• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.12

Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan masalah keadilan.

12

25

Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain menurut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Oleh karena itu, sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang azas proporsionalitas dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan berkontrak. 13

Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya.14

Sehubungan dengan hakekat keadilan dalam kontrak , beberapa sarjana mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, antara lain John Locke, Rosseau, Immanuael Kant, serta John Rawls. Para pemikir tersebut menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya kontrak orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini memungkinkan terjadinya transaksi diantara mereka. 15

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pacaran dari hak asasi manusia yang perberkembangannya dilandasi oleh

13

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionallitas Dalam Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta, 2010, hal 47

14

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Ketakan XXX, Pradya Paramita, Jakarta, 2004, hal 11

15

26

semangat liberalisme yang mengagungkan kekebasan individu.16 Menurut paham

indivudualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki yang di dalam perjanjian diwujudkan di dalam asas kebebasan berkontrak.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, dan oleh karena itu kerangka teori yang diarahkan secara khas oleh ilmu hukum, dimana penelitian ini berusaha untuk memahami ketentuan yang mengatur serta masalah yang timbul dari perjanjian jual beli kapal asing yang dilakukan di Batam.

Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing di Batam. Dalam hal ini teori yang digunakan adalah Teori Keadilan, hal ini dipergunakan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli kapal yang dalam prosesnya dibebankan kewajiban-kewajiban bagi para pihak.

Asas yang dianut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dalam membuat suatu perjanjian, yaitu:

a. Asas Konsensualisme yaitu bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian itu bersifat formil. Ini berarti bahwa perjanjian itu telah dianggap ada dan mempunyai akibat hukum yang mengikat sejak tercapainya kata sepakat.

b. Asas Kekuatan Mengikat (asas Pacta Sunt Servanda) merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan keterikatan suatu perjanjian oleh para

16

27

pihak. Jadi, setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat bagi mereka yang membuatnya.

c. Asas Kebebasan Berkontrak (Partij Autonomie) Asas ini mengandung beberapa unsur, yaitu:

1. seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, 2. seseorang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun juga,

3. isi, syarat, dan luasnya perjanjian bebas ditentukan sendiri oleh para pihak.

Asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Pasal 1338 alinea ke satu KUHPerdata para pihak yang sepakat melakukan perjanjian dianggap mempunyai kedudukan yang seimbang serta berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya untuk melakukan perjanjian. Pasal 1338 alinea ke satu tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.17

Asas kebebasan berkontrak juga ditegaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang mana menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu dibuat harus bersifat bebas. Kesepakatan tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekhilafan, atau diperolehnya dengan penipuan atau paksaan.

Ketentuan mengenai klausula kontrak merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memposisikan para pihak supaya dalam kondisi yang seimbang,

17

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 34.

28

yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara penjual dan pembeli dalam prinsip kebebasan berkontrak.“Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.”18 Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang diadakannya.

Kebebasan berkontrak adalah bila para pihak dikala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan perjanjian yang disepakati. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.

Ada 2 (dua) prinsip hukum yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan suatu perjanjian atau kontrak, yaitu:

a. Beginselen der contractsvrijheid atau partij autonomie

b. Pacta sunt servanda

Beginselen der contractsvrijheid atau partij autonomie, yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sedangkan pacta sunt servanda berarti bahwa “setiap janji harus ditepati (ini berarti mengikat)”.19

18

Subekti (1), Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, 2005, hal. 13. 19

29

Asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. “Jika asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi kontrak.”20

Subekti, sebagaimana dikutip oleh Felix O. Subagjo memberikan pendapat mengenai kebebasan berkontrak sebagai:

“Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak, memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman moderen ini. Pernyataan yang menjadi dasar sepakat adalah pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. Adanya perjumpaan kehendak (consensus) sudah tepat jika diukur dengan pernyataan yang bertimbal balik yang telah dikeluarkan. Hakim dapat mengkonstruksikan adanya sepakat dari perjanjian dengan adanya pernyataan bertimbal balik” 21

Pendapat yang sama juga diberikan Rutten terhadap asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad,. Dalam asas kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk:

a. Mengadakan perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian; b. Memilih mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi, syarat-syarat, dan bentuk perjanjian yang dibuat;

20

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 29.

21

Felix O. Subagjo, Perkembangan Asas-asas Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis, Badan Pembinaan

30

d. Menentukan ketentuan hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang dibuatnya.”22

Hasanudin Rahman juga mengemukakan, adapun ruang lingkup dari asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuat;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.23

PS. Atiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy menyatakan bahwa kontrak didasarkan pada kehendak bebas para pihak dalam berkontrak, tidak hanya bagi terciptanya kontrak, tetapi juga definisi dan validitas isi kontraknya. Kebebasan berkontrak menolak kebiasaan yang mengatur isi kontrak, dan juga menolak ajaran bahwa “an objectively just price exist for any objects susceptible to exchange.”

Menurut Sutan Remi Sjahdeini yang dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

22

Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1982, hal 225. 23

31

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuat.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).24

Di dalam Pasal 1338 alinea ke tiga KUHPerdata, hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, agar pelaksanaan perjanjan yang dibuat sesuai dengan itikad baik dan agar jangan sampai perjanjian itu melanggar “kepatutan dan keadilan”. Ini berarti hakim berkuasa menindak penyimpangan dari isi perjanjian, manakala pelaksanaan perjanjian menurut klausula yang dicantumkan oleh para pihak bertentangan dengan itikad baik sebagai suatu tuntutan keadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :

suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Dalam lingkup KUHPerdata, contoh implementasi prinsip equity tampak jelas dalam dalam rumusan pasal 1339 KUHPerdata berbunyi :

Perjanjian –perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

24

32

sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan (billijkheid), kebiasaan, atau undang-undang.25

Substansi Pasal 1339 KUHPerdata ini mengarisbawahi pentingnya kepatutan (equity, billijkeheid) dalam kaitannya dengan keterikatan kontraktual para pihak, disamping apa yang telah disepakati dalam kontrak. Pasal 1339 KUHPerdata tersebut, khusus yang berhubungan dengan kepatutan pada umumnya selalu dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik”.

Dalam memutuskan suatu sengketa yang berhubungan dengan kontrak Hakim semestinya harus memperhatikan terlebih dahulu apa yang diperjanjikan oleh para pihak yang berkontrak, baru kemudian jika sesuatu hal tidak diatur dalam surat perjanjian dan dalam undang-undang tidak terdapat suatu ketetapan mengenai hal itu.26 Untuk itu disini hakim harus menyelidiki bagaimanakah biasanya hal yang semacam itu diaturnya di dalam praktek. Jika ini juga tidak diketahuinya, karena mungkin hal itu belum banyak terjadi, hakim harus menetapkannya menurut perasaan keadilan.

Perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dorongan pembatasan

25

Lihat Pasal 1339, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 26

33

kebebasan berkontrak ini tampil kepermukaan guna lebih menyediakan ruang dan peluang yang lebih besar pada pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusilaan, serta ketertiban umum. Hal ini terjadi karena perjanjian merupakan dasar dari banyak kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali dengan adanya perjanjian atau kontrak, meskipun dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.27

Perjanjian yang memuat klausula eksonerasi muncul seiring dengan perkembangan asas kebebasan berkontrak. Klausula eksonerasi ini tidak hanya terdapat dalam perjanjian baku atau kontrak standar tetapi juga dalam perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Sebelum masuknya konsep

welfare state, asas kebebasan berkontrak yang muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith, mengagungkan laissez faire

(persaingan bebas).”28 Antara paham ekonomi klasik dan dan persaingan bebas saling mendukung dan berakar pada paham hukum alam. Kedua paham tersebut melihat individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya, disebabkan karena manusia sebagai individu mempergunakan akalnya.

Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya dengan sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang optimal. Berhasilnya individu mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang merupakan kumpulan dari individu-individu tersebut akan menjadi sejahtera pula,

27

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 9. 28

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 190

34

oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraannya individu harus mempunyai kebebasan bersaing dan negara tidak boleh ikut campur tangan. “Seiring dengan asas

laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula prinsip umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas tersebut.”29

2. Konsepsi

Para ahli memberikan pengertian mengenai klausula eksonerasi ini sebagai berikut:

Sebagaimana yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, Rijken mengatakan bahwa: “klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum”.30

Sutan Remi Sjahdeini mengartikan klausula eksonerasi dengan “klausul eksemsi”, yang dikatakan sebagai klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak tehadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.

Az. Nasution mengatakan klausula eksonerasi sebagai syarat-syarat yang membebaskan seseorang tertentu dari beban tanggungjawab karena terjadinya sesuatu

29

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalamPerjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Banking Indonesia, Jakarta 1993, hal. 8.

30

35

akibat perbuatan. Dengan kata lain, dibebaskannya seseorang tertentu dari suatu beban tanggungjawab.

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan kontrak atau perjanjian adalah “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.31

Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus. Sebaiknya dipakai kata “persetujuan”, bukan “perbuatan”, karena konsensus berarti sepakat atau setuju. Suatu perjanjian dinamakan persetujuan di mana dua pihak sudah setuju atau sepakat mengenai suatu hal.

c. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga kelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan dalam lapangan hukum kekayaan. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata hanyalan perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian personal.

d. Tanpa menyebutkan tujuan. Dalam rumusan pengertian tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak itu tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.”32

Atas dasar alasan-alasan diatas, Abdul Kadir Muhammad merumuskan pengertian perjanjian yaitu: suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk hal dalam lapangan kekayaan.

31

Lihat pasal 1313 KUHPerdata 32

36

Menurut Wirjono Prodjodikoro, “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai benda kekayaan antara dua pihak, dalam hal mana saja satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.”33 Subekti menyatakan “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.

Menurut pendapat R. Setiawan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”34

Dokumen terkait