• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Instrumenter dalam Pembuatan Akta Notaris

B. Saksi Instrumenter Dalam Pembuatan Akta Notaris 1. Pengertian dan Dasar Hukum Saksi Instrumenter

2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Instrumenter dalam Pembuatan Akta Notaris

Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat alat bukti otentik dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat menjadi otentik (otentitas suatu

akta). Syarat-syarat suatu akta dapat dikatakan otentik diatur dalam Buku IV KUHPerdata, yaitu diatur dalam Pasal 1868. Dimana cara pembuatan atau

terjadinya akta otentik dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat umum (Notaris, Hakim, Juru Sita Pengadilan, pegawai KUA/Catatan Sipil), akta otentik sudah pasti merupakan pembuktian yang sempurna, harus dibacakan dihadapan para penghadap, saksi-saksi. Jika tidak dilakukan maka aktanya menjadi akta dibawah tangan.95

Akta otentik merupakan alat bukti yang paling kuat nilai pembuktiannya, bahkan dikatakan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna atau lengkap yang berarti mengikat dan harus diakui hakim sebagai kebenaran menurut hukum, kecuali terbukti sebaliknya, misal karena ada kepalsuan dalam akta otentik.

KUHPerdata mengatur tentang alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam suatu perkara adalah alat bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Walaupun masing-masing bentuk alat bukti pada prinsipnya diperlakukan sama secara hukum tapi alat bukti dengan tulisan memiliki banyak kelebihan dibandingkan alat bukti lainnya.

95.

Hanna Yustianna Yusuf, Pembacaan Akta Oleh Notaris Sebagai Syarat Otentisitas Akta , diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/T30771, pada tanggal 14 Mei 2015.

Keutamaan alat bukti tulisan akan meningkat kekuatan pembuktiannya apabila terpenuhinya syarat-syarat tertentu sebagai suatu tulisan otentik. Tulisan otentik ini kemudian disebut sebagai akta otentik.

Akta Notaris sebagai akta otentik memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu kekuatan lahiriah, formal dan materiil. Habib Adjie menguraikannya sebagai berikut:

a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah

Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat secara lahiriah sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai tebukti sebaliknya.

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah akta tersebut harus dilihat apa adanya. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti lainnya. Jika ada yang menilai berlainan, maka yang bersangkut wajib membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik, melalui gugatan ke pengadilan.

b. Kekuatan Pembuktian Formal

Akta Notaris memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang terdapat dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap saat akta dibuat sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka yang harus dibuktikan

adalah formalitas dari akta, yaitu ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan waktu menghadap, ketidakbenaran mereka yang menghadap, yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris.

Siapapun boleh melakukan penyangkalan terhadap aspek formal, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris, dengan suatu gugatan ke Pengadilan.

c. Kekuatan Pembuktian Materiil

Kepastian tentang materiil suatu akta sangat penting, apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menyatakan kebenaran yang sebenarnya dalam akta atau para pihak tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dalam akta atau para pihak tidak memberikan keterangan yang sebernarnya dihadapan Notaris.

Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta otentik tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahiriah, formal dan materiil serta tidak memenhi syarat otentisitas, maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta dibawah tangan.

Hukum pembuktian dalam perkara perdata, merupakan bagian dari hukum acara perdata. Hukum pembuktian ialah hukum yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti, dan kewenangan hakim untuk menerima atau menolak serta menilai hasil pembuktian.96

Dalam rangka proses perdata dalam keseluruhan, maka proses pembuktian merupakan satu bagian atau tahap daripada proses tersebut, karenanya tujuan serta prinsip-prinsip yang berlaku baginya juga berlaku bagi pembuktian.

Hukum pembuktian merupakan bagian dalam hukum acara perdata, yang diatur dalam: 97

a. Pasal 162-177 HIR; b. Pasal 282-314 RBg; c. Pasal 1865-1945 BW; d. Staatsbald 1867 Nomor : 29.

Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya atau kurang jelas (Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 UU No.14 Tahun 1970).

96.

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung:Penerbit P.T.

Alumni, 2004), hal.66-67.

97.

Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan

Apabila Hakim menjumpai kesulitan di dalam praktik maka harus mencari pemecahan masalah dengan doktrin/ajaran dan yurisprudensi.

Salah satu syarat dalam hukum pembuktian adalah dengan adanya alat bukti. Keterangan saksi merupakan satu dari beberapa alat bukti yang terdapat dalam hukum acara perdata. Pengaturan tentang pemeriksaan dan keterangan saksi ini terdapat dalam:

a. Pemeriksaan saksi: 1) Pasal 144-152 HIR 2) Pasal 171-179 RBg b. Keterangan saksi: 1) Pasal 168-172 HIR 2) Pasal 306-309 RBg 3) Pasal 1895-1902 s/d 1912 BW

Keterangan saksi hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh saksi dengan panca inderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan cara yang demikian. Keterangan saksi hanya gambaran dari apa-apa yang telah dilihat, didengar dan dialaminya keterangan-keterangan ini semata-mata bersifat obyektif.

Keterangan saksi atau suatu kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.

Mengenai keterangan yang harus diberikan oleh saksi dimuka persidangan adalah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri serta alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut. Dalam hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan pendapat tentang

kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian (Pasal 171 ayat (2) HIR/1907 BW). Jadi, pendapat atau perkiraan yang

diperoleh dengan jalan pikiran bukanlah suatu kesaksian.

Dalam hukum acara perdata, alat bukti saksi bukan merupakan alat bukti utama. Hal ini terlihat dari penyebutan alat bukti saksi pada urutan kedua. Berbeda dengan penyebutan alat bukti saksi dalam hukum acara pidana, yang dalam penyebutannya sebagai alat bukti pertama.

Alat bukti saksi mempunyai keterbatasan, karena saksi adalah manusia, sehingga keterbatasan sebagai manusia mewarnai alat bukti saksi atau kesaksian yaitu:

a. Manusia mudah lupa b. Ingatan manusia terbatas

c. Manusia suatu saat pasti meninggal, sehingga ada keterbatasan waktu. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan alat bukti saksi bukan alat bukti utama dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara pidana, merupakan alat bukti utama karena tidak ada seorang tersangka membuat surat atau meninggalkan alat bukti lain sesudah melakukan tindak pidana. Maka dari itu saksi yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri atau

kebetulan melihat, mendengar atau mengalami sendiri merupakan alat bukti utama dalam perkara pidana.

Keterangan seorang saksi tanpa adanya tambahan dari alat bukti lainnya, tidak lagi dapat dipercaya, demikian dapat diambil kesimpulan dari Pasal 169 HIR (Pasal 1905 KUHPerdata).98

Ketentuan Pasal 1905 KUHPerdata mengundang akan adanya tambahan alat bukti lain yang mendukung keterangan saksi. Dengan demikian apabila ada alat pembuktian lain, maka hakim dapat, terhadap keterangan satu orang saksi memberikan arti yang lengkap. Jadi apabila persangkaan dan atau sumpah tambahan dianggap alat pembuktian, maka keteranngan satu saksi ditambah dengan persangkaan ataupun sumpah tambahan, sudah memberi arti yang cukup dalam kekuatan pembuktian keterangan satu saksi bagi hakim.

Hakim dalam melihat alat pembuktian saksi, berdasarkan Pasal 1908 KUHPerdata (Pasal 172 HIR) diharuskan memperhatikan

kesamaan/persesuaian antara keterangan para saksi; persesuaian antara keterangan-keterangan dengan apa yang diketahui dengan segi lain tentang perkara; sebab-sebab yang mendorong para saksi mengemukakan keterangannya, pada cara hidupnya, kesusilaannya, kedudukan para saksi, dan segala apa yang berhubungan dengan keterangan yang dikemukakan.

Dalam beberapa hal keterangan saksi tidak diperkenankan melainkan harus dipakai alat bukti surat, misalnya:

98.

a. Dalam hal membuktikan adanya pemisahan harta perkawinan (Pasal 150 BW jo Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan);

b. Dalam hal membuktikan, telah didirikan suatu firma (Pasal 22 Wvk) atau Perseroan Terbatas (Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1995);

Keduanya dibuktikan dengan Akta Notaris;

c. Dalam hal membuktikan adanya perjanjian asuransi, harus dibuktikan dengan polis (258 Wvk);

d. Untuk membuktikan adanya perjanjian perdamaian harus ada akta otentik atau akta di bawah tangan (Pasal 185 ayat (2) BW).99

Pada dasarnya, setiap perkara dapat dibuktikan dengan saksi tetapi ada beberapa hal yang tidak memperbolehkan hal itu, karena ini menentukan.

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata, sebab di dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata (hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan “preponderance of evidence”

sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).

99.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992), hal.170.

Masalah pembuktian adalah yang sangat penting dan utama, sebagaimana menurut Pasal 6 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Untuk keterangan saksi supaya dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 100

a. Syarat formil

Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi memberikan keterangan dibawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh dipergunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah dan lainnya.

100.

Hanna Yustianna Yusuf, Pembacaan Akta Oleh Notaris Sebagai Syarat Otentisitas

Akta , diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/T30771, pada tanggal 14 Mei 2015.

b. Syarat Materil

Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unnus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat meteril, akan tetapi keterangan seorang dan satu orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.

Untuk suatu penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 185 KUHAP, bahwa:

a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (testimony).

b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

e. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

1) Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain; 2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tetrtentu;

4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Demikian pula saksi yang telah memberikan keterangan palsu di persidangan, sebagaimana menurut Pasal 174 KUHAP, yaitu: 101

a. Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. b. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena

jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan palsu.

c. Dalam hal demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntu umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.

101.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung:Penerbit CV.Mandar Maju, 2003), hal.22-23.

d. Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

Dalam setiap verlidjen (pembacaan dan penandatanganan) akta Notaris, Notaris wajib menghadirkan 2 (dua) orang saksi akta. Dengan kehadiran saksi akta, mereka dapat memberikan kesaksian bahwa

formalitas-formalitas dalam pembuatan akta yang ditentukan oleh Undang-Undang telah dipenuhi. Begitu pentingnya saksi akta Notaris, sehingga

apabila keberadaan saksi akta ini tidak terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, akta

tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

Kewenangan penyidik untuk memanggil saksi akta Notaris ini berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP, bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atu saksi.102

Dari kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang dikonstantir itu dan penandatanganan dari akta itu. Dalam hal itu, para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu dan juga bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya. Para saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.

102.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung:Penerbit CV.Mandar Maju, 2003),hlm.35-36.

Kekuatan pembuktian keterangan saksi instrumenter terlihat pada saat persidangan. Suatu akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik sesuai dengan Pasal 1870 jo 1871 KUHPerdata, maksudnya ketika akta tersebut telah diresmikan dan ditandatangani oleh peghadap serta disaksikan oleh Notaris dan saksi-saksi, maka akta tersebut merupakan alat bukti yang cukup kuat sehingga tidak diperlukan lagi alat bukti lainnya.

Saksi akta atau sering disebut saksi instrumenter, ketika dipanggil dalam persidangan untuk dimintai keterangannya bukan lagi sebagai saksi dalam akta yang hanya melihat formalitas-formalitas peresmian akta, melainkan telah menjadi saksi secara umum yang dapat dimintakan keterangannya tentang kasus atau sengketa yang melibatkan akta yang dibuat oleh Notaris. Hal ini dapat terlihat dalam Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang mengatur tentang pembuktian mengenai keterangan saksi. Saksi yang dihadirkan pada persidangan terkait dengan akta Notaris yang menjadi sengketa adalah saksi akta yang merupakan karyawan atau pegawai dari Notaris tersebut. Saksi yang berasal dari karyawan notaris yang dihadirkan dalam persidangan tersebut, memberikan kesaksian sebatas tanggung jawabnya dalam melaksanakan kewajibannya yakni dalam melaksanakan perintah atau tugas yang diberikan oleh notaris. Dari sifat kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang

dikonstantir itu dan penandatanganan dalam akta itu. Dalam hal itu, para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu, dan bagi mereka

tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya. Para saksi (termasuk saksi sebagai karyawan notaris) tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa berkaitan dengan isi akta notaris adalah tetap menjadi tanggung jawab notaris apabila dipermasalahkan di persidangan perkara yang berkaitan dengan akta notaris, karena notaris yang berkomunikasi langsung kepada penghadap, sehingga karyawan notaris tidak bisa dimintakan pertanggung jawabannya apabila dijadikan saksi di persidangan perkara yang berkaitan dengan suatu isi akta notaris tersebut, karena tanggung jawab karyawan notaris hanya sebatas

mempersiapkan akta yang dipertanggungjawabkannya kepada notaris. Hal tersebut berbeda apabila karyawan notaris memberikan kesaksian di

persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi instrumentair, maka karyawan notaris bertanggung jawab secara pribadi atau sendiri terhadap apa yang telah disaksikannya yaitu berkaitan dengan apakah notaris telah memenuhi formalitas – formalitas peresmian akta / verlijden seperti yang diperintahkan oleh Undang – Undang Jabatan Notaris.103

103.

Rosmala Dewi, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Instrumenter Dalam Akta

Notaris, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/T31529, pada tanggal 23 Maret 2015

Dengan kata lain, saksi yang berasal dari karyawan notaris dalam memberikan kesaksiannya di persidangan perkara yang berkaitan dengan akta notaris tersebut sebatas tanggung jawabnya yang dilakukan sesuai tugas yang diberikan oleh notaris. Jadi sebatas formalitas - formalitas peresmian akta dan sebatas apa yang diperintahkan atau ditugaskan oleh notaris dalam mempersiapkan akta. Seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu yang berkenaan dengan pengetikan dalam penyusunan akta, pencocokan identitas dan surat – surat serta hadir dalam peresmian akta, mendengarkan pembacaan akta dan ikut menandatangani akta sebagai saksi (verlijden).

Dokumen terkait