• Tidak ada hasil yang ditemukan

P. Uis Nipes

1. Ose Laki-laki

a. Beka buluh sebagai bulang-bulang (tutup kepala). b. Uisarinteneng sebagai gonje (sarung).

c. Uisjongkit sebagai selempang.

d. Uisnipes sebagai kadang-kadang (penutup bahu). e. Ragi jenggi sebagai benting (pengikat pinggang).

2. Ose Perempuan

b. Uisrambu-rambu emas sebagai junjungen (lapis atas tudung). c. Uisarinteneng sebagai abit (sarung).

d. Uisnipes sebagai langge-langge (selendang).

e) OseiKerjaCeda Ate

Kerja ceda ate merupakan acara adat duka cita atau kemalangan dalam istilah masyarakat Karo. Ceda ate memilki arti berbelasungkawa dalam pengertian bahasa Karo yaitu hati saya sedih atau rusak. Pakaian adat khusus acara duka cita ini dikhususkan untuk orang yang meninggal sudah lanjut usia

(mate cawir metua) dengan meninggalkan kondisi anak-anaknya sudah berumah tangga semuanya.

Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir metua, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya (pihak mertua dari istri anak-anaknya yang laki-laki) harus menyediakan ose yaitu menyediakan perhiasan emas, kain serta pakaian yang indah-indah (kain adat), untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta anak laki-laki beserta istri serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

Pakaian adat pada acara duka cita ini kebanyakan bebas akan tetapi tidak boleh memakai pakaian yang mencolok seperti pakaian berwarna-warni.

f) Osei Penari (Osei Guro-Guro Aron)

Gendang guro-guro aron adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat Karo yang sering diadakan saat pesta-pesta adat dan acara syukuran seusai panen. Seni tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan. Pada pesta Gendang guro-guro aron tersebut masyarakat Karo bernyanyi dan menari bersukaria yang biasanya dilakukan sepanjang malam, sambil beradu pantun di bawah cahaya bulan purnama.

Pakaian adat yang digunakan dalam acara guro – guro aron ini, khususnya

pengulu aron dan kemberahen aron haruslah rose tapi tidak memakai emas - emas (berpakaian adat Karo lengkap tapi tidak memakai emas - emas). Mereka dibantu oleh pembantu pengulu aron dan pembantu nande aron yang juga rose sebagai

simantek guru-guro aron yang terdiri dari kelima merga. Laki-laki simantek,

memakai sarung palekat dan memakai bulang-bulang dari beka buluh, kemudian dipakaikan cengkok-cengkok dari kain beka buluh, yang dilipat berbentuk segi tiga dan diletakkan di atas bahu. Perempuan memakai tudung dari uis kelam -kelam. Sebagai abit (dasar/sarung pelekat) dengan memakai kain songket. Perempuan juga memakai bungaerpalas sebagai rudang – rudang atau hisan tudung. Khusus bagi nande aron maka di atas tudungnya dia harus erjungjungen atau pun diletakan di atas tudungnya kampil kecil beserta dengan tikar kecil yang berwarna putih (amak cur). Seiring dengan perkembangan zaman, nande aron tidak lagi

saja. Merekalah yang mewakilkan dari kelima merga baik bapa aron dan nande aron.

2.7 Uis Karo dalam sudut pandang estetika Klasik

Kebudayaan masyarakat Karo beraneka ragam jenisnya dimulai dari rumah adat, tata bahasa, adat istiadat, tarian, lagu, musik, dan kerajinan. Uis Karo adalah salah satu hasil dari hasil budaya masyarakat Karo yang masih dilestarikan saat ini. Uis Karo merupakan suatu karya seni rupa dalam bentuk kriya tekstil yang berjenis tenun ikat yang memiliki persamaan dengan kriya tenun di sumatera utara seperti ulos pada masyarakat Toba, biou pada pada masyarakat Simalungun,

oles pada pada masyarakat Pak-pak dan abit pada masyarakat Angkola/Mandailing.

Menurut Juliana (2014) dalam jurnalnya yeng berjudul Kreasi Ragam Hias

uis Barat, uis Karo merupakan bagian dari desain struktur dalam dunia textile, yang mana desain struktur merupakan rancangan yang dibentuk dari perpaduan maupun penyilangan benang pakan dan benang lungsi menjadi sehelai kain panjang. Sehingga corak yang dihasilkan pada uis dikarenakan penyilangan benang pakan dengan benang lungsi. Contoh lain yang merupakan buah hasil dari desain struktur yakni: songket, anyaman, tapis dan rajutan. Uis Karo selalu di proses secara manual dengan tangan-tangan terampil pengrajin, sehingga ragam hias yang dihasilkan bersifat etnik dan memiliki makna estetika.

Estetika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan

(A.A.M. Djelantik, 1999). Istilah estetika berasal dari kata bahasa Yunani ‘aisthanesthai’ yang berarti mengamati secara lahiriah, jasmani, inderawi. Filsafat keindahan, nilai seni dan karya seni sudah dibahas sejak zaman Yunani kuno. (Ensiklopedi,1989)

Dalam filsafat keindahan, pengalaman estetis berbicara mengapa ada objek yang disebut indah. Objek itu dikaji melalui pendekatan yang berdasarkan pada nilai-nilai estetis atau unsur-unsur estetis atau estetika dari objek tersebut dimana di penelitian ini obejek tersebut adalah uis Karo. Estetika yang terdapat dalam ragam hias uis Karo berkaitan dengan berbagai macam unsur yang dapat mendukung nilai-nilai estetika atau keindahan tersebut. Unsur-unsur estetika tersebut meliputi wujud yang menyangkut masalah bentuk, struktur, keseimbangan (keseimbangan simetri dan non simetri), komposisi, gerak (irama), harmoni menyangkut masalah kesesuaian atau keserasian. Uis Karo ini mempunyai nilai seni yang tinggi karena rancangannya sesuai dengan prinsip-prinsip seni diantaranya nilai kesatuan, keseimbangan, harmoni, dan penonjolan bentuk ragam hiasnya diterapkan dengan baik.

Ragam hias disebut juga dengan ornamen. Ornamen berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ornarel yang artinya hiasan atau perhiasan (Soepratno, 1987). Ragam hias atau ornamen terdiri dari berbagai jenis yang digunakan sebagai penghias sesuatu yang ingin kita aplikasikan kepada suatu objek. Ragam hias atau ornamen dimaksudkan untuk menghias suatu bidang atau benda, sehingga benda tersebut menjadi indah dan memiliki nilai estetika.

Dalam pengaplikasian ragam hias tersebut ada yang hanya berupa satu motif saja, dua motif atau lebih, pengulangan motif, kombinasi motif dan ada pula yang dimodifikasi, distilasi atau digayakan. Sebuah ragam hias dapat pula diartikan sebagai sebuah desain atau pola sesuai dengan pengertian umum, dan dalam konteks yang terbatas, mengingat masing-masing istilah itu memiliki pengertiannya dan kegunaan-kegunaan tersendiri (Gustami Sp., 1980).

Pada dasarnya jenis ragam hias itu terdiri atas:

1. motif geometris berupa garis lurus, garis patah, garis sejajar, lingkaran dan sebagainya,

2. motif naturalis berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, unsur-unsur alam, dan lain sebagainya, dengan demikian ragam hias lahir menjadi simbol-simbol atau perlambangan tertentu (Budhyani, 2010).

Secara umum ragam hias yang berkembang pada prinsipnya ada lima jenis yakni: ragam hias geometris, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan unsur-unsur alam yang didesain sesuai dengan penempatannya (Seraya, 1980/1981). Pada buku Ensiklopedia Indonesia dijelaskan bahwa ragam hias merupakan pangkal bagi tema suatu karya seni kriya. Sejalan dengan pendapat itu, jika dilihat dari kacamata seni rupa, jika terdapat suatu goresan sebuah garis lengkung, maka goresan tersebut dapatlah disebut sebagai suatu ragam hias, yaitu ragam hias garis lengkung.

Apabila garis lengkung tersebut diulang-ulang secara simetris atau non simetris kemudian menjadi sebuah pola. Apabila pola yang telah diperoleh itu diterapkan atau dijadikan suatu hiasan seperti pada seni kriya uis Karo, maka

kedudukannya adalah sebagai hiasan pada karya seni kriya tersebut (Gustami, 1980).

Pengaplikasian sebuah ragam hias yang memiliki posisi simetris dapat menggambarkan sebuah unsur keseimbangan yang banyak dilakukan oleh para seniman atau budayawan di masa lampau. Hasil dari penerapan ragam hias dengan posisi simetris ini dapat pula dihubungkan cara hidup serba seimbang, hidup rukun bergotongroyong, bahu membahu yang biasa dilakukan masyarakat desa dimasa lampau. Kondisi masyarakat tersebut mencerminkan suatu timbal balik yang sepadan, yang tampaknya sangat mempengaruhi penciptaan-penciptaan karya seni dan inspirasi hingga saat ini.

Penciptaan ragam hias memiliki maknanya yang dalam, merupakan ungkapan-ungkapan idealisasi atau gagasan-gagasan pencipta dari perasaan seni terhadap lingkungannya. Pada pendiptaan sebuah ragam hias, unsur-unsur visual dalam seni rupa berupa garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain itu akan memberi warna baru pada karya-karya seni yang lahir, menjadi seimbang merupakan ungkapan-ungkapan estetik dengan perimbangan yang sempurna.

Selain unsur keseimbangan (balance), masih ada terdapat unsur pokok estetika yang berkaitan dengan keindahan seperti kesatuan (unitiy), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symetri), dan perlawanan (contras). Kesemua unsur tersebut dapat menjadi suatu dasar dalam mengkaji mengenai nilai estetika suatu karya seni.

Selain istilah estetika, dalam wacana seni rupa dikenal juga istilah bahasa rupa yang menurut Primadi Tabrani merupakan komunikasi simbolik dengan

mempergunakan berbagai tanda yang memiliki kaidah, asas, atau konsep berupa titik, garis, ukuran, warna, tekstur, ruang dan sebagainya. Dalam pengertian luas, bahasa rupa mencakup segala sesuatu yang kasat oleh mata.

Menurut Primadi Tabrani bahasa rupa gambar bisa berbentuk ekspresif, deskriptif, abstrak, geometris, stilasi, estetik, simbolik, semiotik. Uis Karo merupakan bagian dari bahasa rupa yang mempunyai keindahan tersendiri. Visual yang tampak pada keindahan corak uis dilihat dari berbagai konsep berupa garis, bentuk, warna, tekstur dan sebagainya. Dari keseluruhan visual tersebut merupakan simbolik yang mengandung makna tertentu, bisa berupa asal usul sejarah daerah tersebut maupun adat kebudayaan masyarakat.

Gambar 2.35 : Beberapa contoh ragam hias tradisional Karo

(Sumber : kendesign.com)

Ragam hias (ornamen) dalam Bahasa Karo disebut juga dengan istilah

ukir-ukiren. Awalnya masyarakat Karo menciptakan ragam hias dengan mengedepankan fungsi spiritual, yakni menangkal bala dan mengusir roh-roh jahat. Namun dalam perkembangannya, ragam hias tersebut berubah menjadi pola artistik yang meiliki nilai estetik keindahan dan dapat diterapkan ke dalam biadang baik pada uis Karo, perhiasan badan, alat-alat perkakas rumah tangga, hingga bangunan. Pada awalnya setiap ragam hias yang diciptakan oleh leluhur nenek moyang suku Karo menggandung kata-kata berkat (pedah-pedah). Faktor

ini yang mempengaruhi kaum bangsawan pada zaman dahulu kala terlihat paling aktif dalam menggunakan ragam hias dalam kesehariannya. Ragam hias mampu memberi ciri khas pembeda antara bagi golongan masyarakat.

Gambar 2.36 : Alat dan pembuatan ragam hias Karo

(Sumber : Collectie Tropenmuseum)

Menurut ahli ragam hias A.G Sitepu, kesemua jenis ornamen lemah yang berbentuk garis, titik, bidang sama sisi yang terdapat pada uis Karo terjadi akibat tehnik penenunan yang masih sangat tradisional (gedongan) dan tidak memilki kemampuan alat yang tinggi dalam membentuk ornamen yang rumit, salah satu contohnya adalah yang pengaplikasi ornamen pengeret-ret pada beka buluh. Menurut Netty Juliana pada jurnalnya Kreasi Ragam Hias uis Nipes bentuk visual dalam uis Karo umumnya berbentuk geometrik, simetris, dan stilasi.

Aspek-aspek nilai estetika dalam uis Karo meliputi: titik, garis, bidang, bentuk ornamen, warna dan tekstur

Titik yaitu motif pada uis ini memiliki aspek titik dari sudut pandang di ujung garis terputus-putus. Yang disebut juga aliran geometri. Motif ini terdapat pada jenis uis beka buluh, uis gobar dibata, uis gatip gewang, uis gatip jongkit, uis pementing, uis parembah dan uis nipes.

Gambar 2.37 : Motif titik-titik pada Uis Beka Buluh dan Uis Gatip Gewang (Sumber : dokumentasi pribadi)

Garis pada motif uis Karo ini terdiri dari dominasi garis-garis, vertikal, horizontal. Garis dalam uis Karo disebut juga dengan lis yang berarti batas. Lis

pada uis Karo berfungsi sebagai batas atau acuan dalam pemakaiannya, seperti lis

warna biru pada uis batu jala yang menjadi panutan dalam membuat tudung. Motif garis terdapat pada jenis uis julu, uis teba, uis batu jala, uis beka buluh, uis gobar dibata, uis gatip gewang, uis gatip jongkit, uis gara-gara, uis pementing, uis parembah, uis jujung-jujungen, dan uis nipes.

Gambar 2.38 : Lis warna biru pada Uis Batu Jala (Sumber : dokumentasi pribadi)

Bidang pada setiap uis Karo memiliki aspek bidang berbentuk segi empat hingga segi empat memanjang.

Gambar 2.39 : Bidang Uis Pementing (Sumber : dokumentasi pribadi – koleksi AG Sitepu)

Ada beberapa jenis bentuk ragam hias pada uis Karo, seperti ragam hias geometris pakau-pakau pada uis gara, uis gatip jongkit, dan uis nipes padang rusak, Ragam Hias geometris piala-piala pada uis parembah dan ragam hias tumbuhan pacung-pacung cekala pada beka buluh. Ragam hias pada kedua sisi samping beka buluh juga sering disebut dengan legot-legot yang terinspirasi dari ragam hias pengeret-ret. Fungsi sakral ornamen pada uis adalah sebagai penolak bala (pelindung tubuh) dan fungsi profannya adalah sebagai penghias.

Gambar 2.41 : Ragam hias geometris pakau-pakau pada Uis Gara Berjongkit (Sumber : dokumentasi pribadi – AG Sitepu)

Gambar 2.42 : Ragam hias piala-piala pada UisParembah (Sumber : dokumentasi pribadi – AG Sitepu)

Gambar 2.43 : Ragam hias bunga lawang pada Uis Nipes (Sumber : dokumentasi pribadi – motif alam dalam batik dan songket melayu)

Warna pada uis Karo didominasi oleh dua warna yaitu gelap (mbiring)

diterima, militan, dan warna merah (megara) yang berarti merawa. Setiap jenis

uis Karo memilki tekstur tenun yang kuat, ada yang halus dan ada yang kasar. Kesatuan dari berbagai jenis bentuk ragam hias saling berkaitan dapat dilihat dari pola pengulangan pada uis Karo. Unsur keseimbangan ragam hias pada uis Karo ini terletak pada tata letak ragam hias yang beraneka ragam jenis bentuknya yang susunan bentuk teratur, terukur, sistematis.

Gambar 2.44 : Unsur kesatuan dan keseimbangan pada ragam hias uis nipes (Sumber : AG Sitepu)

Juliana (2004) berpendapat ragam hias pada uis Karo juga mengalami banyak perkembangan, banyak modifikasi motif, munculnya bentuk-bentuk motif yang baru namun tidak menghilangkan ciri khas yang aslinya.

Latar belakang munculnya motif uis nipes berkaitan erat dengan interaksi perdagangan wilayah kesukuan Karo dengan kerajaan di sekitarnya, seperti Aceh di sebelah utara, Melayu di sebelah timur, Pakpak di sebelah barat, dan Toba di selatan. Contohnya seperti motif parang rusak yang berasal dari Aceh selatan yaitu suku Gayo yang berarti (tanduk rusa) yang memiliki arti sama dengan

Gambar 2.45 : Persamaan motif kain Aceh Rosak dengan Uis Nipes Padang Rusak

(Sumber : Tekstil Tenunan Melayu, Keindahan Budaya Tradisional Nusantara dan Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia)

Ada 3 warna dominan dalam uis Nipes, yakni merah, jingga (keemasan), dan biru. Warna biru dalam kain tenun uis Karo adalah lambang perlawanan terhadap Kesultanan Melayu yang mencaplok wilayah mereka di pesisir timur Sumatera Utara, dengan dibantu kolonial Belanda. Warna merah dan jingga (keemasan) merupakan khas Melayu, terlanjur mendarah daging dalam kebudayaan Karo. Kemudian ada warna hitam, yang secara keharusan dan kebanyakan dipergunakan dalam suasana acara dukacita. Menurut Sitepu, warna merah dalam uis Karo berarti berarti kebahagian, yang berarti jiwa seseorang yang memakai uis tersebut membara.bangga karena dirundung rasa kebahagiaan.

Ada sebuah filosofi warna yang menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat Karo yaitu benang sitelu rupa. Umumnya simbol ini dipergunakan sesuai dengan posisi karakter dalam upacara dalam adat tradisional suku Karo.

Megara (matawari) yaitu warna merah yang melambangkan simbol panas, hangat, gairah, darah, kehebatan dan kekuatan. Mbentar (cahaya) yaitu warna terang yang melambangkan symbol suci, bersih, dan Ketuhanan. Mbiring yaitu warna kegelapan, yang melambangkan symbol duka, jiwa yang luka, dan duka cita.

Pengaplikasian filosofi warna benang sitelu rupa dalam adat tradisional Karo dapat dilihat dari perbedaan warna tudung yang dipakai dalam upacara tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Karo ada 3 jenis tudung, yaitu tudung sierjabu/teger limpek, tudung lolo (tudung sebagai tanda belum nikah) dan

tudung biasa. Secara adat, pantang dipertukarkan fungsi dan jenis masing-masing

tudung tersebut.

Dalam pesta pernikahan, tudung dan kain yang dipakai cenderung ke warna megara (merah) yang berarti bahwa pesta tersebut, pesta suka cita, semangat, bernafsu dan bergairah. Pada pesta duka cita, tudung dan kain yang dipakai cenderung ke warna gelap, yang berarti lagi berduka cita, kembali ke asal (tanah) dan suasana hati yang lagi rusak/duka. Pada upacara tradisional yang suci seperti erpangir ku lau, perumah begu, biasanya kain yang dipakai adalah warna putih yang melambangkan simbol suci dan bersih.

Menurut Manik Ginting, seorang pemandu wisata di desa budaya Lingga, makna warna dalam ragam hias pada masyarakat Karo melambangkan keakraban antara semua merga Karo yang bersaudara yaitu, warna merah adalah simbol merga ginting, hitam adalah simbol merga sembiring, putih menyimbolkan suku siangin-angin (merga perangin-angin), biru adalah simbol tarigan dan kuning keemasan adalah simbol karo-karo.

Gambar 2.46 : Ragam hias pengetang-ngetang pada pinggir UisKapal (Sumber : AG Sitepu)

Selain ragam hias pada uis nipes, masih ada ragam hias yang biasa diterapkan pada uis Karo seperti pengetang-ngetang yaitu ragam hias geometris yang terdapat pada uis kapal, bayu-bayu yaitu ragam hias geometris pada uis nipes, ragam hias tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada uis nipes jenis padang rusak. Hampir semua jenis uis Karo juga memiliki bentuk garis-garis dan titik-titik geometris, kesemuanya itu hanya memiliki makna sebagai hiasan.

2.8 Pengaruh agama Kristen terhadap Uis Karo

Pada masanya, kesemua jenis uis Karo dibuat masih secara tradisional, baik pemintalan, pewarnaan, dan penenunan. seiring dengan semakin majunya zaman, banyak jenis uis Karo yang hilang dan tidak diproduksi lagi, antara lain

uis teba, uis baru jala, uis gobar dibata, uis gatip gewang, uis gatip cukcak, uis pementing, uis pengalkal, uis parembah, dan uis jujung-jujungen. Menurut Liwen Tarigan, kesemua jenis uis tersebut merupakan kain nenek moyang dan tidak ada yang menggunakannya kembali. Jenis uis karo tersebut sarat akan makna dan

uis yang tertarik untuk merevitalisasi kembali, tetapi motif asli dan dokumen tidak dapat dijumpai lagi. Salah satu penyebab kepunahan berbagai jenis uis Karo adalah tidak ada lagi masyarakat yang perhatian terhadap uis Karo dan masuknya agama Kristen ke tanah Karo.

Masuknya Injil ke tanah karo tepatnya pertama kali di Buluh Awar Sibolangit, pada tahun 1890 melalui para misionaris Jerman dalam penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap cara berpakaian masyarakat Karo. Nenek-moyang masyarakat Karo mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropa yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang, kemudian perempuan Karo mulai mengenal rok meniru pola berpakaian Barat.

Uis pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai pakaian sehari-hari kecuali pada acara-acara adat. Hal ini mengakibatkan makna dan fungsi uis

sebagai pakaian sehari-hari berkurang, dan mengakibatkan dianggap sakral dan memiliki nilai magis. nenek moyang suku karo dulunya mempergunakan uis

sebagai pelindung dari panas dan dingin dalam kehidupan sehari-hari, yang selanjutnya berkembang hanya lazim dipergunakan dalam upacara adat tradisional.

Sebagian masyarakat Karo Kristen, mereka anti terhadap uis Karo sehingga mereka melakukan pembakaran terhadap uis Karo. Menurut mereka di dalam uis Karo itu ada keberhalaan karena dulunya uis Karo dipakai dalam upacara-upacara yang berhubungan dengan roh nenek moyang. masyarakat Karo Kristen yang beraliran fundamentalis dan karismatik juga sangat takut terhadap

merah, nenek moyang orang karo harus mempergunakan darah manusia dan hewan dalam pencelupan. Sehingga hal ini bisa bertentangan dengan peraturan dan pelarangan yang terdapat dalam kitab Imamat berkenaan dengan darah.

Pembuatan uis dan ulos dahulu kala memakan waktu yang cukup lama, terlebih bila tingkat kerumitan motifnya sangat tinggi sehingga untuk menghasilkan tenun yang bermutu maka tenaga supranatural juga diperlukan. Tenaga supranatural yaitu arwah nenek moyang yang akan merasuk si penenun untuk menggerakkan tangan, kaki dan otak sehingga mampu membuat sehelai tenun yang bermutu tinggi.

Gambar 2.47 : Pemakaian UisNipes pada seragam Moria GBKP Tigabaru

(Sumber : Jennita Maria Sembiring)

Sekitar tahun 1990-an fenomena pembakaran kain tenun Batak (ulos dan

uis) semarak terjadi di Sumatara Utara. Hal ini berawal dari khotbah seorang pendeta gereja karismatik di kota Medan yang menyatakan bahwa ulos Batak itu haram, najis dan tidak sesuai dengan agama. Pendeta dan jemaat yang membakar

ulos itu adalah orang Batak sendiri. Mereka melakukannya didasari suatu alasan karena mencintai dan mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh.

Para pengkhotbah juga sering memberitakan bahwa di dalam uis itu ada berdiam suatu roh jahat, karena uis tersebut dipakai sebagai alat dan media memuja setan ketika orang karo dahulu adalah menganut agama pemena. Dengan demikian, menurut mereka, satu-satunya cara untuk membasmi roh jahat tersebut, maka uis tersebut harus dibakar agar tidak mengganggu keselamatan yang sudah diterima dari Yesus Kristus.

Dokumen terkait