• Tidak ada hasil yang ditemukan

hubungan tersebut. Komitmen, ekspektasi, dan negosiasi menyediakan energi untuk beraktifitas dan menjelaskan perubahan yang terjadi antara caregiver dan pasien di setiap waktu (Williams, 2007).

Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata Fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.

Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni (Moeryadi, 2009). Donny (2005) menuliskan fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran.

Fenomenologi juga merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.

Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti (Smith et al, 2009).

Prinsip-prinsip penelitian fenomenologis ini pertama kali diperkenalkan oleh Husserl. Husserl mengenalkan cara mengekspos makna dengan mengeksplisitkan struktur pengalaman yang masih implisit. Konsep lain fenomenologis yaitu Intensionalitas dan Intersubyektifitas, dan juga mengenal istilah Phenomenologic Hermeneutic yang diperkenalkan oleh Heidegger. Setiap hari manusia sibuk dengan aktifitas dan aktifitas itu penuh dengan pengalaman. Esensi dari pengalaman dibangun oleh dua asumsi (Smith, et al 2009).

Pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika melihat mobil melewati kita, kita

berpikir siapa yang mengemudikannya, mengharapkan memiliki mobil seperti itu, kemudian menginginkan pergi dengan mobil itu. Sama kuatnya antara ingin bepergian dengan mobil seperti itu, ketika itu pula tidak dapat melakukannya. Itu semua adalah aktifitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sebuah sikap yang natural. Kesadaran diri merefleksikan pada sesuatu yang dilihat, dipikirkan, diingat dan diharapkan, inilah yang disebut dengan menjadi fenomenologi.

Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran individu, yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas (intentionality), menggambarkan hubungan antara proses yang terjadi dalam kesadaran dengan obyek yang menjadi perhatian pada proses itu. Dalam term fenomenologi, pengalaman atau kesadaran selalu kesadaran pada sesuatu, melihat adalah melihat sesuatu, mengingat adalah mengingat sesuatu, menilai adalah menilai sesuatu. Sesuatu itu adalah obyek dari kesadaran yang telah distimulasi oleh persepsi dari sebuah obyek yang “real” atau melalui tindakan mengingat atau daya cipta (Smith et al, 2009).

Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.

Smith, et al (2009) menuliskan bahwa menurut Heidegger pandangan lain dalam konsep fenomenologi adalah mengenai person (orang) yang selalu tidak dapat dihapuskan dari dalam konteks dunianya (person-in-context) dan intersubyektifitas. Keduanya juga merupakan central dalam fenomenologi. Intersubyektifitas berhubungan dengan peranan berbagi (shared), tumpang tindih (overlapping) dan hubungan alamiah dari tindakan di dalam alam semesta.

Polit dan Beck (2008) menyatakan bahwa terdapat dua jenis penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif.

1. Descriptive Phenomenology

Fenomenologi deskriptif dikembangkan oleh Husserl pada tahun 1962. Jenis penelitian ini menekankan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh manusia berdasarkan apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat, dievaluasi, dilakukan, dan seterusnya. Fokus utama fenomenologi deskriptif adalah ‘knowing’. Penelitian ini memiliki empat langkah, yaitu bracketing, intuiting, analyzing, dan describing.

Bracketing merupakan proses mengidentifikasi dan membebaskan diri dari teori-teori yang diketahuinya serta menghindari perkiraan-perkiraan dalam upaya memperoleh data yang murni. Intuting merupakan langkah kedua dimana peneliti tetap terbuka terhadap makna yang dikaitkan dengan fenomena yang dialami oleh partisipan. Analyzing merupakan proses analisa data yang dilakukan melalui beberapa fase seperti; mencari pernyataan-pernyataan signifikan kemudian mengkategorikan dan menemukan makna esensial dari fenomena yang dialami.

Describing merupakan tahap terakhir dalam fenomenologi deskriptif. Langkah ini peneliti membuat narasi yang luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti.

Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif adalah Collaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga fenomenologis tersebut berpedoman pada Filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena.

2. Interpretive Phenomenology

Interpretive Phenomenology dikembangkan oleh Heidegger pada tahun 1962. Filosofi yang dianut oleh Heidegger berbeda dengan Husserl. Inti filosofinya ditekankan pada pemahaman dan interpretif (penafsiran), tidak sekedar deskripsi pengalaman manusia. Pengalaman hidup manusia merupakan suatu proses interpretif dan pemahaman yang merupakan ciri dasar keberadaan manusia.

Penelitian interpretif bertujuan untuk menemukan pemahaman dari makna pengalaman hidup dengan cara masuk ke dalam dunia partisipan. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman setiap bagian dan bagian-bagian secara keseluruhan.

Van Manen adalah ahli fenomonelogi interpretif yang berpedoman pada filosofi Heiddegrian. Metode analisis datanya menggunakan kombinasi karakteristik pendekatan fenomenologi deskriptif dan interpretif (Polit & Beck, 2008).

Van Manen (2006) dalam Polit dan Beck (2008) menekankan bahwa pendekatan metode fenomenologi tidak terpisahkan dari praktik menulis. Penulisan hasil analisa kualitatif merupakan suatu upaya aktif untuk memahami

dan mengenali makna hidup dari fenomena yang diteliti yang dituangkan dalam bentuk teks tertulis. Teks tertulis yang dibuat oleh peneliti harus dapat mengarahkan pemahaman pembaca dalam memahami fenomena tersebut. Van Manen juga mengatakan identifikasi tema dari deskripsi partisipan tidak hanya diperoleh dari teks tertulis hasil transkrip wawancara, tetapi juga dapat diperoleh dari sumber artistik lain seperti literatur, musik, lukisan, dan seni lainnya yang dapat menyediakan wawasan bagi peneliti dalam melakukan interpretasi dan pencarian makna dari suatu fenomena.

Penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritas dalam proses penelitiannya. Oleh karena itu, perlu diperiksa bagaimana tingkat keabsahan data pada penelitian kualitatif termasuk fenomenologi. Tingkat keabsahan data dikenal dengan istilah Thusthworthiness of Data.

Menurut Lincoln dan Guba (1985) bahwa untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya dan mempertahankan kepadatan data (rigor) maka data divalidasi dengan 4 kriteria yaitu: derajat kepercayaan (credibilty), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Keabsahan data penelitian kualitatif ini dapat dicapai sejak melakukan penelitian, pengkodingan atau analisis data, dan presentasi hasil temuan.

Credibility berarti keyakinan pada kebenaran dan interpretasi data. Lincoln dan Guba (1985) menyatakan bahwa kredibiltas suatu penelitian dapat dicapai sejak proses penelitian dilakukan melalui beberapa teknik seperti prolonged

engagement; catatan lapangan yang komprehensif (comprehensive field note); hasil rekaman dan transkrip (audotaping dan verbatim transcription); triangulasi data atau metode,; saturasi data; dan member checking. Kredibilitas pada saat proses pengkodingan atau analisis data dapat dilakukan dengan teknik transkripsi yang rigor, adanya pengembangan buku kode (intercoder book); triangulasi dari peneliti lain, teori, analisis; peer review/debriefing. Sedangkan pada saat presentasi hasil temuan, kredibilitas dapat dicapai melalui teknik dokumentasi dari peneliti, dokumentasi refleksi.

Dependability berarti stabilitas atau reliabilitas dari data yang diperoleh dari waktu ke waktu (Lincoln & Guba, 1985). Dependability sangat bergantung pada credibility karena apabila dilakukan pengulangan penelitian dengan partisipan dan konteks yang sama, akan mempunyai hasil yang sama dengan syarat data yang diperoleh kredibel. Dependability dapat dilakukan selama proses penelitian melalui teknik dokumentasi yang baik (careful documentation) dan triangulasi data atau metode. Sedangkan pada saat proses pengkodingan atau analisis data, dependability dilakukan audit (inquiry audit).

Lincoln dan Guba (1985) menyatakan bahwa Transferability berarti bagaimana suatu penelitian dapat dilakukan di tempat lain. Seorang peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data yang baik pada laporan penelitiannya sehingga pengguna lainnya dapat mengevaluasi data kedalam konteks yang lain. Saat proses penelitian, transferability dapat dicapai melalui catatan lapangan yang komprehensif dan saturasi data. Sedangkan pada saat presentasi hasil temuan

dapat dicapai melalui thick description dan upaya peningkatan kualitas dokumentasi.

Confirmability yang dinyatakan Lincoln dan Guba (1985) mempunyai objektivitas, yang mana adanya kesamaan tentang akurasi data, relevansi, atau makna yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kriteria ini dilaksanakan dengan menetapkan bahwa data mewakili informasi yang diberikan partisipan, saat proses penelitian, confirmability dapat dilakukan dengan strategi pendokumentasian yang cukup baik (careful documentation). Confirmability juga dapat dilakukan selama proses pengkodingan atau analisis data, yaitu dengan cara mengembangan suatu kode (codebook), triangulasi (investigator, teori, dan analisis, peer review, dan

Dokumen terkait