• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

a. Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana memiliki banyak definisi karena setiap ahli hukum memberikan definisinya sendiri-sendiri. Seperti Simons yang dikutip oleh Andi hamzah merumuskan hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana (Andi Hamzah, 2002:4)

Sedangkan menurut Van Bemmelen yang dikutip oleh Andi Hamzah berpendapat bahwa hukum acara pidana ialah mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya pelanggaran Undang-Undang Pidana:

1) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya.

4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.

5) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan itu yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.

6) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.

7) Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib (Andi Hamzah, 2002:6).

xxiii

Sementara itu Moeljatno yang dikutip oleh Ramelan mendefinisikan hukum acara pidana adalah “bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut” (Ramelan, 2006:2).

Bambang Poernomo memberikan definisi hukum acara pidana yang dikutip oleh Ramelan, yaitu ilmu hukum acara pidana ialah “pengetahuan tentang hukum acara dengan segala bentuk dan manifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara pidana dalam hal terjadi dugaan perbuatan pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum pidana” (Ramelan, 2006:3).

Hukum Acara Pidana sendiri yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Acara Pidana yang berdasarkan peraturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mulai berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Dengan terciptanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka pertama kali di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam artian meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herziening) (Andi Hamzah, 2002:3).

b. Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan hukum acara pidana pada hakikatnya mencari kebenaran. Untuk itu diperlukan petugas-petugas penegak hukum yang handal, jujur, berdisiplin tinggi dan tidak mudah tergoda oleh janji-janji yang menggiurkan. Kalau hal tersebut diabaikan maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan, kolusi dan manipulasi hukum (Moch. Faisal Salam, 2001:24).

Sementara itu tujuan hukum acara pidana yang terdapat dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh menteri Kehakiman, yaitu :”Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

xxiv

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. Akan tetapi, tujuan hukum pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi Hamzah, 2002:8-9).

c. Asas-asas Hukum Acara Pidana

Asas-asas yang terdapat dalam hukum acara pidana antara lain sebagai berikut.

1) Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. 2) Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

3) Asas oportunitas

Penuntut umum atau jaksa tidak diwajibkan melakukan tuntutan kepada seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum atau demi kepentingan umum seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.

4) Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

Selain perkara yang mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak, masih ada pengecualian yang lain yaitu mengenai delik

xxv

yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum ( openbare orde ).

5) Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

6) Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap

Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Pada jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara.

7) Asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum Mengenai bantuan hukum, tersangka atau terdakwa mendapatkan kebebasan yang sangat luas. Kebebasan dan kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis.

8) Asas akusator dan inkisitor

Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah dianut asas akusator itu, yang berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada dasarnya telah dihilangkan.

9) Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan dilakukan secara tertulis antara hakim dan terdakwa (Andi Hamzah, 2002:10-23).

xxvi

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di mana asas yang mengatur tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang telah diletakkan dalam undang-undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diterapkan seluruhnya, baik pada waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan. Adapun asas tersebut antara lain:

1) Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

2) Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur oleh undang-undang.

3) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mendapat kekuatan hukum tetap.

4) Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.

5) Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

6) Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.

xxvii

7) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan atas dasar hukum apa yang didakwaan kepadanya, juga wajib diberi tahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.

8) Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. 9) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali

dalam hal diatur dalam undang-undang.

10) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadolan negeri yang bersangkutan (Moch. Faisal salam, 2001:22-23).

Asas-asas tersebut dimaksudkan untuk melindungi dan menghindari tindakan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh para penegak hukum, baik pada waktu pemeriksaan permulaan, penuntut dan persidangan pengadilan.

2. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian dan Tujuan Pembuktian

Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam hukum acara pidana, karena menyangkut tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakannya tersebut. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada dan disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal (Andi Hamzah, 2002:245).

Pembuktian itu sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang

xxviii

dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2002:273).

Pembuktian dalam suatu persidangan, dapat dikatakan sebagai titik sentral dalam menentukan nasib terdakawa. Adapun tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah mencari dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam suatu perkara, jadi bukan untuk mencari-cari kesalahan terdakwa. Pembuktian harus dilaksanakan untuk mencegah jangan sampai menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah (Moch. Faisal Salah, 2001:293).

Karena dalam pembuktian ini hak asasi manusiapun dipertaruhkan, maka majelis hakim harus benar-benar cermat dalam menilai dan mempertimbangkan setiap pembuktian yang ditemukan dalam persidangan. Jangan sampai majelis hakim melakukan kesalahan yang dapat menyebabkan seseorang yang bersalah lepas dan orang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman.

b. Sistem Pembuktian

Berbicara mengenai sistem pembuktian ini, maka ada beberapa macam sistem pembuktian dan sistem pembuktian mana yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita. Sistem pembuktian mempunyai tujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa (M. Yahya Harahap, 2002:276).

Berikut beberapa macam sistem pembuktian : 1) Conviction-in Time

Sistem pembuktian ini dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat

xxix

bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan atau bisa juga pemeriksaan alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian ini sudah barang tentu mengandung kelemahan karena menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.

2) Conviction-Raisonee

Dalam sistem inipun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi” tidak seleluasa tanpa batasan seperti pada sistem Conviction-in Time. Pada sistem ini keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Selain itu alasan hakim harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima berdasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal manusia.

3) Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Positif

Pembuktian ini merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian conviction-in time. Dalam pembuktian ini “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Kalau sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Pokoknya apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak perlu menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini

xxx

mempunyai kebaikan yaitu sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.

4) Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief

Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian conviction-in time. Sistem pembuktian ini merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu terhadap sistem yang saling bertolak belakang tersebut yang kemudian terwujudlah suatu “sistem pembuktian menurut undang-undang negatif”. Rumusannya berbunyi : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Berdasarkan rumusan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menentukan seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah atau tidak menurut sistem pembuktian ini terdapat dua komponen, yaitu :

1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dengan begitu sistem ini memadukan unsur objektif dan unsur subjektif dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, dan tidak ada yang dominan diantara kedua unsur tersebut (M. Yahya Harahap, 2002:279).

xxxi

c. Sistem Pembuktian yang Dianut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) terdapat pasal yang berkaitan dengan pembuktian yaitu Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari bunyi Pasal 183 KUHAP, dapat dilihat bahwa pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakkan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem

conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif

(positief wettelijk stelsel) (M. Yahya Harahap, 2002:280).

d. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dijelaskan mengenai alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, yaitu sebagai berikut :

1) Keterangan saksi, 2) Keterangan ahli, 3) Surat,

4) Petunjuk,

5) Keterangan terdakwa.

Undang-undang telah menentukan jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian di sidang pengadilan dan di luar alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

xxxii

Untuk lebih jelasnya tentang pembuktian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 184 diatas, maka akan diuraikan sebagai berikut ini:

1) Keterangan Saksi

Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Seseorang yang akan menjadi saksi, terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KUHAP. Kalau Sementara itu pengecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP.

Mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, maka dapat dijelaskan berikut ini : a) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas

Kalau begitu pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dapat dikatakan bahwa alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan tidak “menentukan” atau”tidak mengikat”.

b) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim

Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan

xxxiii

bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan “dapat menerima” atau “menyingkirkannya” (M. Yahya Harahap, 2002:294-295).

2) Keterangan Ahli

Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, yang dimaksud keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari sudut keterangan inilah ditinjau makna keterangan ahli sebagai alat bukti, manfaat yang dituju oleh pemeriksaan keterangan ahli guna kepentingan pembuktian.

Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli:

a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij

bewijskracht”. Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai

kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud. Akan tetapi, hakim dalam menggunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.

xxxiv

b) Di samping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2), yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini pun, berlaku untuk pembuktian keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap, 2002:304-305).

3) Surat

Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat pun, hanya diatur dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 187 KUHAP. Menurut ketentuan itu, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, ialah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Berdasarkan Pasal 187 KUHAP surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, adalah :

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu:

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang

xxxv

menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan:

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Untuk dapat menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat, dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP, yaitu.

a) Ditinjau dari segi formal

Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna. Karena bentuk surat-surat yang disebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang bernilai “sempurna”. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna.

b) Ditinjau dari segi materiil

Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187,”bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang

xxxvi

mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya.

4) Petunjuk

Yang dimaksud dengan petunjuk adalah suatu kejadian-kejadian atau keadaan atau hal lain, yang keadaannya dan persamaannya satu sama lain maupun dengan peristiwa itu sendiri, nyata menunjukkan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana (Moch. Faisal Salah, 2001:300).

Sementara itu menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP,

Dokumen terkait