• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

1.1. Latar Belakang

Kebijakan desentralisasi yang berlangsung di Indonesia belum secara spesifik merancang desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun demikian beberapa penulis menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi dapat meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu alasan yang mereka pakai untuk menguatkan argumen tersebut adalah karakter lingkungan yang berbeda di masing- masing daerah menuntut pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tingkat lokal.

Kebijakan desentralisasi untuk Provinsi Papua diatur melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang Politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 ayat (1), menjelaskan bahwa pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam pembangunan perekonomian kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Masyarakat Adat yang dimaksudkan dalam undang-undang ini adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah yang terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Implementasi UU Otsus Papua merubah berbagai kebijakan dalam birokrasi pemerintahan maupun program-program pembangunan sehingga lebih mengakomodir kebutuhan lokal dan pemberian kesempatan kepada masyarakat adat sebagai sasaran pembangunan. Salah satu contoh adalah sektor kehutanan yang melakukan perubahan kebijakan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat adat dalam pemanfaatan kayu di wilayah ulayatnya. Masyarakat adat dalam wadah koperasi bermitra dengan pihak swasta dan melakukan kegiatan pemanfaatan kayu dengan menggunakan Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA). Menurut Tokede (2005) IPK-MA merupakan bentuk perijinan (legalitas) pertama yang memberikan akses kepada masyarkat adat untuk memanfaatkan kayu dari areal ulayatnya.

IPK-MA dicabut pemberlakuannya pada 12 Januari 2005 karena adanya perdebatan dengan Departemen Kehutanan yang menganggap IPKMA merupakan ijin ilegal dan memungkinkan terjadinya praktek pembalakan liar. Departemen Kehutanan menawarkan pemanfaatan kayu melalui Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) sesuai SK Menhut No. 6886/Kpts-II/2002. IPHH digunakan oleh masyarakat adat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (kulit masohi dan gaharu), sedangkan untuk hasil hutan kayu masyarakat tidak memanfaatkan perijinan ini karena ijin ini melarang kayu yang dipungut untuk diperdagangkan.

Kegiatan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat tanpa legalitas dapat ditemui di Kabupaten Jayapura yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua. Posisi Kabupaten Jayapura cukup strategis dalam kegiatan pemanfaatan kayu karena selain memiliki kawasan hutan dengan luas ± 1.338.390,83 hektar (Dinas Kehutanan Papua, 2007) juga memiliki sarana prasarana yang lebih memadai dibandingkan kabupaten lain dan berada dekat dengan pelabuhan laut. Sekalipun kegiatan pemanfaatan kayu dilakukan oleh masyarakat di areal hutan adat tanpa dilengkapi dokumen perijinan namun kegiatan ini terus berjalan dan melibatkan pihak swasta (industri kayu, kios kayu untuk kebutuhan lokal).

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang kebijakan dan aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Penelitian ini akan difokuskan pada kebijakan perijinan pemanfaatan kayu, pendapatan masyarakat adat, pendapatan pemerintah daerah, serta peran para pihak (stakeholders), dan kelembagaan adat. 1.2. Perumusan Masalah

Pasca penghentian perijinan IPK-MA aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat terus berlangsung meskipun tanpa legalitas. Kayu tanpa legalitas digunakan untuk memenuhi kebutuhan lokal (pembangunan infrastruktur daerah) maupun untuk kebutuhan industri. Data Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura menunjukkan bahwa sejak tahun 2007 hingga 2009 terdapat 5 (lima) Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang beroperasi di Kabupaten Jayapura. IPK memasok bahan baku untuk menunjang kegiatan 12 (dua belas) Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan kapasitas 6.000 meter kubik per tahun. Selain ijin IPK tidak terdapat bentuk perijinan lain yang sah untuk pemanfaatan kayu. Hal ini menyebabkan kayu untuk kebutuhan lokal sulit terpenuhi karena seluruh produk IPK habis terserap oleh kebutuhan industri.

Menurut Sitorus (2004) pemerintah pusat tidak perlu merespon masa transisi desentralisasi dengan kepanikan terlebih untuk mengembalikannya dengan sistem sentralisasi. Penguatan kelembagaan dan institusi pemerintahan dan non pemerintah di daerah yang menjadi aktor pengusahaan hutan, pranata sosial masyarakat lokal, serta penegakkan hukum merupakan upaya yang sangat dibutuhkan untuk mendorong terwujudnya tujuan desentralisasi. Murray et al. (2006) menjelaskan bahwa faktor utama penentu keberhasilan masyarakat lokal dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan adalah adanya kejelasan property right serta berfungsinya sistem kelembagaan lokal. Sistem kelembagaan dimaksud meliputi norma (norm), sanksi (sanction), dan kepercayaan (belief) yang mengatur interaksi sesama manusia, dan antar manusia dengan sumberdaya alam.

Beberapa kajian yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam mengelola hutan antara lain yang dilakukan oleh Kawer (2007) mendeskripsikan zona pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura yang meliputi Kawasan Pemanfaatan bersama/umum dan Kawasan Pemanfaatan Khusus. Pangkali (2006) menjelaskan bahwa di Distrik Unurumguay Kabupaten Jayapura masyarakat adat mengenal adanya zona-zona pemanfaatan, misalnya untuk dusun sagu, tempat berburu dan tempat keramat.

Mencermati kondisi pemanfaatan kayu yang sementara terjadi di Kabupaten Jayapura maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat yang berhubungan dengan kebijakan pemanfaatan kayu. Beberapa pertanyaan sebagai masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana implementasi kebijakan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura? 2. Bagaimana aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten

Jayapura?

3. Bagaimana peran kelembagaan adat dalam kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura?

1.3. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui implementasi kebijakan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura. 2. Mengetahui aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten

3. Mengetahui efektivitas kelembagaan adat (lokal) dalam kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura.

1.4. Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan mengenai kebijakan pemanfaatan kayu dan sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat.

1.5. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran pada penelitian ini merupakan model analisis kebijakan yang terintegrasi dimana dilakukan analisis retrospektif yang berorientasi pada aplikasi (Dunn, 1994). Kebijakan pemanfaatan kayu akan dianalisis untuk menjelaskan kondisi pemanfatan kayu yang terjadi di Kabupaten Jayapura, berupa kegiatan yang menggunakan perijinan pemerintah dan kegiatan tanpa perijinan pemerintah. Perijinan pemerintah yang sementara digunakan berupa Ijin Pemanfatan Kayu (IPK), dan Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH). Kegiatan tanpa perijinan dilakukan oleh masyarakat adat (pemilik ulayat) atau pihak lain sesuai ijin pemilik ulayat.

Beberapa analisis akan digunakan untuk mendukung penelitian ini, yaitu

Analisis Isi (content analisys), untuk menganalisis isi kebijakan perijinan pemanfaatan kayu yang sementara berlaku.; Analisis Saluran Pemasaran, untuk mengetahui bagaimana produk kayu tanpa ijin mampu dipasarkan dan pelaku (agen) yang terlibat didalamnya;Analisis Pendapatan, untuk memberikan gambaran tentang pendapatan masyarakat dari kegiatan pemanfatan kayu yang menggunakan perijinan dan tanpa perijinan, pendapatan pemerintah yang hilang maupun yang berasal dari kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan; Analisis Stakeholder, untuk mengetahui pendapat para pihak (stakeholder) tentang aktivitas pemanfaatan kayu yang sementara terjadi; Analisis Efektivitas Kelembagaan Adat, untuk mengetahui tingkat kepercayaan masyarakat dan pemahaman terhadap aturan adat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Hasil analisis diharapkan mampu menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat yang berhubungan dengan kebijakan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura dan alternatif/solusi kebijakan. Bagan alir kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran SUMBER DAYA HUTAN

PAPUA

PEMANFAATAN KAYU TANPA IJIN YANG SAH PEMANFAATAN KAYU DI

KAB. JAYAPURA

• ANALISIS ISI KEBIJAKAN

• ANALISIS SALURAN PEMASARAN • ANALISIS PENDAPATAN

MASYARAKAT DAN PEMDA

• ANALISIS STAKEHOLDER • ANALISIS EFEKTIFITAS

KELEMBAGAAN ADAT

MASALAH KEBIJAKAN PEMANFAATAN KAYU DI KAB. JAYAPURA

PEMANFAATAN KAYU DENGAN IJIN YANG SAH

ALTERNATIF KEBIJAKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat Adat dan Otonomi Khusus Papua

Istilah ‘adat’ dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘kebiasaan’ atau ‘tradisi’ dan mengandung konotasi tata tertib yang tenteram dan konsensus. Menurut Sangaji (2010), sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal people. Kingsbury (1995) dalam Sangaji (2010) memberikan ciri untuk mengenali kelompok-kelompok yang disebut Indigenous people, dengan sejumlah karakteristik pokok, yaitu : (1) mengindentifikasi dirinya secara otonom sebagai kelompok suku yang berbeda; (2) pengalaman historis dalam hubungan dengan kerentanan kondisi kehidupan mereka terhadap gangguan, dislokasi, dan eksploitasi; (3) memiliki hubungan yang panjang dengan wilayah yang didiaminya; dan (4) berkeinginan mempertahankan ideologi yang berbeda. Moniaga (2010) mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal- usul (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan wilayah sendiri.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mendefinisikan adat sebagai kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun- temurun. Sedangkan definisi Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Terdapat kurang lebih 250 suku atau masyarakat adat yang mempunyai bahasa berbeda dengan jumlah penduduk dalam tiap kelompok suku yang relatif kecil.

Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua merupakan suatu kebijakan yang mendukung pemberdayaan masyarakat adat, hal ini didukung dengan adanya pembentukan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) yang beranggotakan wakil dari kelompok adat. Menurut Widjojo (2009), Undang-Undang Otsus Papua merupakan kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yang diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat Papua yang belum memiliki sumberdaya yang memadai guna menghadapi persaingan yang sehat dan normal. Menurut Wanggai (2009), Undang-Undang Otsus merupakan sarana rekonsiliasi paling realistis yang dapat menjembatani antara kepentingan pemerintah

dengan aspirasi merdeka, dan memberikan pengakuan identitas kultural masyarakat Papua.

2.2. Pembuatan Kebijakan

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijabarkan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap di tengah (Dunn, 1994).

Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi juga melibatkan proses pembelajaran bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peran utama (Lindayati, 2003). Sutton (1999) menjelaskan tentang urutan pembuatan kebijakan dalam model rasional sebagai berikut :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah.

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.

Perumusan Masalah Peramalan Rekomendasi Pemantauan Penyusunan Agenda Penilaian Formulasi Kebijakan Adopsi Kebijakan Implementasi Kebijakan Penilaian Kebijakan Gambar 2. Prosedur Pembuatan Kebijakan (Dunn,1994)

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang paling tepat. 5. Pelaksanaan kebijakan.

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Pembuatan kebijakan di bidang kehutanan menurut Kartodihardjo (2006) menggunakan kerangka pemikiran yang lebih bertumpu pada aspek-aspek teknis dan teknologi dan belum memperhatikan arah perilaku aktor-aktor yang terlibat sebagai unit-unit pengambil keputusan. Kebijakan kehutanan lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu kehutanan yang menggunakan pendekatan ilmiah misalnya penerapan manajemen hutan yang mengatur waktu rotasi optimal dengan asumsi hutan milik individu bukan sumberdaya milik publik. Bahkan konsep pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal belum pernah diadopsi pemerintah sebagai bentuk pengelolaan hutan secara legal. Pembuatan kebijakan membutuhkan penyempurnaan visi tentang keberadaan dan pemanfaatan fungsi sumberdaya hutan sebagai sumberdaya milik publik.

2.3. Analisis Isi Kebijakan

Kebijakan publik merupakan instrumen yang dibuat untuk memberikan solusi atas permasalahan, namun seringkali kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah bahkan melahirkan masalah baru. Permasalahan atau perilaku bermasalah yang berkaitan dengan suatu kebijakan dapat ditelusuri melalui evaluasi isi kebijakan dengan menggunakan pendekatan Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al. 2001).

1. Rule (Peraturan), suatu perilaku bermasalah timbul justru karena peraturan perundang-undangannya sendiri. Peraturan perundang-undangan berpotensi menjadi pemicu munculnya perilaku bermasalah karena beberapa faktor, antara lain : (a) Rumusan normanya rancu dan membingungkan; (b) Peraturan yang bersangkutan malah memberi peluang terjadinya perilaku bermasalah; (c) Peraturan tidak menghilangkan penyebab perilaku bermasalah; (d) Peraturan membuka peluang terjadinya perilaku tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak partisipatif; (e) Peraturan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pelaksana.

2. Opportunity (peluang), suatu perilaku bermasalah timbul karena peraturan perundang-undangan yang dibuat ternyata tidak dapat mempersempit peluang (baik peluang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun geografis) pelaku yang menjadi

sasaran (adressat) untuk tidak mentaati suatu peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan justru memberi peluang untuk tidak ditaati.

3. Capacity (kapasitas), suatu peraturan perundang-undangan tidak berhasil