• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Teori

Dalam dokumen TESIS edy silistiono (Halaman 31-36)

BAB II LANDASAN TEORITIS

2.3. Landasan Teori

Tulisan ini merupakan penelitian kajian budaya yang bertujuan mengungkap makna wacana-wacana tokoh wayang Arjuna di era raja-raja Jawa Mataram Sultan Agung hingga Zaman Surakarta, yang mana diskursus itu ditujukan untuk mendapatkan hegemoni dari orang Jawa.

Sebagaimana tradisi penelitian ilmiah yang ciri-cirinya mengembangkan metode berfikir kritis objektif, konsisten serta sistematis, maka dalam rangka pengungkapan makna tujuan penelitian sangat perlu dituntun oleh teori-teori yang tepat. Ratna (2010:49-53) mengemukakan bahwa peranan sebuah teori dalam sebuah penelitian adalah sebagai penuntun memahami obyek yang akan mengarahkan peneliti memecahkan masalah. Teori berbentuk konsep, argumentasi, dan proposisi yang lahir dari pemikiran yang sensitif, tajam, dan sistematis. Sifat analisis kajian budaya yang holistik dan ekletik mengarahkan penelitian ini bisa menggunakan multi disiplin serta memanfaatkan berbagai teori secara dinamis dengan tujuan menghasilkan harmoni makna.

Grand teori atau teori induk dari penelitian ini menggunakan teori wacana dari Foucault, didukung teori-teori minor seperti semiotika, dan hegemoni. Khusus berkaitan dengan semiotika pada bab pembahasan akan digunakan untuk mengungkap makna nilai-nilai yang terkandung dalam figur wayang Arjuna beserta gelar-gelarnya. Makna- makna yang terungkap berupa nilai-nilai etika serta estetika klasik orang Jawa merupakan struktur-struktur mapan dari nilai-nilai Jawa. Hal itu adalah konsekuensi dari semiotika yang harus mengacu pada ground atau kode budaya lokal. Ratna berpandangan bahwa tidak bisa dihindari semiotika sebagai teori tanda selalu berkaitan dengan semua teori lain. Untuk memudahkan pemahaman jalinan metodologi serta teori yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada gambar 1.

Diskursus Tokoh Arjuna

dalam Legitimasi Raja-raja Jawa Mataram

Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori

2.3.1. Teori Wacana/diskursus

Michel Foucault adalah filsuf anti-esensialisme dan pascastrukturalisme yang intinya menolak tradisi berfikir tiga hal berikut.

1) Menolak kebenaran transendental sebagaimana mendominasi filsafat modern seperti konsep Kant, Descartess dan Husserl tentang adanya kebenaran yang mutlak atau kebenaran akhir asal-usul adanya sesuatu seperti Tuhan, ide, roh absolut, kebenaran mutlak dan abadi berasal dari substansi transenden yang metafisis yang berada di luar ruang dan waktu. Sebaliknya sebagimana pemikir post modernisme yang lain Foucault beransumsi bahwa tidak ada sebuah kebenaran mutlak, dan universal karena filsafat dan ilmu pengetahuan bersumber dari upaya manusia untuk menyingkap rahasia alam. Dalam konsep teorinya Arkeologi kemudian sejak tahun 1970 lebih populer disebut Genealogi, Foucault mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran dan ide yang diturunkan dari “dunia sana” melainkan berasal dari konstruksi berfikir yang bersumber dari wacana-wacana pada episteme kurun sejarah tertentu (Yusuf Lubis, 2014 b:68). 2) Menolak paradigma strukturalisme yang beransumsi bahwa perkembangan pola

pikir manusia lebih ditentukan oleh struktur/sistem seperti sistem sosial, politik, ekonomi dan bahasa di sekitarnya. Bukan manusia yang menciptakan makna melalui bahasa tetapi sebaliknya bahasa dan budayalah yang mengkonstruksi pikiran manusia. Foucault mengkritisi pandangan kaum strukturalis yang dipelopori oleh Levi Strauss, bahwa dengan hilangnya otonomi imajinasi kreatif manusia sebagaimana asumsi strukturalisme berarti telah terjadi “kematian

Diskursus

manusia” (the death of man). Bagi Foucault meskipun ia mengakui adanya episteme/sistem yang menstruktur pikiran manusia, akan tetapi tidak bersifat kontinyu sebaliknya diskontinyu bisa berubah dan berganti-ganti dari satu zaman atau tempat ke zaman dan tempat yang lain (Yusuf Lubis, 2014a: 168). 3) Menolak konsep subyek universal sebagaimana teori Marx bahwa kesadaran

dikonstruksi oleh kelas sosial, sehingga ada perbedaan kesadaran, nilai-nilai antara kelas proletar dan borjuis. Bagi Foucault subyek adalah produk sejarah, produk dari diskursus yang berbeda dari satu era ke era lain. Kuasa yang oleh Foucault dipahami sebagai kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain pada proses diskursif, menyebar pada personal-personal dan inter-personal di bawah kendali pengetahuan yang telah menyatu menjadi sistem pola pikir masyarakat yang diistilahkan Foucault episteme oleh kuasa agung yaitu penguasa. Dalam proses sosialisasi dalam episteme kurun sejarah tertentu manusia mengalami proses menjadi pribadi- pribadi yang oleh Foucault disebut sebagai teknologi menjadi subyek. Pribadi- pribadi atau subyek-subyek yang telah diformula oleh episteme pengetahuan tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma dan aturan-aturan sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa. Yusuf Lubis (2014:168) dalam metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan yang oleh Foucault disebut genealogi, mengemukakan bahwa dalam vase histori tertentu apa yang disebut sebagai sebuah kebenaran dikonstruksi untuk mendistribusikan kekuasaan lewat lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan, penjara, rumah sakit, yang hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang gila dan waras, bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan (Yusuf Lubis, 2014b:73).

Teori Diskursus tersebut digunakan untuk menganalisis diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Dinasti Mataram dalam pembahasan sebagai berikut.

Pertama, konsep teori Foucault power knowledge / kuasa pengetahuan digunakan untuk menganalisis motifasi tindakan Sultan Agung dalam mewacanakan tokoh Arjuna sebagai media membangun legitimasi kekuasaanya. Salah satu aspek jalinan diskursus ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh

untuk menahlukan dan membuat orang menjadi patuh. Bagi penguasa pengetahuan adalah sebuah ekspresi berkuasa. Pengetahuan yang diwacanakan oleh penguasa akan membangun sebuah sistem berpikir yang disepakati dan disepahami oleh anggota kolektif masyarakat dan sesuai dengan deskrepsi kebenaran menurut otoritas intelektual, politis, dan elite pemerintah. Untuk mensosialisasikan wacana itu maka pengetahuan didesentralisasi dan dipluralisasi, sehingga akan melahirkan dukungan produktif dari masyarakat kepada penguasa (Faoucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:77).

Berlandaskan pertimbangan bahwa pengetahuan bisa dijadikan alat untuk membangun kekuasaan, maka Sultan Agung memilih Arjuna sebagai tokoh paling populer yang memiliki reputasi nilai kultus, mitologi dan simbol kejayaan bagi Mataram, sebagai media wacana. Wacana-wacana yang disosialisasikan kepada semua lapisan dan penjuru masyarakat Mataram diaharapkan akan mampu menyatukan pola pikir masyarakat yang pada akhirnya mendatangkan timbal balik dukungan terhadap kekuasaan Raja-Raja Dinasti Mataram.

Kedua, konsep teori Foucault tentang jaringan kuasa, pengetahuan dan kebenaran digunakan untuk menganalisis proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna di Mataram. Foucault dalam Yusuf Lubis (2014a : 176) mengemukakan adanya relasi yang sigfikan antara kuasa – pengetahuan – kebenaran. Kuasa didapat dari pengetahuan, dan dipraktikkan menggunakan wacana melalui bahasa. Dalam wacana itu kebenaran dikonstruksi. Pada akhirnya kebenaran adalah kekuasaan itu sendiri. Teori tersebut menuntun pemahaman bahwa wacana tokoh Arjuna bersumber dari Babad Tanah Jawi disebarluaskan ke seluruh Mataram oleh agen-agen diskursif yaitu dalang, penanggap dan penonton, dalam setiap ivent-ivent yang mentradisi di masyarakat, di keraton, di rumah-rumah priyayi maupun masyarakat umum. Dalam satu periode wacana tokoh Arjuna itu menyatu dalam kesadaran setiap subyek dan kolektif di Mataram membentuk kesamaan sistem berpikir tentang Arjuna dan nilai-nilai pengetahuannya berkaitan dengan legitimasi Raja-Raja Mataram, yang disebut episteme era Mataram atau budaya ragam Mataraman sebagaimana mentradisi di keraton Jawa Surakarta dan Jogjakarta.

Ketiga, pandangan Foucault tentang tubuh digunakan untuk menganalisis proses terbentuknya kepatuhan orang Jawa terhadap diskursus yang dibangun oleh Raja-Raja Dinasti Mataram. Berkaitan teori tentang tubuh Foucault menguraikan bahwa tubuh/subyek bukan terbentuk secara transenden tetapi melalui proses normalisasi dan

regulasi (sosialisasi kepatuhan terhadap norma-norma dan aturan-aturan di masyarakat), yang norma serta aturan itu dikonstruksi oleh rezim kebenaran atau episteme era sejarah tertentu oleh penguasa (Barker, 2005:104).

2.3.2. Teori Hegemoni

Teori hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci, berkait dengan pembahasan tentang masalah politik kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980. Konsep ini menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467).

Teori hegemoni dalam penelitian ini akan dimanfaatkan untuk menuntun analisis peranan raja-raja Jawa merebut persetujuan dari orang Jawa dengan makna tokoh Arjuna yang pada finalnya akan melegitimasikan kekuasaan mereka. Wayang memiliki sejarah panjang berkaitan dengan perananya dalam masyarakat untuk kepentingan penguasa. Helen (2004) dalam jurnal internasional Journal of Southeast Asian Studies menguraikan “The use of wayang (shadow puppets) as means of conveying political propaganda in Java is far from new.” Sejak dahulu hingga sekarang wayang sering dimanfaatkan penguasa untuk kepentingan politiknya.

2.3.3. Teori Semiotika

Untuk menganalisis nilai-nilai moral dalam figur wayang Arjuna dan gelar- gelarnya, digunakan semiosis wacana dari Bartes. Tokoh terkemuka semiosis pasca strukturalisme yang bernama lengkap Roland Barthes (1915-1980) lahir di Cherbourg Prancis utara mengembangkan analisis wacana (Budiman, 2002:102). Hal itu berbeda dengan semiotika struktural Saussure yang telah mendominasi model semiosis modern barat pada umumnya, yang berasumsi bahwa wacana/parole (termasuk bentuk-bentuk ujaran individual) adalah sub sistem semiosis yang tidak mungkin bisa terjangkau analisis.

Sistem penandaan wacana Barthes terdiri dari dua tataran yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi disejajarkan dengan penanda ekspresi obyek, dan konotasi sebagai

petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis baik denotasi maupun konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi (expression) dilambangkan E, dan isi (content) dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi (relation) yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan (ERC)

Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi subyek-subyek individu. Hoed (2011:66) tentang semiotika wacana Barthes mengemukakan bahwa interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer (mana suka) digolongkan sebagai mitos jika konotasi itu telah tetap mencapai kemapanan sebagai sebuah kewajaran di masyarakat; jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi.

Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur tokoh wayang Arjuna dan gelar julukannya “Lelananging Jagat” bertujuan memahami nilai-nilai yang terkandung sebagai anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu sebagai motivasi penting dipilihnya Arjuna sebagai media membangun wacana pengetahuan di Mataram.

Dalam analisis semiosis Barthes ini figur wayang Arjuna akan dianalisis menggunakan konsep teori citra visual, dan julukan Arjuna yang digolongkan citra lingguistik akan dianalisis sebagai citra penambat.

Dalam dokumen TESIS edy silistiono (Halaman 31-36)

Dokumen terkait