• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’). Tinggi rendahnya nilai H’ mencerminkan tingkat keanekaragaman pada suatu tegakan. Nilai indeks keanekaragaman akan maksimum jika jenis yang ada pada suatu tegakan mempunyai nilai kuantitatif atau kelimpahan yang sangat besar. Keanekaragaman suatu jenis ditentukan oleh dua komponen yaitu kelimpahan jenis dan kemerataannya.

Dan untuk menentukan parameter pertama digunakan Indeks Kekayaan Margallef (R1). Indeks Kekayaan Margallef (R1) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya indeks kekayaan ini nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang pada areal tersebut. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R1 antara 3,5 sampai 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi apabila R1>5,0. Besarnya nilai Indeks Kekayaan Margallef (R1) untuk masing-masing lokasi plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 21 dan Tabel 22 dibawah ini.

Tabel 21. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada LOA 1981/1982 dan Et+0.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

LOA 1981/1982 0-15 6.01 7.43 7.41 9.66 15-25 6.07 6.45 7.01 7.75 25-45 7.07 7.71 10.53 9.87 Et+0 0-15 4.84 6.41 7.54 9.37 15-25 5.23 6.03 7.15 7.01 25-45 6.29 7.51 10.70 9.69

Dari Tabel 21 terlihat bahwa nilai Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang dimiliki oleh setiap plot pengamatan pada umumnya memiliki nilai diatas 5,00 kecuali vegetasi tingkat semai pada Et+0 dengan nilai 4,84. Berdasarkan kriteria Magurran (1988) kekayaan jenis di LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki tingkat kekayaan jenis yang tinggi kecuali pada vegetasi tingkat semai di Et+0. Vegetasi tingkat semai di Et+0 tersebut memiliki tingkat kekayaan jenis yang sedang dengan nilai R1 sebesar 4,84.

Tabel 22. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran

dan Setelah Penjaluran.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran 0-15 8.25 10.58 9.66 9.00 15-25 7.53 9.83 8.18 10.98 25-45 6.87 6.67 6.31 9.79 Setelah Penjaluran 0-15 7.87 9.94 9.67 8.97 15-25 6.91 9.61 8.18 10.99 25-45 6.83 6.40 6.33 9.80

Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kekayaan Margallef

(R1) yang dimiliki oleh setiap plot pengamatan pada umumnya memiliki nilai diatas 5,00. Sehingga berdasarkan kriteria Mugarran (1988) kekayaan jenis pada kondisi hutan sebelum penjaluran dan setelah penjaluran memiliki tingkat kekayaan jenis yang tinggi.

Pola pemusatan dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai Indeks Dominansi Jenis (C) dan nilai Indeks Kemerataan Jenis (E). Nilai dominansi jenis menjelaskan pola dominansi jenis dalam suatu tegakan. Nilai dominansi tertinggi ialah 1,0 yang menunjukan bahwa pada suatu tegakan hanya dikuasai oleh satu jenis atau terjadi pemusatan pada satu jenis pohon. Sedangkan nilai indeks kemerataan jenis mencerminkan tingkat kemerataan jenis dalam suatu tegakan. Berdasarkan Magurran (1988) besaran E<0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah, E antara 0,3 sampai dengan 0,6 menunjukkan kemerataan tergolong sedang, dan E>0,6 kemerataan tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat dilihat besarnya nilai Indeks Dominansi Jenis (C) dan Indeks Kemerataan (E) pada masing lokasi plot pengamatan.

Tabel 23. Indeks Dominansi Jenis (C) pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kondisi Hutan Kelerengan

(%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

LOA 1981/1982 0-15 0.16 0.09 0.11 0.06 15-25 0.16 0.07 0.12 0.11 25-45 0.10 0.07 0.07 0.06 Et+0 0-15 0.19 0.08 0.11 0.06 15-25 0.10 0.06 0.12 0.12 25-45 0.09 0.06 0.07 0.06

Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa pada kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai nilai C LOA 1981/1982 lebih rendah daripada Et+0. Dan untuk vegetasi tingkat pancang nilai C LOA 1981/1982 lebih tinggi daripada Et+0. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon nilai C untuk kedua kondisi hutan tersebut sama yaitu 0,11 dan 0,06.

Pada kelerengan 15-25% untuk vegetasi tingkat semai dan pancang nilai C LOA 1981/1982 lebih tinggi dibanding Et+0. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang nilai C keduanya sama yaitu 0,12. Dan untuk vegetasi tingkat pohon nilai C LOA 1981/1982 lebih rendah dibanding Et+0.

Pada kelerengan 25-45% untuk vegetasi tingkat semai dan pancang nilai C LOA 1981/1982 lebih tinggi daripada Et+0. Sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon nilai C untuk kondisi kedua hutan tersebut sama yaitu 0,07 dan 0,06.

Tabel 24. Indeks Dominansi Jenis (C) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan

Hutan Setelah Penjaluran.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran 0-15 0.05 0.03 0.04 0.05 15-25 0.13 0.05 0.06 0.05 25-45 0.06 0.07 0.09 0.06 Setelah Penjaluran 0-15 0.06 0.04 0.04 0.05 15-25 0.13 0.05 0.06 0.05 25-45 0.05 0.07 0.09 0.05 Dari Tabel 24 dapat dilihat bahwa pada kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai dan pancang nilai C hutan sebelum penjaluran lebih rendah dibanding hutan setelah penjaluran. Dan untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon nilai C untuk kedua kondisi hutan tersebut sama.

Sedangkan pada kelerengan 15-25% untuk setiap tingkatan vegetasi mempunyai nilai C yang sama untuk kedua kondisi hutan tersebut. Dan untuk

kelerengan 25-45% pun memiliki nilai C yang sama pada setiap tingkatan vegetasi untuk kedua kondisi hutan diatas.

Dari kempat kondisi hutan diatas maka dapat terlihat bahwa nilai C yang dimiliki jauh lebih kecil dari 1,0. Hal ini menandakan bahwa pada keempat kondisi hutan tersebut tidak ada satu jenis yang mendominasi untuk setiap kondisi hutan.

Tabel 25. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada LOA 1981/1982 dan Et+0.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

LOA 1981/1982 0-15 0.70 0.77 0.75 0.82 15-25 0.66 0.82 0.72 0.71 25-45 0.72 0.82 0.77 0.82 Et+0 0-15 0.69 0.82 0.75 0.83 15-25 0.78 0.86 0.72 0.71 25-45 0.77 0.85 0.78 0.84

Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kemerataan (E) pada LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki nilai diatas 0,6. Dengan demikian maka berdasarkan kriteria Magurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut memiliki kemerataan jenis yang tinggi.

Tabel 26. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran 0-15 0.84 0.90 0.91 0.84 15-25 0.70 0.86 0.88 0.85 25-45 0.87 0.84 0.83 0.83 Setelah Penjaluran 0-15 0.82 0.91 0.91 0.86 15-25 0.72 0.86 0.88 0.84 25-45 0.87 0.86 0.82 0.84

Dari Tabel 26 diatas terlihat bahwa Indeks Kemerataaan Jenis (E) pada kondisi hutan sebelum penjaluran dan setelah penjaluran menunjukan nilai

diatas 0,6. Sehingga berdasarkan kriteria Magurran (1988) kedua kondisi

hutan tersebut memiliki kemeretaan jenis yang tinggi juga.

Indeks Nilai Penting masing-masing jenis berkaitan erat dengan Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dalam petak. Nilai H’ sebenarnya menggambarkan banyaknya jumlah individu jenis dan jumlah jenis. Perhitungan nilai (H’) menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Perubahan yang

terjadi akibat adanya suatu gangguan menyebabkan perubahan nilai H’ dan pada umumnya perubahan itu menurun.

Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,0 sampai 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) mendekati 3,5 maka menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi. Nilai keanekaragaman jenis dari setiap tegakan hutan tersaji dalam Tabel 28 dan Tabel 29 dibawah ini.

Tabel 27. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada LOA 1981/1982 dan Et+0.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

LOA 1981/1982 0-15 2.57 2.95 2.91 3.36 15-25 2.53 3.12 2.79 2.80 25-45 2.82 3.27 3.28 3.40 Et+0 0-15 2.32 2.96 2.91 3.36 15-25 2.79 3.13 2.78 2.68 25-45 2.87 3.27 3.32 3.42

Dari Tabel 27 terlihat bahwa secara umum keanekaragaman jenis pada LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki tingkat keanekaragaman diatas 2,0.

Sehinggga berdasarkan Magurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut

memiliki tingkat keanekaragaman yang sedang dan tinggi. Tingkat keanekaragaman yang tinggi dimiliki oleh vegetasi tingkat pacang pada kelerengan 15-25% dan 25-45%, vegetasi tingkat tiang pada kelerengan 25-45% serta vegetasi tingkat pohon pada kelerengan 0-15% dan 25-45%.

Kegiatan pemanenan kayu menyebabkan perubahan pada besaran nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’). Penurunan nilai H’ terjadi pada vegetasi tingkat semai dengan kelerengan 0-15%, vegetasi tingkat tiang dan pohon dengan kelerengan 15-25%. Sedangkan peningkatan nilai H’ terjadi pada vegetasi tingkat semai untuk kelerengan 15-25% dan 25-45%, vetetasi tingkat pancang untuk kelerengan 0-15% dan 15-25% serta vegetasi tingkat tiang dan pohon untuk kelerengan 25-45%. Peningkatan nilai H’ ini terjadi karena penurunan jumlah jenis yang ditemukan (S) tidak sebanding dengan penurunan jumlah seluruh jenis (N). Penurunan jumlah jenis yang ditemukan (S) cenderung lebih sedikit. Bahkan pada beberapa kondisi penurunan jumlah seluruh jenis (N) tidak dibarengi dengan penurunan jumlah jenis ditemukan

atau nilai S nya tetap. Sebagai contoh, pada LOA 1981/1982 vegetasi tingkat semai dengan kelerengan 0-15% memiliki nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) sebesar 2,95 dengan jumlah S 45 jenis serta N sebanyak 1399. Setelah dilakukan pemanenan kayu nilai Indeks Keanekaragaman Jenis yang dimiliki menjadi 2,96 dengan jumlah S 35 jenis serta N sebanyak 668.

Tabel 28. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran 0-15 3.33 3.69 3.56 3.37 15-25 2.75 3.50 3.28 3.53 25-45 3.26 3.07 2.86 3.36 Setelah Penjaluran 0-15 3.18 3.60 3.56 3.41 15-25 2.73 3.48 3.28 3.50 25-45 3.25 3.07 2.86 3.36

Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat pada pada kedua kondisi hutan diatas hampir pada semua tingkatan vegetasi memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi kecuali vegetasi tingkat semai sebelum dan setelah penjaluran dengan kelerengan 15-25% serta vegetasi tingkat tiang sebelum dan setelah penjaluran dengan kelerengan 25-45%.

Secara umum kegiatan penjaluran menyebabkan terjadinya penurunan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H') kecuali pada vegetasi tingkat semai dengan kelerengan 0-15%. Meskipun mengalami kenaikan nilai H', jumlah jenis yang ditemukan (S) dan jumlah seluruh jenisnya (N) mengalami penurunan. Untuk jumlah jenis yang ditemukan mengalami penurunan dari 52 jenis menjadi 48 jenis. Sedangkan untuk jumlah seluruh jenis menurun dari 485 jenis menjadi 391 jenis.

Dokumen terkait