• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga-Lembaga Keuangan yang Menjadi Sumber Pembiayaan Usahatani Responden di Kecamatan Dramaga

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Geografis

VI ANALISIS PERSEPSI PETANI TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

6.1 Lembaga-Lembaga Keuangan yang Menjadi Sumber Pembiayaan Usahatani Responden di Kecamatan Dramaga

Keberadaan sumber pembiayaan sangat penting dalam pengembangan produktivitas usahatani, terutama untuk petani berlahan sempit dan petani yang tidak memiliki lahan. Pembiayaan tersebut digunakan untuk tujuan produksi, kegiatan ekonomi lainnya dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga petani.

Berdasarkan bentuknya lembaga pemberi pembiayaan yang terdapat di wilayah penelitian dapat dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu: (a) lembaga pembiayaan informal didominasi oleh tengkulak atau pedagang hasil pertanian, dan pelepas uang atau rentenir; (b) lembaga pembiayaan formal terdiri atas lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan konvensional diantaranya, Bank BNI, Bank BRI, Bank Jabar, Bank BTN dan Kredit Program Pemerintah. Adapun lembaga keuangan syariah diantaranya Bank Muammalat, LKS Amanah Ummah, LKS Mandiri, LKS Bina Rahmah, BMT Tadbirul Ummah, dan BMT Aliya.

Responden subsektor tanaman pangan pada umumnya tidak begitu mengenal prosedur untuk mengakses pembiayaan di lembaga keuangan formal, baik pada LKK maupun LKS, demikian juga dengan kredit program. Hal tersebut dibuktikan dengan riwayat pinjaman responden yang mayoritas mengakses sumber pembiayaan informal (lampiran 4). Pada Tabel 26 menunjukkan pengalaman petani dalam mengajukan permohonan pembiayaan bahwa dari 43 petani responden subsektor tanaman pangan sebesar 51,16 persen responden pernah mengajukan pembiayaan baik ke lembaga pembiayaan formal maupun informal. Sedangkan 48,84 persen lagi belum pernah mengajukan pembiayaan baik ke lembaga pembiayaan formal ataupun informal.

Pada subsektor perikanan, sebagaimana pada responden subsektor tanaman pangan keberadaan sumber pembiayaan bagi petani subsektor perikanan sama pentingnya untuk keberlanjutan usaha. Petani subsektor perikanan memerlukan pembiayaan untuk membiayai operasional budidaya ikan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Mayoritas responden subsektor

perikanan yaitu sebesar 77,78 persen belum pernah mengajukan permohonan pembiayaan baik ke lembaga keuangan formal maupun informal. Hanya 22,22 persen responden saja yang pernah berhubungan dengan sumber pembiayaan.

Pada subsektor peternakan pengalaman responden dalam mengajukan pembiayaan, hanya 25 persen responden yang pernah mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan formal. Sedangkan 75 persen responden belum pernah sama sekali mengajukan pembiayaan untuk membiayai usahanya.

Adapun sebaran jumlah dan persentase responden menurut pengalaman dalam mengajukan pembiayaan bagi usahataninya dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Pengalaman dalam Mengajukan Pembiayaan dari Berbagai Sumber Pembiayaan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008

Tanaman Pangan Perikanan Peternakan Uraian

Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) a. Belum Pernah 21 48,84 7 77,78 6 75,00 b. Pernah 22 51,16 2 22,22 2 25,00 Total 43 100,00 9 100,00 8 100,00

Responden subsektor tanaman pangan yang belum pernah mengajukan pembiayaan mengungkapkan alasan tidak mengajukan pembiayaan karena tidak ingin memiliki beban utang pada siapapun. Dari 22 responden subsektor tanaman pangan yang pernah mengajukan pembiayaan sebagian besar mengajukan pinjaman pada lembaga keuangan non formal yaitu sebesar 54,55 persen. Lembaga keuangan non formal yang banyak diakses oleh responden subsektor tanaman pangan adalah tengkulak (pedagang hasil). Sedangkan responden yang mengakses ke lembaga keuangan formal sebesar 27,27 persen. Di antara lembaga keuangan formal tersebut yaitu Bank BRI, Koperasi, Kredit Program Pemerintah dan Bank Jabar. Adapun responden yang mengakses ke lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan non formal sebesar 18,18 persen. Tidak terdapat responden yang pernah meminjam modal dari pelepas uang atau yang sering dikenal dengan istilah rentenir, karena tingkat suku bunga pinjaman yang dibebankan oleh rentenir sangat besar dan memberatkan petani. Jika dilihat dari besarnya persentase responden yang meminjam modal dari lembaga keuangan non

formal yaitu tengkulak menunjukkan bahwa lembaga tersebut lebih mudah diakses oleh para petani.

Pada subsektor perikanan, dari 2 responden yang pernah mengajukan permohonan pembiayaan. Seluruhnya (100%) mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan formal. Sebesar 50 persen dari responden subsektor perikanan yang pernah mengajukan pembiayaan, permohonannya ditolak. Responden tersebut di antaranya mengajukan permohonan kredit program. Menurut responden tersebut, permohonannya ditolak karena pihak penyedia pembiayaan tidak bersedia mencairkan dana karena ada sejumlah pembiayaan macet yang belum diselesaikan oleh kelompok tani lain. Sehingga dana tersebut mengendap dan tidak dapat digulirkan. Di samping itu responden merupakan bagian dari kelompok tani yang sudah menjuarai kompetisi budidaya ikan hingga tingkat Propinsi Jawa Barat. Sehingga penyedia pembiayaan beralasan kelompok tani tersebut harus mampu mengelola usaha budidaya ikan secara mandiri, termasuk masalah permodalan. Padahal hambatan terbesar yang dihadapi responden terkait dengan kepemilikan modal untuk biaya operasional pemeliharaan ikan. Selama ini petani responden memanfaatkan modal yang sangat terbatas, yang mereka peroleh dari pekerjaan diluar budidaya ikan.

Aksesibilitas responden subsektor perikanan terhadap sumber pembiayaan, yang memiliki pekerjaan utama di luar usaha budidaya ikan relatif lebih baik bila dibandingkan dengan responden yang menjadikan budidaya ikannya sebagai pekerjaan utama. Meskipun tingkat pendidikannya hanya Sekolah Dasar, tapi responden tersebut memiliki wawasan dan pergaulan yang luas, responden juga merupakan ketua kelompok tani Mina Saluyu, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan prosedur pembiayaan bisa dipenuhi dengan baik. Diantara responden subsektor perikanan yang pernah mengajukan pembiayaan dan permohonannya diterima memperoleh akses pembiayaan dari Bank NISP. Sedangkan pada subsektor peternakan diantara responden yang pernah mengajukan dan mengakses pembiayaan berasal dari lembaga keuangan formal. Responden tersebut mendapatkan fasilitas pembiayaan dari Bank Niaga dan Bank HSBC. Adapun sumber-sumber pembiayaan yang pernah diakses petani responden ditunjukkan pada Tabel 27.

Tabel 27. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Sumber

Pembiayaan yang Pernah Diakses di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Tanaman Pangan Perikanan Peternakan

Sumber Pembiayaan yang

Pernah Diakses Responden Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) a. Lembaga Keuangan Formal 6 27,27 2 100,00 2 100,00 b. Lembaga Keuangan Non Formal 12 54,55 0 0,00 0 0,00 c. Lembaga Keuangan

Formal dan Non Formal

4 18,18 0 0,00 0 0,00 Total 22 100,00 2 100,00 2 100,00

Pada Tabel 27 menunjukkan bahwa responden subsektor tanaman pangan yang pernah mengakses sumber pembiayaan, mayoritas mendapatkan dana untuk usahataninya dari lembaga keuangan non formal yaitu tengkulak. Menurut responden, prosedur untuk memperoleh pinjaman dari tengkulak lebih mudah dibandingkan dengan akses ke sumber pembiayaan lainnya. Untuk mengajukan pembiayaan atau pinjaman modal ke tengkulak tidak memerlukan syarat yang rumit. Para petani cukup dengan mengajukan permohonan secara lisan. Apabila disetujui, pinjaman pun bisa langsung cair pada saat itu juga tanpa harus menunggu berhari-hari.

Menurut Supriatna (2003), yang dijadikan pertimbangan dalam pemberian pembiayaan lembaga keuangan non formal adalah aspek kepercayaan, pembiayaan diberikan kepada para petani yang dipercaya melakukan pembayaran cukup lancar. Sistem pembayaran yang dilakukan petani pun tidak diangsur setiap bulan, melainkan dibayar sekaligus pada saat petani panen. Bentuk pembayaran pun dengan hasil panen atau dengan uang tunai. Sehingga mekanisme pembayaran tersebut sangat meringankan petani.

Petani responden subsektor tanaman pangan pun hampir tidak memiliki kendala prosedural pada saat mengajukan pembiayaan ke tengkulak atau pedagang hasil. Petani cukup dengan mengajukan permohonan secara lisan dan pada saat itu pula pinjaman modal dicairkan. Tidak ada jaminan apapun yang dikenakan oleh tengkulak yang memberikan pinjaman karena mereka menerapkan prinsip kepercayaan. Hanya saja petani responden berkewajiban untuk menjual hasil panennya ke tengkulak yang bersangkutan pada saat panen raya. Namun besarnya plafond pinjaman yang diberikan tengkulak tidak sebesar responden

yang menerima pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional. Besarnya plafond pinjaman dari tengkulak berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 5.000.000 tergantung dari pengajuan dan kesepakatan kedua belah pihak. Jenis pinjaman yang diberikan oleh tengkulak kepada petani responden seluruhnya berbentuk uang tunai. Proses pengajuan pinjaman oleh responden dari mulai persiapan, pengajuan, hingga pencairan hanya satu hari saja. Bentuk pengembalian pinjaman pun lebih fleksibel, dapat berupa uang tunai atau hasil panen. Akan tetapi tengkulak lebih mengharapkan bentuk pengembalian dengan hasil panen. Padan lembaga keuangan formal lain halnya dengan prosedur mengakses pembiayaan pada lembaga keuangan non formal. Pada lembaga keuangan formal petani diwajibkan memenuhi syarat-syarat administrasi tertentu yang seringkali dianggap rumit oleh sebagian besar petani. Disamping itu, cara pembayaran yang dilakukan petani harus mengangsur setiap bulan dengan tingkat bunga tertentu. Tidak hanya itu, petani pun seringkali mengeluarkan sejumlah biaya untuk dapat mengakses sumber-sumber pembiayaan tersebut. Tentunya hal yang demikian dapat memberatkan dan menghambat petani dalam mengakses modal yang disediakan lembaga keuangan formal.

Responden subsektor tanaman pangan yang pernah mengajukan dan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan, selain akses pembiayaan ke lembaga keuangan formal, juga terdapat responden yang mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan formal diantaranya ke bank, koperasi dan kredit program. Satu orang responden diantaranya pernah mengajukan pembiayaan ke BRI namun permohonannya ditolak. Menurut responden tersebut permohonannya ditolak karena menurut analis kredit bank, daerah tempat tinggal responden tersebut (Sukabakti) merupakan wilayah yang termasuk kedalam daftar hitam kredit macet pihak perbankan, sehingga bank tidak bisa menerima permohonan pembiayaan yang diajukan tersebut.

Responden yang permohonannya diterima oleh BRI, nilai plafond pembiayaan yang diterima cukup bervariasi yaitu antara Rp 5.000.000 sampai Rp 40.000.000. Jenis agunan yang diagunkan oleh petani responden umumnya berupa sertifikat tanah dan bangunan. Bentuk pembiayaan yang diterima berupa uang tunai dengan lama pinjaman tergantung dari kesepakatan dan besarnya pinjaman. Lama pengembalian pinjaman berkisar antara 12 – 24 bulan dengan suku bunga

2,5 – 6,9 persen perbulan. Besarnya angsuran yang harus dicicil responden perbulannya berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 6.600.000 tergantung besarnya nilai plafond pembiayaan yang diterima responden, suku bunga dan lamanya cicilan. Adapun lama pengajuan hingga pembiayaan dicairkan berkisar antara 1 – 7 hari. Bentuk cicilan yang harus dibayarkan oleh responden berupa uang tunai. Sejumlah persyaratan yang dipenuhi oleh responden dalam mengajukan pembiayaan ke BRI terdiri dari foto copy kartu identitas, sertifikat tanah, foto copy kartu keluarga, rekening listrik, pelunasan SPPT, dan mengisi formulir permohonan pinjaman.

Diantara petani responden yang mengajukan pembiayaan ke BRI diantaranya ada yang mengeluarkan sejumlah biaya pada saat pengajuan pembiayaan. Besarnya biaya tersebut berkisar antara Rp 50.000 – Rp 2.000.000. Responden mengakui bahwa sejumlah uang tersebut dikeluarkan untuk biaya administrasi dan uang pelicin yang diberikan kepada petugas bank, agar pinjaman bisa diproses dan cepat cair.

Responden yang pernah mendapatkan pembiayaan dari koperasi, nilai plafond pembiayaan yang diterima sebesar Rp 3.000.000 bahkan ada yang Rp 100.000.000. Dalam prosedur pembiayaan pun pihak koperasi tidak menerapkan agunan. Karena petani responden tersebut merupakan petani yang sudah berhubungan baik dengan koperasi dan dapat dipercaya. Apalagi satu diantara responden tersebut memiliki kedekatan dengan penguasa pada saat itu. Bentuk pembiayaan yang diterima berupa uang tunai dengan periode pinjaman selama 10 – 12 bulan. Bunga pinjaman yang diberlakukan 0,5 persen perbulan. Lama proses pengajuan oleh responden dalam mengakses pembiayaan tersebut berkisar antara 1-2 hari dari sejak mengajukan permohonan hingga pinjaman tersebut cair. Bentuk pengembalian yang harus dibayarkan petani responden berupa uang tunai dengan cara pembayaran sekaligus di akhir periode pinjaman.

Menurut responden terakhir kali memperoleh pinjaman dari koperasi diperoleh pada tahun 1990 dan 1999, hingga kini belum memperoleh lagi pembiayaan serupa. Petani responden berasumsi bahwa pihak koperasi saat ini kurang memperdulikan petani yang kekurangan modal. Petani responden pun menuturkan bahwa meskipun saat ini ada beberapa kredit program pemerintah

untuk sektor pertanian, namun mereka kesulitan untuk mengakses pembiayaan tersebut dikarenakan prosedur pengajuan terlalu rumit.

Demikian juga halnya dengan responden yang pernah memperoleh kredit program. Mereka terakhir kali memperoleh pembiayaan masing-masing pada tahun 1990 dan 2003. Besarnya nilai plafond pembiayaan yang diterima responden sebesar Rp 500.000 dan Rp 2.500.000. Pada saat mengajukan permohonan, petani responden tidak diharuskan mengagunkan aset. Bentuk pembiayaan yang diterima responden berupa uang tunai. Lamanya pinjaman berkisar antara empat hingga 12 bulan tergantung kesepakatan responden dengan pihak pengelola KKP. Prosedur pengajuan pun tidak rumit sehingga pembiayaan bisa cair dalam tempo satu hari. Bentuk pengembalian yang harus dibayarkan oleh petani peminjam berupa uang tunai yang bisa dibayarkan dengan cara diangsur ataupun sekaligus tergantung kesepakatan pihak pengelola KKP dengan petani peminjam.

Petani responden yang mengakses pembiayaan dari Bank Jabar memperoleh nilai plafond pembiayaan sebesar Rp 15.000.000. Bentuk pembiayaan berupa uang tunai dengan tingkat suku bunga 5,7 persen per bulan. Lama periode pinjaman 48 bulan dengan besar cicilan Rp 450.000 per bulan dan bentuk pengembalian berupa uang tunai. Lamanya proses pengajuan pembiayaan hingga cair diperkirakan 1-7 hari. Prosedur pengajuan pada Bank Jabar pun tidak jauh berbeda dengan prosedur pengajuan pada Bank BRI. Adapun syarat pengajuan yang dipenuhi responden berupa foto copy KTP suami dan istri, SK 80, SK AGB, dan kartu pegawai. Namun responden pada saat pengajuan permohonan tidak mengeluarkan biaya sebagaimana dilakukan responden yang mengakses pembiayaan ke Bank BRI.

Pada subsektor perikanan, diantara responden yang pernah mengajukan pembiayaan dan permohonannya diterima memperoleh fasilitas pembiayaan dari Bank NISP dengan nilai plafond pinjaman Rp 40.000.000. Jenis agunan yang diagunkan berupa kios dagang. Bentuk pembiayaan yang diperoleh berupa uang tunai dengan lama pinjaman 12 bulan, tingkat suku bunga yang diberlakukan 4,2 persen per bulan. Besarnya cicilan yang harus dibayarkan responden setiap bulannya Rp 6.000.000. Proses pengajuan pembiayaan dari mulai persiapan persyaratan hingga pembiayaan dicairkan 1-3 hari. Besar biaya yang dikeluarkan

responden untuk mengakses pembiayaan tersebut sebesar Rp 1.000.000. Responden beralasan bahwa biaya tersebut dikeluarkan untuk mempercepat pencairan pengajuan pembiayaan. Persyaratan administrasi yang dilengkapi responden untuk pengajuan pembiayaan ke Bank NISP terdiri atas foto copy KTP, rekening listrik, rekening telepon, surat nikah, agunan, dan slip setoran kendaraan roda empat. Selengkapnya riwayat pinjaman responden dapat dilihat pada lampiran 4.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peternak yang pernah mengajukan dan mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan formal mendapatkan fasilitas pembiayaan dari Bank Niaga dan Bank HSBC. Nilai plafond yang diperoleh peternak yang mendapatkan pembiayaan dari Bank Niaga sebesar Rp 100 juta. Jaminan yang diagunkan berupa sertifikat tanah. Bentuk pembiayaan yang diperoleh berupa uang tunai dengan lama pengembalian 36 bulan. Besarnya suku bunga pinjaman yang harus dibayar bersama-sama modal pinjaman sebesar 1,5 persen per bulan. Proses pengajuan hingga pembiayaan bisa dicairkan berkisar antar 1-7 hari. Bentuk pengembalian oleh peternak tersebut berupa uang tunai yang diangsur setiap bulan selama 36 bulan. Peternak dalam mengajukan pembiayaan ke Bank Niaga tersebut mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.000.000. Biaya tersebut diakui peternak responden untuk mempercepat proses pencairan pembiayaan.

Biaya tambahan di luar biaya yang ditentukan oleh pihak bank sangat merugikan peternak. Karena nilai plafond yang diperoleh peternak tidak seratus persen diterima secara utuh. Selain itu budaya tersebut merupakan kebiasaan yang sesungguhnya melanggar hukum. Meskipun peternak dapat mengakses pembiayaan pada bank tersebut, tetapi peternak seringkali dirugikan dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Peternak responden yang memperoleh akses pembiayaan dari Bank HSBC, memperoleh pembiayaan dengan nilai plafond Rp 6.000.000 selama 24 bulan. Dana yang diperoleh tersebut digunakan untuk biaya operasional usahaternak. Jaminan yang diagunkan oleh peternak tersebut berupa sertifikat tanah. Bentuk pembiayaan yang diterima berupa uang tunai dengan besar bunga pinjaman 1,5 persen perbulannya. Proses pengajuan dari mulai persiapan

persyaratan hingga dana dicairkan berkisar antara 1-5 hari. Bentuk pengembalian (cicilan) berupa uang tunai dengan nilai angsuran Rp 340.000 setiap bulan.

Seperti halnya peternak yang mengakses pembiayaan dari bank Niaga, responden subsektor peternakan yang mendapatkan akses pembiayaan dari bank HSBC pun mengeluarkan dana tambahan di luar ketentuan yang ditetapkan pihak bank. Besarnya biaya tersebut Rp 500.000, responden mengakui bahwa biaya tersebut dibayarkan sebagai pelicin agar permohonan pembiayaan yang diajukan lolos verifikasi. Adapun riwayat pinjaman dan sumber-sumber pembiayaan yang diakses peternak dapat dilihat pada lampiran 4.

Dari beberapa responden yang pernah mengakses pembiayaan pada lembaga keuangan formal diantaranya dapat dicirikan (a) memiliki skala usaha atau kepemilikan lahan yang relatif besar, (b) memiliki pekerjaan di luar usahatani, (c) pernah berhubungan dengan bank sebelumnya. Responden yang memiliki usaha atau kepemilikan lahan relatif besar lebih meyakinkan bagi pihak bank pada saat dilakukan analisis pembiayaan. Responden yang memiliki pekerjaan di luar usahatani dinilai oleh pihak bank memiliki peluang untuk dapat membayar angsuran pembiayaan. Karena tidak tergantung pada hasil usahatani. Pihak bank menilai usaha pada sektor pertanian merupakan usaha yang memiliki resiko cukup tinggi dan penuh dengan ketidakpastian. Adapun responden yang pernah berhubungan dengan bank sebelumnya, sudah memiliki pengalaman dalam mengakses pembiayaan dari bank, sehingga dapat memahami prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh bank.

Selain responden yang pernah mengakses pembiayaan terdapat responden yang belum pernah mengajukan pinjaman baik ke lembaga keuangan formal maupun non formal. Responden subsektor tanaman pangan yang belum pernah mengajukan pembiayaan mengemukakan beberapa alasan tidak mengakses pembiayaan termasuk dari bank. Adapun hambatan-hambatan tersebut, sebesar 19,05 persen terhambat karena besarnya angsuran per bulan, sebesar 14,29 persen tidak tertarik karena besarnya angsuran dan tingkat suku bunga yang dibebankan oleh pemberi pinjaman. Kemudian 38,10 persen keberatan karena besarnya angsuran dan ketersediaan jaminan. Sebanyak 19,05 persen karena besarnya angsuran, cara pengembalian dan tingkat suku bunga yang dibebankan, dan 9,52 persen responden terhamabat karena besarnya angsuran, tingkat suku bunga, dan

ketersediaan jaminan. Pada umumnya petani mengharapkan besarnya angsuran pinjaman dapat dijangkau oleh mereka dan tingkat suku bunga yang diharapkan pun tidak terlalu besar atau bila memungkinkan tanpa bunga pinjaman. Petani khawatir pada saat tidak mampu mengangsur cicilan tiap bulan, bunga pinjaman akan menjadi berlipat ganda seperti halnya yang sering diterapkan oleh rentenir. Responden juga khawatir jika pembayaran pembiayaannya macet, maka jaminan yang diagunkan akan dieksekusi oleh pihak bank, sedangkan responden tanaman pangan pada umumnya merupakan petani skala kecil dimana pada umumnya kepemilikan lahan pun sangat terbatas, dilain pihak untuk menjalankan usahataninya petani membutuhkan modal yang tidak sedikit.

Pada subsektor perikanan, responden yang tidak pernah mengajukan pinjaman ke lembaga keungan formal maupun lembaga keuangan informal seperti halnya responden subsektor tanaman pangan beralasan tidak ingin memiliki beban utang. Di samping itu terdapat beberapa prosedur dalam memperoleh pembiayaan yang menurut pendapat petani subsektor perikanan tersebut memberatkan, diantaranya 42,86 persen responden terkendala dengan besarnya angsuran dan tingkat suku bunga yang dibebankan, 28,57 persen terkendala dengan besarnya angsuran, cara pengembalian pinjaman, dan tingkat suku bunga, 28,57 persen terkendala dengan besarnya angsuran, tingginya tingkat suku bunga pinjaman dan jaminan. Pada dasarnya responden pada subsektor perikanan tidak keberatan dengan prosedur tersebut, namun seringkali mereka menginginkan jaminan yang diagunkan berupa harta bergerak seperti kendaraan bermotor. Pada umumnya jaminan yang diinginkan oleh bank berupa sertifikat tanah dan bangunan. Sehingga ada rasa takut pada responden apabila ada kendala pada saat pembayaran cicilan, tanah dan bangunan yang diagunkan dieksekusi oleh bank.

Hasil penelitian Supriatna (2003), menginformasikan bahwa sesuai dengan karakteristik petani pada umumnya, petani kecil mengharapkan pembiayaan dengan agunan bukan berupa sertifikat tanah tetapi barang bergerak, pembiayaan dalam bentuk uang tunai, periode pembiayaan musiman, cara pengembalian pembiayaan satu kali setelah panen dan tingkat suku bunga pembiayaan dibawah 18 persen pertahun.

Sedangkan pada subsektor peternakan, diantara peternak responden ada juga yang tidak tertarik untuk mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan

formal seperti bank. Peternak beralasan tidak ingin memiliki beban utang. Namun diantaranya terdapat peternak yang tertarik untuk mengakses pembiayaan dari bank, namun terkendala oleh beberapa hal seperti besarnya angsuran dikemukakan oleh 66,67 persen, besarnya angsuran dan suku bunga dikemukakan oleh 16,67 persen dan besarnya angsuran serta ketersediaan jaminan diungkapkan oleh 16,67 persen. Selengkapnya di antara kendala-kendala tersebut dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Alasan tidak Mengakses Pembiayaan dari Lembaga Keuangan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008

Tanaman Pangan Perikanan Peternakan Alasan Tidak Mengakses

Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) a. Besarnya angsuran 4 19,05 0 0,00 4 66,67 b. Besarnya angsuran dan

suku bunga 3 14,29 3 42,86 1 16,67 c. Besarnya angsuran dan

ketersediaan jaminan 8 38,10 0 0,00 1 16,67 d. Besarnya angsuran, cara

pengembalian dan suku

Bunga 4 19,05 2 28,57 0 0,00 e. Besarnya angsuran, suku

bunga dan ketersediaan

Jaminan 2 9,52 2 28,57 0 0,00

Total 21 100,00 7 100,00 6 100,00