• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Masalah yang diangkat pada penelitian ini antara lain (a) tokoh dan penokohan dalam novel Sang Maharani, (b) tokoh profeminis dan tokoh kontrafeminis dalam novel Sang Maharani, dan (c) prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani. Pembahasan permasalahan tersebut telah dibahas dalam Bab II dan Bab III.

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan perannya tokoh protagonis dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica adalah Rani dan Arik karena mereka merupakan tokoh yang pertama kali mengalami masalah. Mereka pun berperan sebagai penggerak alur. Selanjutnya, tokoh yang menimbulkan konflik adalah Sari, Moetiara, Lastri, dan Janoear sehingga mereka berperan sebagai tokoh antagonis. Selain itu, mereka berfungsi sebagai penghalang bagi tokoh protagonis. Sementara itu, tokoh tritagonis dalam novel Sang Maharani adalah Hartono, Van Houten, dan Ayu.

Berdasarkan fungsinya tokoh utama dalam novel Sang Maharani adalah Rani karena Rani merupakan tokoh yang paling diutamakan. Hal itu terbukti dari tokoh Rani yang paling banyak muncul dan banyak dibicarakan dalam novel ini. Sementara itu, tokoh sentral dalam novel Sang Maharani terdiri atas Rani, Arik, Sari, Moetiara, Lastri, dan Janoear. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang paling

berperan dalam menentukan seluruh alur cerita. Selanjutnya, tokoh yang memegang peran pelengkap adalah Hartono, Van Houten, dan Ayu.

Teknik pelukisan tokoh yang dominan dalam novel Sang Maharani adalah teknik ekspositoris. Pengarang mendeskripsikan sikap, watak, tingkah laku, dan ciri fisik tokoh secara langsung. Teknik ini sering digunakan saat pengarang novel ingin menggambarkan keadaan fisik dan psikis para tokoh, seperti Rani, Arik, Moetiara, dan Janoear. Selain teknik ekspositoris, pengarang novel juga menggunakan teknik dramatik untuk mendeskripsikan keadaan fisik dan psikis para tokoh. Teknik ini terlihat saat pengarang novel menggambarkan keadaan fisik dan psikis tokoh Sari, Moetiara, dan beberapa tokoh lain.

Tokoh profeminis yang terdapat dalam novel Sang Maharani adalah Rani dan Arik. Mereka dikategorikan dalam tokoh profeminis karena mereka mendukung emansipasi perempuan dengan cara mencoba menyuarakan hak-hak kaum perempuan. Hal yang mereka bela adalah masalah pendidikan. Bagi mereka, pendidikan merupakan hak setiap orang baik perempuan ataupun laki-laki. Karena itulah, mereka berani menyuarakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Rani juga telah menunjukkan kegigihan seorang perempuan yang selalu dipandang sebelah mata oleh kaum pria. Rani membuktikan diri sebagai perempuan yang berani dan mampu bangkit dari keterpurukan. Emansipasi perempuan yang didukung oleh tokoh profeminis ternyata ditentang oleh tokoh kontrafeminis.

Tokoh kontrafeminis dalam novel Sang Maharani, antara lain Sari, Tiar, Janoear, dan Lastri. Mereka digolongkan sebagai kontrafeminis karena mereka

menentang ide-ide emansipasi perempuan yang diusung Rani dan Arik. Misalnya, tokoh Sari yang menentang Rani untuk bersekolah tinggi. Baginya, perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena perempuan pada akhirnya hanya ditugaskan di dapur dan mengurus rumah tangga.

Prasangka gender dalam novel Sang Maharani antara lain, pertama, perempuan memiliki sifat tidak mudah marah dan bersikap sabar. Perempuan ideal dianggap memiliki sifat yang lebih sabar, penuh kasih sayang, dan Rani berusaha tetap menyayangi Tiar sebagai saudaranya meskipun Tiar justru membencinya. Sebaliknya, perempuan yang tidak ideal tercermin dari tokoh Sari dan Tiar yang bersikap kasar baik perkataan maupun perbuatan, dan Sari yang tidak menghormati suami, serta tidak mengutamakan pendidikan anak.

Kedua, harga perempuan yang hanya terletak pada kecantikannya. Dalam novel Sang Maharani, perempuan yang lebih cantik dijadikan jugun ianfu. Perempuan hanya dijadikan objek yang dinilai berdasarkan fisiknya tanpa melihat sisi lainnya dari perempuan sehingga terkadang kecantikan fisik perempuan menjadi harga mutlak bagi laki-laki. Ketiga, perempuan tidak pantas untuk bersekolah tinggi-tinggi karena tugas utama perempuan adalah melayani suami dan bekerja layaknya ibu rumah tangga.

Rani sebagai perempuan mengalami tindak kekerasan di dalam dan di luar rumah. Kekerasan yang dialami Rani di dalam rumah, meliputi: (a) tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence) yang dilakukan oleh Sari, ibu tirinya. Kekerasan yang dialami Rani di luar rumah mencakup: (a) kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution), (b)

pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment, dan (c) pemerkosaan terhadap perempuan.

Kekerasan seksual yang dialami tokoh perempuan menstereotipkan bahwa perempuan selalu dianggap satu tingkat lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dianggap lemah dan tidak mampu untuk melawan laki-laki. Ketidakberdayaan perempuan justru dianggap sebagai kelemahan dari perempuan. Perempuan pun selalu diajadikan sebagai objek untuk memuaskan nafsu laki-laki. Seolah-olah kenikmatan dan kepuasan laki-laki berada pada sosok perempuan.

Prasangka gender yang terakhir adalah stereotip ibu tiri yang jahat dikukuhkan oleh tokoh Sari. Sosok ibu tiri dalam cerita-cerita anak di Indonesia sering digambarkan sebagai sosok ibu yang kejam dan membuat anak-anak tirinya menderita. Hal itu pulalah yang melekat pada diri Sari sebagai seorang ibu tiri yang jahat. Kejahatan Sari dilakukan terhadap suaminya, Van Houten dan Rani. Kejahatan yang dilakukan terhadap suaminya, yaitu membunuh dengan cara meracuni makanan yang akan dimakan oleh Van Houten. Selain itu, Rani pun diperlakukan sangat kasar dan tidak baik, berbeda dengan perlakuannya terhadap anak kandungnya, Tiar. Bahkan Sari menyerahkan Rani kepada tentara Jepang yang akhirnya membawa Rani pada dunia jugun ianfu. Stereotip ibu tiri yang jahat ini dimaknai sebagai bentuk perpanjangan tangan dunia laki-laki untuk mendominasi tokoh Rani.

Emansipasi perempuan yang terdapat dalam novel Sang Maharani ada tiga, yaitu (a) perempuan berani bangkit dari keterpurukan, (b) perempuan terjun dalam bidang publik, dan (c) pemaknaan ulang terhadap virginitas.

Rani bangkit dan mengubah nasib dari segi fisik maupun sosial. Dari segi fisik, Rani membenahi dirinya yang sudah lama tak terurus, sedangkan dari segi sosial Rani berani mencari keadilan atas kematian ayahnya yang berujung pada dijebloskannya Sari ke penjara. Selain itu, Rani juga membuka usaha toko roti yang cukup berhasil. Hal ini membuktikan bahwa perempuan tidak semata-mata lemah tetapi mampu untuk merubah nasibnya dari yang kurang baik menjadi lebih baik.

Emansipasi yang kedua adalah perempuan terjun ke bidang publik. Anggapan yang mengatakan bahwa perempuan lebih cocok bekerja di bidang domestik daripada bekerja di bidang publik ditentang oleh Agnes Jessica. Diceritakan bahwa Rani sebagai perempuan mampu terjun ke dunia publik yang dianggap tidak mampu dilakukan perempuan. Rani melakukannya dengan membuka usaha toko roti. Meskipun usaha yang dilakukan Rani masih identik dengan perempuan, yaitu memasak (membuka toko roti).

Emansipasi yang ketiga adalah pemaknaan ulang terhadap virginitas. Bagi sebagian kalangan, seorang perempuan yang telah kehilangan keperawanannya sebelum menikah dianggap sebagai perempuan yang tidak baik dan selalu dipandang sebelah mata, seperti yang dilakukan oleh Janoear terhadap Rani yang telah kehilangan keperawanannya akibat menjadi jugun ianfu. Berbeda dengan Janoear, justru Arik memberikan pandangan baru terhadap virginitas yang dipandang sebelah mata. Arik justru bisa menerima keadaan Rani apa adanya tanpa melihat apakah Rani masih perawan atau tidak. Hal itu terlihat dari cerita yang berakhir bahagia (happy ending) antara Rani dan Arik.

Dokumen terkait