• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Peraturan Daerah

BAB III KONSEP KETENTUAN SANKSI PIDANA PADA

A. Kedudukan Peraturan Daerah

Pemerintah Daerah yang merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan Pemerintahan Nasional memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga ini mengandung 3 (tiga) hal utama di dalamnya, yaitu80: 1. Pemberian tugas dan wewenang untuk menyelesaikan suatu kewenangan yang

sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah;

2. Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut;

3. Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan tersebut mengikutsertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tiga hal tersebutlah yang menyebabkan istilah desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sering diartikan sebagai sarana pelaksana otonomi daerah.

Menurut Hans Kelsen bahwa desentralisasi adalah salah satu bentuk dari organisasi negara dan desentralisasi berkaitan erat dengan pengertian negara

80

Setya Retnami, Makalah Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia, 2000), hlm. 1.

dimana negara menurut Hans Kelsen merupakan tatanan hukum (legal order).81 Desentralisasi menyangkut sistem tatanan hukum dalam suatu negara. Desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi dapat dijumpai pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal.82

Pembentukan daerah otonom secara simultan merupakan kelahiran status otonomi yang didasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat di wilayah tertentu. Aspirasi ini terwujud dengan diselenggarakannya desentralisasi yang disebut juga otonomisasi, karena otonomi diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau Pemerintah Daerah.83

Pratikno84 sependapat desentralisasi bukan merupakan pilihan yang mudah bagi Indonesia. Wilayah geografis yang sangat luas dan terurai dalam puluhan ribu pulau serta masyarakat yang sangat heterogen, desentralisasi memang sering kali menjadi dilema. Apresiasi terhadapa keberagaman menuntut desentralisasi yang pada gilirannya melahirkan otonomi daerah. Penghargaan ini bisa menghasilkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional. Negara Indonesia memulai perjalanannya dengan pilihan pemerintahan yang desentralistis.

81Hans Kelsen, General…..,

Op. Cit., hlm. 303. 82

Ibid., hlm. 306. 83

Bhenyamin Hoessin, Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2001), hlm. 4.

84

Pratikno, Desentralisasi Pilihan yang Tidak Pernah Final, dalam Abdul Ghafur Karim, dkk. (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fisipol UGM, 2003), hlm. 33-34.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, dalam penjelasannya dikenalkan juga istilah urusan yang sifatnya cocurent. Konsekuensi dari hal tersebut adalah daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintahan menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat dengan kata lain disebut otonomi luas.85

Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Daerah, hal ini mengakibatkan Peraturan Daerah semakin mempunyai kedudukan yang strategis dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Peraturan daerah merupakan salah satu keputusan penguasa yang berwenang yang sifatnya tertulis yang berbentuk peraturan. Suatu peraturan mengandung makna suatu keputusan yang dimaksudkan untuk berlaku lama dan merupakan suatu pokok kaidah (norma) untuk segala hal yang dapat dimasukkan dalam norma itu.86

Kata “daerah” dalam hal ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut

merupakan hasil pekerjaan pemerintah daerah dan legislatif daerah.

Peraturan daerah dapat diartikan sebagai suatu keputusan yang dimaksudkan untuk berlaku lama dan merupakan suatu pokok kaidah untuk segala hal yang dapat dimasukkan dalam norma itu, yang ditetapkan oleh kepala

85

Bagir Manan, Menyongsong Fajar……., Op. Cit., hlm. 37. 86

daerah dengan persetujuan DPRD yang bersangkutan dan berlaku untuk umum (algemeen bindende regels), baik yang memuat ancaman pidana maupun tidak dan harus memenuhi syarat-syarat formal tertentu untuk dapat mempunyai kekuatan mengikat.87

Suatu produk perundang-undangan agar secara formal berbentuk peraturan daerah harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu:

1. Tata cara pembentukannya harus memenuhi tata cara yang telah ditentukan. 2. Dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan.

3. Dituangkan sebagaimana semestinya, yaitu dalam bentuk dan menurut tata cara yang telah ditentukan.88

Peraturan Daerah dapat diartikan juga sebagai peraturan otonom (Autonome Satzung). Peraturan otonom ini merupakan peraturan-peraturan yang terletak dibawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan- ketentuan dalam undang-undang, yang bersumber dari kewenangan atribusi. Kewenangan atribusi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (atributie van wetgevings bevoegdheid) ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh groundwet (undang-undang dasar) atau wet (undang-undang) kepada suatu lembaga negara/pemerintahan.

87

Ibid., hlm. 21dan 22. 88

Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.89

Kewenangan pembentukan peraturan daerah ini merupakan suatu pemberian kewenangan (atribusian) untuk mengatur daerahnya, peraturan daerah juga merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur, sedangkan peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.

Sifat penyebutan tata urutan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut hirarkis, yang berarti bahwa peraturan yang derajat dan tingkatnya lebih tinggi menjadi dasar dan sumber peraturan yang derajat dan tingkatnya lebih rendah. Peraturan yang derajat dan tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dan menyimpang dari peraturan yang derajat dan tingkatnya lebih tinggi.