• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian

Saat ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber dayanya maupun akibat bencana alam. Akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada juga sering menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor.

Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik. Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu.

Setiap kabupaten/kota pasti memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan yang berbeda satu sama lain dalam mengelola wilayah pesisirnya. Namun sayangnya kebijakan yang dibuat juga masih bersifat sektoral, dimana masing-masing instansi/dinas membuat aturan hukum hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Kebijakan yang dibuat seringkali dilakukan tanpa ada koordinasi maupun melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Akibatnya antara pemerintah, masyarakat maupun stakeholder lainnya berjalan sendiri-sendiri dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan serta manfaat tersebut diperlukan teori-teori yang mendukung antara lain teori tentang partisipasi masyarakat dan teori mengenai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Selain itu juga digunakan metodologi deskriptif menggunakan data primer dan sekunder dan pada akhirnya diperoleh kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Adapun kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Evaluasi

Permasalahan wilayah pesisir: lingkungan, sosial, ego sektoral

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan berkelanjutan

Penataan ruang wilayah pesisir

Fisik (lingkungan) Non fisik (sosial)

Partisipasi Daya dukung

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Wilayah Pesisir

Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun ada beberapa definisi berdasarkan keterangan dari ahli terkait. Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam dan kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring antara daratan dan lautan serta merupakan pemusatan terbesar penduduk. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Pengertian pesisir menurut Bappenas (1999) dalam Dahuri (2005), wilayah atau kawasan pesisir atau pantai adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat yang meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti air laut. Ke arah laut mencakup bagian perairan sampai batas terluar dari paparan benua, dimana ciri-ciri perairan tersebut masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, serta proses-proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat maupun di laut. Misalnya, penggundulan hutan, pencemaran industri, domestik, limbah tambak, penangkapan ikan, dan lain-lain.

Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kabupaten atau kota yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh dua belas mil dari garis pantai untuk provinsi atau sepertiga dari dua belas mil untuk kabupaten/kota. Dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir 2001).

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir ada yang terus menerus tergenangi dan ada pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir adalah terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass beds), hutan mangrove, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001).

Menurut Dahuri (2005), untuk tujuan perencanaan secara praktis, wilayah pesisir dan laut merupakan kawasan khusus, memiliki karakteristik unik dengan

batas-batas kawasan yang sering ditentukan berdasarkan permasalahan- permasalahan spesifik yang perlu ditangani. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian wilayah. Penataan ruang merupakan solusi yang tepat dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir.

2.2 Penataan Ruang

Perencanaan tata ruang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR), yang menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dapat dibedakan menurut batasan fungsi kawasan dan batasan administratif. Pengertian ruang dalam hal ini mencakup ruang darat, laut, dan udara. Secara hirarkis, Rencana Tata Ruang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).

Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi- fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna lahan, tataguna air, tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya.

Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebaran yang berbeda- beda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya : (1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktifitas; (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan; dan (3) Keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Dahuri (2005), peranan tata ruang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya serta dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Lebih jauh Dahuri (2005) menyatakan dalam penataan ruang hendaknya memperhatikan 5 pendekatan, yaitu : (1) Penataan ruang yang partisipatif; (2) Sinergis dengan dunia usaha; (3) Selaras dengan lingkungan; (4) Pertumbuhan ekonomi dan (5) Peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ada dua hal pokok yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang wilayah untuk pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut, yaitu: pertama, berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua berkaitan dengan daya dukung lingkungan.

2.3 Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya dukung kawasan, sehingga dalam sutu wilayah dapat ditentukan kawasan yang mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungi lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan evaluasi sumberdaya lahan, dimana satuan lahan yang memiliki hambatan tinggi akan sesuai untuk menjadi kawasan lindung dan sebaliknya dapat menjadi kawasan budidaya (Rustiadi et al. 2011).

Dardak (2005) menyatakan bahwa perhatian terhadap daya dukung lingkungan merupakan kunci bagi perwujudan ruang hidup yang nyaman dan berkelanjutan. Perhatian terhadap daya dukung lahan seyogyanya tidak terbatas pada lokasi dimana sebuah kegiatan berlangsung, namun harus mencakup wilayah yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian, keseimbangan ekologis yang terwujud juga tidak bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan dalam satu ekosistem.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009) telah menyusun pedoman perhitungan daya dukung lingkungan, yang dimaksudkan untuk menunjang penataan ruang. Perhitungan daya dukung lingkungan tersebut didasarkan pada kebutuhan manusia terhadap dua faktor alam yang paling mendasar, yaitu lahan dan air. Dengan berpedoman pada perhitungan tersebut, maka dapat diprediksi daya dukung suatu kawasan sehingga penetapan fungsinya secara berkelanjutan dapat dilakukan secara lebih mendasar dan terarah dalam menunjang penataan ruang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah harus menyusun rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah daerah kabupaten harus menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW kabupaten), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Dalam penataan ruang, tidak adanya informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan, membuka kemungkinan terjadinya penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan. Kerusakan lingkungan hidup pada akhirnya akan membawa kerugian sosial ekonomi yang sangat besar bagi penduduk yang bermukim di wilayah itu khususnya, dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar penataan ruang sesuai dengan daya dukungnya, perlu melibatkan masyarakat dimulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan hingga pengendaliannya.

2.4 Partisipasi Masyarakat

2.4.1 Definisi Partisipasi

Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988) partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, disebutkan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.

Khadiyanto (2007) dalam Chusnah (2008) merumuskan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan/pelibatan masyarakat dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan serta mampu untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanaan program

Mitchell et al. (2010) menyatakan banyak alasan yang dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan lebih efektif; (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian sehingga memudahkan penerapan.

Partisipasi berfungsi sebagai kemitraan dalam pengelolaan wilayah. Partisipasi yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir mutlak diperlukan. Partisipasi masyarakat dapat tercipta apabila ada rasa saling percaya dan saling pengertian antara semua pihak. 2.4.2 Bentuk Partisipasi

Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988), bentuk-bentuk partisipasi meliputi: (1) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa; (2) sumbangan spontan berupa uang dan barang; (3) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari pihak ketiga; (4) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat; (5) sumbangan dalam bentuk kerja; (6) aksi massa; (7) mengadakan pembangunan dikalangan keluarga; dan (8) membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom. Adapun jenis-jenis partisipasinya meliputi: (1) pikiran; (2) tenaga; (3) pikiran dan tenaga; (4) keahlian; (5) barang; dan (6) uang.

Dalam kegiatan penataan ruang bentuk peran masyarakat dilakukan pada 3 tahap sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, yaitu meliputi :

1) tahap perencanaan tata ruang, berupa : (a) masukan mengenai persiapan penyusunan rencana tata ruang; penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau penetapan rencana

Degrees of Citizen Power Degrees of Tokenism Non participation Delegated Patnership Placation Consultation Informing Therapy Manipulation Citizen Control 8 7 6 5 4 3 2 1

tata ruang, (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

2) tahap pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; (c) kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (d) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (e) kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan (f) kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) tahap pengendalian pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan terkait arahan

dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; (b) keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (c) pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan (d) pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

2.4.3 Tingkat Partisipasi

Arnstein (1969) mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency), partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen participation is citizen power). Arnstein (1969) menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan (Gambar 2).

Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969) yaitu : 1. Manipulasi (manipulation)

Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).

2. Terapi (therapy)

Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.

3. Informasi (information)

Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back).

4. Konsultasi (consultation)

Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.

5. Penentraman (placation)

Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.

6. Kemitraan (partnership)

Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasi dan melakukan kesepakatan.

7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power)

Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.

8. Pengendalian masyarakat (citizen control)

Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.

Dari kedelapan tangga tersebut, Arnstein mengelompokkannya lagi menjadi 3 tingkat, yaitu:

a) Tingkat tanpa partisipasi (Nonparticipation)

Tingkat nonpartisipasi adalah tingkat partisipasi yang bukan dalam arti sesungguhnya. Tingkat ini terdiri dari jenjang terbawah dari tangga tersebut yaitu tingkat pertama (manipulation) dan tingkat kedua (Therapy).

b) Tingkat Tokenism (Degree of tokenism)

Tingkat Tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Tingkat Tokenism terdiri tiga jenjang yaitu tingkat ketiga (informing), tingkat keempat (consultation) dan tingkat kelima (placation). Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.

c) Tingkat Kekuasaan Masyarakat (Degree of Citizen Power)

Tingkat kekuasaan masyarakat yaitu tingkat dimana masyarakat telah memiliki kekuasaan, yang terdiri dari tingkat keenam (partnership), tingkat ketujuh (delegated power) dan tingkat kedelapan (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir sangatlah penting. Apabila dilihat karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, maka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sudah seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat lokal. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, keterbukaan dan peran serta masyarakat merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu

Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Darajati 2004). Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya pada umumnya, pada pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang mengelola adalah semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir tidak melihat wilayah pesisir sebagai target, yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir dilaksanakan dengan tujuan:

a. melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;

b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil;

c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan

d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Kay dan Alder 1999). Dahuri et al. (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Subandono et al. (2009) menyatakan bahwa konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang terpecah-pecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan, kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya, serta kurangnya informasi dan sumberdaya.

Menurut Dahuri (2005), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Keterpaduan pengelolaan