Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini dan saran dari penulis yang sesuai dengan masalah yang dibahas.
BAB II
PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan- perikatan yang berasal dari perjanjian yang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.3 Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga
overeenkomst dan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrech.4 Hukum
perjanjian diatur dalam buku III BW (KUHPerdata). Pada Pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi daripada perjanjian. Menurut ketentuan pasal ini yakni :
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satuorang atau lebih”.5
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan
3
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 117 4
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hal 21
terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam ruang lingkup hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.6
R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.7
Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”.8
Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.9 Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan
5
Sudarsono, Kamus Hukum,(Jakarta: Rincka Cipta, 2007), hal. 363 6
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumi. 2005), hal. 89.
7
RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 97.
yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUHPerdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang dapat dibagi lagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Pasal 1353 KUHPerdata).
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga terlalu luas.10
Adapun kelemahan-kelemahan dari defenisi di atas adalah seperti diuraikan berikut ini:
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak seperti misalnya pada perjanjian jual-beli, sewa-menyewa.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa
8
Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 27
9
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa), 2005 hal 1 10
(zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung konsensus, seharusnya digunakan kata persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal
tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelaksanaan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam ruang lingkup hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan perjanjian tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.11
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam ruang lingkup harta kekayaan”.12
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang dimana isinya dituangkan dalam bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga jenis perjanjian tertulis.13
11
Ibid 12
Komariah, Hukum Perdata, (UMM Press, Malang, 2008), hal.169 13
Deanazcupcup.blogspot.com/2011/04/bentuk-bentuk-perjanjian-dan-fungsi.html (diakses tanggal 21 Maret 2015)
Perjanjian dibawah tangan yaitu yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notaris. Akta notaris adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.
Interpretasi dalam perjanjian penafsiran tentang perjanjian diatur dalam Pasal 1342 s/d 1351 KUHPerdata. Pada dasarnya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dimengerti dan dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak. Dengan demikian, maka isi perjanjian ada yang kata-katanya jelas dan tidak jelas sehingga menimbulkan berbagai penafsiran.
Pasal 1343 untuk melakukan penafsiran haruslah dilihat beberapa aspek yaitu jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran, maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian
Pasal 1344
”Jika suatu janji dalam memberikan berbagai penafsiran, maka harus diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan”.
Pasal 1345
“Jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian”.
Pasal 1349
“Apabila terjadi keraguan-keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal dan untuk keuntungan orang yang mengikatkan dirinya untuk itu”.
Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.14
B. Perjanjian menyewa dan Wanprestasi dalam Perjanjian
Sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III KUHPerdata (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600). Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah
“Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain manfaat dan kegunaan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut itu telah menyanggupi dan menyetujui pembayarannya”.
Dari defenisi Pasal 1548 KUHPerdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur yang melekat, yaitu:
1. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa (yang memakai barang).
2. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada pihak penyewa untuk sepenuhnya dipergunakan.
14
3. Pemanfaatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu dan sudah disepakati pula.
Untuk menunjukkan bahwa itu merupakan perjanjian sewa-menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang dipakai tersebut diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang sebagai berikut:
a. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa (pemakai barang).
b. Pihak yang menyewakan atau menyerahkan sesuatu barang kepada pihak penyewa untuk sepenuhnya dipergunakan dan dipakai.
c. Pemakaian berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula.
Untuk menunjukkan bahwa itu merupakan perjanjian sewa-menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang untuk dipakai tersebut diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang. Pada hakekatnya sewa-menyewa tidak dimaksud untuk jangka waktu yang berlangsung terus-menerus melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula. Mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula.
Adapun unsur “waktu tertentu” di dalam definisi yang diberikan dalam undang-undang dalam Pasal 1548 KUHPerdata tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai sifat mutlaknya atau tidak adanya batas waktu, tetapi ada beberapa pasal lain dalam KUHPerdata yang menyinggung tentang waktu sewa. Pasal 1570 KUHPerdata.
“Jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.
Pasal 1571 KUHPerdata.
“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Dari dua pasal tersebut tampak bahwa di dalam perjanjian sewa-menyewa, batas waktu merupakan hal yang penting dan meskipun dalam Pasal 1548 KUHPerdata tidak secara tegas dicantumkan adanya batas waktu tetapi undang-undang memerintahkan untuk memperhatikan kebiasaan setempat atau mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan berdasarkan kebiasaan setempat. 1. Perjanjian Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa adalah perjanjian dimana pihak yang menyewakan tersebut mengikatkan diri untuk memberikan kepada pihak penyewa manfaat atas suatu benda selama waktu tertentu dengan pembayaran harga sewa tertentu (Pasal 1548 KUHPerdata). Berdasarkan pada rumusan pasal tersebut, dapat diidentifikasi empat unsur utama menyewa yaitu subjek menyewa, perbuatan sewa-menyewa, objek sewa-sewa-menyewa, dan jangka waktu sewa-menyewa. Keempat unsur tersebut dibahas dalam uraian selanjutnya. Dalam bahasa inggris, perjanjian sewa-menyewa disebut hire agreement.15
Walaupun dalam Pasal 1548 KUHPerdata dikatakan bahwa sewa-menyewa itu berlangsung selama waktu tertentu, yang berarti bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa harus selalu ditentukan tenggang waktu tertentu. Tetapi
dalam perjanjian sewa-menyewa itu dapat juga tidak ditetapkan suatu jangka waktu tertentu. Asal sudah disetujui harga sewa untuk satu jam, satu hari, satu bulan, dan lain-lain. Jadi para pihak bebas untuk menentukan berapa lama waktu tersebut. Dalam praktek pada umumnya perjanjian sewa-menyewa ini diadakan untuk jangka waktu tertentu, sebab para pihak menginginkan adanya suatu kepastian hukum bagi mereka.
1. Subjek sewa-menyewa
Istilah sewa-menyewa menyatakan bahwa terdapat dua pihak yang saling membutuhkan sesuatu. Pihak pertama disebut “yang menyewakan, yaitu pihak yang membutuhkan sejumlah uang sewa dan pihak kedua yang dapat disebut “penyewa” yaitu pihak yang membutuhkan atas suatu benda yang ingin dinikmati melalui proses tawar-menawar (offer and acceptance). Pihak pertama disebut pihak yang menyewakan dan pihak kedua disebut pihak penyewa.
Sewa-menyewa dapat diartikan sebagai perbuatan sehari-hari yang terjadi antara pihak yang menyewakan benda tertentu untuk sekadar memperoleh sejumlah uang dan pihak penyewa untuk sekadar memenuhi kebutuhan dan manfaat atas benda tertentu selama waktu tertentu. Akan tetapi, secara khusus, sewa-menyewa dapat juga menjadi suatu sumber mata pencarian bagi pihak yang menyewakan benda. Dalam hubungan ini, pihak yang menyewakan benda dapat berstatus sebagai pengusaha produsen (profit oriented), sedangkan pihak penyewa dapat sebagai manusia pribadi, konsumen, badan hukum yang menikmati benda.16
15
Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hal 345 16
2. Perbuatan sewa-menyewa
Perbuatan sewa-menyewa memiliki lima unsur yang harus melekat didalamnya yakni persetujuan, penyerahan benda sewaan, pembayaran uang sewa, waktu sewa, dan persyaratan sewa-menyewa.
a. Persetujuan adalah perbuatan yang menyatakan tercapai kata sepakat antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa mengenai benda yang disewakan, uang sewa, waktu sewa, dan persyaratan sewa-menyewa. b. Penyerahan adalah perbuatan mengalihkan hak penguasaan benda yang
disewakan dari pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa untuk dipergunakan.
c. Pembayaran uang sewa adalah perbuatan memberikan sejumlah uang dari pihak penyewa kepada pihak yang menyewakan sebagai kontraprestasi atas benda yang dikuasai untuk dipergunakan oleh pihak penyewa.
d. Waktu sewa adalah ukuran jangka waktu lamanya proses sewa-menyewa berlangsung.
e. Persyaratan sewa-menyewa adalah ketentuan yang disepakati bersama untuk memungkinkan pemenuhan kewajiban dan memperoleh hak pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.
3. Objek sewa-menyewa
Objek sewa-menyewa adalah benda dan sewa. Benda yang menjadi objek sewa-menyewa adalah harta kekayaan yang berupa benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud, harus benda tertetu atau dapat ditentukan, dan benda itu memang yang boleh disewakan atau diperdagangkan. Dengan
demikian, benda yang disewakan itu statusnya jelas dan sah menurut hukum dan diketahui jelas atau calon penyewa atas tawaran dari pihak yang menyewakan dan didukung pula oleh alat bukti yang sah. Harga sewa selalu dinyatakan dalam jumlah uang, tetapi boleh juga dinyatakan baik berupa benda atau jasa.17
Peraturan tentang sewa-menyewa yang termuat dalam Buku III Bab VII KUHPerdata dapat diberlakukan untuk segala macam sewa-menyewa mengenai semua jenis benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, baik yang disewakan menurut waktu tertentu maupun yang tidak menurut waktu tertentu. Dengan demikian sudah jelas bahwa peraturan sewa-menyewa yang termuat dalam Buku III Bab VII KUHPerdata diberlakukan untuk semua jenis benda yang menjadi objek segala macam sewa-menyewa dan harga sewa.
Harga sewa yang dapat diberlakukan sering juga dalam bentuk sewa (borongan). Bentuk sewa sering digunakan dalam kegiatan pengangkutan benda atau penumpang, antara lain kapal laut, pesawat udara, kereta api, dan bus pariwisata. Bentuk sewa sering digunakan menurut waktu atau menurut perjalanan yang dilengkapi dengan nahkoda, pilot, masinis, dan pengemudi yang tunduk pada pemerintah penyewa.
4. Jangka waktu sewa-menyewa
Jangka waktu sewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata dinyatakan dengan “waktu tertentu”. Apa yang dimaksud dengan waktu tertentu? Dalam praktik sewa-menyewa, yang dimaksud “waktu tertentu” adalah jangka waktu yang
17
dihitung menurut kelaziman, misalnya jumlah jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Jangka waktu tersebut dapat juga digunakan dalam bentuk sewa, baik sewa menurut waktu maupun sewa menurut perjalanan. Bentuk sewa biasa digunakan pada jasa pengangkutan darat, laut, udara, dan kereta api. Waktu tertentu ini digunakan sebagai pedoman untuk menentukan lama proses sewa-menyewa berlangsung yang sesuai dengan jumlah uang sewa pada saat pembayaran uang sewa, dan berakhirnya waktu sewa.
Menurut ketentuan Pasal 1579 KUHPerdata, pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa-menyewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya. Pasal ini ditujukan dan hanya diberlakukan pada sewa-menyewa dengan waktu tertentu. Contohnya adalah orang sudah menyewakan bendanya untuk jangka waktu tiga tahun tidak dapat memutuskan sewa-menyewa jika jangka waktu tersebut belum berakhir walaupun dengan alasan hendak memakai sendiri benda yang disewakan itu.
Akan tetapi, apabila pihak yang menyewakan benda itu tidak menentukan jangka waktu sewa, maka dia berhak menghentikan proses sewa-menyewa setiap saat dengan mengindahkan waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan penghentian menyewa menurut kebiasaan setempat. Namun ketentuan sewa-menyewa yang diatur dalam Buku III Bab VII KUHPerdata berlaku untuk semua sewa-menyewa benda bergerak dan tidak bergerak, baik dengan waktu tertentu maupun jangka waktu yang tidak tertentu karena waktu tertentu “bukan syarat mutlak” untuk perjanjian sewa-menyewa.
Untuk mengetahui jangka waktu tertentu berlakunya sewa-menyewa, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu:
a. Kepastian jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
Misalnya, satu tahun terhitung sejak ditandatanginya perjanjian sewa-menyewa. Jika perjanjian ditandatangani 10 Januari 2009, maka perhitungan jangka waktu satu tahun sejak 10 Januari 2009 dan akan berakhir 10 Januari 2010.
b. Tarif sewa untuk setiap unit waktu
Misalnya, ditentukan secara harian tarif kamar hotel 350 ribu rupiah, tetapi tidak ditentukan berapa hari menginap satu hari, jangka waktu berakhirnya pukul 13.00 hari besoknya.
c. Penafsiran pasal-pasal tertentu dalam peraturan sewa-menyewa
Misalnya, Pasal 1579 KUHPerdata tidak menentukan jangka waktu sewa, dapat diakhiri dengan penafsiran untuk dipakai sendiri dan pemberitahuannya kepada penyewa dalam waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.
5. Hubungan kewajiban dan hak
Hubungan kewajiban dan hak adalah keterikatan pihak yang menyewakan untuk menyerahkan penguasaan benda guna dinikmati dan memperoleh sewa serta keterikatan penyewa untuk membayar sewa dan memperoleh kenikmatan atas benda yang disewa. Berdasarkan pada uraian tersebut, jelas bahwa sebagian dari suatu sistem hukum, sewa-menyewa memiliki unsur-unsur sistem:
a. Subjek hukum
Pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. b. Status hukum
Untuk kepentingan diri sendiri atau pihak lain. c. Peristiwa hukum
Persetujuan penyerahan penguasaan (bezit) benda untuk dinikmati dan pembayaran sewa sebagai imbalan selama jangka waktu tertentu.
d. Objek hukum
Benda dan sewa sebagai prestasi. e. Hubungan hukum
Keterikatan pihak-pihak untuk memenuhi kewajiban dan memperoleh hak. 6. Sewa-menyewa tertulis dan tidak tertulis
Perjanjian sewa-menyewa dapat dibuat secara tertulis dan dapat pula secara tidak tertulis yaitu:
a. Secara tertulis
Apabila dibuat secara tertulis, berlakulah ketentuan Pasal 1570 KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebut, apabila sewa-menyewa dibuat secara tertulis, sewa-sewa-menyewa itu berakhir demi hukum jika waktu sewa yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukan pemberitahuan untuk itu.
b. Secara tidak tertulis
Apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tidak tertulis, maka berlakulah ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata. Menurut ketentuan
pasal tersebut, apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tidak tertulis. Sewa-menyewa itu tidak berakhir pada waktu ditentukan, tetapi apabila pihak yang menyewakan hendak menghentikan sewa-menyewa dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jadi, tanpa pemberitahuan tersebut, pihak yang menyewakan dianggap telah menyetujui perpanjangan sewa-menyewa untuk jangka waktu yang sama.
Jangka waktu pihak yang menyewakan telah memberitahukan kepada pihak penyewa bahwa dia hendak menghentikan sewa-menyewa. Pihak penyewa meskipun tetap memakai bendanya, tidak dapat mengajukan alasan telah terjadi sewa-menyewa ulang secara diam-diam (Pasal 1572 KUHPerdata). Jika setelah berakhirnya sewa-menyewa yang dibuat secara tertulis pihak penyewa tetap menguasai benda yang disewa dan dibiarkan menguasainya. Dengan demikian terjadi sewa-menyewa baru yang akibatnya diatur menurut perjanjian tidak tertulis (Pasal 1573 KUHPerdata).
Menurut kebiasaan yang dialami dalam praktik sewa-menyewa, jangka waktu pemberitahuan untuk menentukan apakah sewa-menyewa akan diteruskan atau dihentikan, tergantung juga pada jangka waktu berlakunya sewa-menyewa itu. Apabila jangka waktu berlakunya itu satu bulan, maka pemberitahuan harus sudah disampaikan kepada penyewa selambat-lambatnya tiga hari sebelum berakhir jangka waktu sewa-menyewa. Apabila jangka waktu berlaku itu satu tahun atau lebih, pemberitahuan harus sudah disampaikan kepada penyewa selambat-lambatnya tiga bulan sebelum berakhirnya sewa-menyewa.
Apabila pihak yang menyewakan telah memberitahukan kepada pihak penyewa bahwa dia hendak menghentikan sewa-menyewa meskipun pihak penyewa tetap menguasai dan menikmati benda yang disewanya itu, dia tidak dapat menyatakan adanya sewa-menyewa berulang secara diam-diam. Dengan habisnya jangka waktu sewa-menyewa, berakhirlah sewa-menyewa itu. Penyewa wajib mengembalikan benda yang disewa kepada pihak yang menyewakan.
Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata, yang dimaksud dengan sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama periode suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.18
Pasal 1548 KUHPerdata menggunakan istilah sewa-menyewa (huur en