• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Evaluasi

2.1.1.1 Pengertian Evaluasi

Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian hasil yang telah dirancang dari suatu aktifitas atau program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang mana hasil penilaian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktifitas perencanaan baru yang akan dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama di masa depan (Yusuf, dalam Febrianita, 2018: 12).

Evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan (Suchman, dalam Febrianita, 2018: 12).

Evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu;

dalam mencari sesuatu tersebut, termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Worthen dan Sanders, dalam Febrianita, 2018: 12).

Menurut beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menetukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan (Arikunto, dalam Febrianita, 2018: 12-13).

2.1.1.2 Fungsi Evaluasi

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan, yaitu:

1. Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan tertentu dan target tertentu.

2. Evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungannya dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analisis dapat menguji alternatif sumber nilai maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain (Dunn, dalam Febrianita, 2018: 13).

2.1.2 Kemiskinan

2.1.2.1 Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak (Mencher, dalam Siagian, 2012: 5)

Kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standard kebutuhan hidup minimum agar manusia dapat bertahan hidup (Castells, dalam Siagian, 2012: 10-11).

Adapun standard kebutuhan minimum yang dimaksud pada umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan. Kemiskinan sebagai suatu kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia baik fisik atau sosial sebagai akibat tidak tercapainya kehidupan yang layak karena penghasilannya tidak mencapai 1,00 dolar AS perhari (World Bank, dalam Siagian, 2012: 25).

Jika ditinjau dari standard kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan–kebutuhan pokok atau kebutuhan–kebutuhan dasar yang disebabkan kekurangan barang–barang dan pelayanan–pelayanan yang dibutuhkan dalam upaya memenuhi standard hidup yang layak (Siagian, 2012: 25).

Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi hak–hak dasar dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, dalam Siagian, 2012: 27).

Kemiskinan identik dengan suatu penyakit. Oleh karena itu, langkah pertama penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu masalah. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskinan sebagai suatu proses. Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya dia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia (Siagian, 2012: 2-3).

2.1.2.2 Ciri–ciri Kemiskinan

Suatu studi menunjukkan adanya 5 ciri–ciri kemiskinan, yakni:

a. Mereka yang hidup di bawah kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup luas, modal yang memadai, ataupun keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu aktivitas ekonomi sesuai dengan mata pencahariannya.

b. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.

c. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, misalnya tidak sampai tamat SD, atau hanya tamat SD. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap wawasan mereka.

d. Pada umumnya mereka masuk ke dalam kelompok penduduk dengan kategori setengah menganggur.

e. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda, tetapi tidak memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai (Siagian, 2012: 20-23).

2.1.3 Anak

2.1.3.1 Pengertian Anak

Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara hubungan pria dan wanita. Menurut Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak–anak yang masih di dalam kandungan. Selain itu, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak, mendefinisikan anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang–undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal (Lutfiyah, 2016: 13).

Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut

perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi termasuk termasuk atau golongan anak tetapi sudah dewasa (Siregar, dalam Mizan, 2017: 23).

Selama di tubuhnya masih berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur anak–anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 21 tahun untuk laki – laki (Sugiri, dalam Mizan, 2017: 23).

2.1.3.2 Pengertian Anak Yatim Piatu

Secara bahasa yatim berasal dari bahasa Arab yang artinya sedih, atau bermakna sendiri. Adapun istilah syara’ yang dimaksud dengan anak yatim yaitu anak yang ditinggal mati ayahnya pada saat masih lemah dan kecil, dalam arti belum baligh (dewasa) serta belum mampu berusaha. Batas akhir seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah sampai dewasa. Dewasa di sini ketika berumur 21 tahun. Senada dengan pendapat Sri Suhadjati yang mendefinisikan bahwa anak yatim adalah anak yang ditinggal ayahnya meninggal dunia selagi dia belum mencapai umur baligh (Khasanah, 2013: 17)

Dalam Buku Besar Bahasa Indonesia, yatim adalah tidak beribu atau berayah (karena ditinggal mati). Sedangkan anak yatim dalam pengertian bahasa hukum syariat adalah mereka yang kehilangan bapak, termasuk mereka yang ditinggal pergi oleh bapaknya tanpa meninggalkan apapun yang mencukupi kebutuhan nafkahnya, dan mereka yang bapaknya dibatasi kebebasan pribadinya oleh hukum yang menyebabkan mereka kehilangan sumber penghidupan pada masa hukuman ini (Khasanah, 2013: 18).

Selain itu, menurut istilah, anak yatim adalah anak di bawah umur yang kehilangan ayahnya, yang bertanggung jawab atas kehidupan dan pendidikannya.

Yatim adalah anak–anak yang tidak berdosa yang ditakdirkan dengan hikmah ilahiyah yang ditinggal mati oleh orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.

Namun tidak hanya itu, tetapi anak terlantar dan juga anak yang tidak diketahui orang tuanya juga disebut yatim (Al-Iraqi, dalam Husaina: 32).

Yatim adalah anak laki–laki/perempuan yang ditinggal meninggal oleh ayahnya sebelum akil baligh (dewasa). Dan apabila ditinggal meninggal oleh ayah dan ibunya maka disebut yatim piatu (Al-Hafidz, dalam Husaina, 2017: 33).

2.1.3.3 Hak Anak

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemeritah dan pemerintah daerah. Setiap anak memiliki hak dasar yang patut untuk dilindungi dan dijunjung tinggi, memberi perlindungan terhadap hak–hak anak maka sama saja telah memenuhi kesejahteraan anak. Salah satu hak anak dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu:

Pasal 9 Ayat 1: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasanya sesuai dengan minat dan bakatnya.

2.1.4 Program Pendidikan 2.1.4.1 Pengertian Program

Program merupakan suatu sistem berupa rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Program adalah cara

tersendiri dan khusus yang dirancang demi pencapaian suatu tujuan tertentu.

Dengan adannya suatu program, maka segala rancangan akan lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Program adalah unsur pertama yang harus ada demi berlangsungnya aktivitas yang teratur, karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek seperti:

1. Adannya tujuan yang ingin dicapai.

2. Adannya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan.

3. Adanya prinsip – prinsip dan metode – metode yang harus dijadikan acuan dengan prosedur yang harus dilewati.

4. Adannya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan.

5. Adannya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas (dalam Asror, 2018: 24).

2.1.4.2 Pengertian Pendidikan

Dilihat dari aspek bahasa, pendidikan berasal dari kata didik yang berarti pemeliharaan, yakni memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan). Dalam bahasa Arab, kata pendidikan disebut tarbiyah, masdar dari kata kerja rabba yu rabbi-tarbiyatan, yang artinya mendidik, mengasuh. Berdasarkan istilah, terdapat banyak pengertian tentang pendidikan. Pendidikan adalah suatu aktivitas yang mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup (Zuhairini, dalam Idi, 2011: 194).

Pendidikan adalah usaha yang dijalankan seorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mempunyai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, dalam Idi, 2011: 194).

Pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama (Marimba, dalam Idi, 2011: 195).

Pendidikan merupakan mendidik akhlak dan jiwa mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka dalam kehidupan yang suci, ikhlas, dan jujur (Al-Abrasyi, dalam Idi, 2011: 195).

Menurut Undang–Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai–nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar

pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2.1.4.3 Indikator Mutu Pendidikan

Mutu pendidikan dasar dan menengah adalah tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah dengan Standar Nasional Pendidikan (NSP) di sekolah. Mutu pendidikan di sekolah cenderung tidak ada peningkatan tanpa diiringi dengan penjaminan mutu pendidikan oleh sekolah.

Penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah sendiri merupakan mekanisme yang sistematis, terintegrasi, dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa seluruh proses penyelenggaraan pendidikan telah sesuai dengan standar mutu dan aturan yang ditetapkan. Penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah merupakan kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu secara sistematis, terencana, dan berkelanjutan. Selain itu, bertujuan memastikan pemenuhan standar pada satuan pendidikan secara sistemik, holistik, dan berkelanjutan, sehingga tumbuh dan berkembang budaya mutu pada satuan pendidikan secara mandiri, dan berfungsi sebagai pengendali penyelenggaraan pendidikan oleh satuan pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu (lpmpsumut, 2019).

Penjaminan mutu pendidikan mengacu pada standar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Acuan utama adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang telah ditetapkan sebagai kriteria minimal yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan. Standar Nasional Pendidikan terdiri atas: Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Pengelolaan, Standar Sarana dan Prasarana, dan Standar Pembiayaan. Kedelapan standar tersebut membentuk rangkaian input, proses, dan output. Standar Kompetensi Lulusan merupakan output dalam rangkaian tersebut dan akan terpenuhi apabila input terpenuhi sepenuhnya dan proses berjalan dengan baik (lpmpsumut, 2019).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan, terdapat 3 indikator standar kompetensi lulusan, yaitu: A. Lulusan memiliki kompetensi pada dimensi sikap.

B. Lulusan memiliki kompetensi pada dimensi pengetahuan. C. Lulusan memiliki kompetensi pada dimensi keterampilan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 21 tahun 2016 tentang Standar Isi, terdapat 3 indikator tentang standar isi mutu pendidikan, yaitu: A. Perangkat pembelanjaran sesuai rumusan kompetensi lulusan. B.

Kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan sesuai prosedur. C. Sekolah melaksanakan kurikulum sesuai ketentuan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses, terdapat 3 indikator standar proses yang terdiri dari:

A. Sekolah merencanakan proses pembelajaran sesuai ketentuan. B. Proses

pembelajaran dilaksanakan dengan tepat. C. Pengawasan dan penilaian otentik dilakukan dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, terdapat 5 indikator standar penilaian.

Indikator tersebut terdiri dari: A. Aspek penilaian sesuai ranah kompetensi. B.

Teknik penilaian obyektif dan akuntabel. C. Penilaian pendidikan ditindaklanjuti.

D. Instrumen penilaian menyesuaikan aspek. E. Penilaian dilakukan mengikuti prosedur.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, terdapat 5 indikator tentang staff pengajar dan tenaga yang bekerja di sekolah. Indikator itu terdiri dari: A. Ketersediaan dan kompetensi guru sesuai ketentuan. B. Ketersediaan dan kompetensi kepala sekolah sesuai ketentuan. C. Ketersediaan dan kompetensi tenaga administrasi sesuai ketentuan. D. Ketersediaan dan kompetensi laboran sesuai ketentuan. E. Ketersediaan dan dan kompetensi pustakawan sesuai ketentuan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah, terdapat 3 indikator tentang sarana dan prasarana sekolah, yaitu: A. Kapasitas daya tampung sekolah yang memadai.

B. Sekolah memiliki sarana dan prasarana pembelajaran yang lengkap dan layak.

C. Sekolah memiliki sarana dan prasarana pendukung yang lengkap dan layak.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan, terdapat 4 indikator standar pengelolaan pendidikan, yaitu: A. Sekolah melakukan

perencanaan pengelolaan. B. Program pengelolaan dilaksanakan sesuai ketentuan.

C. Kepala sekolah berkinerja baik dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya.

D. Sekolah mengelola sistem informasi manajemen.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Instrumen Akreditasi oleh BAN S/M, terdapat 3 indikator mengenai standar pembiayaan, yaitu: A. Sekolah memberikan layanan subsidi silang. B. Beban operasional sekolah sesuai ketentuan. C. Sekolah melakukan pengelolaan dana dengan baik.

2.1.4.4 Pendidikan Formal Yayasan Pembangun Didikan Islam Indonesia (YAPDI)

Pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Yayasan Pembangun Didikan Islam Indonesia (YAPDI) adalah suatu program yang diberikan untuk membantu anak yatim piatu dan fakir miskin dalam pemenuhan hak pendidikannya. Pendidikan formal yang dilaksanakan yaitu Taman Kanak–Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Selain pendidikan yang diberikan di atas, Yayasan Pembangun Didikan Islam Indonesia juga menyekolahkan anak–anak yatim piatu sampai tingkat perguruan tinggi, sesuai pilihan anak–anak tersebut.

2.1.5 Panti Asuhan

Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial pada anak telantar dengan melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak telantar, memberikan pelayanan pengganti orang tua/wali anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh

kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi pengembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita – cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang pembangunan nasional (Departemen Sosial, dalam Sarujin, 2014: 278).

Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial tahun 2009 pada pasal 1 ayat (1), panti sosial merupakan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Sosial yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari – hari secara fungsional dibina oleh para Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya.

Pada Pasal 2 disebutkan tugasnya yaitu melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial agar mampu berperan aktif, berkehidupan dalam masyarakat, rujukan regional, pengkajian dan penyiapan standar pelayanan, pemberian informasi serta koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait sesuaidengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pada Pasal 3 dijabarkan tentang fungsi panti sosial, yaitu: penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan; pelaksanaan registrasi, observasi, identifikasi, diagnosa sosial dan perawatan; pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi bimbingan mental, fisik dan keterampilan;

pelaksanaan resosialisasi, penyaluran dan bimbingan lanjut; pelaksanaan pemberian perlindungan sosial, advokasi sosial, informasi dan rujukan;

pelaksanaan urusan tata usaha; dan pusat model pelayanan rehabilitasi dan perlindungan sosial.

Panti sosial asuhan anak dalam penyelenggaraannya menjalankan fungsi pengasuhan pengganti orang tua, yang mana di dalamnya terdapat fungsi pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Dalam penyelenggaraannya sebagian besar anak asuh yang berada di panti asuhan merupakan anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, sehingga keinginan untuk melanjutkan pendidikanlah yang melatarbelakangi anak mengalami pengasuhan di panti asuhan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pendidikan anak, panti sosial asuhan anak memberikan pendidikan formal di sekolah, kursus keterampilan, serta memberikan bimbingan belajar dalam lingkungan panti. Disisi lain panti sosial asuhan anak juga bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pokok anak yaitu kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dengan demikian diharapkan dapat menunjang tumbuh dan kembang anak secara layak (Khoirunnisa, 2015: 73).

2.1.6 Kesejahteraan Sosial

2.1.6.1 Pengertian Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan–

pelayanan sosial dan institusi sosial yang dirancang untuk membantu individu–

individu dan kelompok–kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi–relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya sehingga selaras dengan kebutuhan–kebutuhan keluarga dan masyarakat (Friedlander, dalam Asror, 2018: 27).

Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global maupun nasional. Persatuan Bangsa–Bangsa (PBB) misalnya, telah lama mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat

internasional. PBB memberikan batasan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan–

kegiatan terorganisasi yang bertujuan membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan–kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Definisi ini menekankan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktivitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga–

lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok, dan masyarakat.

Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti ini menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan akhir dari suatu kegiatan pembangunan.

Pengertian kesejahteraan sosial juga merujuk pada segenap aktivitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntuk baik yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas kesejahteraan sosial (Epida, 2014: 24-25).

Menurut Undang–Undang no. 11 Tahun 2009 pasal 1 tentang Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan

berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

2.1.6.2 Tujuan Kesejahteraan Sosial

Menurut Undang–Undang no. 11 Tahun 2009 pasal 3 tentang Kesejahteraan Sosial, penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan:

Menurut Undang–Undang no. 11 Tahun 2009 pasal 3 tentang Kesejahteraan Sosial, penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan:

Dokumen terkait