• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

B. KEJUJURAN 1 Arti Jujur

Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan

31

Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ. Memanfaatkan …, h. 13 32

Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), cet. ke-III, h. 273

seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi”.33 Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harfiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya. Sedangkan menurut Thaddeus B. Clark yang diterjemahkan oleh Sunarsi Sunario mendefinisikan kejujuran dengan arti “menaati peraturan- peraturan yakni persetujuan-persetujuan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur semua perhubungan kita dengan orang-orang lain”.34

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentunya sering melihat (bahkan juga ikut terlibat) dalam berbagai macam bentuk aktivitas interaksi sosial di masyarakat, yang justru kebanyakannya adalah wujud realisasi dari sikap tidak jujur dalam skala yang sangat bervariasi, seperti: Sering terjadi, orang tua bereaksi spontan saat melihat anaknya terjatuh dan berkata "Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, tidak sakit kok! Jangan nangis, yah!". Menurut saya, dalam hal ini secara tidak langsung anak diajarkan dan dilatih kemampuan untuk dapat "berbohong", menutup-nutupi perasaannya (sakit) hanya karena suatu kepentingan (supaya tidak menangis).

Selain itu banyak kejadian yang sering dilihat dan dialami seperti: Ketika seseorang bertamu dan ditanya: "Sudah makan, belum?", walaupun tawaran tuan rumah serius biasanya dengan cepat akan menjawab "Oh, sudah, baru saja makan", padahal sebenarnya belum makan. Dalam lingkungan usaha/dagang, kejujuran sering disebut-sebut sebagai modal yang penting untuk mendapatkan kepercayaan. Akan tetapi sangat kontroversial dan lucunya dalam setiap transaksi dagang itulah justru banyak sekali kebohongan yang terjadi. Sebuah contoh, penjual yang mengatakan bahwa dia menjual barang "tanpa untung" atau "bahkan rugi" hampir bisa diyakini bohong untuk menarik simpati pembeli. Banyak

33

Albert Hendra Wijaya, http://indonesia.siutao.com/tetesan/kejujuran.php, diakses pada tanggal 19 Januari 2010.

34

Thaddeus B. Clark, Apakah Kejujuran Itu?, diterjemahkan oleh: Sunarsi Sunario, (Jakarta: Jaya Sakti, 1961), h. 8

kejadian berkaitan dengan nilai-nilai kejujuran yang semakin hari semakin ditinggalkan, itu adalah bentuk dari ketimpangan yang terjadi pada diri karena tidak mampu mendayagunakan dan bahkan belum mampu menerapkan nilai-nilai spiritualitas yang baik.

2. Nilai-nilai Kejujuran

Mencari orang jujur saat ini semakin sulit. Yang banyak ditemui adalah orang yang memiliki kepribadian ganda yaitu kejujuran dan kemunafikan bercampur menjadi satu. Nilai-nilai kejujuran tidak lagi menjadi esensi dan pegangan hidup seseorang, tetapi telah menjadi alat untuk memperjuangkan berbagai kepentingan sempit. Dengan kata lain, kejujuran yang seharusnya menjadi nilai etis yang mewarnai hidup telah tereduksi sekedar menjadi pemanis bibir di dalam kehidupan masyarakat. Sementara prilaku dan tindakan yang dilakukan sebetulnya jauh dari nilai- nilai kejujuran. Kepribadian ganda (split personality) seperti ini telah melahirkan berbagai prilaku menyimpang dalam masyarakat seperti korupsi, asusila, kriminalitas, kecurangan dan berbagai prilaku lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

Jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa faktor yang menyebabkan kepribadian ganda atau sindrom verbalisme kejujuran ini menguat dalam masyarakat kita, yakni: Pertama, terjadinya pergeseran nilai akibat akulturasi yang berlebihan. Masuknya nilai-nilai modernitas dari luar melalui berbagai media telah merubah gaya hidup masyarakat kita menjadi masyarakat konsumtif, hedonis dan pragmatis. 35

Masyarakat yang konsumtif adalah masyarakat yang cenderung membelanjakan hartanya untuk kebutuhan konsumsi dan hidup mewah. Masyarakat yang hedonis cenderung kepada gaya hidup yang senang- senang dan hura-hura. Sementara kondisi pragmatis dalam masyarakat memperlihatkan gaya hidup yang serba menganggap mudah segala sesuatu (menggampangkan) dan ingin hidup enak dengan cara mudah. Semua gaya

35

Yusnidur Usman Musa, Sabtu 19 Januari 2008, http://pulapingkui.blogspot.com/ 2008/01/sindrom-verbalisme-kejujuran.html

hidup tersebut bisa disingkat dengan bahasa populer “gaya hidup matre”. Ketika sikap seseorang menjadi matre, maka segala cara akan dilakukan untuk memperoleh dan mempertahankan gaya hidup yang demikian, walaupun kondisi tidak mendukung di antarnya dengan melakukan korupsi, dan sebagainya. Gaya hidup matre sering menjadi pemicu lahirnya konflik sosial karena memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial (social jealousy) di dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang demikian, penghargaan sosial lebih ditentukan oleh kedudukan, jabatan dan kekayaan yang dimiliki seseorang, bukan pada nilai-nilai kejujuran.

Kedua, memudarnya peran agama dalam kehidupan masyarakat. Kini, agama cenderung menjadi identitas simbolik semata. Sementara pemahaman, kesadaran, dan pelaksanaan dari ajaran dan nilai-nilai agama itu sendiri menjadi tidak penting. Banyak orang melakukan shalat, mengeluarkan zakat, bahkan melakukan ibadah haji. Tetapi, semua ibadah tersebut hanya menjadi ritual dan simbol sosial yang tidak banyak berdampak pada prilaku sehari- hari yang menyebabkan rendahnya keshalehan seseorang.36

Banyak orang nampak alim dan bagus ibadahnya, tetapi mereka juga melakukan korupsi, manipulasi dan berbagai penyakit masyarakat lainnya. Pola dakwah para ulama, ustadz atau pemuka agama yang kurang inovatif memberi kontribusi pada terjadinya pendangkalan pemahanam agama umat Islam. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh malah melahirkan ketidakjujuran dan kemunafikan karena diterapkan secara simbolis dan diskriminatif.

“Ketiga, kegagalan institusi pendidikan dalam melakukan transformasi sosial. Harus diakui, lembaga pendidikan baik formal maupun informal telah gagal mentransformasikan nilai-nilai kejujuran kepada anak didiknya”.37 Budaya jujur jarang diajarkan secara sungguh- sungguh di sekolah, yang terjadi justru sejak dini para pelajar sudah

36

Yusnidur Usman Musa, Sabtu 19 Januari 2008, http://pulapingkui.blogspot.com/ 2008/01/sindrom-verbalisme-kejujuran.html

37

Yusnidur Usman Musa, Sabtu 19 Januari 2008, http://pulapingkui.blogspot.com/ 2008/01/sindrom-verbalisme-kejujuran.html

terbiasa dengan prilaku mencuri dan mencontek dalam ujian. Para guru juga sering melakukan hal yang sama, yakni memberi toleransi terhadap kondisi tersebut. Demikian halnya di perguruan tinggi, di mana kejujuran tidak lagi menjadi pegangan. Pendidikan telah menjadi sarana bersaing memperebutkan masa depan secara tidak sehat. Ketidakjujuran yang sudah diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan secara langsung maupun tidak langsung telah berkontribusi pada lahirnya sindrom verbalisme kejujuran di masyarakat kita.

“Keempat, hilangnya keteladhanan di dalam masyarakat. Semakin langkanya orang jujur di dalam masyarakat menyebabkan terjadinya krisis keteladanan”.38 Masyarakat menjadi tidak punya panutan untuk diikuti, yang menyebabkan kesadaran kolektif masyarakat untuk menggunakan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bersama menjadi lemah. Tidak adanya panutan membuat masyarakat mencari panutan dari luar, yang berdampak pada terjadinya krisis identitas dalam masyarakat. Para muda-mudi lebih suka menjadikan artis-artis Hollywood atau artis sinetron sebagai panutan gaya hidup. Sementara memperkenalkan Rasulullah dan para Sahabat sebagai panutan justru kurang diminati karena tokoh-tokoh masyarakat sendiri prilaku dan gaya hidupnya jauh dari teladhan Rasulullah dan para sahabat. Itulah salah satu dampak krisisnya keteladhanan yang diberikan oleh anggota keluarga sehingga berdampak luas terhadap tokoh yang dijadikan panutan dalam berperilaku sehari-hari.

Dokumen terkait