• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. Pati walur HMT kemudian dianalisis untuk melihat perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan fungsionalnya. Adapun analisis yang dilakukan adalah derajat putih, sifat birefringent pati dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi, profil pasting pati, profil kapasitas pembengkakan pati dan kelarutan, karakteristik tekstur gel, dan freeze-thaw stability.

1. Derajat Putih

Derajat putih merupakan salah satu penilaian mutu suatu bahan pangan berbentuk tepung khususnya yang berasal dari ekstraksi pati. Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda tersebut dibandingkan dengan standar contoh.

Rahman (2007) menyatakan bahwa derajat putih sangat dipengaruhi kemurnian proses ekstraksi pati. Ketidakmurnian pati yang terekstrak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan serat dan pengotor lainnya sehingga pati terlihat kurang cerah (Rahman 2007; Mboungeng et al. 2008). Tabel 5 menunjukkan HMT tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih pada pati modifikasi.

26 Tabel 5. Derajat putih pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%.

Perlakuan Derajat Putih Kontrol 45.85 ± 0.21 Suhu 100oC: 6 jam 46.18 ± 0.11 8 jam 46.05 ± 0.07 10 jam 46.95 ± 0.07 Suhu 110oC: 6 jam 46.85 ± 0.07 8 jam 45.78 ± 0.11 10 jam 46.63 ± 0.04

2. Bentuk Granula Pati (mikroskop cahaya terpolarisasi)

Hasil pengamatan granula pati walur dengan mikroskop cahaya terpolarisasi disajikan pada Gambar 7. Secara mikroskopis, granula pati walur alami berbentuk berbentuk oval dan bersudut banyak (poligonal) dengan permukaan yang halus dan tidak membentuk celah. Pada kondisi alaminya (Gambar 7A.) pati walur masih menunjukkan sifat birefringent.

Birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga

membentuk bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti, 2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati yang dipengaruhi oleh daerah kristalin dan amorphous pati. Sifat

birefringent ini juga dikenal dengan pola maltose cross (pola silang) pada pati yang terjadi

akibat perpotongan bidang biru dan kuning (Pinasthi, 2011).

Dari hasil pengamatan dengan mikroskop polarisasi dapat diketahui bahwa granula pati pada saat sebelum dan sesudah HMT masih menunjukkan sifat birefringent pada semua sampel yang diamati (Gambar 12.). Hal serupa juga dilaporkan oleh Vermeylen et al. (2006) pada pati kentang dan Pukkahuta et al. (2008) pada pati jagung.

Selama proses pemanasan pada HMT berlangsung, penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan di dalam granula pati sehingga menurunkan kristalinitas pati (Hoseney, 1998). Intensitas birefringent pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Semakin lama waktu pemanasan yang diterapkan, semakin besar pula energi panas yang diterima sehingga sifat birefringent granula semakin melemah.

3. Profil Pasting Pati

Modifikasi pati walur yang dilakukan pada suhu 100oC dan 110oC selama waktu 6 jam, 8 jam, 10 jam menghasilkan pati walur termodifikasi dengan profil amilograf yang berbeda dengan pati walur alaminya. Perubahan yang dihasilkan oleh modifikasi HMT ini dapat dipengaruhi oleh sumber pati dan kondisi modifikasi yang diterapkan (Olayinka et al. 2008; Zavareze dan Dias, 2010). Kurva amilografi pada pati native dan termodifikasi pati walur disajikan dalam Gambar 8 dan 9. Tabel 6 memaparkan perubahan karakteristik pasta pati walur termodifikasi.

27 Gambar 7. Granula pati walur alami dan termodifikasi HMT dengan kadar air 17% dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi pada perbesaran 1000x (Keterangan: Kontrol (A); HMT 100oC selama 6 jam (B); HMT 100oC selama 8 jam (C); HMT 100oC selama 10 jam (D); HMT 110oC selama 6 jam (E); HMT 110oC selama 8 jam (F); HMT 110oC selama 10 jam (G).)

a. Suhu Pasting (SP)

Perlakuan kadar air merubah suhu pasting (SP) pati termodifikasi yang disajikan pada Tabel 6. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan suhu pasting seiring dengan peningkatan waktu dan suhu proses modifikasi pati walur yang diamati. Namun, berdasarkan analisis dengan t-test dan ANOVA didapati bahwa suhu pasting pati walur kontrol dan pati walur modifikasi HMT tidak berbeda nyata. Fenomena serupa juga diamati oleh Varatharajan

et al. (2010), Lawal dan Adebowale (2005), dan Watcharatewinkul et al (2009). Kenaikan

suhu pasting ini disebabkan oleh pembentukan ulang struktur di dalam granula pati (Lawal dan Adebowale, 2005). Selama proses modifikasi terjadi peningkatan interaksi antara rantai amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, dan amilopektion-amilopektin. Peningkatan interaksi tersebut turut meningkatkan stabilitas interaksi molekul di dalam granula (Herawati, 2009). Akibatnya, dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatan tersebut (Zavareze dan Dias, 2010).

b. Viskositas Puncak (VP)

Viskositas puncak pati walur yang tercatat juga menurun selama modifikasi dilakukan. Penurunan drastis terjadi ketika pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam. Semakin lama perlakuan HMT diberikan, penurunan viskositas puncak pati walur juga terjadi namun penurunan viskositas puncak antar perlakuan berbeda dengan penurunan viskositas puncak antara pati native dan pati yang diberi perlakuan. Ini dapat terlihat dari hasil analisis sidik ragam yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara viskositas puncak pati

28 walur kontrol dan pati walur HMT, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pati walur yang diberi perlakuan HMT. Hal ini terjadi karena akibat interaksi antara molekul air, amilosa, dan amilopektin yang terjadi di dalam granula pati melalui ikatan hidrogen. Interaksi yang terjadi antara ketiga molekul menyebabkan penyusunan ulang struktur granula pati. Pada penyusunan ulang ini, ikatan yang terbentuk antara amilosa, amilosa-amilopektin, dan amilopektin-amilopektin akan semakin kuat sehingga kelarutannya di air akan semakin berkurang (Varatharajan et al., 2010). Hal ini mengakibatkan turunnya viskositas puncak suspensi pati.

Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam.

Gambar 8. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 100oC.

Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam.

Gambar 9. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 110oC.

Tabel 6. Karakteristik pasta pati walur alami dan modifikasi HMT kadar air 17%

*Keterangan: VP = Viskositas Puncak, VPS = Viskositas Panas, VBD = Viskositas Breakdown, VBD-R = Viskositas Breakdown Relatif, VA = Viskositas Akhir, VB = Viskositas Balik VB-R = Viskositas Balik Relatif, SP = Suhu Pasting. A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain.

Perlakuan

Karakteristik pasta RVA*

VP* (cP) VPS* (cP) VBD* (cP) VBD-R* VA* (cP) VB* (cP) VB-R* SP* (oC) Kontrol 4324Ab 2155 Ab 2169 Ab 50 Ab 3704 Aa 1549 Aa 72 Aa 82.1 Aa Suhu 100oC 6 jam 3391.00 ± 411.54 Aa 2351.50 ± 306.18 Ab 1039.50 ± 105.36 Aa 31 Aa 4373.00 ± 538.82 Aa 2021.50 ± 232.64 Aa 86 Aa 83.93 ± 0.32 Aa 8 jam 2689.00 ± 104.65 Aa 1985.00 ± 101.82 Ab 704.00 ± 2.83 Aa 26 Aa 3422.50 ± 125.16 Aa 1437.50 ± 23.33 Aa 72 Aa 84.20 ± 0.00 Aa 10 jam 2480.50 ± 342.95 Aa 1839.50 ± 173.24 Ab 641.00 ± 169.71 Aa 26 Aa 3143.50 ± 485.78 Aa 1304.00 ± 312.54 Aa 71 Aa 84.35 ± 0.28 Aa Suhu 110oC 6 jam 2949.00 ± 149.91 Aa 2299.50 ± 10.61 Ab 674.50 ± 125.16 Aa 23 Aa 3898.50 ± 210.01 Aa 1599.00 ± 220.62 Aa 69 Aa 85.15 ± 0.85 Aa 8 jam 2926.50 ± 140.71 Aa 2206.50 ± 20.51 Ab 720.00 ± 120.21 Aa 25 Aa 3731.00 ± 258.80 Aa 1524.50 ± 238.29 Aa 69 Aa 84.90 ± 1.13 Aa 10 jam 2738.00 ± 171.12 Aa 2034.00 ± 19.80 Ab 731.00 ± 113.14 Aa 27 Aa 3415.00 ± 117.38 Aa 1381.00 ± 97.58 Aa 68 Aa 84.50 ± 0.57 Aa

c. Viskositas Breakdown (VBD)

Pengukuran viskositas breakdown bertujuan untuk mengetahui pengaruh modifikasi HMT pada pati walur terhadap kestabilan pati walur selama pemanasan. Menurut Collado et al. (2001), viskositas breakdown menunjukkan derajat kemudahan granula pati terdisintegrasi, dan merupakan indikasi derajat kestabilan granula pati. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa viskositas breakdown cenderung menurun selama modifikasi jika dibandingkan dengan kontrol. Selama pemanasan pada suhu 100oC, viskositas

breakdown cenderung menurun seiring dengan waktu pemanasan yang semakin lama.

Tingkat penurunan viskositas breakdown ini lebih jelas terlihat dengan menggunakan parameter perubahan relatif viskositas breakdown terhadap viskositas puncak atau dikenal dengan viskositas breakdown relatif (Syamsir, 2012). Pada Tabel 6, telihat bahwa jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya, viskositas breakdown relatif pati walur cenderung mengalami penurunan. Penurunan ini ditegaskan dengan analisis t test dan ANOVA yang menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara viskositas breakdown pati walur kontrol dengan sampel pati walur HMT. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Varatharajan et al. (2010), Olayinka et al (2006), dan Watcharatewinkul et al (2009). Hal ini menunjukkan bahwa pati walur hasil HMT lebih stabil terhadap panas. Peningkatan kestabilan pati terhadap panas terjadi akibat pembentukan ulang ikatan-ikatan yang ada di dalam granula pati walur. Pembentukan ulang ini menghasilkan ikatan amilopektin heliks ganda yang lebih banyak terutama di daerah amorphous granula pati. Pembentukan ikatan ini berperan dalam perubahan sifat kristalinitas pati (Adebowale dan Lawal, 2002). Namun, selama pemanasan pada suhu 110oC, terjadi sedikit peningkatan pada viskositas breakdown seiring dengan waktu pemanasan yang meningkat. Hal ini juga dialami oleh Zavarese et al. (2010). Peningkatan viskositas breakdown selama modifikasi pada suhu 110oC mungkin terjadi karena pengisian pati pada wadah saat akan melakukan HMT kurang penuh sehingga terdapat rongga di dalam wadah dan air cenderung berkumpul pada rongga tersebut. Akibatnya proses HMT menjadi kurang sempurna.

d. Viskositas Balik (VB)

Viskositas balik adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kecenderungan retrogradasi pati terkait dengan interaksi dari amilosa dan amilopektin. Menurut Akingbala dan Rooney (1987) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2008), pati dengan molekul amilosa dan amilopektin rantai pendek cenderung cepat untuk mengalami retrogradasi. Viskositas balik dari pati walur tercatat meningkat pada perlakuan HMT selama 6 jam. Namun demikian, selama proses HMT terlihat viskositas balik pati walur mengalami penurunan. Proses HMT lebih jauh bahkan menurunkan viskositas balik hingga turun di bawah viskositas balik pati walur kontrol. Jika dilihat dari pengaruh perubahan relatif viskositas balik terhadap viskositas panas, viskositas balik relatif yang dihasilkan tidak terlalu signifikan sehingga dapat dikatakan cenderung tetap jika dibandingkan dengan viskositas balik relatif pada kontrol atau pati walur alami. Hal ini ditegaskan dengan hasil analisis t test dan ANOVA yang menunjukkan bahwa baik viskositas balik maupun viskositas balik relatif dari pati walur kontrol dan pati walur HMT tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Penurunan viskositas balik ini diakibatkan oleh penyusunan ulang antar molekul amilosa dan amilopektin yang menyebabkan ikatan antar molekul amilosa dan amilopektin di dalam pati menjadi lebih banyak sehingga pada akhirnya menurunkan kecenderungan untuk mengalami retrogradasi (Zavarese et al., 2010). Hal ini terlihat dari angka viskositas balik yang semakin menurun bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan viskositas balik yang

31 terjadi pada awal proses HMT disebabkan oleh derajat modifikasi yang belum cukup tinggi sehingga pola yang diperlihatkan berbeda dengan pola pati walur HMT lain yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.

4. Profil Kapasitas Pembengkakan Pati dan Kelarutan

Hasil modifikasi HMT terhadap pati walur dalam pengaruhnya terhadap profil kapasitas pembengkakan disajikan di dalam Gambar 10 dan Tabel 7. Secara garis besar terlihat bahwa profil kapasitas pembengkakan cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kontrol. Analisis lanjut dengan menggunakan ANOVA dan t-test menunjukkan bahwa sampel pati walur kontrol berbeda nyata dengan sampel pati. Penurunan profil kapasitas pembengkakan pati juga dilaporkan pada pati kentang dan singkong (Gunaratne dan Hoover, 2002), pati beras (Hormdok dan Noomhorm, 2007), dan pati sorghum (Olayinka et al., 2008).

Adapun penurunan disebabkan oleh perubahan sifat kristalinitas pati sehingga mengurangi hidrasi air pada granula pati (Waduge et al., 2006) dan formasi kompleks amilo-lipid (Waduge et al., 2006). Pada profil kapasitas pembengkakan pati di suhu 60oC perubahan ini tidak terlalu nampak, perubahan ini mulai terlihat pada profil daya kembang di suhu 90oC. Perubahan profil kapasitas pembengkakan pati ini juga terkait dengan kenaikan suhu gelatinisasi yang disebabkan oleh proses penyusunan kembali molekul di dalam granula pati, pembentukan kompleks amilo-lipid, degradasi molekul amilopektin, peningkatan interaksi antar molekul di dalam granula, dan perubahan interaksi antara daerah amorphous dan kristalit (Adebowale et al., 2005; Lorlowhakarn dan Naivikul, 2006).

Tabel 7. Hasil analisis kapasitas pembengkakan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA.

Perlakuan Kapasitas pembengkakan pati 60 oC 90 oC Kontrol (0 jam) 2.8713Abab 14.8854 Aa 100 oC 6 jam 2.6925 Aa 13.0724 Aa 8 jam 2.7614 Aa 13.1066 Aa 10 jam 2.7827 Aa 12.9409 Aa 110 oC 6 jam 3.0083 Ba 12.4355 Aa 8 jam 3.0086 Ba 12.3562 Aa 10 jam 3.0242 Ba 12.3831 Aa

Keterangan: A,B = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain.

Kelarutan pati terjadi sebagai akibat dari amilosa yang keluar dari granula selama proses pemanasan dengan air berlebih. Keluarnya amilosa ini menandakan adanya transisi di dalam granula pati dari teratur menjadi tidak teratur ketika pati dipanaskan dengan air berlebih (Tester dan Morrison, 1990 dalam Zavarese dan Dias, 2011). Besarnya kelarutan ini diukur dengan menggunakan indeks kelarutan. Data mengenai indeks kelarutan pati walur ini tersaji dalam Gambar 11 dan Tabel 8. Terlihat bahwa kelarutan dari pati walur HMT cenderung tetap jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya. Hal ini ditegaskan dengan analisis

32 menggunakan t test dan ANOVA yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sampel pati walur kontrol dengan sampel pati walur HMT. Hormdok dan Noomhorm (2007) juga menyatakan bahwa tidak ada perubahan berarti yang terjadi pada indeks kelarutan antara pati beras yang diberi perlakuan HMT dengan pati beras kontrol. Tabel 8. Hasil analisis kelarutan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17%

dengan menggunakan t test dan ANOVA. Perlakuan Kelarutan 60 oC 90 oC Kontrol (0 jam) 0.0196Aa 0.0710 Aa 100 oC 6 jam 0.0157 Aa 0.0654 Aa 8 jam 0.0189 Aa 0.0736 Aa 10 jam 0.0144 Aa 0.0706 Aa 110 oC 6 jam 0.0161 Aa 0.0727 Aa 8 jam 0.0155 Aa 0.0686 Aa 10 jam 0.0178 Aa 0.0800 Aa

Keterangan: A= hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata.

5. Karakteristik Tekstur Gel

Atribut tekstur dari gel tergantung pada jumlah amilosa pada pati, ukuran dan kemudahan deformasi granula pati, dan interaksi antara fase granula dan fase terdispersi (Choi dan Kerr, 2003). Menurut Lee dan Osman (1991), kekuatan gel tergantung dari kemampuan molekul pati untuk berikatan dengan air melalui ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda di dalam granula pati akan rusak selama gelatinisasi dan akan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kapasitas pembengkakan pati dan kekuatan gel ditentukan oleh derajat kristalinitas molekul-molekul pati (Tester dan Kalkalas, 1996). Hasil pengukuran dengan menggunakan texture analyzer dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil analisis karakteristik tekstur gel pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA.

Perlakuan Karakteristik tekstur gel

Kekerasan elastisitas kohesifitas Kelengketan Kontrol (0 jam) 2137.600Aa 0.985 Aa 0.495 Aa 1059.700 Aa 100 oC 6 jam 1428.150 Aa 0.870 Aab 0.655 Aa 887.400 Aa 8 jam 2255.100 Aa 0.923 Aab 0.533 Aa 1195.000 Aa 10 jam 2217.300 Aa 0.755 Ab 0.408 Aa 923.325 Aa 110 oC 6 jam 2927.200 Aa 0.800 Aab 0.300 Aa 921.250 Aa 8 jam 2113.900 Aa 0.860 Aab 0.540 Aa 1159.550 Aa 10 jam 1825.300 Aa 0.813 Ab 0.345 Aa 658.550 Aa

Keterangan: A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain.

33 Gambar 10. Grafik pengaruh HMT terhadap kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17% ketika dipanaskan dengan air berlebih pada suhu 60 oC dan 90 oC.

Gambar 11. Grafik pengaruh HMT terhadap kelarutan pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17% ketika dipanaskan dengan air berlebih pada suhu 60 oC dan 90

o

C.

Dari Gambar 12 dan Tabel 9 dapat terlihat bahwa pada suhu 100oC, perlakuan HMT menaikkan kekerasan dari gel yang terbentuk oleh pati walur. Analisis dengan menggunakan t

test dan ANOVA menunjukkan bahwa peningkatan antar sampel tidak signifikan atau tidak

berbeda nyata. Kenaikan dari kekerasan gel pati juga dilaporkan oleh Hormdok dan Noomhorm (2007) pada pati beras dan Collado dan Corke (1999) pada pati ubi manis. Kenaikan nilai kekerasan ini disebabkan oleh peningkatan ikatan silang antar molekul amilosa di dalam granula pati. Peningkatan ikatan silang ini menyebabkan kapasitas pembengkakan granula pati menurun (Gambar 10) sehingga ikatan hidrogen yang terbentuk antara molekul amilosa yang terlepas ke dalam air (junction zone) menjadi lebih banyak (Liu et al., 2000). Namun demikian, terjadi penurunan nilai kekerasan pada suhu 110oC pada perlakuan HMT selama 8 jam dan 10 jam. Hal ini terkait dengan urutan selama pengukuran karakteristik tekstur gel. Pengukuran dilangsungkan pada suhu ruang dengan cara menaruh sampel satu-persatu dimulai dari kontrol sampai kepada pati yang mengalami pemanasan HMT selama 10 jam.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 6 8 10 k ap as itas p e m b e n gk ak an (gr am /gr am b k )

lama waktu perlakuan HMT (jam)

60C, 100C 60C, 110C 90C, 100C 90C, 110C 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0 6 8 10 k e lar u tan (% )

lama waktu perlakuan HMT (jam)

60C, 100C 60C, 110C 90C, 100C 90C, 110C

34 Dengan kata lain, ada kemungkinan terjadi thawing gel pati selama proses menunggu sebelum diukur oleh alat sehingga ada air yang terperangkap dalam gel pati sempat mencair dan keluar dari pati. Hal tersebut akan mengurangi tingkat kekerasan dari pati yang akan diukur.

Elastisitas gel digunakan untuk mengetahui kemampuan gel pati untuk kembali pada kondisi semula setelah penekanan pertama (Simi dan Abraham, 2008). Dalam Gambar 13 dan Tabel 9 terlihat bahwa elastisitas pati walur cenderung menurun seiring dengan meningkatnya waktu perlakuan HMT. Hal ini terjadi karena gel pati yang terbentuk akibat perlakuan HMT yang diberikan menjadi lebih kaku dan keras. Kekerasan gel yang meningkat menyebabkan turunnya elastisitas gel pati karena kemampuan gel pati kembali ke kondisi semula menurun setelah penekanan pertama.

Kohesifitas merupakan perbandingan relatif antara kerusakan gel pati akibat penekanan yang kedua terhadap kerusakan gel pati akibat penekanan pertama (Simi dan Abraham, 2008). Dari segi sensori, kohesifitas berarti kekuatan dari interaksi internal dalam mempertahankan bentuk produk (Thibodeau, 2009). Grafik pada Gambar 14 dan data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kohesifitas gel pati walur cenderung untuk menurun selama perlakuan HMT jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya. Namun, analisis dengan

t test dan ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kohesifitas

gel pati walur kontrol dan gel pati walur HMT. Penurunan kohesifitas gel pati juga dialami oleh Zavarese et al. (2012) pada pati jagung. Turunnya kohesifitas pati mungkin disebabkan terjadi thawing pada gel pati selama waktu tunggu pengukuran karakteristik tekstur gel berlangsung. Waktu tunggu yang semakin lama memungkinkan air yang terperangkap dalam gel pati mencair dan bahkan keluar dari gel. Selama penekanan pertama, air yang terperangkap dalam gel akan keluar sehingga kekerasan gel pada penekanan kedua akan jauh berkurang. Hal ini mengakibatkan turunnya nilai kohesifitas gel karena nilai kohesifitas merupakan perbandingan antara kekerasan gel pati pada penekanan pertama dengan penekanan kedua.

Sementara itu dari grafik yang nampak dalam Gambar 15 dan data pada Tabel 9 diketahui bahwa kelengketan pada pati walur cenderung menurun seiring dengan peningkatan suhu dan waktu perlakuan HMT. Hal serupa juga dialami oleh Zavarese et al. (2012) pada pati jagung. Menurut Thibodeau (2009), nilai kelengketan berarti energi yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan dari awal sampai kepada titik di mana makanan bisa ditelan. Sementara itu, secara analisis tekstur, kelengketan merupakan hasil kali antara kekerasan dengan kohesifitas. HMT menurunkan kelengketan gel pati. Hal ini terjadi karena adanya perlakuan HMT menyebabkan gel pati menjadi semakin keras namun semakin rapuh. Hal ini terlihat dari turunnya nilai kohesifitas gel pati dengan semakin lamanya perlakuan HMT yang diberikan. Kenaikan kekerasan pada gel tidak sebanding dengan penurunan kohesifitas dari gel pati walur sehingga kelengketan dari gel pati walur cenderung menurun seiring dengan penurunan sifat kohesifitas gel pati walur.

6. Freeze-thaw Stability

Freeze-thaw stability adalah kemampuan gel pati untuk mempertahankan bentuknya

tanpa mengalami sineresis ketika diberi perlakuan dengan ditempatkan pada suhu dingin dan suhu kamar secara berulang (Wadchararat et al., 2005). Retrogradasi adalah representasi dari jumlah air yang keluar sebagai akibat dari penyusutan gel pati. Jumlah air yang keluar dari dalam gel pati merupakan hasil dari interaksi ikatan hidrogen inter dan intra-molekuler di antara molekul-molekul amilosa selama penyimpanan beku (Hoover dan Manuel, 1996). Dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 17 dapat diketahui bahwa perlakuan HMT yang

35 diberikan pati walur cenderung meningkatkan persen sineresis jika dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan persen sineresis menandakan pati lebih mudah mengalami sineresis. Kenaikan persen sineresis ini diduga dipengaruhi oleh sifat granula pati HMT. Daya pembengkakan pati yang menurun akibat HMT meningkatkan peluang terjadinya agregasi amilosa dalam matriks gel yang cukup intensif (Syamsir, 2012). Jika dilihat dari profil viskositas balik relatif, penurunan viskositas balik relatif tidak signifikan dan cenderung tetap. Hal ini menandakan bahwa sineresis yang terjadi seharusnya tidak berbeda nyata antara pati walur alami dan pati walur HMT. Perbedaan yang jauh antara sineresis pati walur alami dan pati walur HMT mungkin disebabkan oleh larutnya amilopektin rantai pendek bersama dengan amilosa di dalam suspensi pati yang dipanaskan. Amilopektin rantai pendek diperkirakan sebagai penyebab meningkatnya kecenderungan retrogradasi pada pati walur (Yuan dan Thompson, 1998).

Gambar 12. Grafik pengaruh HMT terhadap kekerasan gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%.

Gambar 13. Grafik pengaruh HMT terhadap elastisitas gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%. 0 1000 2000 3000 4000 0 6 8 10 k e k e r as an (g f )

lama waktu perlakuan HMT (jam)

100C 110C 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 0 6 8 10 e las ti si tas (s e c /s e c )

lama waktu perlakuan HMT (jam)

100C 110C

36 Gambar 14. Grafik pengaruh HMT terhadap kohesifitas pati walur kontrol dan modifikasi HMT

pada kadar air 17%.

Gambar 15. Grafik pengaruh HMT terhadap kelengketan gel pati walur kontrol dan modifikasi

Dokumen terkait