• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian antara pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

2. Kesesuaian antara pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban

Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan, dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan bagi pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pengertian sengketa Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang menyatakan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

Adanya kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara, serta diaturnya hak gugat yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, sehingga apabila ada orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan dengan terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan dirinya, maka ia dapat mempunyai hak gugat untuk mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

Gugatan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diajukan secara tertulis dengan permintaan agar Majelis Hakim memutus Keputusan Tata Usaha Negara itu dinyatakan batal atau tidak sah. Putusan dalam Peradilan Tata Usaha Negara harus mencerminkan 4 (empat) kriteria pokok dari asas-asas peradilan yang baik sebagaimana diutarakan oleh de Waard sebagai berikut:

a. Decisie bentrisel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan (perkara), dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

b. Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang berperkara berhak atas kesempatan membela diri dan bahwa kedua belah pihak juga.harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian dan memperoleh informasi.

c. Onpgrtijdigheids beginsel (tidak bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakeiijk, ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya. d. Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), .asas bahwa putusan hakim harus memuat.alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk

menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti (controleerbaarheid).74

Metode yang dipergunakan dalam musyawarah Majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut terdapat dalam Pasal 97 ayat (3), (4), dan (5) yang pada intinya menyatakan:

a. Prinsipnya adalah bahwa putusan yang dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, dengan perkecualian, jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat putusan diambil dengan suara terbanyak.

b. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya.

c. Apabila musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.

Putusan yang harus dihasilkan melalui musyawarah dengan prinsip permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. Sudikno berpendapat bahwa apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah hukum, maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).75

74

W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 119

75

Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 45

Mengenai pertimbangan hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 109 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan sebagai berikut:

a. Kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa.

c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat harus jelas.

d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dalam hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa.

e. Alasan hukum yang menjadi dasar Putusan. f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.

g. Hari, tanggal putusan, nama Majelis Hakim yang memutus, nama Panitera serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa suatu putusan harus memuat alasan hukum yang menjadi dasar putusan atau sering dikenal dengan pertimbangan hukum Hakim. Pertimbangan hukum adalah suatu tahapan dimana Majelis Hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian. Adapun pengertian pertimbangan hukum Hakim yakni alasan-alasan yang bersifat yuridis dan menjadi dasar putusan.

Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka dalam putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

untuk mengadili. Bilamana sebaliknya, maka dapat menyebabkan putusan batal.76

Pada putusan Perkara Nomor: 214/G/2011/Ptun-Jakarta terdapat pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Pertimbangan hukum Hakim dalam perkara a-quo yaitu bahwa Tergugat melanggar peraturan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari aspek kewenangan. Tergugat mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa yang bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan. Untuk mengetahui apakah benar pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, maka Majelis Hakim melakukan pengujian terhadap Surat Keputusan Obyek Sengketa tersebut.

Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar terbitnya Surat Keputusan Obyek Sengketa oleh Tergugat adalah Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 18 ayat (5), menyatakan bahwa:

“SPB yang ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa, tidak termasuk bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara lain lingkungan KDB rendah,cagar budaya, Kepulauan Seribu, Daerah Militer).”

Ketentuan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta tersebut dipergunakan untuk menguji keabsahan Surat Keputusan Obyek Sengketa ditinjau dari aspek kewenangan, seperti telah dijelaskan di atas apabila Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa tidak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) tersebut, maka Surat Keputusan Obyek Sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat harus dinyatakan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dalam hal tidak memenuhi kewenangan yang berlaku. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu tidak sesuai dengan kewenangannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan tidak sah yang akibat hukumnya bahwa Keputusan Tata Usaha Negara harus dibatalkan.

Berdasarkan bukti Tergugat, Majelis Hakim menyatakan bahwa tindakan Tergugat dalam mengeluarkan keputusan obyek sengketa tidak berdasarkan kewenangannya. Dalam Bukti T-38 mengenai Keputusan

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, terdapat Pasal 18 ayat (5), bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani Tergugat adalah terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa.

Untuk membuktikan apakah benar kewenangan Tergugat dalam mengeluarkan surat keputusan obyek sengketa sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka penulis akan melakukan pembuktian dengan mendasarkan hasil penelitian di atas. Berdasarkan hasil penelitian Majelis Hakim selanjutnya yakni P-30=T-13 yang merupakan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan Dan Pengawasan Bangunan Kodya Jakarta Selatan Nomor: 71/KM/S/2005, tanggal 6-6-2005, Tentang Keterangan Membangun Menara, yang berlaku selama 3 tahun dari tanggal 6 Juni 2005 hingga tanggal 6 Juni 2008 yang terletak di Jl Bunga Mayang III, RT 004/01, Kel Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Setelah dicermati oleh Majelis Hakim tidak terdapat alat bukti lain yang menunjukkan bahwa bangunan Menara milik Penggugat yang terletak di Jl. Bunga Mayang III, RT 004, RW 01, Kel Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan telah diterbitkan izin perpanjangannya. Sehingga, Majelis

Hakim menyimpulkan bahwa bangunan Menara milik Penggugat tidak memiliki izin, karena izin yang lalu telah berakhir dan belum diterbitkan izin perpanjangannya. Padahal untuk mendirikan suatu bangunan harus memiliki IMB, begitupula dengan mendirikan bangunan Menara Telekomunikasi harus memiliki IMB.

Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat 1 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Bangunan. IMB akan melegalkan suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk kepentingan bersama. Mendirikan Menara Telekomunikasi juga harus memiliki IMB. Pengaturan mengenai izin mendirikan Menara Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 12 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Selanjutnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa, apakah bangunan tanpa izin merupakan bangunan yang tidak berpenghuni. Setelah mendengarkan keterangan para saksi Tergugat yaitu Drs. Achmad Hilman, Poerwono Arifin, S.H. dan Arie Kusumastuti M, S.H., Mkn yang pada pokoknya menyatakan keberatan dengan masih beroperasinya bangunan Menara Penggugat. Dari keterangan saksi-saksi tersebut, yang menyatakan bahwa bangunan Menara Penggugat masih beroperasi maka, membuktikan

adanya kegiatan dalam bangunan Menara tersebut dan karenanya dapat disimpulkan bangunan Menara milik Penggugat dalam keadaan dihuni. Berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang dipergunakan untuk menguji obyek sengketa ini, menyatakan bahwa Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan terhadap kegiatan membangun tanpa izin belum dihuni dan tidak dalam sengketa.

Majelis Hakim menyimpulkan bahwa pemberian kewenangan Tergugat digantungkan pada syarat kumulatif, dimana apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka, Tergugat menjadi tidak berwenang dalam menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Dapat diketahui bahwa, bangunan Menara Penggugat merupakan bangunan yang sudah dihuni. Sehingga, Menara milik Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) yang menyebutkan bahwa Surat Perintah Bongkar ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan, terhadap bangunan Menara yang tanpa izin belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Disimpulkan bahwa, Tergugat tidak memenuhi salah satu syarat untuk melakukan penerbitan Surat Perintah Bongkar, karena bangunan menara milik Penggugat dalam keadaan sudah dihuni.

Bangunan Menara yang tanpa izin dan sudah dihuni, untuk melakukan penerbitan Surat Perintah Bongkar kewenangannya berada pada Walikota Jakarta Selatan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (6) huruf b yakni:

“SPB yang ditandatangani Walikotamadya (setelah diparaf oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini adalah terhadap kegiatan:

a) membangun tanpa izin yang belum dihuni dan dalam sengketa dan atau bangunan Pemerintah dan atau bangunan sosial ibadah dan atau bangunan pada lingkungan dengan persyaratan khusus (antara lain lengkungan KDB rendah, cagar budaya, Kepulauan Seribu, Daerah Militer) atau;

b) membangun tanpa izin dan sudah dihuni atau;

c) berdasarkan pertimbangan Kepala Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota atas Pelanggaran tersebut perlu SPB atau SPB ulang dari Walikotamadya.”

Berdasarkan materi isi ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 ayat (5) dan Pasal 18 ayat (6) huruf b, terdapat perbedaan yang mendasar yang menyangkut kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dan kewenangan yang dimiliki Walikota Jakarta Selatan. Kewenangan yang dimiliki oleh kedua Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Kewenangan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat Perintah Bongkar yaitu:

a. Pada dasarnya mempunyai kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar (Pasal 18 ayat (4)).

b. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar hanya terhadap kegiatan membangun tanpa izin, yang beum dihuni dan tidak dalam sengketa.

c. Tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan yang sudah dihuni.

2. Kewenangan Walikota Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat Perintah Bongkar yaitu:

a. Pada dasarnya mempunyai kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar (Pasal 18 ayat (4)).

b. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar termasuk terhadap kegiatan bangunan yang tanpa izin dan sudah dihuni. c. Kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap

bangunan yang belum dihuni didelegasikan kepada Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Berdasarkan deskripsi kewenangan menerbitkan Surat Perintah Bongkar yang dimiliki Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan dan Walikota Jakarta Selatan, dapat dideskripsikan bahwa oleh karena dalam sengketa a-quo

bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat sudah dalam keadaan dihuni, maka ketentuan pasal yang tepat diterapkan terhadap Surat Keputusan Obyek Sengketa adalah Pasal 18 ayat (6) huruf b, dengan demikian a contrario Pasal 18 ayat (5) tidak tepat diterapkan terhadap Surat Keputusan Obyek Sengketa.

Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Hakim menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan kesalahan, yaitu menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa yang bukan kewenangannya melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan. Karena tindakan administratif Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Obyek sengketa telah dinyatakan tidak sah akibat tidak didasarkan kewenangannya yang sah maka, mengenai prosedur dan substansi tidak perlu dibuktikan. Karena Surat Keputusan Obyek Sengketa telah dinyatakan tidak sah maka diwajibkan Tergugat untuk mencabutnya.

Salah satu tolok ukur keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 53 ayat (2) huruf a adalah bertentangan atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara dengan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar diterbitkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa yaitu Pasal 18 ayat (6) huruf b. Ketentuan mengenai Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan yang sudah dihuni secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 18 ayat (6) huruf b sehingga, apabila Majelis Hakim sudah menerapkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) huruf b, maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum Hakim sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar terbitnya Surat Keputusan Obyek Sengketa. Majelis Hakim dalam sengketa ini sudah menerapkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) huruf b, sehingga pertimbangan hukum Hakim sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Mengenai pertimbangan hukum Hakim dalam pembatalan Surat Keputusan Obyek Sengketa terhadap pelanggaran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, sekalipun Penggugat mempermasalahkan bahwa Tergugat telah melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik khususnya asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas, namun dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim tidak mempertimbangkan adanya pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Mengingat bahwa berbicara Keputusan Tata Usaha Negara merupakan sesuatu yang sangat komprehensif, maka seharusnya mengenai pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik perlu untuk dibahas dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim.

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik juga merupakan salah satu tolak ukur yang digunakan untuk menguji Keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah meliputi:

- Asas Kepastian hukum;

- Asas Tertib penyelenggaraan negara; - Asas Keterbukaan;

- Asas Proporsionalitas; - Asas Profesionalitas; - Asas Akuntabilitas

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Adapun penjelasan mengenai Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai berikut:

1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.

2. Tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

3. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negaradengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. 4. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara

hak adan kewajiban penyelenggaraan negara.

5. Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.77

Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya asas kepastian hukum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.

Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan Peraturan Perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Perlu diketahui

77

bahwa asas ini menghendaki agar pemerintah atau badan atau pejabat tata usaha negara lebih mengutamakan landasan Peraturan Perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan pengambilan keputusan. Maksudnya asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang atau badan hukum perdata berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara. Sehingga, dalam hal ini Penggugat merasa adanya ketidakadilan dengan dikeluarkannya obyek sengketa yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Tergugat terlihat jelas telah melanggar asas kepastian hukum yaitu telah mengabaikan landasan Peraturan Perundang-undangan yang mendasari untuk dikeluarkannya Surat Keputusan Obyek Sengketa. Tergugat dalam perkara ini tidak berdasarkan kewenangannya dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bahwa pada pokoknya Surat Perintah Bongkar yang ditandatangani Tergugat adalah terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa. Tetapi Tergugat mengeluarkan Surat Perintah Bongkar yang merupakan kewenangan Walikota Jakarta Selatan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 ayat (6) huruf b Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksana Penertiban Kegiatan

Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bahwa terhadap kegiatan membangun tanpa izin sudah dihuni dan tidak dalam sengketa.

Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Maksud dari asas keterbukaan ini yaitu lebih mengutamakan bahwa kegiatan pemerintah dalam penyelenggaraan negara harus bertindak lebih terbuka dan tidak membeda-bedakan. Mengenai pelanggaran terhadap asas keterbukaan berdasarkan fakta yang terjadi Tergugat tidak terlebih dahulu memberikan Surat Pemberitahuan kepada Penggugat saat melakukan penyegelan Menara Telekomunikasi. Tergugat dalam hal ini diwakilkan oleh Petugas Kecamatan baru menyerahkan Surat Pelaksanaan Penyegelan Menara/Tower, dan Surat Perintah Bongkar kepada Penggugat, pada saat Pengggugat datang ke Kantor Kecamatan. Terlihat jelas bahwa Tergugat telah melanggar asas keterbukaan, karena Tergugat dalam melakukan penyegelan Menara milik Penggugat dilakukan secara diam-diam dan tidak terbuka.

Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh

Tergugat dalam asas akuntabilitas adalah Tergugat melakukan penyegelan Menara dan menerbitkan Surat Perintah Bongkar kepada Penggugat. Menara Penggugat masih beroperasi dan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila Menara tersebut harus di bongkar akan menimbulkan kerugian bagi Penggugat dan masyarakat. Perlu diketahui oleh Tergugat bahwa dengan berdirinya Menara Telekomunikasi tersebut banyak memberikan keuntungan dan manfaaat bagi masyarakat. Sehingga apabila Menara Telekomunikasi tersebut dibongkar, Tergugat harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan masyarakat.

BAB V