• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuadran I Strategi agresif

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG

4.4 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 1 Topograf

Secara topografis, wilayah kabupaten Sampang terdiri dari berbagai jenis kelerengan, yaitu 0 sampai 2%, diatas 2 sampai 15%, diatas 15 sampai 25%, diatas 25 sampai 40% dan diatas 40% dengan rincian sebagai berikut (Bappeda Sampang 2010):

- Kelerengan 0−2% meliputi luas 17 130.26 ha atau 54.70% dari luas wilayah lokasi penelitian kecuali daerah genangan air, pada wilayah ini sangat baik untuk pertanian tanaman semusim.

- Kelerengan 2−15% meliputi luas 12 965.62 ha atau 41.41% dari luas wilayah lokasi penelitian, baik sekali untuk usaha pertanian dengan tetap mempertahankan usaha pengawetan tanah dan air. Selain itu pada kemiringan ini cocok juga untuk konstruksi/permukiman.

- Kelerengan 15−25% dan 25−40% meliputi luas 765.12 ha atau 2.44% dari luas wilayah lokasi penelitian. Daerah tersebut baik untuk pertanian tanaman keras/tahunan, karena daerah tersebut mudah terkena erosi dan kapasitas penahan air yang rendah. Karenanya lahan ini pun tidak cocok untuk konstruksi.

- Kelerengan > 40% meliputi luas 453.00 ha atau 1,45% dari luas wilayah lokasi penelitian. Daerah ini termasuk kedalam kategori kemiringan yang sangat terjal (curam) dimana lahan pada kemiringan ini termasuk lahan konservasi karena sangat peka terhadap erosi, biasanya berbatu diatas permukaannya, memiliki run off yang tinggi serta kapasitas penahan air yang rendah. Karenanya lahan ini tidak cocok untuk konstruksi.

Pada daerah tropis seperti di Kabupaten Sampang, ketinggian wilayah merupakan unsur penting yang menentukan persediaan fisik tanah. Dengan adanya perbedaan tinggi akan menentukan perbedaan suhu yang berperan dalam menentukan jenis tanaman yang cocok untuk diusahakan. Disamping itu ketinggian juga erat hubungannya dengan unsur kemampuan tanah yang lain, misalnya lereng dan drainase.

4.4.2 Jenis dan Kedalaman Efektif Tanah

Dilihat dari jenis tanah di lokasi penelitian (Tabel 9 dan Gambar 8), bagian yang terluas adalah tanah dari jenis aluvial hidromorf yakni seluas 298.32 ha atau meliputi 25.07%, tersebar di seluruh kecamatan di lokasi penelitian. Diikuti oleh jenis tanah Kompleks grumusol kelabu dan litosol dengan luas sekitar 8 832.38 ha atau 23.82% yang mendominasi jenis tanah di Kecamatan Camplong. Pada kedua jenis tanah ini terdapat tambak yang diusahakan untuk produksi garam rakyat. Sementara untuk proporsi jenis tanah terendah adalah jenis kompleks mediteran, grumusol, regosol dan litosol seluas 177.92 ha (0.48%) yang terdapat di bagian utara Kecamatan Sampang dan Torjun.

Kedalaman efektif tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Kedalaman efektif adalah tebalnya lapisan tanah dari permukaan sampai kelapisan bahan induk atau tebalnya lapisan tanah yang dapat ditembus perakaran tanaman. Makin dalam lapisan tanah, maka kualitas tanah makin baik untuk usaha pertanian.

Tabel 9 Jenis tanah lokasi penelitian

No Jenis tanah Luas (ha) Proporsi (%) 1. Aluvial hidromorf 9 298.32 25.07 2. Aluvial kelabu kekuningan 4 811.88 12.98 3. Asosiasi hidromorf kelabu dan planosol coklat keke 5 747.60 15.50 4. Asosiasi litosol dan mediteran coklat kemerahan 2 078.66 5.61 5. Grumusol kelabu 985.07 2.66 6. Kompleks grumusol kelabu dan litosol 8 832.37 23.82 7. Kompleks mediteran merah dan litosol 1 714.86 4.62 8. Kompleks mediteran, grumusol, regosol dan litosol 177.92 0.48 9. Litosol 3 437.82 9.27

Jumlah 37 084.49 100.00

Sumber: Diadaptasi dari Bappeda (2010)

Kedalaman efektif tanah di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan dalam 5 (lima) kategori, yaitu < 30 cm, 30−60 cm, 60−90 cm, 90−120 cm dan > 120 cm. Kedalaman efektif tanah di lokasi penelitian didominasi oleh tanah yang mempunyai kedalaman efektif tanah diatas 120 cm, yakni seluas 29 335 ha atau 79.10%. Tanah dengan kedalaman efektif tanah terendah adalah sebanyak 899 ha atau sekitar 2.42% dari seluruh luas lokasi penelitian.

4.4.3 Iklim

Seperti daerah di Indonesia pada umumnya Kabupaten Sampang mempunyai iklim tropis yang ditandai dengan adanya 2 (dua) musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung antara bulan Oktober sampai dengan bulan April dan musim kemarau berlangsung antara bulan April sampai bulan Oktober.

Rata-rata curah hujan di Kabupaten Sampang adalah sekitar 917.8 mm/tahun, sedangkan rata-rata jumlah hari-hari hujan mencapai 6.47 hh/tahun. Berdasarkan data yang ada, curah hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Kedungdung yakni 1 735.8 mm/tahun, sedangkan curah hujan terendah terdapat di Kecamatan Sreseh yakni 554.2 mm/tahun. Profil klimatologi Kabupaten Sampang ditunjukkan pada Tabel 10.

Curah hujan merupakan variabel penting dalam kesesuaian pengusahaan tambak garam. Di antara rata-rata curah hujan keenam kecamatan di lokasi penelitian, semua kecamatan memungkinkan untuk pengembangan tambak garam secara tradisional yang memanfaatkan sinar matahari karena curah hujan dibawah 1300 mm/tahun (BRKP dan BMG 2005). Semakin rendah curah hujan, maka semakin baik untuk pengusahaan garam.

Tabel 10 Kondisi iklim di Kabupaten Sampang

Kecamatan Curah hujan Klimatologi (Rata-rata)

(mm/th) hujan (hh/th) Hari-hari Suhu (oC) Kelembaban udara (%) angin (km/jam) Kecepatan

Sreseh 554.2 3.25 - - - Jrengik 1 079.2 5.42 - - - Pangarengan 497.5 3.83 - - - Torjun 689.2 4.42 - - - Sampang 870.8 5.08 - - - Camplong 607.5 5.25 - - - Omben 1 045.0 8.19 - - - Kedungdung 1 735.8 7.58 - - - Jrengik 1 079.2 5.42 - - - Tambelangan 1 015.8 7.58 - - - Banyuates 1 050.0 6.67 - - - Robatal 1 113.3 10.83 - - - Karangpenang 85.42 9.58 - - - Ketapang 89.00 6.75 - - - Sokobanah 846.7 6.17 - - - Rata-rata 917.6 6.47 - - - Sumber : Bappeda Sampang (2010). Keterangan (-) tidak ada data.

4.4.4 Oseanografi

Salah satu aspek oseanografi yang menjadi faktor yang perlu mendapat perhatian untuk pengembangan lahan untuk tambak adalah amplitudo pasang surut. Pasang surut adalah proses naik turunnya muka air laut yang teratur, disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari serta benda-benda angkasa lainnya. Rentang amplitudo pasang surut yang sesuai untuk

pengembangan lahan tambak tambak berkisar 0.5–3.5 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Di lokasi penelitian, air tambak yang diusahakan masyarakat berasal dari Selat Madura. KKP (2010c) menunjukkan bahwa pasang surut di perairan Selat Madura adalah tipe pasang surut campuran dengan dominasi harian ganda (mixed semi-diurnal). Tipe pasang surut ini diketahui dari komponen utama pasang surut. Amplitudo komponen pasang surut utama di perairan Selat Madura sebagai berikut:

- AM2 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang

dipengaruhi oleh bulan) = 34

- AS2 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang

dipengaruhi matahari) = 14

- AK1 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal rata-rata

yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari) = 32

- O1 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal yang

dipengaruhi oleh deklinasi matahari) = 11

Dari nilai komponen pasang surut utama tersebut diperoleh nilai F (Form- Zahl) atau konstanta pasang surut (tidal constant) sebesar 0.89 atau berada dalam kisaran 0.25 < F < 1.50 yang berarti tipe pasang surut campuran (mixed type) yang dominan ke harian ganda (mixed semi-diurnal). Dalam sehari semalam terjadi dua kali pasang. Dari konstanta harmonik pasang surut tersebut diperoleh nilai

- Highest high water level (HHWL) = 91 cm - Mean high water level (MHWL) = 43 cm - Mean sea level (MSL) = 0 cm - Mean low water level (MLWL) = −43 cm - Lowest low water level (MLWL) = −91 cm

Menurut KKP (2010c), dengan kemiringan lahan 0 sampai 4% memungkinkan air laut dapat masuk ke lahan pegaraman pada saat pasang, namun pada saat surut air laut tidak dapat memasuki lahan pegaraman. Untuk itu di lokasi dilakukan pembuatan tanggul lahan pegaraman di titik terluar yang lebih tinggi (HHWL) dari kondisi pasang tertinggi dan pembuatan pintu air dari saluran primer atau sekunder agar air laut tidak kembali lagi ke laut.