• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA

A. Konsepsi Negara Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘konsep’ diartikan sebagai ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Sedangkan kata ‘konsepsi’ diartikan sebagai pengertian, pendapat (paham), rancangan (cita-cita dsb) yang telah ada dalam pikiran.47

negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk kepada hukum yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara demokratis.

Mengenai istilah ‘negara hukum’, Munir Fuady memberikan pengertian sebagai berikut:

48

Konsepsi negara yang berdasarkan hukum secara esensi bermakna hukum sebagai supreme.49

47

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 588.

48

Munir Fuady, Op. Cit, hal. 3.

49

Sumali, Op. Cit, hal. 11.

Hukum sebagai supreme berarti bahwa hukum menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Hal tersebut sejalan dengan pengertian nomocratie yaitu kekuasaan yang

dijalankan oleh hukum dan prinsip the rule of law, and not of the man yang menegaskan bahwa sesungguhnya yang memimpin dalam negara bukanlah manusia atau orang melainkan hukum itu sendiri.50

Lahirnya konsep negara hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara dari tindakan penyalah gunaan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuse of power, abus de droit).51 Pembatasan kekuasaan itu dilakukan melalui supremasi hukum (supremacy of law), yaitu bahwa segala tindakan penguasa harus berdasar dan berakar pada hukum menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.52

Konsepsi negara hukum sudah lama menjadi discourse para ahli.

53

Plato (429-347 S.M), seorang filosof Yunani menjabarkan konsepsi negara hukum di dalam tiga karya besarnya, yaitu: Politeia (the Republica), Politicos (The

Statemen), dan Nomoi (The Law). Dalam bukunya Politeia, Plato berkeinginan

agar negara diperintah oleh raja yang bijaksana (philosopher king) tanpa perlu tunduk kepada hukum. Akan tetapi, pada kenyataannya keadaan ideal hampir mustahil untuk terwujud. Oleh karena itu, Plato berpendapat dalam bukunya

Nomoi bahwa negara harus diperintah oleh seorang kepala negara yang tunduk

kepada aturan-aturan yang berlaku.54

50

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2004, hal. 22.

51

Munir Fuady, Op. Cit.

52

Sirajudin dan Zulkarnain, Komisi Yudisal & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih

dan Berwibawa, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 13. 53

Ibid, hal. 14.

54

Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 16-17.

Pemikiran Plato tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles (384-322 S.M). Dalam bukunya yang berjudul Politicos beliau menghendaki agar negara diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of law).55 Menurut Aristoteles, negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Hal ini berarti bahwa yang memerintah bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, sehingga baik dan buruknya hukum ditentukan oleh kesusilaan. Untuk itu, manusia harus dididik berdasarkan kesusilaan yang akhirnya akan menciptakan manusia yang mampu bersikap adil. Kesusilaanlah yang menentukan baik dan buruknya suatu hukum.56 Apabila keadaan tersebut telah terwujud terciptalah suatu negara hukum. Tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.57

Selanjutnya, Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche

Ansfangsgrunde der Rechtslehre mengemukakan konsep negara hukum liberal.

Immanuel Kant mengemukakan mengenai konsep negara hukum dalam arti sempit, yaitu bahwa fungsi hukum pada negara hanya sebagai alat perlindungan individu. Negara berstatus pasif yang berarti bahwa rakyat harus tunduk pada peraturan-peraturan negara sedangkan penguasa dalam bertindak harus berdasarkan hukum.58

Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan (individu) yang menjadi rakyatnya. Dalam hal ini, fungsi negara hanya dipandang sebagai sang

55

Munir Fuady, Op. Cit, hal. 27.

56

Nukhthoh Arfawie Kurde, Op. Cit, hal. 14.

57

Ellydar Chaidir, Op. Cit, hal. 21.

58

Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 5.

penjaga malam (nachtwachtersstaat). Artinya, negara hanya bertindak apabila

hak-hak asasi individu warganya berada dalam bahaya atau ketertiban umum dan keamanan umum terancam.59

Penyelenggaraan perekonomian dalam negara hukum liberal berasaskan persaingan bebas. Laissez faire, laissez passer, siapa yang kuat dia yang menang. Kepentingan masyarakat tidak usah diperhatikan, yang penting kaum liberal mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Negara sejauh mungkin tidak ikut campur tangan dalam urusan individu warganya. Dalam hal ini, hukum administrasi negara sudah mulai muncul walaupun perannya masih sangat terbatas. Lapangan pekerjaan administrasi negara dalam negara hukum semacam ini hanyalah membuat dan mempertahankan hukum.60

Pendapat Immanuel Kant kemudian diperbaharui oleh Frederich Julius Stahl. Frederich Julius Stahl mengemukakan bahwa negara harus menjadi negara hukum (rechtstaats). Negara harus turut campur tangan di seluruh sendi kehidupan rakyat apabila menyangkut kepentingan rakyat. Akan tetapi campur tangan tersebut haruslah dilakukan menurut saluran-saluran hukum yang sudah ditentukan. Inilah yang menjadi esensi negara hukum formal yaitu bahwa negara hukum mendapat pengesahan dari rakyat, maka negara haruslah bertindak berdasarkan undang-undang. Negara hukum formal ini disebut pula dengan negara demokratis yang berlandaskan hukum.

61

a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi;

F.J. Stahl menyusun unsur-unsur negara hukum formal sebagai berikut:

59

Ellydar Chaidir, Op. Cit, hal. 27.

60

Ibid., hal. 27-28.

61

b. Penyelenggaraan negara berdasarkan trias politica (pemisahan kekuasaan);

c. Pemerintahan didasarkan pada undang-undang, dan; d. Adanya peradilan administrasi. 62

Berdasarkan unsur-unsur di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara hukum formal bertujuan untuk melindungi hak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak langkah dan kekuasaan negara dengan undang-undang.63

Seiring dengan usainya perang dunia kedua, konsep negara hukum formal tersebut banyak mendapat kritikan karena ekes-ekses yang ditimbulkan oleh sistem industrialisasi yang kapitalistik-eksploitatif dan berkembangnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kesejahteraan secara merata.

64

Akibatnya, gagasan yang membatasi pemerintah untuk mengurusi kepentingan warganya mengalami pergeseran ke arah gagasan baru yang mengafirmasi peran pemerintah harus aktif untuk mewudkan kesejahteraan warganya.65 Prof. Lemaire mengistilahkannya dengan bestuurzorg yaitu bahwa pemerintah ditugaskan untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan.66 Ide yang mendorong pemerintah untuk bersifat progresif di dalam usuran prifat ini dikenal dengan sebutan welfare state atau paham negara huku m materil.67

Konsekuensi dari keterlibatan pemerintah di berbagai lapangan kehidupan masyarakat, adalah pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk

62

Ellydar Chaidir Op. Cit, hal.29.

63

Ibid.

64

Sumali., Op. Cit, hal. 12.

65

Ibid.

66

Sudargo Gautama (Gouwgioksiong), Pengertian tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1973, hal. 17.

67

menjalankan rencana aksinya atas inisiatif sendiri tanpa harus didahului dengan delegasi atau atribusi dari pihak parlemen. Itulah sebabnya dalam rangka

bestuurzorg, pemerintah dibekali dengan freis ermessen atau pouvoir discretionnaire, yaitu kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta

dalam kehidupan sosial dan keleluasaan untuk tidak selalu terikat pada produk legislasi parlemen.68

Dalam prakteknya penggunaan kekuasaan diskresi ini tidak jarang menimbulkan masalah, yakni berupa tindakan sewenang-wenang (a bus de droit/

wilkeur), penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvair), kekeliruan

dalam menafsirkan hukum (ermeeson unterschreitung), yang akibatnya justru merugikan masyarakat.

69

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

Untuk itu, seiring dengan semakin luasnya desakan berbagai kalangan yang menghendaki jaminan dan perlindungan warga negara akibat didayagunakannya instrumen freies ermesson tersebut maka International

Commission of Jurist pada konfrensinya di Bangkok (1965) memberikan

rumusan tentang ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law, yaitu:

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas;

4. Kebebasan menyatakan pendapat; 5. Kebebasan berserikat dan berkumpul; 6. Pendidikan kewarganegaraan.70 68 Ibid, hal. 13. 69 Ibid. 70 Ibid.

H. Abdul Latief mengemukakan bahwa dalam pengertian materil, rule of

law mencakup ukuran-ukuran tentang baik dan buruknya hukum yang meliputi

aspek-aspek berikut:

a. Ketaatan dari segenap warga masyarakat terhadap kaedah-kaedah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; b. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi manusia;

c. Negara berkewajiban menciptakan kondisi social yang memungkinkan terwujudnya aspirasi dan penghargaan yang wajar terhadap hak asasi manusia;

d. Terdapatnya tata cara yang jelas dalam proses mendapatkan keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa;

e. Adanya badan yudikatif bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan-badan eksekutif dan legislatif. 71

Kelima aspek di atas menjadi tolok ukur negara hukum dalam arti materil.72 Apabila kelima aspek tersebut dapat terealisasi dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara, maka tujuan negara hukum dalam arti materil dapat tercapai yaitu terlindunginya warga negara terhadap tindakan-tindakan yang sewenang-wenang dari pemerintah, sehingga setiap warga negara dapat menikmati martabat hidupnya sebagai manusia yang seutuhnya.73

Di Indonesia sendiri, sebagai negara yang lahir pada abad modern menyatakan diri sebagai negara hukum. Pembukaan UUD 1945, maupun dalam batang tubuh beserta penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ditegaskan bahwa indonesia adalah negara hukum. Ini berarti kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum dalam arti konstitusi.

71

H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Total Media, Yogyakarta, 2009, hal. 21.

72

Ibid.

73

Karena itu kekuasaan tertinggi (dalam arti kedaulatan) berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Negara Indonesia adalah negara kesatuan, yang berbentuk republik, hal ini berarti sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan, namun tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum.74

Kekuasaan kehakiman merupakan karakteristik negara hukum yang demokratis.