• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Politik Sebelum Abad ke 20

BAB IV. HASIL PENELITIAN

2. Keadaan Politik Sebelum Abad ke 20

Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749) pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran akibat perang perebutan tahta (AA GN Ari Dwipayana, 2004: 26). Keraton Surakarta merupakan kelanjutan dari Keraton Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama pada akhir abad XVI. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan temapt. Mula-mula di kota Gedhe kemudian, pindah ke Plered, ke Kartasura, dan terakhir di Surakarta.

Setelah Paku Buwono II memindahkan keraton dari Kartasura ke Surakarta, Paku Buwono II harus menyerahkan seluruh daerah pesisir Jawa kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kasunanan Surakarta, dan sekaligus menandai awal penetrasi kolonial Belanda ke dalama wilayah inti Kerajaan Mataram Surakarta, karena patih yang seharusnya mengurus wilayah kerajaan mulai saat itu juga bekerja untuk kepentingan VOC (M. Hari Mulyadi, dkk, 1999: 20). Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang- perang antara Mataran dengan VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat dan diagantikan oleh Paku Buwono III yang memerintah selama enam tahun

commit to user

sebagai raja Mataram (1749-1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755- 1788).

Peperangan antara Mataram dan VOC dilanjutkan pada masa pemerintahan Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang berlangsung selama Sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan tercapainya Perjanjian Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755), Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum perjanjian itu dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob Mossel untuk menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, dan Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi perjanjian itu merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus dilepaskan meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa Palihan Nagari (pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran Mangkubumi, Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena berakhirnya perang yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755) itu dapat mengurangi beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan mundur. Selain itu, terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan kompeni untuk dapat menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima oleh Sultan berdasarkan Perjanjian Gianti adalah milik Kompeni Belanda yang dipinjamkan dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti Soeratman, 2000: 27-29).

Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak

commit to user

menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa (Vincent J.H. Houben, 2002: 18).

Faktor-faktor yang memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam dua hal pokok, yaitu: (1) Sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana sebuah kekuatan kolonial yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Pada masa itu, Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono IV (1788-1820) yang mengalami pemerintahan Gubjen H.W Daendels (1808-1811) dan Letgub Th. S. Raffles (1811-1816); (2) penguasa asing ini berusaha membawa perubahan dalam pemerintahan pribumi dan menggantinya dengan pemrintahan model Barat (Darsiti Soeratman, 2000: 29). Pada tahun 1808 Letnan Gubernur Jenderal H.W. Deandels memberlakukan peraturan-peraturan mengenai tata etiket perilaku, sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang Jawa. Etiket itu menyatakan bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana itu para Residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para penguasa Jawa dalam protokol (Vincent J.H. Houben, 2002: 18-19).

Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph. van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka. Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif orang- orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif dengan orang-orang Eropa, berupaya untuk mengadu domba Yogya dengan orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002: 19-20).

commit to user

Dua dekade setelah kekuasaan Deandels membawa Jawa pada kejadian- kejadian yang secara langsung menantang otoritas Belanda, Pertama dari luar selama Pendudukan Inggris atas Hindia Belanda (1811-1816), dan kemudian dari dalam selama Perang Jawa yang berlangsung lama (1825-1830). Keraton Surakarta (berbeda dengan saingannya Keraton Yogyakarta) tidak pernah berada dalam konflik terbuka dengan Belanda. Meski ada berbagai rumor yang mengelilingi istana Paku Buwono, kaeadaan tertib serimonial yang diperoleh dari struktur kekuatan protokol yang sudah sangat jauh berkembang sekarang telah menjadi sedemikian tertanam sehingga tampak adanya tata. Ketika dalam tahun 1816, bendera Inggris dimuka benteng kediaman Residen Surakarta diganti oleh bendera Belanda yang telah kembali (John Pemberton, 2003: 80-81).

Faktor lain yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan politik di dalam Istana Yogya itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi di antara para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).

Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim serdadu- serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan oleh pihak Belanda. Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite bangsawan Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu

commit to user

usaha yang sia-sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum meningkatnya kekuatan kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya gerakan protes sosial yang mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan, dengan menoleh kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi penjajahan itu sudah merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang Jawa seakan-akan membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C Ricklefs, 1991: 178-181).

Berakhirnya Perang Jawa (1930), Belanda semakin memikirkan berbagai rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan

cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan

semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang menyudutkan pemerintahannya. Pemerintah kolonial secara efektif mewajibkan agar dibayar dengan tanaman ekspor sebagai pembayaran sewa tanah yang baru saja telah diterapkan oleh Belanda, dan aneksasi ekstensif daerah yang jauh dari ibu kota yang dimiliki oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta (John Pemberton, 2003: 95).

Kekalahan politis pada medan Perang Jawa telah menjinakkan raja-raja Jawa dan membuat mereka hanya menjadi tokoh pelaku ritual. Walau tahun 1830 tampak menandakan suatu keberhasilan baru bagi Belanda menjinakkan para raja Jawa Tengah, tetapi ini juga mengungkapkan adanya suatu titik penting yang merupakan suatu penjinakkan yang, dalam berbagai hal, jauh lebih kuat, suatu bentuk yang diciptakan secara diskursif dalam sosok “Jawa” oleh orang-orang Jawa sendiri. Walau tahun 1830 mengantarkan kondisi-kondisi kolonial yang didalamnya “Jawa” yaitu negeri ideal itu, yang secara ritual tidak pernah ditaklukkan. Menjadi semakin makmur, sejak tahun 1745 dan seterusnya Keraton Surakarta sudah menjadi “lembaga ritual”, tetapi dalam arti rangkap. Keraton adalah produk dari suatu prosese ritual unik yang mengubah suatu kontradiksi menjadi kerajaan, dan pada saat yang sama, merupakan lokasi tempat proses ini ditetapkan sebagai ritual. Setelah proses ini maka dunia “Jawa” menjadi semakin dikenal, akrab, dan dapat dihuni sebagaimana peristiwa-peristiwa ritual menjadi

commit to user

bahan-bahan periwayatan yang dikehendaki dalam babad-babad Jawa. Sejak 1830 keraton-keraton Jawa Tengah hanya merupakan lembaga-lembaga ritual, sebagai tanda-tanda berbunga-bunga ketunakuasaan atau sebagai penanda kepatuhan, betapapun jinaknya sikap para raja yang berkuasa. (John Pemberton, 2003: 96- 98).

Pecahnya Perang Jawa (1825) selain menambah beban anggaran pengeluaran juga mendorong pada perubahan kebijakan pemerintah Hindia Balanda. Apa yang sekarang dikenal “Laporan Kolonialisasi” tahun 1827, saat itu sangat mengandalkapengusaha-pegusaha swasta Eropa dan Cina yang bergerak di tanah-tanah sewa-guna dalam memajukan penananman komoditas yang dapat diekspor. Namun sebelum kebijakan ini terlaksana di lapangan, suatu rancangan “lebih baik” yang dinilai bisa segera mendatangkan keuntungan diusulkan oelh J. van den Bosch. Raja William I menerima rancangan baru ini dan mengirim penggagasnya ke Jawa sebagai gubernur jenderal (kemudian komisaris jenderal) pada tahun 1830. Rancangan yang terkenal itu kelak disebut sistem Tanam Paksa

(cultuurstelsel) (Robert van Niel, 2003: 220).

Selama tahun 1830-an dan 1840-an, Jawa diatur dengan meletakkan kepercayaan besar pada otokrasi pribadi tanpa mengacu pada bentuk hukum yang jelas, keseragaman pemerintahan, dan kesetaraan manusia sebagaimana dikenal dan diterima cukup luas di Negeri Belanda waktu itu (Robert van Niel, 2003: 37).

Di Vorstenlanden, sistem Tanam Paksa tidak dijalankan dalam kurun waktu 1830

dan 1870, tetapi perkebunan swasta Belanda dapat bergerak bebas melakukan usahanya. Sebelum tahun 1830, telah ada sejumlah orang Cina dan Eropa menyewa tanah dari penguasa dan pemegang lungguh, tetapi hanya dalam jumlah kecil dan letaknya di pinggiran negara (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 49).

Sistem Tanam Paksa merupakan penerapan prinsip lama dengan corak baru. Sepanjang menyangkut hak-hak atas tanah, sistem ini melanjutkan lebih giat prinsip bahwa penguasa adalah pemilik semua tanah. Sistem Tanam paksa terus memakai penyelesaian sewa tanah berdasarkan desa, tetapi sekarang ditambah perjanjian kontrak dengan desa untuk menanam komoditas ekspor di tanah-tanah desa (Robert van Niel, 2003: 220).

commit to user

Periode pasca-1830, ditemukan juga ekspresi-ekspresi protes sosial di Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu sendiri) maupun pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan gerakan periferal

dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar lingkungan pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang terang-terangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana (Vincent J.H. Houben, 2002: 430-437).

Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura. Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent J.H. Houben, 2002: 440-444).

Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang menyewakan tanahnya kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Cina. Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir

commit to user

kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.

3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X