• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Potensi Sumberdaya Hayati dan Pengetahuan Tradisional Indonesia

Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah pulau 13.466, luas wilayah daratan 1.922.570 km² dan luas wilayah perairan 3.257.483 km² (Badan Informasi Geospasial, 2017). Letak geografis Indonesia yang berada pada garis katulistiwa, menjadikan Indonesia sebagai negara tropis dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Keragaman hayati dimaksud meliputi keragaman ekosistem, keragaman jenis dan keragaman genetika. Anugerah tersebut merupakan suatu keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara di belahan benua lain. Selain itu, interaksi penduduk dengan alam sekitar menghasilkan khasanah kearifan lokal dan pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya tanaman untuk kebutuhan bahan pangan, menjaga kesehatan dan kebutuhan hidup lainnya, sejalan dengan perkembangan peradaban dan budaya pada masanya.

Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementerian Kesehatan tahun 2012 dan 2015 menemukan sebanyak 10.048 ramuan tradisional untuk 74 indikasi penyakit yang telah digunakan oleh masyarakat. Sejumlah 19.871 tanaman obat yang digunakan sebagai ramuan tradisional tersebut telah dikoleksi dan 16.218 diantaranya telah berhasil diidentifikasi (Kementerian Kesehatan, 2015). Suatu gambaran potensi kekayaan alam dan khasanah tradisional yang luar biasa yang perlu segera dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi produk kompetitif dan unggulan. Kementerian Kesehatan telah menetapkan 9 ramuan tradisional potensial untuk dikaji dan dikembangkan yaitu : (1) ramuan untuk perawatan bayi, (2) ramuan perawatan pra/pasca persalinan, (3) ramuan untuk darah tinggi, (4) ramuan untuk kencing manis, (5) ramuan untuk kolesterol tinggi, (6) ramuan untuk rematik/asam urat, (7) ramuan untuk

malaria, (8) ramuan untuk sakit kuning, (9) ramuan untuk sakit TBC, (10) ramuan untuk HIV/AIDS, dan (11) ramuan untuk tumor/kanker (Kementerian Kesehatan, 2015).

Informasi etnofarmakologi yang berupa ramuan tradisional tersebut, merupakan data empirik yang penting dan sangat bermanfaat. Dengan mengacu pada potensi sumberdaya hayati dan data empirik tersebut, langkah-langkah pengembangan produk obat herbal menjadi lebih terarah, utamanya dalam penentuan indikasi khasiat dan evaluasi keamanannya.

1.1.2. Demografi dan Pola Penyakit

Sebagai produk yang mempunyai dimensi kesehatan, pengembangan obat herbal harus memperhatikan profil demografi dan pola penyakit di Indonesia serta kecenderungan berkembangnya penyakit atau gangguan kesehatan masyarakat global. Jumlah penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan. Diperkirakan tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 271.066.400 jiwa, dan akan terus meningkat menjadi 305.653.400 jiwa pada tahun 2035 (Badan Pusat Statistik, 2016).

Seiring dengan keberhasilan pembangunan bidang kesehatan, angka harapan hidup manusia Indonesia terus menunjukkan peningkatan, yaitu 66 tahun pada tahun 2000, meningkat menjadi 69,1 tahun pada tahun 2010 dan 70,1 tahun pada 2015. Pada kurun waktu 2020-2035, angka harapan hidup manusia Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 72,2 tahun (Badan Pusat Statistik, 2016). Sementara itu penduduk berumur di atas 65 tahun pada 2035 diprediksi mencapai 10,6 % dari jumlah penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2013a).

Penyakit di Indonesia bisa dikategorikan dalam 3 kelompok penyakit, yaitu penyakit menular (communicable diseases), penyakit tidak menular (noncommunicable diseases) dan penyakit akibat cedera. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan telah terjadi pergeseran pola penyakit seiring dengan perubahan demografi Indonesia. Dalam kurun waktu 1990 sampai dengan 2015, kelompok penyakit infeksi atau menular

mengalami penurunan dari 56% pada tahun 1990 menjadi 30% pada tahun 2015. Sebaliknya kelompok penyakit tidak menular seperti stroke, jantung, diabetes, hipertensi dan kanker menunjukkan peningkatan dari 37% pada tahun 1990 meningkat menjadi 57% pada tahun 2015. Demikian pula dengan penyakit cidera, meningkat dari 7% pada tahun 1990 meningkat menjadi 13% pada tahun 2015 (Menteri Kesehatan, 2015).

1.1.3. Pertumbuhan Industri dan Pasar Obat Herbal Nasional

Industri obat herbal merupakan kelompok industri yang mempunyai dimensi ekonomi, kesehatan dan budaya. Industri herbal mempunyai potensi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok industri lainnya, karena sebagai besar bahan baku produk herbal diperoleh dari dalam negeri. Saat ini tercatat 1.247 industri obat herbal terdiri dari sekitar 93 Industri Obat Tradisional (IOT), 11 Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) dan sisanya berupa Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) yang tersebar di Indonesia (Novianti, 2017).Suatu sumberdaya industri nasional yang cukup potensial untuk dikembangkan.

Potensi pasar produk berbasis tanaman (herbal) cukup besar. Produk herbal untuk menjaga kesehatan, kebugaran dan kecantikan terus berkembang pesat termasuk produk arometerapi dan fragrans (produk berbasis minyak asensial), kosmetika herbal (sediaan kosmetika dengan bahan aktif dari ekstrak tanaman), pangan kesehatan (fungsional), nutraseutika, teh herbal, fitomedisin (obat herbal terstandar, fitofarmaka) dan sediaan tradisional (jamu).

Pertumbuhan pasar obat herbal dalam negeri terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sejalan dengan penguatan trend dan keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi produk berbasis bahan alam. Tahun 2005 nilai pasar obat herbal sebesar Rp. 4,7 triliun, meningkat signifikan menjadi Rp. 15 triliun pada tahun 2015. Suatu pertumbuhan pasar yang menggembirakan dan perlu terus didorong peningkatan dan penguasaan pasarnya. Dalam tatakelola perdagangan nasional, tanaman obat, minyak atsiri dan rempah-rempah merupakan 3 dari 10 produk potensial ekspor yang perlu

dikembangkan, karena memiliki potensi pasar yang cukup menjanjikan baik pasar lokal maupun global.

1.1.4. Tantangan Pengembangan Obat Herbal

Dalam tataran konsep, pengembangan obat herbal diarahkan pada 2 tujuan utama, yaitu: (1) Berkembangnya industri obat herbal, yaitu mewujudkan industri obat herbal yang berdaya saing baik di pasar lokal maupun global dan (2) Dimanfaatkannya obat herbal dalam pelayanan kesehatan formal, yaitu terbangunnya sistem dan infrastruktur pelayanan kesehatan dengan menggunakan sediaan obat herbal.

Tantangan dalam pengembangan obat herbal cukup signifikan, baik pada tataran makro (konsepsi) maupun pada tataran mikro (operasional), termasuk unsur teknologi dan kelembagaan, yaitu penyedia produk (provider), praktisi pengobat (practice), dan pengguna (konsumen). Perbedaan pemahaman dan konsepsi pemanfaatan dan pengembangan obat herbal yang masih sering muncul diantara pemangku kepentingan termasuk praktisi industri, regulator, peneliti dan akademisi secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi upaya percepatan pengembangan industri obat herbal.

Disisi lain perkembangan pasar dan permintaan konsumen menuntut adanya inovasi produk herbal yang dinamis untuk bisa menghadirkan produk yang aman, berkhasiat dan bermutu serta nyaman dikonsumsi. Penguatan inovasi teknologi produksi obat herbal hulu-hilir penting untuk dilakukan, guna mewujudkan berkembangnya industri bahan baku obat herbal, industri manufaktur produk obat herbal dan sistem pelayanan kesehatan menggunakan obat herbal. Pengembangan dan penerapan teknologi produksi bahan baku herbal (simplisia, ekstrak), teknologi pengujian khasiat dan keamanan serta teknologi formulasi sediaan untuk mendapatkan produk obat herbal yang bermutu merupakan tantangan positif untuk segera mendapatkan solusi yang tepat.

Tantangan lain terkait upaya pemanfaatan sediaan obat herbal dalam pelayanan kesehatan formal adalah belum adanya infrastruktur, SDM, regulasi dan pedoman teknis pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit dengan sistem ganda (dual system)

yaitu pengobatan konvensional dan pengobatan komplementer menggunakan sediaan obat herbal. Konsepsi atau perubahan paradigma dari pengobatan dan penanganan penyakit (paradigma sakit, bersifat kuratif) menuju pencegahan penyakit dan pengelolaan kesehatan (paradigma sehat, bersifat preventif) merupakan langkah penting yang akan menjadi arah pengelolaan kesehatan masyarakat ke depan termasuk mendorong pemanfaatan sediaan obat herbal.

1.1.5. Regulasi dan Kebijakan Pemerintah Terkait Industri Obat Herbal

Pemerintah melalui beberapa kementerian dan lembaga telah memberikan komitmen kuat untuk mendorong pemanfaatan dan pengembangan obat herbal dalam bentuk regulasi dan kebijakan, diantaranya:

1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanahkan upaya penyelenggaraan kesehatan melalui pelayanan kesehatan tradisional dengan menggunakan obat tradisional.

2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) yang memberikan pengertian dan batasan serta mengatur tentang pelayanan kesehatan tradisional.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 di mana industri farmasi (termasuk industri obat herbal) dikategorikan sebagai salah satu industri prioritas di masa depan,

4) Paket Kebijakan Ekonomi IX yang merupakan stimulus pemerintah untuk mendorong pengembangan industri farmasi termasuk industri obat herbal.

5) Inpres Nomor 6 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, yang diantaranya menugaskan kepada 13 Kementerian untuk meningkatkan daya saing industri farmasi, mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dan mempercepat kemandirian bahan baku obat.

6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang mengatur tentang rencana aksi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan.

Regulasi dan kebijakan di atas, merupakan salah satu bentuk komitmen dan keberpihakan pemerintah dalam upaya mendorong dan mempercepat pertumbuhan, daya saing dan kemandirian industri farmasi nasional, termasuk industri obat herbal.

Dari gambaran di atas, dapat disarikan bahwa selain tantangan teknologi, tantangan yang bersifat non teknologi perlu mendapat perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan. Teknologi merupakan salah satu variabel penting yang perlu diterjemahkan dengan lebih tepat dan sistematis. Selain tepat guna, aplikatif dan layak untuk dimanfaatkan oleh pengguna, pengembangan teknologi obat herbal juga perlu diarahkan pada hal-hal yang solutif dengan berorientasi pada kebutuhan industri dan masyarakat luas. Lingkup teknologi dimaksud adalah dari hulu hingga hilir, dari pengadaan bahan baku, produk antara hingga produk jadi serta teknologi informasi dan pendukung lainnya. Analisis dan prediksi kebutuhan teknologi untuk pengembangan obat herbal ke depan yang dituangkan dalam bentuk Outlook Teknologi Kesehatan Edisi 2017: Teknologi untuk Industri Bahan Baku dan Obat Herbal, penting untuk dilakukan. Dalam outlook ini, informasi, pembahasan dan analisis terkait teknologi pengembangan obat herbal menjadi substansi utama. Baik dari aspek bahan baku, pengembangan produk antara, pengujian dan formulasi sediaan akhir.