• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 pada tanggal 15 Nopember 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, selanjutnya disingkat dengan UUSP3K, maka terbukalah sejarah baru penyuluhan di Indonesia. Undang-undang ini sangat diharapkan dan dinantikan oleh banyak insan yang terlibat dalam penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan secara luas. Karena tanpa undang-undang semacam itu pelaksanaan penyuluhan terabaikan tanpa landansan yang kuat dan jelas. Ini terbukti dengan naik-turunnya kegiatan penyuluhan di lapangan yang tidak selalu mendapatkan dukungan kebijakan dan anggaran yang memadai. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa penyuluhan di bidang pertanian secara luas itu tidak pernah mantap (jelas) arah dan tujuannya. Lebih-lebih lagi setelah memasuki era 1990-an dan lebih lagi setelah 1999 yaitu setelah diberlakukannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah, yang menyerahkan tanggungjawab penyelenggaraan penyuluhan kepada Pemerintah Daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Dari kebijakan-kebijakan tentang penyuluhan pertanian yang diambil oleh berbagai pemerintah daerah, jelas sekali bahwa persepsi mereka tentang arti pentingnya penyuluhan dan bagaimana penyuluhan itu harus dilakukan sangatlah beragam. Tak heran bila kelembagaan penyuluhan di daerah misalnya, yang dengan susah payah dibangun selama Orde Baru, dengan mudahnya “diacak-acak” dan bahkan banyak yang dibubarkan. SDM Penyuluhan yang dengan jerih payah direkrut, dididik/dilatih, dan dikembangkan

dibiarkan tak berfungsi, sehingga banyak diantaranya yang akhirnya alih fungsi, bahkan ada beberapa yang keluar dari sektor pertanian (Slamet M, 2010).

Sebenarnya, dasar untuk membentuk kelembagaan penyuluhan dapat mengacu pada huruf N butir 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah yang berbunyi : “ Pengaturan mengenai organisasi lembaga lain seperti Lembaga Penyuluhan, Penanggulangan Bencana, unit Pelayanan Perijinan Terpadu, Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah, Badan Narkotika dan lain –lain akan diatur tersendiri dan merupakan perangkat daerah diluar jumlah yang ditetapkan dalam kriteria.”

Menurut pengamatan yang sudah dilakukan, kendala pertama yang muncul adalah masalah kelembagaan penyuluhan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, kelembagaan penyuluhan di daerah sudah berulangkali mengalami perubahan, dan UU No 16 tahun 2006 juga mengamanatkan adanya perubahan lagi. Amanat ini bertabrakan dengan PP No 8 tahun 2003, tentang struktur pemerintah daerah yang membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, yang meskipun PP tersebut sudah diubah dengan PP 41 tahun 2007, tetap saja menyisakan kendala bagi dibentuknya Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat provinsi dan lahirnya Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Rupanya selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan (Slamet M, 2010).

Berdasarkan UU No.16 tahun 2006, yang dimaksud dengan tenaga penyuluh pertanian, perikanan, dan kehutanan meliputi penyuluh PNS (penyuluh

pemerintah), penyuluh swasta dan/atau penyuluh swadaya. Pada hakekatnya setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang pertanian, perikanan dan kelautan serta mampu berkomunikasi dapat menjadi penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan. Pelaku penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan meliputi; penyuluh funsional, penyuluh non fungsional, penyuluh tenaga kontrak, penyuluh swasta, penyuluh swadaya dan penyuluh kehormatan.

Dalam rangka memenuhi kebijakan satu desa satu penyuluh secara bertahap Kementerian Pertanian telah merekrut Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TB PP), untuk Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1818 orang. Untuk meningkatkan produktifitas, efektivitas dan efisiensi THL-TB PP dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendamping dan konsultan pelaku utama dan pelaku usaha, maka perlu diberi honorarium dan BOP bagi THL-TB PP.

Melalui revitalisasi penyuluhan pertanian diharapkan penyuluh pertanian dapat berfungsi secara optimal dalam memfasilitasi petani dan keluarganya serta pelaku usaha pertanian lainnya untuk mewujudkan peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani.

Penyelenggaraan penyuluhan di Sumatera Utara menuntut adanya keterpaduan dalam satu sistem penyuluhan pertanian yang terpadu dari berbagai instansi dan kelembagaan terkait, dengan maksud untuk memberdayakan petani dan keluarganya serta masyarakat pertanian lainnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan pemberdayaan tenaga penyuluh pertanian adalah dengan memberikan Biaya Operasional Penyuluh (BOP). BOP dimaksudkan untuk

meningkatkan gairah penyuluh pertanian dalam memfasilitasi kegiatan penyuluhan ditingkat petani.

Untuk meningkatkan keaktifan kelembagaan penyuluhan dan kinerja penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar penyuluhan dapat diselenggarakan dengan efektif dan efisien. Penyelenggaraan penyuluhan yang efektif dan efisien diperlukan pembiayaan yang memadai untuk memenuhi biaya penyuluhan.

Sumber biaya untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional dan profesi, biaya operasional penyuluh PNS, serta sarana dan prasarana bersumber dari APBN, sedangkan pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, bersumber dari APBD yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan program penyuluhan.

Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di Provinsi berada pada Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (Bakor P3K) dan dua Kabupaten/Kota berada pada Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K). Untuk itu perlu ada keseragaman jabatan dan tunjangan agar tidak terjadi konflik di daerah.

Tugas pokok penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan adalah melakukan kegiatan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan kemampuan petani dalam menguasai, memanfaatkan dan menerapkan teknologi baru sehingga

mampu bertani lebih baik, berusaha lebih menguntungkan serta membina kehidupan berkeluarga yang lebih sejahtera.

Adapun tugas pokok penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan adalah:

1. Mengidentifikasi potensi wilayah dan agrosistem serta kebutuhan teknologi dibidang pertanian, perikanan dan kehutanan.

2. Menyusun programa penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan 3. Menyusun Rencana Kerja Penyuluhan Pertanian (RKPP)

4. Menerapkan metode penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan 5. Menyusun materi penyuluhan.

6. Mengembangkan swadaya dan swakarsa petani dan nelayan

7. Mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan serta dampaknya.

(Anonimous, 2000).

Setiap penyuluh mempunyai beberapa faktor sosial maupun faktor ekonomi yang mempengaruhinya dalam kegiatan penyuluhan. Beberapa faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya adalah:

1. Faktor Sosial a. Umur

Umur pada umumnya sangat berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari. Tenaga kerja dalam usia yang sangat produktif (22-65 tahun) memiliki potensi kerja yang masih produktif. (Anonimous, 1991: 45)

b. Tingkat Pendidikan.

Penempatan seorang penyuluh sangat ditentukan oleh pendidikan yang dimilikinya, pendidikan juga sangat berpengaruh pada perilaku seorang PPL. Tetapi jika didalam memilih penyuluh ini terlalu ditekankan pada kualitas akademis, maka hal ini akan dapat menyebabkan kesulitan dikemudian hari karena seorang penyuluh yang memiliki pendidikan yang tinggi belum tentu memiliki kemampuan menyuluh yang baik. (Suhardiyono, 1992: 29)

c. Masa kerja Penyuluh

Orang-orang yang lama berada pada suatu pekerjaan akan lebih produktif daripada mereka yang senioritasnya lebih rendah. (Suhardiyono, 1992: 31) 2. Faktor Ekonomi

a. Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga sering menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima inovasi. Konsekuensi penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap sistem keluarga, dimulai dari anak- anak, istri dan anggota keluarga lainnya. Semakin besar jumlah anggota keluarga akan semakin besar pula tuntutan kebutuhan keuangan rumah tangga. Kegagalan penyuluh dalam penyuluhan pertanian akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. (Soekartawi, 1988: 32)

b. Total Pendapatan

Meningkatnya pendapatan maka meningkat pula pengeluaran untuk keperluan rumah tangga dan pembentukan modal. Menurunnya

pendapatan akan menurunkan pula pengeluaran untuk konsumsi dan modal (Tohir, 1991: 187).

2.1.1. Efektifitas

Efektifitas kinerja kelembagaan penyuluhan ditentukan oleh kesesuaian pelaksanaan job description atau pelaksanaan dari uraian tugas yang menjadi tanggung jawab kelembagaan itu sendiri terhadap para penyuluh dalam penentuan posisi jabatannya. Berdasarkan hasil analisis pekerjaan, setiap penyuluh dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan uraian tugas pada posisi jabatan sebagai pejabat fungsional dan pelaksana lapangan penyuluhan pertanian. Hasil kerjanya tersebut harus dipertanggung jawabkan sebagai perwujudan akuntabilitasnya kepada organisasi yang menugaskannya, maupun kepada masyarakat tani sebagai 'klien' yang dilayaninya.

Efektifitas kinerja kelembagaan penyuluhan sejak proses perencanaan, pengembangan program, pelaksanaan hingga proses pelaporan dan evaluasi berimplikasi pada proses pembelajaran masyarakat tani. Efektifitas kinerja kelembagaan penyuluhan dalam perencanaan dan pengembangan program bukanlah sekedar hasil dalam bentuk program penyuluhan dan rencana kegiatan, melainkan prosesnya yang mencirikan proses pembelajaran bagi penyuluh maupun bagi masyarakat dan bagi aparat tidak kalah pentingnya. Sebagai agen perubahan (change agent) dalam pembangunan pertanian, kelembagaan penyuluhan haruslah mampu belajar untuk mendorong penyuluh dan masyarakat menemukenali kebutuhan mereka sendiri untuk berubah kearah yang lebih baik.

2.1.2. Persepsi

Rakhmat (2003) menguraikan definisi persepsi sebagai suatu pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimulus inderawi (sensory stimuli). Persepsi untuk objek berupa benda mati disebut sebagai persepsi objek, sedangkan persepsi terhadap manusia biasanya disebut sebagai persepsi interpersonal.

Thoha (1986) menjelaskan bahwa persepsi pada hakekatnya merupakan proses yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.

2.1.2.1. Proses Pembentukan Persepsi

Rakhmat (2003) menguraikan beberapa konsep yang terlibat dalam proses persepsi yaitu:

a. Sensasi. Sensasi merupakan tahap paling awal dalam penerimaan informasi. Sensasi adalah pengalaman elementer yang berhubungan dengan kegiatan alat indera dan tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual. Perbedaan kapasitas alat indera dapat menyebabkan perbedaan sensasi. Perbedaan sensasi dapat menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi.

b. Perhatian (Attention). Perhatian terjadi bila seseorang mengkonsentrasikan dirinya hanya pada salah satu alat indera saja, dan mengesampingkan masukan- masukan dari alat indera lainnya.

3. Memori memegang peranan penting dalam mempengaruhi persepsi maupun berpikir. Memori melewati tiga proses yaitu perekaman, penyimpanan, dan pemanggilan. Perekaman adalah pencatatan informasi melalui reseptor indera dan sirkit saraf internal. Penyimpanan menentukan berapa lama, dalam bentuk apa, dan di mana informasi tersebut bersama seseorang.

2.1.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Rakhmat (2003) mengkategorikan dua faktor yang menentukan persepsi yaitu:

a. Faktor fungsional (faktor personal). Kebutuhan dan pengalaman masa lalu termasuk dalam faktor ini. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan.

b. Faktor struktural (faktor situasional). Faktor ini berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Berdasarkan teori Gestalt, seseorang mempersepsikan sesuatu secara keseluruhan, dan tidak melihatnya sebagai suatu bagian yang terpisah.

2.1.3. Motivasi

Motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti “dorongan” atau “daya penggerak”. Motivasi mengacu pada dorongan dan usaha untuk memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan. Motivasi adalah suatu kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya (misalnya rasa lapar, haus dan bermasyarakat (Malayu, 2003).

Robbins (1996) yang dikutip Makarim (2003) menyatakan bahwa motivasi dapat dilihat dari adanya usaha mencari suatu sasaran secara bersama yang bermanfaat bagi seseorang, atau bagi orang lain di dekatnya, kemudian menjalin kerja sama yang dilandasi oleh semangat dan daya juang yang tinggi.

2.1.3.1. Proses Motivasi

Menurut Newcomb dkk. (1985) yang dikutip Susantyo (2001), motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Selanjutnya, Wahjosumidjo (1987) menyatakan bahwa motivasi sebagai proses psikologis diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinsik atau faktor di luar diri yang disebut factor ekstrinsik. Faktor di dalam diri seseorang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman, dan pendidikan, atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau ke masa depan. Sedang faktor di luar diri, dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber, bisa karena pengaruh pimpinan, kolega, atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks. Tetapi baik factor intrinsik maupun faktor luar motivasi timbul karena adanya rangsangan.

2.1.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Wahjosumidjo (1987) menggolongkan dua faktor yang berpengaruh terhadap motivasi individu yaitu faktor yang berasal dari dalam individu (intern) dan faktor yang bersumber dari luar individu (ekstern). Yang termasuk faktor intern adalah kemampuan atau keterampilan, tingkat pendidikan, sikap dan sistem nilai yang dianut, pengalaman masa lampau, aspirasi atau harapan masa depan, latar belakang sosial budaya, serta persepsi individu terhadap pekerjaannya. Faktor ekstern meliputi tuntutan kepentingan keluarga, kehidupan kelompok, lingkungan kerja maupun kebijaksanaan yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Dokumen terkait