• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Anak Jalanan

1.1. Latar Belakang

Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga anak mandiri, sesungguhnya adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan terasingkan dari perilaku kasih sayang. Hal ini di buktikan karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini, mereka sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang tidak kondusif dan bahkan sangat tidak bersahabat. Alasan anak jalanan yang mengatakan bahwa tinggal di jalanan adalah sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarga tampaknya secara rasional kurang atau bahkan tidak dapat di terima oleh masyarakat umum (Suyatno, 2010).

Masalah anak jalanan adalah masalah sosial bersama yang sulit terpecahkan dan menjadi problem klasik negara berkembang. Banyak sisi negative terkait dengan keberadaan anak jalanan, di sisi lain anak jalanan sendiri sebenarnya memiliki masalah yang berat dan membuat miris (Diah, 2010).

Fenomena masalah anak jalanan merupakan isu global yang telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Jumlah anak jalanan bertambah setiap hari dan mempunyai prevalensi yang cukup tinggi di negara-negara yang miskin dan berkembang terutamanya di benua Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Sampai pada detik ini, jumlah anak jalanan yang pasti di seluruh dunia masih tidak diketahui lagi, tetapi UNICEF (2003) mengestimasi bahwa ada sekurangnya sekitar 100 juta orang. Publikasi artikel oleh Railway Children (2009), menunjukkan india mempunyai jumlah anak jalanan yang paling banyak di dunia ini dengan jumlah sekurang-kurangnya 11 juta orang (Irwanto, 1999)

Di Indonesia, berdasarkan hasil analisis situasi mengenai anak jalanan yang dilakukan oleh Departemen Sosial, menunjukkan jumlah sekitar 230.000 orang pada tahun 2009 (Departement Sosial, 2009).

Anak jalanan merupakan kelompok yang rentan dalam melakukan perilaku berisiko terhadap kesehatan. Kelompok umur remaja merupakan bagian terbesar dari kelompok anak jalanan sehingga masalah kesehatan pada anak jalanan adalah masalah

perilaku remaja yaitu kebiasaan merokok, menggunakan napza, perilaku seksual berisiko, dan masalah kesehatan reproduksi seperti Infeksi Menular Seksual dan HIV-AIDS (Kemenkes RI, 2010).

Berdasarkan data Dinas Sosial DKI Jakarta, jumlah anak jalanan pada tahun 2009 sebanyak 3.724 orang, tahun 2010 meningkat menjadi 5.650 orang, dan pada tahun 2011 juga meningkat menjadi 7.315 orang. Pada umumnya mereka bekerja sebagai pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1, dan parkir liar. Berdasarkan data dari Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja jumlah anak jalanan di kota Surakarta mencapai 103 anak tahun 2010. Di kota Makassar keberadaan anak jalanan dapat terlihat di tempat-tempat umum seperti di persimpangan jalan tol Reformasi, Jl. A. Pangerang Petta Rani, dan Jl. Sultan Awaluddin, persimpangan jalan mesjid raya dan Jl. G. Latimojong, persimpangan Jl. S. Saddang, dan Jl. Vetaran, persimpangan Jl. Mongondisi, dan persimpangan Jl. Landak Baru. Di terminal, tempat pembuangan sampah dan berkeliaran di kantor-kantor pemerintah dan swasta. Sebagian besar anak jalanan di kota Makassar merupakan pendatang dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan antara lain Kabupaten Jeneponto, Maros, Pangkep, Gowa dan Takalar bahkan ada yang dari luar Sulawesi yakni dari Jawa, Lombok dan Kalimantan. Anak jalanan ini adalah anak-anak dari para pendatang yang mencoba mencari penghidupan lebih baik di kota Makassar. Dinas Sosial kota Makassar menyatakan, bahwa pada akhir tahun 2009 hingga akhir tahun 2010, jumlah anak jalanan meningkat dari 500 orang menjadi 1.000 orang. Keberadaan anak-anak jalanan di beberapa sudut jalan di Makassar tentu memberikan dampak negatif baik bagi masyarakat maupun bagi keteraturan dan keindahan kota Makassar itu sendiri.

Data terbaru Yayasan Setara pada 2007, mencatat selama tiga tahun terakhir di kota Semarang terdapat 416 anak jalanan. Anak-anak jalanan di Semarang berasal dari berbagai daerah di JawaTengah. Menurut ketua PAJS (Persatuan Anak Jalanan Semarang) Winarto, anak-anak jalanan banyak berasal dari kota Semarang, yaitu sebesar 60 persen. Dari daerah di luar kota Semarang diperkirakan sebesar 40 persen, antara lain berasal dari Purwodadi atau Demak.

Sebuah artikel mengenai anak jalanan di media massa menyebutkan bahwa di Sumatera Selatan jumlah anak jalanan mencapai 5.088 orang yang tersebar di 15 kabupaten dan kota. Di Palembang sendiri, anak jalanan di perkirakan berjumlah 3.690 orang. Rina Bakrie, ketua Yayasan Puspa Indonesia, menduga peningkatan jumlah anak jalanan ini sebagai dampak pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Deputi Direktur Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Medan, Misran Lubis sebagai narasumber mengatakan, anak jalanan menjadi fenomena klasik dan keberadaannya tetap eksis, populasinya terus berkembang setiap tahunnya, data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, mengidentifikasi jumlahnya mencapai 2.867 anak, jumlah terbesar anak ada di lima kota yakni Medan (663 anak), Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak), dan Tanah Karo (157 anak) (Dinas Sosial, 2008).

Sedangkan menurut KSSP ( Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak), memperkirakan ada sekitar 5000 anak jalanan di seluruh Sumatera Utara pada tahun 2007. Namun, berdasarkan data terbaru dari Dinas Sosia Kota Medan, pada tahun 2008 jumlah anak jalanan di Kota Medan sekitar 675 jiwa (Dinas Sosial, 2008).

Pada tahun 2010 Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) melakukan pemetaan ulang terhadap situasi anak jalanan di kota Medan, dari pemetaan tersebut ditemukan data statistik populasi anak jalanan yang berbeda, Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) melakukan identifikasi di 7 kecamatan populasi anak jalanan sebanyak 420 anak, mereka tersebar di 18 lokasi yakni pada umumnya di persimpangan lampu merah di antaranya Simpang Glugur, Bundaran Majestik, Pasar Petisah, Simpang Pulobrayan, Simpang Sei-Sikambing, dan terminal (Pusat Kajian Perlindungan Anak, 2010).

Anak jalanan umumnya berusia sekitar 6 hingga 18 tahun merupakan antara kelompok yang beresiko tinggi terhadap pembunuhan, pelecehan, dan perlakuan tidak manusiawi. Demi kelangsungan hidupnya, mereka akan memilih untuk melakukan pencurian bahkan hingga menjual dirinya sendiri demi uang.

Oleh karena itu, bedasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik ingin

melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Perilaku Anak Jalanan di Kota Medan tahun 2014”.

Dokumen terkait