• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3.1. Perawatan ibu post partum di Desa Binaus

4.3.1.1. Kebiasaan Tatobi

Tatobi merupakan salah satu tradisi Suku Timor yang dilakukan secara turun temurun hingga sekarang. Tatobi adalah salah satu pengobatan tradisional ibu post partum untuk masayarakat Suku Timor. Tatobi ini dilakukan dengan cara mencelupkan kain tenun Timor (selendang, sarung, dan selimut), kain biasa berbahan kaos ke dalam air mendidih, kemudian airnya diperas dan dikompreskan ke tubuh bagian perut, pundak, belakang dan berakhir pada daerah perineum yang sudah dilumuri minyak kelapa murni dengan tujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa darah kotor dari dalam rahim, mengembalikan kekuatan tubuh ibu, agar ibu

120 tidak mengalami sakit, serta menutup kembali jalan lahir ibu. Hal ini didukung oleh pernyataan Dukun beranak yaitu mama Maria Lolomsait yang mengatakan bahwa:

Au koes in aona paek min noah nahun, oke am’tas paek oem putu he in aona kais napuh. Tatas he tapoitan na kotor nako hit aoke, aoke ma’kafa he kais tamen, oke nten tafani hit la nana.

(saya gosok duluan minyak kelapa di ibu pung badan baru saya tatobi biar badan tidak melepuh). Tatobi supaya darah kotor semua keluar dari dalam tubuh, buat badan ko ringan supaya tidak sakit-sakit, baru tutup kembali kita pung jalan anak.

Frekuensi dan lokasi pelaksanaan tatobi dilakukan sebanyak 2-10 kali sehari dimulai dari tubuh bagian perut, pundak, belakang dan berakhir pada daerah perineum. Tatobi ini berlangsung didalam rumah bulat/ume kbubu, seperti yang dikatakan ibu-ibu di Desa Binaus :

Saya biasa tatobi 10 kali dalam 1 hari mulai dari saya pung perut, pundak, belakang baru yang terakhir di jalan lahir. Mama biasa yang tatobi saya tapi kalo su lewat dari 4 hari nanti saya yang tatobi sendiri nona. Saya biasa tatobi didalam dapur biar badan tetap hangat karna kalo di dalam rumah batu situ nanti dingin minta ampun. Baru ade kecil ju nanti rasa dingin jadi untuk sementara waktu biar kami 2 di dapur sa nona.

121 Menurut beberapa informan suami: tatobi itu harus dilakukan karena sudah tradisi turun temurun dari nenek moyang. Karna sesuai pengalaman yaitu tanta pernah meninggal dikarenakan darah putih naik ke kepala karna tidak melaksanakan tatobi. Untuk itu setelah istrinya melahirkan di RSUD Soe, kembali ke rumah istrinya diminta untuk tetap melaksanakan tatobi didalam rumah bulat/ume kbubu. Jadi tatobi dipercaya untuk mencegah agar darah putih tidak naik ke kepala karna kemungkinan besar dapat menyebabkan kematian. Tatobi merupakan tradisi yang sudah dilakukan sejak dulu kala oleh nenek moyang. Menurutnya tatobi adalah suatu kesatuan sebab mengingat cuaca di Soe dingin, maka ibu harus melakukan tradisi tersebut supaya darah putih tidak naik ke kepala dan melebihi darah merah dan ibu jadi lemah. Kalau ibu lemah bahaya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan suami:

Kita disini masih tetap tatobi, karna tatobi itu sudah tradisi dari kita pung nenek moyang dong. Saya punya cerita, dulu ada saya punya tanta kandung meninggal itu karna dia habis menlahirkan tidak tatobi makanya darah putih naik dikepala ko bikin dia sampe meninggal makanya saya takut ko saya pung istri biar melahirkan di RSUD Soe sini ju pulang tetap masuk didalam dapur ko saya tatobi biar darah putih tidak naik di kepala baru badan tetap kuat,

122 karna kalo badan lemah berarti bahaya, selain

itu biar mama deng ade mea tetap hangat karna tau sendiri kalo cuaca soe terlalu dingin.

Berdasarkan uraian diatas maka terlihat bahwa tujuan dari pelaksanaan tatobi ialah untuk mengeluarkan sisa-sisa darah kotor dari dalam rahim, mencegah darah putih agar tidak naik ke kepala, mengembalikan kekuatan tubuh ibu, agar ibu tidak mengalami sakit, serta menutup kembali jalan lahir ibu. Melaksanakan tatobi memberikan pemahaman bahwa apabila tidak melakukan tatobi maka ibu akan mengalami sakit berat yang dapat mengakibatkan kematian. Konsep diatas bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu setelah melahirkan, terutama perubahan-perubahan yang terjadi pada masa post partum. Menurut Maryunani, proses penyembuhan dan perubahan bentuk tubuh ibu post partum seperti keadaan sebelum hamil akan terjadi dengan sendirinya yang ditunjang pola hidup yang baik serta dengan nutrisi yang baik, kurang lebih 6 minggu setelah melahirkan (Maryunani, 2009).

Frekuensi pelaksanaan tatobi dilakukan sebanyak 2-10 kali sehari yang dikompreskan ke tubuh bagian perut, pundak, belakang dan berakhir pada

123 daerah perineum. Konsep diatas bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu setelah melahirkan. Menurut Potter, di sisi lain kompres panas juga dapat merugikan jika mengenai jaringan secara terus menerus karena akan merusak sel-sel kapitel, menyebabkan kemerahan, rasa perih, bahkan kulit menjadi melepuh (Potter, 2005). Oleh karena itu kompres panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cidera kulit (Smeltzer & Bare, 2001).

Lokasi pelaksanaan tatobi berlangsung disalah satu rumah tradisional masyarakat Suku Timor yang biasa disebut dengan istilah ume kbubu (rumah bulat). Rumah bulat/ume kbubu dengan satu pintu dibagian depan tanpa memiliki jendela yang digunakan masyarakat untuk memasak dan sebagai tempat penyimpanan jagung. Kondisi ini menyebabkan rumah bulat/ume kbubu penuh dengan asap dan debu dari tungku api dengan sirkulasi udaranya yang tidak baik dan jarang dibersihkan yang kemungkinan besar memperburuk kondisi kesehatan penghuni rumah bulat/ume kbubu terutama ibu post partum yang melakukan perawatan didalamnya.

124 Masyarakat Desa Binaus berada di daerah perbukitan dengan curah hujan tinggi yang kemungkinan besar menyebabkan tingginya kelembaban udara. Dengan tingginya kelembaban udara dapat menimbulkan berbagai mikroorganisme patogen seperti bakteri, jamur, parasit. Jika dilihat dari kondisi rumah bulat dimana tempat ibu post partum diberikan tatobi, kemungkinan besar terdapat berbagai mikroorganisme patogen didalamnya sehingga ibu post partum mempunyai resiko infeksi saat diberikan tatobi dikarenakan kain tenun yang dicelupkan kedalam air panas kemungkinan besar sudah menempel dengan jamur, bakteri dan parasit yang kemudian di kompres ke daerah perineum ibu. Penelitian ini sejalan dengan Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti “ngolesi” (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar persalinan), “kodok” (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau “nyanda” (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan). Sama

125 halnya dengan paraktik tatobi yang dilakukan oleh Suku Timor dapat memberikan dampak yang baik dan buruk bagi kesehatan ibu.

Ibu post partum yang melaksanakan tatobi hanya memperoleh informasi tentang manfaat tatobi dari orangtua dan dukun yang merawatnya dengan keyakinan bahwa tatobi akan bermanfaat bagi kesehatannya. Orangtua dan dukun dianggap sebagai pihak yang dapat dipercaya baik dari aspek kedekatan maupun kemampuan merawat, walaupun tanpa adanya penjelasan yang bersifat ilmiah. Seperti yang dikatakan oleh Bidan klinik berikut ini :

Ibu-ibu dong yang disini kalo habis melahirkan pasti tatobi, padahal kita dari tenaga kesehatan dengan kader dong su jelaskan ulang-ulang kalo tatobi itu tidak baik untuk kesehatan ibu, hanya dong tetap tidak mau dengar. Dong lebih dengar orang tua kalo tidak dukun beranak pung omong.

Hal ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo bahwa seseorang menerima kepercayaan dari orangtua, kakek dan nenek berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu (Notoatmodjo, 2008).

Namun setelah ada revolusi KIA dan adanya penerangan yang diberikan oleh ketua kader saat

126 posyandu berlangsung, maka saat ini sebagian besar ibu sudah melakukan perawatan post partum didalam rumah besar, dalam artian sudah tidak didalam rumah bulat/ume kbubu. Mengenai hal ini seperti yang dikatakan oleh ketua kader yaitu ibu Lily Tasekeb :

Saya pernah naik ketemu satu ibu yang baru habis melahirkan di dusun 2 bawah sana yang tatobi deng panggang, padahal di posyandu saya sering kasih ingat untuk tidak boleh pake itu tatobi deng panggang lai. Itu saya sampe saya langsung siram buang itu api terus angkat buang itu arang di luar, itu air yang dong muat kasih panas ju saya angkat buang biar ko dong pung mata tabuka, kalo saya tidak main-main.Kita harus keras begitu supaya mereka ju takut ko tidak macam.

Menurut mantri yang bertugas di Desa Binaus, saat ini sesudah revolusi KIA dan intervensi dampak tatobi pada kesehatan ibu dan bayi di wilayah Desa Binaus saat ini sudah cukup bagus. Pada umumnya mereka yang mempunyai bayi dan balita rajin berkunjung di klinik maupun posyandu. Dan kalau sakit pada umumnya sudah mau berobat ke pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak di Desa Binaus sudah dirasa cukup, petugas kesehatan kerja sama dengan kader-kader yang bertugas di Desa Binaus untuk melihat kondisi kesehatan ibu dan anak.

127 Mengenai hal ini seperti yang dikatakan oleh seorang mantri yaitu Bapak Nong:

Semenjak diadakannya sosialisai dari PLAN dan CWS (Church World Services), dan juga kami dari tenaga kesehatan, para ibu dan anak sudah rajin memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada untuk berobat.

Fasilita kesehatan yang dimaksudkan adalah indikator-indikator data dasar puskesmas, indikator pelayanan rumah sakit, sarana pelayanan kesehatan swasta dan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan menerapkan berbagai pendekatan, termasuk di dalamnya dengan melibatkan potensi yang ada pada masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep pemberdayaan pengembangan masyarakat dimana tercermin dalam pengembangan sarana berbasis Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang meliputi : Desa siaga, sarana rumah sakit, klinik berobat, Puskesmas dan Posyandu (UKBM, 2011).

Dokumen terkait