• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemaksuman Nabi Muhammad Saw

DISKURSUS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW. A.Pengertian Maksum

B. Kemaksuman Nabi Muhammad Saw

Sebagai penyempurna nikmat-Nya, Allah Swt. menjaga Nabi Muhammad Saw. dari masa kecilnya dari perbuatan-perbuatan jahiliyah hingga masa mudanya dan sampai diangkatnya menjadi seorang Nabi serta diberikan mandat risalah kepadanya. Nabi Muhammad Saw. memiliki sifat-sifat yang agung seperti; berbudi luhur, bermurah hati, jujur, amanah, berprasangka dan bertetangga baik,

21

dan dijauhkan dari perbuatan keji dan akhlak yang kotor22 bahkan tidak terbesit sedikitpun didalam hati dan pikiran seorang Nabi untuk berbuat dosa dan kesalahan.23 Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. benar-benar manusia pilihan yang dipersiapkan untuk menjadi teladan.

Maksum dikategorikan ke dalam dua bagian24: 1. Maksum Dalam Penyampaian Risalah

Para Rasul terjaga dalam mengemban risalah, mereka tidak lupa apa yang telah diwahyukan oleh Allah Swt., dengan demikian, tidak ada wahyu yang hilang sedikitpun kecuali hal yang dikehendaki oleh Allah Swt.25 Sebagaimana firman Allah Swt.:



26



(6). Kami akan membacakan (al-Qur‟an) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa (7). Kecuali kalau Allah Swt. menghendaki, sesungguhnya Dia (Allah) mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.

Begitupun para Rasul maksum dalam menyampaikan wahyu, mereka tidak sedikitpun menyembunyikan ataupun menambahi, mengurangi, dan tanpa diubah dan diganti apa yang diwahyukan oleh Allah Swt., karena sifat menyampaikan merupakan perkara wajib, dan menyembunyikan merupakan perbuatan khianat.27 Mereka tetap menyampaikan segala berita yang diterima dari Allah Swt.

22

Mu ammad ʻAlī al- būnī, al-Nubuwah wa al-Anbiy (Beirūt: Maktabah al-Ghaz lī, 1975), J. 3, 56-57.

23Jaʻfar al-Sub nī, ʻIṣmat al-Anbiy fī al-Qur‟ n al-Karīm (Beirūt: D r al-Wal , 2004), Cet. 2, 8.

24Jaʻfar al-Sub nī, ʻIṣmat al-Anbiy fī al-Qur‟ n al-Karīm (Beirūt: D r al-Wal , 2004), Cet. 2, 44.

25

Al-Syarbinī, Radd Syubuh t awla Iṣmat al-Nabī fī Ḍaw al-Kit b wal-Sunnah (al-Q hirah: D r al- a īfah, 2003), 68-69.

26 Al-Aʻlá [87]: 6-7.

27ʻUmar Sulaym n al-Asyqar, Rasul Dan Risalah Menurut al-Qur‟an Dan Hadis. Penerjemah Munir F. Ridwan (Riyaḍ: D r al-ʻIlmīyah, 2008), 137.

sekalipun menghadapi kedzaliman dan kekejaman manusia.28

Dengan demikian, terjamin kebenaran para Rasul dalam menyampaikan wahyu. Sebab jika tidak, tentu akan banyak mengalami kekeliruan dan kesalahan baik dari ucapan maupun perbuatan, jika mereka berbuat maksiat tentu tidak patut untuk diteladani dan sudah dipastikan bahwa mereka bertentangan dengan misi

al-Qur’an sehingga merusak risalah yang mereka emban. Ini mustahil terjadi pada para utusan Allah Swt., karena mereka adalah manusia pilihan (terbaik).29

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah al-Jin ayat 26-28;

26. (Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia (Allah Swt.) tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.

27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia (Allah Swt.) mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

28. Supaya dia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu satu persatu.

Dapat dipahami dari ayat di atas bahwa Allah Swt. melalui para utusan-Nya dengan memberikan wahyu serta mengawasi dan menjaga mereka melalui para malaikat. Diketahui bahwa pengawasan dan penjagaan baik di muka dan dibelakangnya dengan tujuan menjaga wahyu dari setiap campuran, perubahan, penambahan, dan pengurangan yang dilakukan oleh setan-setan atau lewat perantara setan-setan. Ayat di atas menunjukkan bahwa wahyu terjaga dari

28

Abdul Hadi Awang, Beriman kepada Rasul (Selangor: PTS Islamika, 2007), 105-106. 29

Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 64.

kebocoran yang sampai kepada manusia, dan terjaga saat proses diturunkannya wahyu kepada para Rasul.30

Kemudian berita yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. itu berdasarkan wahyu, tidak berdasarkan hawa nafsu. Oleh karenanya, kemaksuman Nabi Muhammad Saw. dapat dipertanggungjawabkan karena berdasarkan bimbingan dan petunjuk-petunjuk dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:



31



(3). Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur‟an) menurut kemauan hawa

nafsunya.(4). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Ayat di atas menjelaskan bahwa apa yang diucapkan dan yang disampaikan oleh Nabi Saw. di dalam al-Qur’an itu tidak bersumber dari hawa

nafsu. Akan tetapi, sesuai dengan yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Saw.32 Ketahui bahwa Allah Swt. menjaga Nabi Saw. dari ucapan yang bersumber dari hawa nafsu. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Swt. menjaga perilaku dan pengambilan keputusan Nabi Saw. dari hawa nafsu. Oleh karena itu, di dalam sifat Nabi Saw. penuh dengan keagungan, sekalipun Nabi Saw. bergurau namun tidak mengucapkan kecuali yang hak.33

Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. tentu menyangkut kiprahnya sebagai seorang Rasul dan tujuan utama diutusnya untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran. Tentu,

30

Mu ammas usayn al- ab ab ī, al-Mīz n fī Tafsīr al-Qur‟ n (Beirūt: al-Mu assasah al-Aʻlamī lil-Mabūʻ t, 1997), J. 20, 59.

31

Al-Najm [53]: 3-4.

32

Abī Jaʻfar Mu ammad b. al- asan al- ūsī, al-Tiby n fī Tafsīr al-Qur n (Beirūt: D r I y al-Tur ts al-ʻArabī, tt), J. 9, 421.

33

tanpa kemaksuman segala apa yang menjadi tanggung jawabnya akan hancur bila pembawaannya bergantung pada hawa nafsu dan ketidakterjagaan akhlaknya. Jika Nabi Muhammad Saw. berbuat kesalahan atau tidak konsisten dengan ajaran ilahi maka dampak itu akan berpengaruh pada dakwahnya. Akibatnya, tidak akan berhasil secara sempurna tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, Allah Swt. menegaskan dan menguatkan Nabi Muhammad Saw. dan Nabi-nabi lainnya dengan mukjizat, serta membekali mereka iṣhmah (maksum) sehingga dalam menjalankan tugas berat menyampaikan risalah, tidak terdapat kelalaian, kelupaan, dan kegentaran. Karena apabila mereka tidak maksum dalam menghadapi sifat-sifat tersebut maka manusia tidak akan bersandar dan menerima mereka dan akan memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam menyampaikan pesan Tuhan. Natijahnya adalah timbul kontra dengan maksud dan tujuan diutusnya para Nabi.34

Enam sifat wajib yang dimiliki para Rasul, sehingga pantas untuk mengemban risalah Ilahi.35

1. iddīq

Kejujuran ini tidak rusak dalam segala kondisi. Apabila sifat ini rusak sedikit saja, maka risalah yang dibawa pun ikut rusak pula karena manusia tidak akan percaya kepada Rasul yang tidak jujur. Jadi, seorang rasul tidak sedikitpun dalam ucapannya mengandung kebatilan dalam situasi dan kondisi apapun. Nabi Muhammad Saw. sebelum kenabiannya sudah terkenal dengan kejujuran,

34

Abduh al-Baraq, Bukan Dosa Ternyata Dosa (Yogyakarta: Pustaka Grhatama, 2010), 12. Lihat juga artikel yang diakses pada 18 juni 2015 dari http://www.alhassanain.com /indonesian/articles/articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/kesucian_para _nabi/001.html

35

Said Hawa, al-Rasul Saw., penerjemah ʻAbd al-Hayyī al-Katt nī dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 28-29.

kepercayaan dan memiliki kedudukan yang terhormat di kalangan suku Quraisy.

2. Am nah

Komitmen dengan apa yang Rasul sampaikan, sebagai wakil Allah Swt. Seorang Rasul mempunyai hubungan langsung dengan Allah Swt., tentu mengerti benar akan keagungan Allah Swt. dan tidak mungkin berkhianat kepada-Nya karena seorang yang berkhianat tidak pantas untuk mengemban risalah Ilahi.

3. Tablīgh

Seorang Rasul menyampaikan kandungan risalah dan dakwahnya secara istiqomah, tidak peduli dengan resiko yang dihadapinya, seperti kebencian, siksaan, kejahatan, tipu daya, dan sikap kasar manusia yang menghalangi jalan dakwahnya. Tidak ada yang menyampaikan risalah Ilahi kecuali orang yang cintanya kepada Allah Swt. melebihi segalanya. Karena hanya Allah yang Maha Agung di sisinya dan hanya ridha-Nya yang dituju.

4. Faṭanah

Seorang Rasul harus seorang yang cerdas, pikiran yang sempurna dan lurus, paling bijaksana, dan paling sempurna pengetahuannya, jelas dan tegas argumentasinya sehingga mampu meyakinkan orang lain akan kebenaran yang ia bawa, dan keberedaannya bisa menjadi bukti kebenaran risalah yang ia sampaikan.

5. Al-Sal mat min al- Uyūb al-Munfirah

Keistimewaan yang Allah Swt. berikan kepada para utusan-Nya. Mereka tidak cacat mental dan jasmani yang menyebabkan kaumnya berkumpul dan mengikuti ajakan dakwahnya. Misalnya, penyakit kusta atau penyakit-penyakit

yang menjijikan hingga menyebabkan kaumnya lari darinya. Semua itu tidak mungkin terjadi pada seorang Rasul. Adapun kisah yang menyatakan bahwa Nabi

Ayyūb as. tertimpa penyakit amat parah sehingga sekujur tubuhnya membusuk, keluar ulat yang bertebaran dan istrinya pun membenci dan menjauhinya. Kisah ini tidak benar dan penuh dengan kebohongan yang bersumber dari kisah Isr īliy t. Hal ini tentu bertentangan dengan sifat-sifat kenabian, karena para Nabi maksum dari penyakit-penyakit yang menjijikan.36

6. Al- Iṣmah37

Al- Iṣmah menjadi pembahasan khusus dalam penelitian skripsi ini.

Keenam sifat di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan salah satunya, karena sifat-sifat tersebut melekat dalam jiwa seorang Rasul sehingga apa yang disampaikan oleh seorang Rasul mampu memberikan bukti kebenaran risalah Ilahi dan dapat diterima oleh umat manusia.

2. Maksum dari Perbuatan Maksiat dan Dosa

Kepedulian Allah Swt. dalam memelihara Nabi Muhammad Saw. menjaga hati dan aqidahnya dari kekufuran, syirik, sesat, kelalaian, keraguan, dan menjaganya dari pengaruh setan karena Nabi Muhammad Saw. adalah sebaik-baiknya manusia.38 Kemudian Allah Swt. menjaga para Nabi dalam menyampaikan agama dan tauhidnya, ini menunjukkan bahwa kemaksuman Nabi Muhammad Saw. meliputi pemahaman dan akidahnya. Hal ini tidak ada

36

Mu ammad ʻAlī al- būnī, al-Nubuwwah wal-Anbiy (Beirūt: Maktabat al-Ghaz lī, 1975), J. 3, 50. Lihat juga Mu ammad Sayyid an wī, al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur‟ n al-Karīm

(1988), Cet. 2, J. 23, 217. 37

Mu ammad ʻAlī al- būnī, al-Nubuwwah wal-Anbiy (Beirūt: Maktabat al-Ghaz lī, 1975), J. 3, 50-51.

38Al-Syarbinī, Radd Syubuh t awla Iṣmat al-Nabī fī Ḍaw al-Kit b wal-Sunah (al-Q hirah: D r al- a īfah, 2003), 68.

perbedaan pendapat baik sebelum dan sesudah kenabian.39

Adapaun salah satu tujuan dari diutusnya para Rasul adalah untuk memberi petunjuk dan membimbing manusia ke jalan yang lurus, serta mensucikan jiwa manusia sehingga dapat mengenal dan kembali kepada Tuhannya yang Maha Kuasa,40 sebagaimana Allah Swt. telah berfirman perihal doa Nabi Ibr hīm as.:

41



“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur‟an) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha

BijaksanaṬ”

Penyucian yang dimaksud adalah mensucikan hati dari kehinaan, mengangkat derajat dan menanamkan kebaikan kepada manusia. Ini merupakan tujuan utama diutusnya para Nabi dan Rasul dan diturunkannya kitab-kitab Allah Swt. untuk mengajak manusia kepada petunjuk ilahi. Melakukan perbuatan maksiat dan ingkar, perbuatan ini justru menghilangkan nilai dan moral serta merusak kepercayaan jiwa dan ketaatan kepada Tuhan. Perbuatan ini tidak mungkin dan mustahil dilakukan oleh seorang utusan Allah Swt. baik dalam situasi ramai, sepi dan terang-terangan.42

39 Al-Syarbinī, Radd Syubuh t awla Iṣmat al-Nabī fī Ḍaw al-Kit b wal-Sunah (al-Q hirah: D r al- a īfah, 2003), 68.

40

Mu ammad ʻAlī al- būnī, al-Nubuwwah wal-Anbiy (Beirūt: Maktabat al-Ghaz lī, 1975), J. 3, 26. Lihat juga Jaʻfar al-Sub nī, ʻIṣmat al-Anbiy fī al-Qur‟ n al-Karīm (Beirūt: D r al-Wal , 2004), Cet. 2, 53.

41 Al-Baqarah [02]: 129. Lihat juga li ʻImr n [03]: 164.

42Jaʻfar al-Sub nī, ʻIṣmat al-Anbiy fī al-Qur‟ n al-Karīm (Beirūt: D r al-Wal , 2004), Cet. 2, 54-55.

Menurut al- illī (w. 726 H.) bahwa kemaksuman para Rasul dari dosa merupakan perkara yang wajib, dengan beberapa alasan43:

1. Tujuan diutusnya para Rasul akan terwujud hanya dengan kemaksuman. Jika mereka tidak terjaga dari perbuatan maksiat, tentu orang-orang yang mereka seru tidak akan mendengarkan dan menerima seruannya karena mereka sendiri berbuat dusta dan maksiat, dan ini merusak tujuan risalah. 2. Taat kepada para Rasul hukumnya wajib. Jika mereka berbuat maksiat,

tentu kaumnya wajib mengikuti perbuatan maksiat serupa, dan ini menjadi batal tujuan pengutusan mereka.

3. Jika seorang Rasul melakukan perbuatan maksiat, maka mereka bertentangan dalam menjalankan perintah Allah Swt. semua ini tentu mustahil terjadi pada mereka.

Oleh sebab itu, kemaksuman merupakan suatu hal yang mesti bagi seorang Rasul sehingga lahir kepercayaan kepadanya dan dengan kepercayaan ini tujuan dapat tercapai yakni memberi petunjuk kepada umat. Maka para Rasul maksum dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Artinya Allah Swt. memilih dan mengutus seorang Rasul yang maksum dari segala jenis dosa, kelalaian dan kealpaan. Apabila tidak demikian, maka hal ini akan bertentangan dengan hikmah kenabian, pewahyuan kitab dan pengutusan para Rasul. Hikmah pengutusan para Rasul adalah untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. Dan hal ini akan dapat tercapai tatkala para pembawa pesan Ilahi terjaga dan maksum dari kesalahan, kelalaian dan kealpaan dalam menerima dan menyampaikan wahyu.

43

Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 67.

31