling

8.4.4. Karakteristik Responden

Pengguna jasa lingkungan disebut hilir dan penyedia disebut hulu. Dengan definisi tersebut, masyarakat di sekitar waduk Saguling juga merupakan pengguna jasa lingkungan yang disediakan oleh DTA (Sub DAS wilayah hulu) berupa air. Pengguna jasa lingkungan (air) yang lain adalah PLTA, PDAM, industri, hotel dan restoran, rumah tangga, instansi pemerintah, dll. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan di DAS hulu Citarum. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan secara tidak langsung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi untuk rehabilitasi wilayah hulu melalui masyarakat. Menurut Leimona (2004), masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistilahkan dengan ”masyarakat penyedia jasa lingkungan” (environmental services providers), yang atas usaha perlindungan dan

pengelolaannya dapat dikategorikan sebagai pelindung (guardian) dan pengelola

serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan

atas usaha yang mereka lakukan (recognition and reward). Prinsip dasar dari

konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan, di lain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan.

Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling tersebar di 4 Kecamatan dengan total responden 120 kepala keluarga (40KK/Kecamatan). Masyarakat hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan usia. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling. Berikut karakteristik responden masing-masing Kecamatan. a. Jenis kelamin

Responden dalam penelitian ini adalah para penduduk yang menggunakan jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Banyaknya responden masing-masing Kecamatan adalah 40 KK dan ternyata lebih dari 95% (115 KK) adalah laki-laki dan perempuan kurang dari 5% (5 KK). Hal ini disebabkan bahwa responden pada umumnya adalah kepala keluarga.

b. Tingkat pendidikan

Berdasarkan data yang didapat, dapat dilihat bahwa persentase tingkat pendidikan yang paling tinggi adalah SD (97 KK), SMP (15 KK) , SMU (4 KK), tidak sekolah (3KK) dan PT (1KK). Kondisi tersebut dapat dipahami karena 4 Kecamatan wilayah studi adalah wilayah pedesaan yang masih tergolong daerah tertinggal.

c. Tingkat pendapatan

Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan rata-rata Rp 100.000 – Rp 300.000 per bulan

(56 KK), Rp 300.000 keatas (40 KK) dan 24 KK berpenghasilan kurang dari Rp 100.000 per bulan.

d. Jumlah tanggungan

Jumlah tanggungan 2-4 orang/KK merupakan yang tertinggi yaitu 101 KK, 5 - 7 orang/KK (2 KK), kurang dari 2 orang/KK (7 KK).

e. Usia

Kelompok usia dibagi menjadi 5 golongan yaitu usia dibawah 30 tahun, usia antara 30-40 tahun, usia antara 40-50 tahun, usia antara 50-60 tahun dan usia diatas 60 tahun. Distribusi jumlah KK pada setiap golongan umur dari tertinggi sampai terendah adalah 41 KK (30 - 40 th), 30 KK (<30 th), 22 KK (50 - 60 th), 21 KK (40 - 50 th) dan 6 KK (>60 th).

f. Kebutuhan dan sumber air bersih responden

Di wilayah studi ditemukan bahwa 72 KK (sebagian besar) masih menjadikan sumur sebagai sumber air minum, 25 KK (mata air), 23 KK (sumur dan mata air) dan tidak ada responden yang menjadikan waduk sebagai sumber air minumnya. Hal ini disebabkan oleh masih tersedianya air tanah permukaan walaupun pada waktu musim kemarau. Kebutuhan air minum per KK responden

bervariasi antara ≤ 30 m³/bln - ≥ 90 m³/bln. Sebagian besar responden yaitu 52

KK membutuhkan 71 - 90 m³/bln, 28 KK membutuhkan 51-70 m³/bln, 9 KK

membutuhkan ≥ 91 m³/bln dan 6 KK membutuhkan ≤ 30 m³/bln.

g. Mata pencaharian responden

Sebagian besar yaitu 53 KK responden memiliki mata pencaharian sebagai petani, 21 KK sebagai pedagang, 14 KK sebagai buruh, 10 KK sebagai penambang pasir, 10 KK sebagai pengojek, 9 KK sebagai petambak dan 3 KK sebagai peternak. Walaupun jumlah KJA di waduk Saguling sangat besar (lebih dari 12.000 KJA), namun masyarakat setempat yang memiliki tidaklah banyak hanya sekitar 7%, yang lainnya hanya sebagai buruh KJA.

h. Kesediaan membayar masyarakat hulu DTA Saguling

Kepada responden ditanyakan berapa rupiah mereka bersedia membayar jika kualitas air ditingkatkan. Hasil kuesioner adalah 72 KK menyatakan sebesar

50/m³, dan 3 KK sebesar Rp 80/m³ – Rp 100/m³. Secara umum kesediaan membayar yang dinyatakan adalah rata-rata sebesar Rp 28,33/m³air bersih. 8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan

a. Dampak perubahan iklim terhadap perubahan hujan.

Selama periode 1850 sampai 1990 diperkirakan sebesar 270 Gt karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40% dari karbon yang dilepaskan berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri (67%) dan konversi lahan (33%), sedangkan 60% berasal dari proses alami. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk sekaligus aktivitas manusia dalam mengkonsumsi energi maka akan semakin menigkat pula konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer. Meingkatnya gas rumah kaca di atmosfer, diikuti dengan perubahan penigkatan iklim global. Studi yang

dilakukan LAPAN dalam Boer et all (2003), menunjukkan bahwa apabila

konsentrasi CO2 dinaikkan 2 kali lipat dari kondisi saat ini, maka diperkirakan

kejadian El Nino and Shoutern Oscilallation (ENSO), yang terjadi sekali dalam

3-7 tahun akan menigkat menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Kejadian ENSO menyebabkan tingkat resiko terhadap kejadian kekeringan akan semakin besar.

Di Indonesia berdasarkan data hujan bulanan historis (1931-1990) yang dibagi menjadi 2 periode yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan di wilayah selatan Indonesia, khususnya Lampung, Jawa dan sebagian kawasan Timur akan semakin basah, sebaliknya hujan pada musim kemarau akan semakin kering. Berdasarkan data hujan tahunan, secara umum wilayah selatan Indonesia, khususnya Jawa Barat cenderung basah. Berdasarkan kajian Boer dan Subbiah (2003) menunjukkan bahwa dari 43 kejadian kekeringan yang telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, hanya 6 yang tidak bersamaan kejadian fenomenal ENSO. Hal ini menunjukkan perubahan hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO.

Berdasarkan hasil analisis oleh Boer (2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10% dari total jumlah aliran per tahun, hampir semua kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami