• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Tanah Gambut Dataran Tinggi Toba

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.5. Klasifikasi Tanah Gambut Dataran Tinggi Toba

Profil pewakil pada gambut dataran tinggi Toba diklasifikasikan berdasarkan Soil Taxonomy menurut Key to Soil Taxonomy edisi ke-12 (2014) dan Klasifikasi Tanah Nasional edisi 1 (2014).

A. Soil Taxonomy 2014

Ordo, Tanah pada profil pewakil memiliki bahan organik dan potongan kayu yang berdiameter lebih dari 20 mm, dan tidak begitu terdekomposisi sehingga sulit diremas atau dipecah dengan tangan. Sebagian tanah organik memiliki lapisan permukaan mineral setebal kurang dari 40 cm, tanah organik yang terdiri dari bahan saprik dan hemik dari tiga perempat (dari volume) atau lebih dari volume serat-seratnya berasal bahan induk kayu. Lapisan permukaan sampai sedalam 60 cm memiliki berat volume kurang dari 0,1 g/cm3. Hal tersebut menegaskan bahwa tanah dari profil pewakil memenuhi sifat tanah organik yang diklasifikasikan sebagai ordo Histosol.

Sub Ordo, Hasil pengamatan profil pewakil memiliki kedalaman bahan organik yang lebih dari bahan tanah hemik, gambut setengah matang dengan bahan asalnya masih bisa dikenali dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal ditelapak tangan antara sepertiga dan duapertiga jumlah semula, masih terlihat bahan organik (serat) baik pada permukaan sampai bagian tier bawah. Hal

ini menyatakan bahwa tanah ordo Histosol dan memiliki kriteria dalam sub ordo hemist.

Great Grup, Hasil pengamatan dilapangan pada profil pewakil memenuhi kategori sub ordo hemist lainnya sehingga termasuk kedalam great grup Haplohemist.

Sub Grup, Pada pengamatan profil pewakil great grup haplohemist ini memiliki lapisan air di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan sehingga termasuk dalam sub grup Hydric Haplohemist.

Berdasarkan Key to Soil Taxonomy 2014, bahwa profil tanah gambut dataran tinggi yang berlokasi di Desa Matiti II , Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki klasifikasi tanah sebagai berikut : Ordo : Histosol

Sub Ordo : Hemist Great Grup : Haplohemist

Sub Grup : Hydric Haplohemist.

B. Klasifikasi Tanah Nasional.

Jenis Tanah, Tanah yang mempunyai bahan organik setebal ≥ 50 cm dan memiliki bulkdensity < 0,1 gr/cm3 diklasifikasikan dalam jenis tanah Organosol.

Macam Tanah, Dari hasil pengamatan dapat diketahui tanah organosol yang didominasi bahan hemik setebal 50 cm atau berlapis sampai 80 cm dari permukaan sehingga macam tanah termasuk ke dalam Organosol Hemik.

Berdasarkan Klasifikasi Tanah Nasional, bahwa profil pewakil gambut dataran tinggi yang berada pada lokasi di Desa Matiti II, Kecamatan Dolok

Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki klasifikasi tanah sebagai berikut:

Jenis Tanah : Organosol

Macam Tanah : Organosol Hemist 4.1.6 Tanah gambut dataran rendah

Lokasi profil pewakil untuk gambut dataran rendah berada di desa Sidomulyo, Kecamatan Bilah Hilir pada ketinggian 15 m dpl, pada lahan budidaya kelapa sawit milik PT. Hari Sawit Jaya (Asian Agri Group) berumur 9 tahun dan merupakan tanaman generasi kedua.

4.1.7 Morfologi tanah gambut dataran rendah

Pengamatan sifat morfologi tanah meliputi tingkat kedalaman tanah gambut, warna, konsistensi, batas topografi, dan batas lapisan. Pada profil pewakil dilakukan pengamatan morfologi tanah menurut pedoman pengamatan tanah Soil Survey Staff (2014) dan pengambilan contoh untuk dianalisis di laboratorium.

Deskripsi profil tanah dari lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

4.1.8 Profil Gambut Dataran Rendah

Lokasi : Desa Sidumulyo, Kec. Bilah Hilir, Kab. Labuhan Batu, Prov. Sumatera Utara

Kode : Profil 1

Koordinat : N 02o24.115o

E 100o01.141o Klasifikasi soil Taxonomy : Typic Haplosaprist

Fisiografi : Cekungan

Karakteristik Lereng : 0-3% (datar-agak datar)

Elevasi : 15 m dpl

Ketebalan gambut : >3 m

Bahan Induk : Hutan Rawa Gambut

Epipedon : 0-90 cm Saprik, 90-130 Hemik

Gambar penampang profil Lapisan Kedalaman (cm)

Deskripsi

Oa1 0-60 Coklat gelap

kemerahan (5YR 2,5/2), tingkat kematangan saprik, konsistensi agak lekat, agak plastis, batas baur lurus

Oa2 60-90 Coklat gelap

kemerahan (5YR 2,5/2), tingkat kematangan saprik, konsistensi agak lekat, agak plastis, batas baur lurus

Oe 90-130 Coklat gelap

kemerahan (5YR 3/2), tingkat kematangan hemik, konsistensi agak telat, agak plastis, batas baur lurus.

Tabel 4.5. Karakteristik Morfologi Tanah Gambut Dataran Rendah Lapisan Kedalaman

---cm---

Warna Tanah Konsistensi Batas Topografi

Dari hasil pengamatan Tabel 4.5 profil pada gambut dataran rendah tidak terjadi perubahan warna tanah dari permukaan tanah hingga kelapisan bawah (tier dasar). Pada profil pewakil tersebut keadaan morfologi dari permukaan hingga kelapisan sub-permukaan tidak ada perubahan warna tanah, konsistensi, batas topografi dan batas lapisan. Dari lapisan sub-permukaan hingga ke lapisan bawah, terlihat adanya peningkatan nilai value warna tanah yaitu 2,5 meningkat menjadi 3 sedangkan konsistensi, batas topografi dan batas lapisan tidak ada perubahan.

4.1.9 Karakteristik Fisika Tanah Gambut Dataran Rendah

Hasil analisis sifat fisika tanah gambut dari profil pewakil ditemukan perbedaan pada beberapa parameter yang diamati. Karakteristik fisika yang diamati pada gambut dataran rendah yaitu tingkat kematangan/dekomposisi bahan organik dan bulk densiti. tersaji pada Tabel 4.6 berikut ini.

Tabel 4.6. Karakteristik Fisika Tanah Gambut Dataran Rendah

Lapisan Kedalaman Tingkat Kematangan/ Bulk density

---cm--- g/cm 3

Oa1 0-60 Saprik 0,15

Oa2 60-9 Saprik 0,13

Oe 90-130 Hemik 0,08

Dari Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan tingkat kematangan/dekomposisi bahan organik pada berbagai tingkat kedalaman tanah gambut. Lahan gambut dataran rendah memiliki tingkat kematangan saprik (matang) pada lapisan permukaan dan lapisan sub permukaan sedangkan pada lapisan bawah memiliki tingkat kematangan hemik (setengah matang).

Bulk densiti pada gambut dataran rendah berbeda-beda pada tingkat kedalaman tanah gambut tersebut yaitu sebesar 0,15 g.cm-3, 0, 13 g.cm-3 dan 0,08 g.cm-3. Semakin tinggi tingkat kedalaman tanah gambut bulk densiti semakin rendah dan diikuti dengan tingkat kematangan gambut dimana pada kedalaman 0-90 cm tingkat kematangan tanah gambut adalah saprik dan pada kedalaman 0- 90-130 cm tingkat kematangan tanah gambut adalah hemik.

4.1.10 Karakteristik Kimia Tanah Gambut Dataran Rendah

Karakteristik kimia yang diamati pada gambut dataran t\rendah yaitu pH H2O, pH NaF. Kejenuhan Basa, KTK, DHL, C-organik, N-total, C/N dan kadar abu. Karakter kimia dari gambut dataran rendah seperti yang tersaji pada Tabel 4.7 dan 4.8 berikut ini:

Tabel 4.7. pH Tanah, DHL, C-Organik, N-Total dan C/N Gambut Dataran Rendah Lapisan Tingkat

Tabel 4.8. Kation Tukar, KB, KTK dan Kadar Abu Gambut Dataran Rendah Lapisan Tingkat

Dari Tabel 4.7 dan 4.8 hasil pengamatan profil pada gambut dataran rendah memiliki nilai pH H2O dalam kriteria sangat masam pada lapisan permukaan sampai tier dasar. Pada gambut dataran rendah nilai pH NaF pada lapisan permukaan lebih tinggi dan pH NaF semakin rendah pada lapisan sub permukaan ( tier bawah-permukaan) sampai dengan tier dasar.

Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah pada gambut dataran rendah termasuk kedalam kriteria sangat tinggi yaitu sebesar 114-120 me/100g. Pada tier permukaan nilai KTK tanah gambut lebih rendah dibandingkan dengan lapisan sub permukaan (tier bawah-permukaan) sampai dengan tier dasar yang nilai KTK semakin tinggi.

Daya hantar listrik (DHL) pada gambut dataran rendah pada lapisan permukaan lebih rendah dibandingkan dengan lapisan sub permukaan (tier bawah-permukaan) dan pada lapisan tier dasar DHL meningkat dibandingkan lapisan sebelumnya.

Kadar C-organik pada gambut dataran rendah pada seluruh lapisan tergolong sangat tinggi >5%. Pada Lapisan permukaan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan di lapisan sub permukaan (tier bawah-permukaan) dan meningkat di lapisan tier dasar. Rasio C/N pada lapisan permukaan lebih rendah dibandingkan dengan lapisan sub permukaan dan tier dasar yang C/N semakin tinggi.

Kejenuhan Basa (KB) pada gambut dataran rendah termasuk kedalam KB yang rendah hal ini dapat dilihat dari kation-kation basa pada setiap lapisan yang nilainya tidak jauh berbeda. Kadar abu pada gambut dataran rendah di lapisan

permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan sub permukaan dan tier dasar.

4.1.11 Klasifikasi Tanah Gambut Dataran Rendah

Profil pewakil pada gambut dataran rendah diklasifikasikan berdasarkan Soil Taxonomy menurut Key to Soil Taxonomy edisi ke-12 (2014) dan Klasifikasi

Tanah Nasional edisi 1 (2014).

A. Soil Taxonomy 2014

Ordo, Tanah pada profil pewakil memiliki bahan organik dan potongan kayu yang berdiameter ≥ 20 mm, dan tidak terdekomposisi secara keseluruhan sehingga ketika diremas akan meninggalkan sisa ditangan. Sebagian tanah organik memiliki lapisan permukaan mineral setebal kurang dari 40 cm yang terdiri dari bahan saprik, hemik atau fibrik dari tiga perempat (dari volume) atau lebih dari volume serat-seratnya berasal bahan induk kayu. Lapisan permukaan sampai sedalam 60 cm memiliki berat volume kurang dari 0,1 g/cm3. Hal tersebut menegaskan bahwa tanah dari profil pewakil memenuhi sifat tanah organik yang diklasifikasikan sebagai ordo Histosol.

Sub Ordo, Hasil pengamatan profil pewakil memiliki kedalaman bahan organik yang lebih dari bahan tanah saprik daripada jenis lain dan bahan organik baik pada bagian tier bawah, tidak terdapat lapisan mineral yang kontinyu setebal 40 cm atau lebih yang batas atasnya di dalam tier bawah. Tanah gambut ini sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal ditelapak tangan < 1/3 jumlah semula. Hal ini menyatakan bahwa tanah ordo Histosol dan memiliki kriteria dalam sub ordo saprik.

Great Grup, Hasil pengamatan dilapangan pada profil pewakil memenuhi kategori sub ordo saprist lainnya sehingga termasuk kedalam great grup Haplosaprist.

Sub Grup, Pada pengamatan profil pewakil great grup haplosaprist ini tidak termasuk memenuhi syarat untuk sub grup lainnya sehingga diklasifikasikan sebagai Typic Haplosaprist.

Berdasarkan Key to Soil Taxonomy 2014, bahwa profil tanah gambut dataran rendah yang berlokasi di Desa Sidumulyo, Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu memiliki klasifikasi tanah sebagai berikut :

Ordo : Histosol Sub Ordo : Saprist Great Grup : Haplosaprist Sub Grup : Typic Haplosaprist B. Klasifikasi Tanah Nasional.

Jenis Tanah, Tanah yang mempunyai bahan organik setebal ≥50 cm dan memiliki bulkdensity <0,1 gr/cm3 diklasifikasikan dalam jenis tanah Organosol.

Macam Tanah, Dari hasil pengamatan, dapat diketahui tanah organosol

pada profil pewakil memiliki bahan saprik dengan serta kasar < 15% sehin gga macam tanah termasuk kedalam Organosol Saprik.

Berdasarkan Klasifikasi Tanah Nasional, bahwa profil pewakil gambut dataran rendah yang berada pada lokasi di Desa Sidumulyo, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhan Batu memiliki klasifikasi tanah sebagai berikut:

Jenis Tanah : Organosol

Macam Tanah : Organosol Saprik

4.2 Pembahasan

Lahan gambut dataran tinggi Toba pada hakekatnya memiliki sifat yang sama dengan lahan gambut pada umumnya yang berada di dataran rendah pada awalnya lahan gambut dikonsepkan secara pedologi yang sifat morfologinya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik, tingkat dekomposisi, dan jenis bahan organiknya (Sukarman, 2016). Gambut dataran rendah terbentuk akibat adanya cekungan yang membentuk seperti danau dangkal yang secara perlahan akan ditumbuhi oleh tanaman air maupun vegetasi lahan basah (Susanto, et al.

2018). Hasil pelapukan yang berada ditengah-tengah cekungan akan membentuk lapisan gambut baru yang lama-kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Agus dan Subiksa, 2008). Di dataran tinggi Toba terdapat cekungan akibat dampak dari letusan Gunung Toba dimana cekungan ini tidak memiliki aliran keluar masuk air dan terjadi penimbunan biomassa tumbuh-tumbuhan seperti pohon-pohon koniferus dan tanaman lainnya yang secara terus menerus sampai menjadi lapisan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di dataran tinggi Toba memiliki ciri lapisan permukaan mineral yang tebalnya kurang dari 40 cm, terdiri dari 2 tingkat kematangan bahan organik yaitu saprik dan hemik dan tiga perempat dari volume atau lebih serat-seratnya berasal dari bahan induk kayu sehingga menurut klasifikasi Soil Taxonomy (2014) bahan organik yang terdapat di dataran tinggi Toba termasuk dalam ordo Histosol atau yang sering disebut dengan tanah gambut.

Gambut dataran tinggi Toba memiliki karakteristik yang cukup unik dan spesifik antara lain memiliki nilai C-organik yang lebih rendah daripada gambut pada umumnya yang biasa terdapat di dataran rendah. Kadar C-organik gambut

dataran tinggi Toba <18% dimana pada umumnya tanah gambut yang memiliki ketebalan 50 cm atau lebih akan memiliki lapisan kaya akan bahan organik dengan nilai C-organik >18% (Agus dan Subiksa, 2008). C-organik gambut dataran tinggi Toba yang lebih rendah daripada gambut pada umumnya juga didapat pada hasil penelitian Sitanggang, et al. (2013) dimana pada penelitian ini dilakukan pemetaan potensi karbon pada 3 kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan dan hasil penelitian menunjukkan nilai C-organik berkisar antara 6,13% -17,81% demikian juga dengan hasil penelitian Purba, et al (2017) mendapatkan nilai C-organik pada 3 kecamatan yaitu Lintong ni Huta, Dolok Sanggul dan Pollung didapat C-organik berkisar antara 8,75%- 17,17%.

Rendahnya C-organik pada gambut dataran tinggi Toba dipengaruhi bahan organik yang belum terdekomposisi secara sempurna dikarenakan Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki suhu udara berkisar antara 17oC – 29oC dengan rata-rata kelembaban udara sebesar 85,94% (BPS Humbahas, 2020). Kondisi tersebut menjadikan laju dekomposisi bahan organik menjadi lebih lambat dibandingkan kondisi gambut pada umumnya yaitu yang berada di dataran rendah.

Selain C-organik, sifat spesifik lahan gambut dataran tinggi Toba adalah bahan induk gambut dataran tinggi Toba yang berasal dari hutan koniferus yang menghasilkan bahan kayu yang besar sehingga masih banyak serat kayu dan potongan-potongan kayu besar ditemukan di lapisan sub permukaan gambut sampai pada saat ini. Hal itu terbukti dari aktivitas penambangan kayu yang berasal dari lahan gambut Lintong Nihuta yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk pembuatan arang, hingga perusahaan seperti PT. Indorayon menggunakan

kayu yang terdapat di dalam gambut sebagai bahan bakar. Banyaknya serat kayu dan potongan-potongan kayu berdampak pada dekomposisi bahan organik yang menjadi lebih lambat. Senyawa lignin yang terdapat pada bahan organik sulit dirombak menjadi bahan anorganik dan tidak digunakan oleh mikroba. Bahan organik yang mengandung lignin memiliki kompleksitas struktur, bobot molekul yang tinggi dan sifat ketidaklarutannya dalam air membuat degradasi lignin sangat sulit (Perez, et al. 2002) .

pH NaF gambut dataran tinggi Toba relatif tinggi, ini tidak terlepas dari letak wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan yang secara geografis berada disebelah timur Kaldera Toba sehingga pembentukan wilayah tersebut dipengaruhi oleh Oldest Tuff/OTT pada 840.000 tahun yang lalu. Danau Toba/

Kaldera Toba sendiri proses pembentukannya terdiri dari 4 kaldera yang terjadi secara susul menyusul selama 1,2 juta tahun terakhir dan letusan terakhir tejadi 74.000 tahun yang lalu yang mengakibatkan amblasnya kubah di atas magma sehingga menciptakan kaldera raksasa yang disebut Danau Toba (Arif, et al.

2014). Adanya aktivitas dari gunung api yang menghasilkan bahan piroklastik yang merupakan sumber bahan induk tanah vulkanis dalam klasifikasi tanah disebut sebagai Andisol ( Soil Survey Staff, 1990). Sifat kimia dan morfologi Andisol berkaitan erat dengan mineral liat non kristalin seperti alofan dan mineral liat parakristalin imogolit (Wada, 1989). Identifikasi alofan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pengukuran pH dengan pengekstrak kuat seperti NaF dimana pH NaF lebih besar dari pH >9,4 (Arabian, et al. 2015).

Gambut dataran tinggi Toba yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan berada di kawasan jajaran Bukit Barisan dengan keadaan fisiografi

umumnya berbukit dan bergelombang dengan selingan daratan, terletak pada ketinggian 330 - 2.075 m dpl dan merupakan suatu kawasan pertanian agrobisnis dengan potensi pengembangan yang cukup besar. Kondisi tersebut membuat areal gambut mendapatkan penambahan bahan mineral dari perbukitan di sekitar lahan gambut tersebut dan aktivitas pertanian oleh masyarakat sekitar. Fitra, et al. 2019 menyatakan penambahan bahan mineral bukan hanya dari intensitas pemupukan yang tinggi namun salah satu yang mempengaruhi kadar abu adalah tipe tanah gambut, posisi keberadaan, jenis, ketebalan dan lain sebagainya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Gambut dataran tinggi Toba memiliki tingkat kematangan hemik dari lapisan permukaan sampai dengan lapisan bawah permukaan sedangkan di gambut dataran rendah memiliki tingkat kematangan saprik pada lapisan permukaan dan sub permukaan serta tingkat kematangan hemik di lapisan bawah permukaan.

2. Sumber air dari gambut dataran tinggi Toba berasal dari curah hujan dengan posisi keberadaan lahan gambut yang berada disekitar bukit-bukit barisan mempengaruhi tingkat kematangan, laju dekomposisi, C-organik dan kadar abu di lahan gambut tersebut sedangkan pada gambut dataran rendah sumber air yang berasal dari aliran permukaan maupun pasang surut air laut akan mempengaruhi pH, KTK, daya hantar listrik dan kadar abu.

3. Klasifikasi tanah menurut Soil Taxonomy 2014 pada gambut dataran tinggi Toba adalah Hydric Haplohemist sedangkan gambut dataran rendah adalah Typic Haplosaprist. Klasifikasi tanah menurut KlasifikasiTanah Nasional pada gambut dataran tinggi adalah Organosol Hemik dan gambut dataran rendah adalah Organosol Saprik.

5.2 Saran

Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang laju emisi CO2 gambut dataran tinggi Toba dan dataran rendah terkait dengan sifat gambut dataran

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, A., K. Sudarman, dan D. A. Suriadikarta. 1998. Pengembangan lahan pasang surut: keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari aspek fisiko kimia lahan pasang surut. Hlm 1-10. Dalam Sabran et al. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balitbangtan, Puslitbangtan, Balittra. Banjarbaru.

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Soil Resources, Management & Conservation Cervice. FAO Land and Water Development Division. FAO, Rome. P 165.

Arabian, T. Karim, A. Zainabun., Sari. I.P. 2015. Karakteristik Tanah Typic Hapludand di Univerity Farm UNSYIAH kabupaten Bener Meriah.

Journal Penelitian. Agrosamudra Vol. No. 2 juli 2015.

Arif. A, Permanasari. I, Sodikin. A, dan M, Hilmi. F. 2014. Toba Mengubah Dunia (Ekspedisi Cincin Api). PT. Kompas Media Nusantara. 104 hlm.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011.

Peta Lahan Gambut Sakala 1:250.000 Peta Lahan Gambut Indonesiaa skala 1:250.000. Bogor. Indonesia:BBSDLP.

Bemmelen, R. W., Van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. 1-A, Gov. Printed Office, The Hague, 732 p.

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2019. Statistik Daerah Kabupaten Labuhan Batu 2018 : Badan Pusat Statistik Labuhan Batu.

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2020. Statistik Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan 2019 : Badan Pusat Statistik Kabupaten Humbahas.

Fitra, S. J., Prijono, S. Maswar. 2019. Pengaruh Pemupukan Pada Lahan Gambut Terhadap Karateristik Tanah, Emisi CO2, dan Produktivitas Tanaman Karet. Jurn Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol.6 No 1:1145-1156.

Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Tanah.

Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004.

Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi

pemupukan P. dalam Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang.

Hartatik, W., Subiksa, I.G.M. dan Dariah, Ai. 2011. Sifat Kimia dan Fisik Tanah Gambut. Pada: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor: Balai Penelitian Tanah, pp. 45.

Kurnain, A., T. Notohadikusumo, B. Radjagukguk, and Sri Hastuti. 2001. The state of decomposition of tropical peat soil under cultivated and fire damage peatland. Pp168-178. In Rieley, and Page (Eds.). Jakarta Symp.

Proc. on Peatlands for People: Nat. Res. Funct. and Sustain. Manag.

Maas, A. 2012. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan gambut masa mendatang. Kata Pengantar Hlm. 17-23. Dalam M. Noor et al. (Eds.).

Lahan Gambut: Pemanfaatan dan Pengembangannya untuk Pertanian.

Yogyakarta.

Masganti, T. Notohadikusumo, A. Maas, dan B. Radjagukguk. 2002. Efektivitas pemupukan P pada tanah gambut. J. IlmuTanah dan Lingkungan 3(2):38-48.

Masganti. 2003a. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Hlm 355.

Masganti. 2003b. Pengaruh macam senyawa penjerap, dan sumber pupuk P terhadap daya penyimpanan hara bahan gambut saprik. J. Tanah dan Air 4(2):100-107.

Masganti dan M. Anda. 2016. Lahan Gambut Indonesia : Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Masganti. K. Anwar dan M.A. Susanti. 2017. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal Untuk Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.

Makalah Riview. ISSN 1907-0799.

Noor M. 2010. Lahan Gambut Pengembangan, Konservasi dan Perubahan Iklim.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Noor, M., Masganti, F. Agus. 2016. Lahan Gambut Indonesia, Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Edisi Revisi. Cetakan II. 246 hlm.

Nurjanah, S. Octavia, D. dan Kusumadewi, F. 2013. Identifikasi Lokasi Penanaman Kembali Ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di Hutan Rawa

Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia, and J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose, and lignin: an overview. Int. Microbiol. 5: 53-63.

Prasetyo, B. H., and Suharta, N. 2011. Genesis and Properties of Peat At Toba Higland Area Of North Sumatra. Indonesian Journal of Agricilture Science : 12(4): 1-8.

Purba, D. K. Mukhlis dan Supriadi. 2017. Klasifikasi Tanah Gambut di Dataran Tinggi Toba. Jurnal Agroekoteknologi. Vol.5 No.1 Januari 2017(14):103-112.

Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and problems for sustainability.pp. 45-54. In J.O. Rieley and S.E. Page (Eds.).Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland.

Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands, Palangkaraya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Radjagukguk, B. 2001. Prespektif Permasalahan dan Konsepsi Pengelolaan Lahan Gambut Tropika untuk Pertanian Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kimia Tanah. Fakultas Pertanian.

Universitas Gadjah Mada.

Rieley, J.O., S.E. Page, dan B. Setiadi. 1996. Distribution of peatlands in Indonesia. Dalam. Lappalainen, E. (Ed.). Global Peat Resources.

International Peat Society, Findland. Hlm 169-177.

Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, dan C.

Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, Indonesia.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, Indonesia.

Dokumen terkait