• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA

B. Konsep-konsep Kekuasaan Kehakiman Indonesia

75

Kekuasaan kehakiman dan negara hukum merupakan satu kesatuan yang berarti bahwa kekuasaan kehakiman merupakan aspek utama negara hukum. Jika aspek tersebut tidak terdapat dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum. 76

Menurut Wirjono Prodjodikoro, kekuasaan kehakiman berfungsi untuk memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota masyarakat satu sama lain dan antara anggota masyarakat dengan pemerintah.77

74

Ibid. hal. 73.

75

Abdulah Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 78.

76

Ibid.

77

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti., Bandung, 2006, hal. 152.

Wewenang untuk memutus perkara tersebut mengarah kepada terwujudnya perlindungan hukum (rechtbescherming) bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi rakyat haruslah menegakkan keadilan dan kebenaran, dalam arti mengendalikan kekuasaan agar dalam membuat dan menerapkan hukum atau peraturan perundang-undangan

tidak bertindak secara sewenang-wenang, berlaku adil dan benar menurut hukum yang pada akhirnya akan menciptakan kehidupan yang tertib dan damai.78

Secara umum ada dua prinsip yang dipandang sangat pokok dalam kekuasaan kehakiman, yaitu: (1) prinsip kekuasaan kehakiman yang mandiri (the

principle of judicial independence), dan (2) prinsip kekuasan kehakiman yang

tidak memihak (the principle of judicial impartiality.)79

Prinsip independensi harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian dan pemberhentian hakim. Sedangkan prinsip ketidakberpihakan (the principle of

impartiality) di dalam praktek mengandung makna dibutuhkan hakim yang tidak

saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat secara imparsial (to appear to be impartial).80 Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan juga berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain seperti pandangan politik dan agama yang dianut oleh hakim.81

a. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak azasi manusia;

Bagir Manan menyebutkan beberapa alasan kekuasaan kehakiman harus mandiri yaitu:

78

Ibid.

79

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,Op. Cit, hal. 531.

80

Ibid, hal. 531-532.

81

b. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi;

c. Kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan untuk menjamin netralitas terutama apabila sengketa terjadi antara warga negara dengan negara/pemerintah;

d. Penyelesaian sengketa hukum oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsi sistem hukum dengan baik. 82

Montesquieu menekankan akan pentingnya kekuasaan kehakiman yang terpisah dari kekuasaan lainnya. Beliau mengemukakan:

When the legislative and executive powers are united in the same person or in the same body of magistrates, there can be no liberty because apprehensions, les the same monarch or senates should enact tyrannical laws, to executive judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control, or the judge would be the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression.83

Berdasarkan teks di atas, Montesquieu memberi penjelasan bahwa jika kekuasaan eksekutif dan legislatif berada dalam satu tangan apakah itu perseorangan atau suatu badan, maka kebebasan tidak akan ada. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum (legislator). Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim bisa jadi penindas dan bertindak semena-mena. Dengan demikian maka adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan upaya untuk mencegah penyelenggaraan negara atau pemerintahan secara sewenang-wenang oleh legislatif maupun eksekutif dan menjamin kebebasan anggota masyarakat negara.84

82

Sirajudin dan Zulkarnain, Op. Cit, hal. 30-31.

83

Ahmad Mujahidin, Op. Cit, hal. 17.

84

A. Mukti Arto mengemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung tiga tujuan dasar, yaitu: pertama sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara bada-badan penyelenggara negara. Kekuasaan kehakiman diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu. Kedua, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah agar penyelenggara pemerintahan bertindak tidak semena-mena dan tidak menindas. Ketiga, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk dapat menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintah atau suatu peraturan perundang-undangan, sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.85

Dalam Artikel 10 Universal Declaration of Human Right menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak dalam persamaan, yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam

Prinsip independensi kekuasaan kehakiman telah diakui secara global. Beberapa instrumen hukum internasional mengakui pentingnya independensi perdilan antara lain: Universal Declaration of Human Rights (article 10),

International Convenanton on Civil and political Rights (article 14), Vienna Declaration on Programme for Actions 1993 (paragraph 27), International Bar Association Codeof Minimum Standards of judicial Independence, New Delhi 1982, Universal declaration on the Independence of Justice, Montreal 1983.

85

A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah

setiap tuntutan yang diberikan kepadanya.” 86

a. Kemandirian peradilan harus dijamin oleh negara dan diabadikan dalam konstitusi atau undang-undang negara. Adalah kewajiban semua lembaga pemerintahan atau lembaga-lembaga yang lain untuk menghormati dan menaati kemandirian peradilan.

Hal ini berarti bahwa independensi kekuasaan kehakiman telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Maka, pengingkaran terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak sama saja dengan mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia.

Disamping itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Kongres Ketujuh tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan yang berlangsung di Milan, Italia, 1985 telah menggariskan prinsip-prinsip dasar tentang kemandirian kehakiman/peradilan sebagai berikut:

b. Peradilan harus memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya secara adil, atas dasar fakta-fakta dan sesuai dengan undang-undang tanpa pembatasan apa pun, pengaruh-pengaruh yang tidak tepat, bujukan-bujukan langsung atau pun tidak langsung, dari arah mana pun atau karena alasan apa pun.

c. Peradilan harus memiliki yurisdiksi atau semua pokok masalah yang diajukan untuk memperoleh keputusannya adalah berada dalam kewenangannya, seperti yang ditentukan oleh hukum.

d. Tidak boleh ada campur tangan apa pun yang tidak pantas atau tidak diperlukan dalam proses peradilan, juga tidak boleh ada keputusan-keputusan yudisial oleh peradilan banding atau pada pelonggaran atau keringanan oleh para penguasa yang berwenang terhadap hukuman-hukuman yang dikenakan oleh peradilan sesuai dengan undang-undang. e. Setiap orang berhak diadili oleh peradilan atau tribunal biasa, yang

menggunakan prosedur-prosedur proses hukum sebagaimana mestinya tidak boleh diciptakan untuk menggantikan yurisdiksi milik peradilan biasa atau tribunal yudisial.

f. Prinsip kemandirian peradilan berhak dan mewajibkan peradilan untuk menjamin bahwa hukum acara peradilan dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak pihak dihormati.

g. Adalah kewajiban setiap negara anggota untuk menyediakan sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan peradilan melaksanakan fungsi-fungsinya dengan tepat.87

86

Sirajudin dan Zulkarnain, Op. Cit.

87

Selanjutnya, masing-masing negara menegaskan kemandirian kekuasaan kehakiman dalam konstitusinya.88

UUD 1945 sebelum perubahan tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang pengertian kekuasaan kehakiman secara tuntas (uitputtend) sebagai salah satu kekuasaan negara.

Di Indonesia sendiri, penegasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 yang menyebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.” Hal tersebut semakin ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan yang menyatakan: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Perubahan UUD 1945 (1990-2002) telah membawa perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan pembaruan sistem peradilan sebagai salah satu agenda reformasi di bidang peradilan. Berikut diuraikan secara umum mengenai institusi peradilan dan ruang lingkup kekuasaan kehakiman di Indonesia sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945.

89

88

Ibid.

89

A. Mukti Arto., Op. Cit, hal. 146.

Oleh sebab itu, untuk mengetahui persoalan tersebut hanya dapat dilihat melalui gagasan-gagasan para pendiri bangsa (the founding

lainnya serta pendapat yang senafas dan sejalan dengan cita-cita proklamasi, tujuan negara RI serta nilai-nilai dasar konstitusi.90

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan landasan bagi terbentuknya sistem (tata) hukum baru yaitu sistem hukum hukum Indonesia. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari adanya suatu negara yang merdeka yang memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri tata negara dan tata hukumnya.91

1. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dll. Badan kehekiman menurut Undang-Undang.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Dokuritzu Zyunbi Iinkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia) mensahkan berlakunya UUD 1945 yang dirancang oleh Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sejak tanggal 29 Mei 1945 yaitu berupa rancangan mukadimah dan rancangan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Kemudian pada tanggal 29 Agustus 1945 Komite Nasional Pusat dalam rapatnya mengesahkan Undang-Undang Dasar yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

UUD 1945 sebelum perubahan, ketentuan dasar mengenai organ dan wewenang kehakiman diatur dalam dua pasal, yaitu:

Pasal 24:

2. Susunan dan kekuasaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang

Pasal 25:

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang –Undang.

90

Ibid.

91

Joeniarto, Asas-asas Hukum Tata Negara, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 1968, hal. 49.

Penjelasan resmi dari kedua pasal tersbut menyebutkan: “Kekuasaan kehakuman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubungan dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para Hakim.”

Prof. Wirjono Prodjodikuro, sebagaimana dikutip oleh Prof. M. Solly Lubis memberi makna dari ketentuan-ketentuan di atas sebagai berikut:

a. bahwa ada kekuasaan kehakiman (yudikatif), terpisah dari kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dan kekuasaan pemerintah (eksekutif) b. bahwa kekuasaan kehakiman ini adalah merdeka dalam arti terlepas dari

pengaruh pemerintahan

c. behwa ada satu Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi di Indonesia

d. bahwa adanya badan-badan pengadilan lain di Indonesia diserahkan kepada undang-undan untuk mengaturnya

e. bahwa pun syarat-syarat untuk pengangkata dan pemberhentian para hakim diserahkan kepada undang-undang untuk megaturnya

f. bahwa ada semacam instruksi kepada pembentuk undang-undang agar dijamin kedudukan yang layak dari para hakim di tengah-tengah masyarakat.92

Undang-Undang yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 di atas adalah undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman, yaitu a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasan

Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan;

b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;

c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sesuai dengan judulnya maka undang-undang yang terluas adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, karena selain mengatur tentang kekuasaan kehakiman juga mengatur mengenai kekuasaan kejaksaan. Sebagai undang-undang pertama yang mengatur kekuasaan kehakiman sejak Indonesia

92

M. Solly Lubis, S.H., Asas-Asas Hukum tata Tata Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1882, hal. 115-116.

merdeka, undang-undang ini menganut prinsip univikasi sebagai lawan dari prinsip pluralistik yang diterapkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Prinsip ini muncul pada Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948. Pasal 6 menyatakan bahwa: “dalam negara Republik Indonesia hanya ada tiga lingkungan peradilan, yakni:

1) Peradilan Umum;

2) Peradilan Tata Usaha Pemerintahan; 3) Peradilan Ketentaraan.”

Sementara Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 menegaskan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dalam peradilan umum dilaksanakan oleh:

1) Pengadilan negeri; 2) Pengadilan Tinggi; 3) Pengadilan Agung.”

Berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 di atas ternyata Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tidak mengatur tentang keberadaan Pengadilan Agama. 93

Begitu juga dengan Pengadilan Adat, tidak terdapat pengaturan yang jelas mengenai keberadaaan pengadilan ini. Ketentuan yang berkaitan dengan hal Akan tetapi tidak juga mengatur secara tegas penghapusan keberadaan Peradilan Agama. Ketidakjelasan itu dapat ditutupi dengan adanya Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan bahwa:

Perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup, harus diperiksa dan diputuskan menurut hukum agamanya, harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua, dan dua orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan menteri kehakiman.

93

tersebut adalah Pasal 10 yang menyatakan bahwa: “Sepanjang perkara yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat desa dan sebagainya harus diperiksa dan diputus oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat itu tinggal tetap pada mereka untuk diperiksa dan diputusnya.”94

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain. Berhubungan dengan hal tersebut, maka adanya ketentuan yang tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 yang menyebutkan “Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan salam soal-soal pengadilan”, adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam Penjelasan Umum undang-undang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 menyatakan bahwa pembentukan undang-undang ini didasarkan pada Tap. MPR Nomor II/MPRS/1960 tentang Haluan Negara yang berupa Manipol Usdek dimana salah satu cirinya adalah bahwa Presiden (pimpinan nasional) sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memiliki kedudukan superior terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, meliputi juga kekuasaan kehakiman.

95

94

Ibid.

95

Padmo Wahjono, Beberapa Masalah Ketatanegaraan di Indonesia, Penerbit CV.Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 32.

Mengenai jenis-jenis kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun yang secara garis besar Pasal itu berisikan empat hal, yaitu:

1) Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat jenis peradilan, yaitu: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer dan (d) Peradilan Tata Usaha Negara;

2) Semua Pengadilan berpucak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan;

3) Keempat jenis peradilan itu secara teknis berada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, sedangkan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah departemen terkait;

4) Dengan adanya keempat jenis peradilan tidak tertutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara damai di luar pengadilan.96

Mengenai jenis-jenis kekuasaan kehakiman tersebut, penjelasan Pasal 7 undang-undang tersebut menyatakan bahwa:

1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara;

2) Peradilan Umum meliputi: Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, dan Pengadilan Korupsi;

3) Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Berdasarkan penjelasan Pasal 7 di atas tidak disebutkan dengan tegas mengenai jenis Pengadilan Tata Usaha Negara apakah termasuk dalam Peradilan Umum atau Peradilan khusus. Hal ini berarti bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dimasukkan dalam Pengadilan Khusus, akan tetapi dinyatakan memiliki jenis peradilan tersendiri, yaitu Peradilan Administratif.97

Pokok materi yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 hampir sama dengan pokok pikiran yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Hanya Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 pengaturannya lebih luas karena megatur pula hak menguji dari Mahkamah Agung dan koneksitas.98

Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman

96

Abdul Rasyid Thalib, Op. Cit, hal. 159.

97

Ibid, hal.160.

98

Padmo Wahjono, beberapa Masalah ketatanegaraan Indonesia, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hal 32.

adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum RI. Selanjutnya, pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam Pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap yang diajukan kepadanya.

Kekuasaan kehakiman yang bebas sering dihubungkan dengan pengangkatan dan penggajian hakim.99 Hal ini tampak dalam Prasaran Seminar Hukum Nasional Tahun 1968. Dalam hal pengangkatan yang penting adalah adanya kerja sama antara yudikatif, eksekutif dan legislatif.100

Ada pun pengaturan mengenai penggajian hakim, karena hakim juga merupakan pegawai negeri sipil maka berlaku peraturan gaji pegawai negeri sipil. Hal ini tercermin dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang antara lain menyebutkan:

“untuk memperoleh hakim seperti tersebut di atas perlu ada kerja sama serta konsultasi antara Mahkamah Agung dan Pemerintah khususnya dalam bidang pengangkatan, pemberhentian, pemindahan, kenaikan pangkat, atau pun tindakan/hukuman administratif terhadap Hakim Pengadilan Umum sebelum Pemerintah mengadakan pengangkatan, pemberhentian dan lainnya.”

Dalam penjelasan dikemukakan pula:

“kerja sama yang dapat berupa usul-usul, pertimbangan atau pun saran-saran yang dapat diberikan oleh kedua badan setidaknya dapat mengurangi kemungkinan subjektis visme, apabila soal yang berhubungan dengan kepegawaian hakim ditentukan dan dilakukan secara eksklusif oleh satu eksklusif oleh satu badan dalam soal pengangkatan, pemberhentian dan lain-lain.” 99 Ibid. 100 Ibid.

Selain itu mereka memperoleh tunjangan jabatan hakim yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1977 tentang Tunjangan Jabatan Hakim pada Mahkamah Agung dan Peradilan Umum.101

101

Ibid.

Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diatur mengenai hak menguji Mahkamah Agung yang menyatakan tidak sah semua perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan Pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Ada pun pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang besangkutan (legislative review).

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangan pada ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi. Penjabaran lebih lanjut mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

Dalam usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai perdilan baik menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini biasa disebut dengan “kebijakan satu atap”. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Dengan berlakunya undang-undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memerhatikan saran dan pandapat dari Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia.102

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang Nomor 4 Tahun 2004. Dalam Pasal 43 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ditentukan bahwa sejak dialihkannya organisasi, admisnistrasi, dan finansial kepada kekuasaan Mahkamah Agung, maka: (a) semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara menjadi pegawai pada Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan structural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan Tata Usaha Negara, dan pengadilan tinggi tata Usaha Negara tetap menduduki jabatannya dan tetap

102

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Op. Cit, hal. 513.

menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung; (c) semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan Tata Usaha Negara dan pengadilan tinggi Tata Usaha Negara beralih ke Mahkamah Agung. Demikian juga halnya dengan lingkungan peradilan agama dan peradilan militer.

Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut di atas, sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Berdasarkan perubahan UUD 1945 (1999-2002) ditentukan bahwa Mahkamah Agung beserta