• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

4.2.1 Kondisi ekosistem terumbu karang

Ekosistem terumbu karang di sepuluh Stasiun penelitian berdasarkan kondisi penutupan substrat dasar terdiri dari karang hidup, alga, biota lain, soft coral, patahan karang dan pasir. Hasil penelitian terlihat penutupan karang hidup bervariasi antar stasiun dengan rata-rata tutupan karang hidup sebesar 32.16%.

Penutupan karang hidup di kawasan A (stasiun 1 dan 2) dengan nilai rata –rata tertinggi sebesar 47.66% bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan lokasi stasiun penelitian yang terletak di sekitar areal pelabuhan dan juga terdapat kantor Pangkalan Angkaan Laut dan Polisi Perairan yang berkantor di sekitar areal tersebut. Adanya aspek pengawasan dan pemantauan mengurangi kegiatan destructive fishing yang berdampak buruk terhadap ekosistem terumbu karang.

Kondisi tutupan karang hidup pada kawasan B (stasiun 3,4,5,6,7,8) dengan nilai rata-rata 24.61% dimana lebih rendah bila dibandingkan kawasan A. Kondisi substrat dasar ekosistem terumbu karang di kawasan ini didominasi oleh patahan karang/rubble dan karang lunak/soft coral. Hasil penelitian pada stasiun 4 menunjukkan tutupan karang hidup paling rendah bila dibandingkan dengan 5 stasiun lain yang ada di kawasan B. Stasiun ini juga terdapat tutupan karang lunak/soft coral dan patahan karang/rubble yang cukup tinggi serta tingkatan TSS (Total Suspended Solid) paling tinggi. Hal ini disebabkan di stasiun tersebut merupakan daerah yang relatif tenang dan terlindung dimana pada waktu musim barat sering digunakan sebagai tempat berlindung bagi kapal-kapal dikarenakan gelombang yang cukup tinggi di sekitar pelabuhan utama. Adanya kapal yang berlabuh dengan jangkar yang banyak dilabuhkan memperburuk kondisi pada stasiun ini. Kawasan yang terletak relatif jauh dari mainland (Pulau Timor) dimana untuk mencapai kawasan tersebut melalui penyeberangan laut. Jauhnya lokasi serta kurangnya pengawasan menyebabkan tingginya aktivitas destructive fishing pada areal tersebut.

Kondisi tutupan karang hidup pada kawasan C (stasiun 9 dan 10) dengan nilai rata-rata sebesar 39.33%. Kondisi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kawasan B dan lebih rendah bila dibandingkan dengan kawasan A. Kawasan C terletak berdekatan dengan pemukiman penduduk, dimana pada kawasan ini terdapat sungai/kali kecil yang bermuara pada stasiun 9 dan 10. Masyarakat di sekitar kawasan mempunyai kebiasaan berjalan di atas karang dan memungut hasil laut pada saat air laut surut, sedangkan pada saat air pasang masyarakat sekitar biasanya memasang jaring dan menangkap ikan sekitar wilayah pantai. Adanya aktivitas tersebut serta aliran sungai yang membawa sedimen dari wilayah daratan berpengaruh terhadap pertumbuhan karang pada kawasan ini.

Dari hasil analisis PCA didapat hasil bahwa pada kawasan A dicirikan dengan tutupan karang hidup, rekruitmen dan ikan herbivora yang tinggi

sedangkan pada kawasan B dicirikan dengan tutupan karang lunak/soft coral dan kandungan TSS yang cukup tinggi. Pada kawasan C dicirikan dengan tutupan alga yang cukup tinggi.

Ekosistem terumbu karang mengalami ancaman serius baik secara lokal maupun global dari berbagai aktivitas anthropogenic baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari ancaman-ancaman tersebut yang paling utama yaitu: eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan, perikanan yang bersifat merusak/destructive fishing, run off sedimen dan nutrien dari lahan pertanian, pengembangan pesisir dan aktivitas pariwisata yang tidak terkontrol (Fabricus 2005)

Menurut Dahuri et al (1996) faktor – faktor penyebab terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh: (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, pembangunan jalan dan hiasan (ornamen), (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan alat tangkap yang operasinya menyebabkan rusaknya terumbu karang, seperti muroami, (3) pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian, rumah tangga baik berasal dari kegiatan di darat (land base activities), maupun kegiatan di laut (marine base activities) (4) pengendapan (sedimentasi) dan peningkatan kekeruhan air akibat erosi tanah di daratan, kegiatan penggalian di pantai dan penambangan di sekitar terumbu karang dan (5) eksploitasi berlebihan sumberdaya perikanan karang

Kondisi ekosistem terumbu karang pada kawasan B mengalami kerusakan akibat praktek destructive fishing berupa penggunaan bahan peledak/bom. Hal ini terlihat dari banyaknya patahan karang pada kawasan tersebut. Pet-Soede et al. 1999 menyatakan bahwa pemboman ikan/blast fishing adalah satu dari ancaman anthropogenic yang paling merusak ekosistem terumbu karang dan mempunyai dampak kerusakan yang cukup besar. Dampak pertama terhadap ikan dan invertebrate yang hidup di daerah karang, tidak hanya ukuran dan jenis ikan yang disukai yang terbunuh tetapi juga organisme lain yang bukan merupakan target, semua spesies dan ukuran (termasuk juvenile) merupakan korban dari ledakan tersebut. Dampak selanjutnya terumbu karang hancur akibat ledakan tersebut dan tidak lagi berfungsi sebagai penyedia makanan, tempat berlindung organisme laut serta hilangnya fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai. Blast fishing adalah tindakan illegal namun tersebar secara luas dan merupakan tantangan utama bagi ekosistem terumbu karang dimana

kegiatan destructive fishing diperkirakan merupakan tantangan bagi lebih dari 50% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara (McManus 2000). Pemboman ikan tidak hanya membunuh ikan dan merusak karang, tapi juga menciptakan areal yang cukup luas (rubble zone) bersifat tidak stabil berupa rubble/patahan karang (Alcala & Gomez 1987) dimana hal tersebut mengurangi survival rekruitmen karang (Fox 2004). Estimasi waktu recovery/pemulihan bagi terumbu karang dari gangguan berkisar 10 tahun apabila substrat yang tertinggal masih utuh (Connell 1997) antara 40 – 70 tahun (Dollar and Tribe 1993). Meskipun informasi yang terbatas mengenai dampak jangka panjang dari kegiatan blast fishing atau dinamika pemulihan/recovery terumbu karang, waktu pemulihan karang akibat blast fishing dan areal ship grounding diperkirakan antara 100-160 tahun dan mungkin butuh waktu yang lebih lama pada areal dengan kecepatan arus yang cukup tinggi (Connel 1997).

Dari hasil penelitian tingkatan rata-rata rekruitmen pada masing-masing kawasan A 5.905 %, kawasan B 1.267 %, dan kawasan C 3.942 %. Rekruitmen karang adalah pelopor/perintis penting bagi pemulihan karang yang mengalami kerusakan akibat gangguan (Connell 1997). Rekruitmen merupakan supply individu baru dalam suatu populasi, untuk terumbu karang didefinisikan sebagai pertumbuhan karang muda dengan ukuran lebih kecil dari 10 cm. Salah satu faktor yang mempengaruhi rekruitmen adalah tersedianya substrat yang keras untuk penempelan larva. Kawasan B dengan rata-rata tingkatan rekruitmen paling rendah. Hal ini disebabkan patahan karang/rubble di kawasan tersebut dimana patahan karang substrat yang tidak stabil sehingga mengakibatkan rendahnya tingkatan rekruitmen pada areal tersebut. Fox et al. 2003, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Komodo menyatakan bahwa kondisi terumbu karang mengalami kerusakan dikarenakan aktivitas pemboman ikan. Akibat kegiatan tersebut menciptakan “rubble fields” pada kawasan Taman Nasional Komodo. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa patahan karang/rubble bergeser beberapa sentimeter per hari pada masing-masing stasiun penelitian, dimana beberapa patahan bergeser 10-15 bahkan 50 cm/hari. Pergeseran tersebut tentunya terkelupasnya atau terkuburnya koloni karang yang kecil yang sudah menempel pada patahan karang tersebut. Dari hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa “rubble fields” di Taman Nasional Komodo dengan tutupan yang cukup tinggi dan tidak stabil serta survival rekriutmen karang yang rendah.

Berdasarkan hasil penelitian pada kawasan B menunjukkan tutupan karang lunak/soft coral yang tertinggi bila dibandingkan pada kawasan A dan kawasan C. Jenis soft coral yang dominan yaitu: Xenia dan Sinularia. Gangguan yang cukup besar terhadap ekosistem terumbu karang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran keseimbangan/phase shift dimana ekosistem yang awalnya didominasi karang keras berubah menjadi dominasi soft coral atau makrolaga (Done 1992a). Menurut Fox et al. 2003 berdasarkan hasil pengamatan di Taman Nasional Komodo, setelah ekosistem terumbu karang pada areal tersebut mengalami kerusakan akibat pemboman maka, tutupan soft coral mendominasi areal tersebut sekitar 95 -100% terutama dari jenis Xenia, Sarcophyton, Nepthea dan Clavularia. Soft Coral tidak hanya mendominasi seluruh areal sebagai penjajah yang sukses, dengan fekunditas yang tinggi serta beberapa cara perluasan juga merupakan pesaing karang keras (Benayahu & Loya 1985). Soft coral juga menghalangi rekruitmen larva karang Scleractinia dengan mengeluarkan zat allelopathy (Maida et al. 1995). Karang lunak Xenia puertogalerae dilaporkan mengurangi jumlah rekruitmen karang di sekitarnya (Atrigenio & Alino 1996).

Faktor yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan rekruitmen karang adalah sedimen. Pada semua stasiun di ketiga kawasan mempunyai kadar TSS dengan nilai yang tidak berbeda jauh kecuali pada stasiun 4 di kawasan B. Fabricus (2005) menyatakan bahwa sedimen memperlihatkan dampak negatif terhadap terumbu karang. Sedimentasi mengurangi laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spesies karang meskipun dengan dampak yang berbeda diantara spesies karang dan juga tipe sedimen yang berbeda. Tutupan sedimen atau sediment trapping oleh alga adalah faktor utama yang mempengaruhi rekruitmen dan kelangsungan hidup pada tahapan awal pertumbuhan karang.

Dokumen terkait