• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERADAAN PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)

di Era Jaminan Kesehatan Nasional

KEBERADAAN PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)

PIDI telah diinisiasi dan disepakati oleh Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Pendidikan Nasional sejak tahun 2008. Penyelenggaraan PIDI ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik

xx Indonesia No.299/Menkes/Per/II/2010 tentang Penyelenggaraan Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip.Konsil Kedokteran Indonesia menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 1/KKI/Per/2010 tentang Registasi Dokter Program Internsip. Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) sebagai Pelaksana Program Internsip Dokter telah diangkat dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 138/Menkes/SK/I/2011 tentang Komite Internsip Dokter Indonesia.Pelaksanaan PIDI untuk pertama kali dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat pada Bulan Maret 2010.

Peserta PIDI angkatan pertamaadalah dokter lulusan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Andalas. FK Universitas Andalas telah melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2004 sebagai hasil pilot project pengembangan kurikulum kedokteran dari Health Workforce and Services (HWS). Pada tahun 2006 KKI telah mengesahkan Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 2007 seluruh FK di Indonesia harus sudah melaksanakan pendidikan dokter dengan implementasi KBK.Pada tahun 2005 beberapa Fakultas Kedokteran mulai melaksanakan KBK. Pada Bulan November 2010 lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan KBK mulai melaksanakan PIDI di Provinsi Jawa Barat.

Sejak tahun 2010 sampai dengan Oktober 2015 sebanyak 19.671 dokter mengikuti PIDI. Sejumlah 13.482 dokter diantaranya telah selesai melaksanakan PIDI, sedangkan 6.189 dokter sedang melaksanakan PIDI dengan melibatkan 1.708 dokter pendamping di 560 rumah sakit dan 588 puskesmas di 34 provinsi. Peserta PIDI tersebut berasal dari 56 FK yang berada di Indonesia baik pemerintah maupun swasta dan 5 FK luar negeri yang sebelumnya telah mengalami proses adaptasi.

Seluruh pelaksanaan PIDI sejak tahun 2010 sampai dengan 2015 dibebankan pada anggaran Pemerintah Pusat melalui APBN Kementerian Kesehatan. Jumlah peserta PIDI yang meningkat setiap tahunnya sesuai dengan jumlah lulusan fakultas kedokteran menimbulkan konsekuensi peningkatan besaran anggaran. Pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan 2015,anggaran PIDI terus mengalami peningkatan. Kebutuhan anggaran PIDI diperkirakan akan meningkat pada tahun 2016, seiring dengan bertambahnya lulusan FK. Dengan demikian, berdasarkan pagu definitif Kementerian Keuangan, anggaran PIDI untuk tahun 2016 dialokasikan sebanyak Rp. 650.000.000.000.

Tabel Anggaran PIDI Tahun 2010-2016

TAHUN ALOKASI ANGGARAN (dalam Rupiah)

2010 10.066.900.000

2011 33.075.677.000

2012 79.902.422.000

2013 166.036.240.000

2014 242.231.249.976

2015 261.866.300.000

2016 (pagu definitif) 650.000.000.000

xxi EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

Selama kurun waktu 2010 – 2015, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan sudah 3 (tiga) kali mendapatkan amanat untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanaan PIDI, baik penilaian yang dilakukan sendiri oleh Badan Litbangkes maupun yang dilakukan bersama-sama dengan beberapa institusi pendidikan kedokteran.

Penilaian pertama pada tahun 2011, adalah asesmen 1 tahun perjalanan PIDI. Selanjutnya, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Kementerian Kesehatan, KIDI, dan Komisi IX DPR RI pada tanggal 26 November 2012, menghasilkan rekomendasi dilakukannya evaluasi PIDI. Oleh karena itu, pada tahun 2013 dilakukan kajian internsip di 9 (sembilan) provinsi.Hasil evaluasi tersebut telah dipaparkan dalam RDP dengan Komisi IX DPR RI pada tanggal 24 Juni 2013.

Sebagai tindaklanjut pemaparan hasil kajian tersebut, diperoleh rekomendasi dari Komisi IX DPR RI bahwa perlu dilakukan kajian tentang manfaat Program Internsip secara komprehensif mengingat besarnya anggaran Program Internsip yang dibebankan kepada anggaran Kementerian Kesehatan. Mempertimbangkan hal tersebut, maka pada tahun 2015 dilakukan kajian Cost, Output, dan Manajemen Program Internsip Dokter Indonesia.

Hasil Evaluasi I :Asesmen Program Internsip Dokter Indonesia Tahun 2011

Asesmen dilakukan untuk menilai pelaksanaan Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) pada tahun pertama.Pada saat itu baru dokter lulusan FK Universitas Andalas yang hampir selesai menjalankan program internsip. Asesmen dilakukan secara potong lintang, dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif di 4 kabupaten di Provinsi Sumatera Barat (Pariaman, Solok, Pesisir Selatan, dan Lima Puluh Kota).

Hasil asesmen menunjukkan bahwa secara umum Program Internsip Dokter Indonesia telah berjalan dengan cukup baik di Sumatera Barat.Internsip dinilai bermanfaat, baik untuk peserta maupun untuk wahana. Beberapa hal memerlukan pembenahan, antara lain manajemen internsip, perbaikan buku pedoman dan log book, serta kelengkapan sarana di wahana.Beberapa RS dan puskesmas belum memenuhi persyaratan sebagai wahana. Pemerintah Daerah belum memberikan dukungan nyata untuk pelaksanaan PIDI. Kendala yang dihadapi peserta internsip antara lain keterbatasan sarana dan fasilitas diagnostik, penunjang diagnostik, dan sarana penunjang internsip lainnya. Terdapat persepsi yang keliru mengenai status peserta internsip, serta manajemen yang masih kurangteratur.

Hasil Evaluasi II :Penelitian Evaluasi (Evaluation Research); Evaluasi Program Internsip Dokter Indonesia

Penelitian dilakukan antara Bulan Maret – Mei 2013, di 10 kabupaten/kota terpilih di 9 provinsi di Indonesia yang telah menerima peserta PIDI. Lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan multistage sampling.Pemilihan lokasi penelitian terkait erat dengan kriteria inklusi peserta internsip yang digunakan pada penelitian ini.Peserta internsip yang menjadi responden/informan penelitian ini adalah peserta internsip yang telah menjalani program internsip minimal 10 bulan. Pemilihan lokasi penelitian juga mempertimbangkan status akreditasi FK lulusan peserta internsip, kepemilikan FK (negeri atau swasta), wilayahpenempatan, dan frekuensi keterlibatan wahana peserta internsip. Berdasarkan hal tersebut terpilih Kabupaten Pidie (Provinsi Aceh), Kabupaten Kampar (Provinsi Riau), Kota Jambi (Provinsi Jambi), Kabupaten Lebak (Provinsi Banten), Bandung (Provinsi Jawa Barat), Nganjuk (Jawa Timur), Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Pontianak (Kalimantan Barat), serta Sidenreng Rappang (Sulawesi Selatan).

xxii Peneliti dan pengumpul data adalah peneliti, peneliti ad hoc dan staf Badan Litbangkes, beberapa orang peneliti dan staf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga, didampingi beberapa orang staf Pusrengun BPPSDM Kesehatan.

Kajian ini menghasilkan kesimpulanbahwa terjadi peningkatan pemahiran, pemandirian dan profesionalisme pada 7 area kompetensi inti dokter melalui proses internsip; PIDI membantu pemenuhan SDM Kesehatan di fasyankes, membantu

mempersingkat respon time pelayanan, membantu fasyankes dalam menyusun SOP, sharing

perkembangan iptek kedokteran dengan seluruh staf fasyankes, membantu fasyankes dalam sistem rujukan, meningkatkan cakupan program puskemas khususnya berkaitan dengan upaya kesehatan masyarakat, promotif dan preventif. Terdapat beberapa kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan PIDI misalnya bantuan biaya hidup peserta dan honor pendamping khususnya berkaitan dengan besaran dan ketepatan waktu penyaluran. Beberapa fasyankes kurang memenuhi persyaratan sebagai wahana PIDI. Fasyankes tersebut tidak dilengkapi dengan unit gizi, laboratorium sederhana pada beberapa wahana puskemas belum ada, begitu pula halnya dengan ruang baca/perpustakaan dan lain-lain. Temuan lain adalah tidak memadainya dukungan logistik dan manajemen seperti tidak tersedianya buku pedoman, kurang jelasnya log book peserta dan sulitnya proses penerbitan SIP Internsip.

Hasil evaluasi ini telah dipaparkan dalam RDP dengan Komisi IX DPR RI pada tanggal 24 Juni 2013.Dalam RDP tersebut, Komisi IX DPR RI menyetujui usulan Menteri Kesehatan untuk menaikkan Bantuan Biaya Hidup (BBH) dokter Internsip dari Rp 1.200.000,00 menjadi Rp2.500.000,00. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan RI dengan ditetapkannya izin prinsip kenaikan satuan BBH dokter Internsip menjadi Rp 2.500.000,00. Hasil Evaluasi III : Kajian Cost, Output, dan Manajemen Program Internsip Dokter Indonesia tahun 2015

Kajian ini menggunakan desain pre-post test interventiondan dilakukan di fasyankes (RS dan atau puskesmas) di kabupaten/kota yang pada Bulan Februari 2015 terdaftar sebagai tempat pelaksanaan PIDI.Kajian dilakukan pada tahun 2015, dengan tahap persiapan dan penyusunan kuesioner dilakukan pada akhir tahun 2014.Penyusunan kuesioner mengundang AIPKI, IDI, dan KIDI.

Terdapat dokter lulusan dari 73fakultas kedokteran yang mengikuti internsip periode Februari 2015 yang tersebar di 25 provinsi. Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan status akreditasi FK lulusan peserta internsip, kepemilikan FK (negeri atau swasta),wilayah penempatan, dan frekuensi keterlibatan wahana peserta internsip. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pemilihan secara random (acak) dengan mempertimbangkan proporsi peserta internsip di masing-masing wilayah (Probability Proporsional to Size), terpilih Kabupaten Muko-muko, Kota Jakarta Utara, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Probolinggo, Kota Blitar, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Sikka, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Wajo, Kota Sorong dan Kabupaten Biak Numfor sebagai lokasi penelitian.

Pada kajian ini dilakukan pengumpulan data pengetahuan dokter peserta internsip mengenai Upaya Kesehatan Perorangan dan Upaya Kesehatan Masyarakat, Pengumpulan Data Kemahiran Dokter Peserta Internsip (menggunakan instrumen MINI CEX dan DOPS),

xxiii kesiapan wahana, pendamping, penilaian terhadap peserta internsip, penilaian terhadap manajemen, data capaian target kasus oleh peserta (diperoleh dari buku log peserta), dan pengumpulan data rata-rata pengeluaran peserta internsip (menggunakan instrumen Susenas yang telah dimodifikasi).

Penilaian tahap awal dilakukan pada Bulan Maret 2015 untuk memperoleh data awal peserta. Data ini kemudian dibandingkan dengan data hasil pengumpulan berikutnya (Bulan Oktober 2015).

Hasil kajian menunjukkan masih banyak wahana yang belum sesuai dengan persyaratan. Secara umum, terjadi peningkatan pengetahuan peserta internsip mengenai Upaya Kesehatan Masyarakat. Namun tidak terjadi peningkatan pengetahuan dalam Upaya Kesehatan Perorangan.Penilaian pemahiran menggunakan DOPS dan MINI CEX menunjukkan telah terjadi peningkatan pemahiran dalam keterampilan klinis dan diagnosis.Perlu menjadi catatan, penilaian ini merupakan pencapaian selama 8 bulan peserta menjalani program internsip (Maret sampai Oktober 2015), belum sepenuhnya menjalani 12 bulan periode pelaksanaan internsip.

Dari hasil analisa data kualitatif, sebagian besar peserta internsip menilai bahwa program internsip bermanfaat untuk peningkatan pemahiran dan rasa percaya diri. Kendati demikian, beberapa peserta menganggap bahwa program ini tidak perlu karena merasa ilmu yang diperoleh selama pendidikan sudah memadai.

Data pengeluaran peserta internsip diperoleh dengan mengadopsi instrumen konsumsi rumah tangga Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).Instrumen pengeluaran terdiri dari dua pengelompokan pengeluaran konsumsi rumah tangga, yaitu pengelompokan konsumsi makanan dan non makanan. Dari hasil kajian ini, proporsi rata-rata estimasi kebutuhan minimal peserta internsip dalam satu bulan adalah sebesar Rp 4.684.318,00

Dokumen terkait