• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Urgensi Perlindungan Hukum

2. Mekanisme Pelaksanaan

Akibat hukum yang timbul dari perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang

ultra vires sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian-uraian sebelumnya meliputi

konsekuensi-konsekuensi seperti perjanjian dinyatakan tidak sah, perjanjian batal demi hukum, dan perseroan tidak bertanggungjawab. Dalam kondisi demikian, Direksilah yang dibebani dan melaksanakan tanggungjawab secara pribadi terhadap pihak ketiga sebagai yang dirugikan. Pembebanan tanggungjawab tersebut kepada Direksi pada akhirnya menimbulkan persoalan apakah Direksi selalu harus bertanggungjawab secara pribadi terhadap setiap tindakan ultra vires. Terhadap persoalan tersebut terdapat pandangan, bahwa tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari direksi yang melakukan

ultra vires. Memang umumnya tindakan ultra vires menyebabkan timbulnya

tanggungjawab pribadi direksi.

Pandangan tersebut berdasarkan pemahaman umum mengenai keadilan terutama berhubungan dengan pernyataan bahwa Direksi tidak selamanya bertanggungjawab

secara pribadi terhadap tindakan ultra vires dapat diterima,yang intinya menekankan tanggungjawab pribadi berdasarkan hukum positif dalam hal ini Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebenarnya menunjukkan kewajiban untuk bertanggungjawab secara pribadi itu hanya dibebankan kepada pemegang saham.

Dari pengertian di atas yang menjadi dasar untuk meletakkan tanggungjawab pribadi pada Direksi terhadap tindakan ultra vires. Membebankan tanggungjawab secara pribadi kepada Direksi tersebut sebenarnya merupakan upaya pamungkas, suatu langkah yang tidak dapat diterapkan dengan begitu saja. Penelusuran terhadap kepustakaan hukum menunjukkan adanya beberapa langkah yang dapat dilakukan sebelum menerapkan tanggungjawab pribadi. Adapun langkah-langkah yang dimaksud pada pokoknya adalah yang disebut dengan injunction dan tracing.

Secara garis besarnya, dengan melakukan injunction, pihak ketiga dapat mengupayakan suatu penetapan untuk mencegah perseroan membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga. Sementara itu melalui tracing, pemberi pinjaman dapat menarik kembali pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh. Disamping tampak kurang memperhatikan faktor-faktor yang bersifat yuridis yang justru sangat diperlukan dalam rangka menanggulangi akibat-akibat tindakan ultra vires, baik

injunction maupun tracing sebenarnya hanya relevan diterapkan untuk tindakan ultra

vires yang berkaitan dengan pihak ketiga yang berkedudukan sebagai kreditur atau

Injunction dan Tracing juga tidak dapat menghindarkan Direksi dari kewajiban melakukan tanggungjawab secara pribadi. Dengan demikian dalam hal pertanggungjawaban terhadap kerugian-kerugian pihak ketiga akibat tindakan ultra

vires, pembebanan tanggung jawab pribadi pada Direksi tidak dapat dihindarkan.

Persoalannya, apakah Direksi yang merupakan pengurus perseroan memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab sementara tindakannya yang akhirnya dinyatakan ultra vires itu dilakukan untuk kepentingan perseroan. Dalam kondisi demikian langkah apa yang harus ditempuh agar kerugian pihak ketiga memperoleh pemulihan. Pihak ketiga sebagai pihak yang dirugikan pada dasarnya tidak memiliki kepentingan mengenai siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang dialaminya apakah perseroan atau Direksi. Pihak ketiga hanya memaklumi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah hubungan hukum antara dirinya dengan perseroan dan Direksi merupakan wakil perseroan.

Tidak ada relevansinya menarik pihak ketiga kedalam persoalan mengenai siapa yang bertanggungjawab. Pihak ketiga hanya membutuhkan agar kerugian yang dialaminya segera dapat dipulihkan. Pemulihan kerugian pihak ketiga akibat perjanjianya dengan perseroan dinyatakan ultra vires, sementara Direksi yang dibebani tanggungjawab pribadi tidak mampu bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup.

Uraian di atas terdapat pandangan bahwa pemulihan tersebut dapat dilakukan dengan menempuh mekanisme atau tatacara antara lain seperti yang terdapat dalam lembaga subrogasi Khusus berkaitan dengan uang yang dipinjam perseroan,

pandangan yang lainnya pada pokoknya mengemukakan, apabila uang yang dipinjam itu sudah dipergunakan untuk membayar utang yang sah dari perusahaan, pemberi pinjaman dapat menuntut hak subrogasi dan sebagai akibatnya, pemberi pinjaman dapat menuntut informasi penggunaan uang selanjutnya, akan tetapi subrogasi ini tidak memberikan prioritas yang sama dengan kreditur yang asli.

Jika berkaitan dengan hukum terutama yang menyangkut utang-piutang yang tunduk pada sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia pada umumnya juga terdapat lembaga subrogatie sebagaimana tercantum dalam Pasal 1400 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan bahwa, subrogarsi atau penggantian hak-hak pihak berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada pihak berpiutang itu, terjadi baik dengan persetujuan maupun demi undang-undang.

Rumusan Pasal 1400 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga, dan pembayaran oleh pihak ketiga. Berkaitan dengan unsur yang pertama perlu diuraikan yang dimaksud dengan „hak-hak kreditur’ disini adalah hak-hak yang dipunyai oleh

kreditur terhadap debiturnya, sedangkan „pihak ketiga’ adalah pihak yang bukan kreditur maupun debitur (utama). Sementara itu berkaitan dengan unsur yang kedua, diuraikan, pihak ketiga baru memperoleh hak-hak berdasarkan subrogasi apabila dan hanya dalam hal utang-utang yang dilunasi.15

Sehubungan dengan subrogasi secara umum timbul persoalan apakah mekanisme yang tersedia dalam lembaga subrogasi itu relevan untuk diterapkan dalam proses pemulihan hak pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang

ultra vires. Persoalan tersebut menjadi semakin membingunkan sehubungan dengan

penyebutan istilah pihak ketiga. Terkait dengan subrogasi istilah itu sudah tepat untuk

15

J. Satrio, 1999, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang,

menyebut yang menggantikan kreditur, akan tetapi apabila diterapkan dalam ultra

vires, maka istilah itu akan menghasilkan kebingunan karena dalam hubungannya

dengan perjanjian-perjanjian yang ultra vires, subyek-subyek seperti kreditur perseroan, pemberi pinjaman terhadap perseroan, pemasok dan pelanggan sebenarnya sudah menjadi pihak ketiga dan kreditur terlebih dahulu. Sehingga apabila kepada mereka diberikan lagi kedudukan sebagai pihak ketiga, maka persoalannya hak-haknya siapa yang mereka gantikan.

Pandangan tersebut dapat dipahami karena memang terdapat faktor-faktor yang mewajibkan untuk melakukan atau menempuh subrogasi. Faktor-faktor tersebut adalah sesuai dengan Pasal 1401 dan 1402 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan, subrogasi terjadi dengan persetujuan dan demi undang-undang. Sepanjang pembayaran oleh pihak ketiga dilakukan tidak dalam konteksnya dengan Pasal 1401 dan 1402 tersebut, dapatlah dikemukakan bahwa pembayaran yang dilakukan itu tidak menimbulkan apa yang disebut dengan subrogasi.

Secara umum dapat dikemukakan, gagasan dan mekanisme yang tercemin dari subrogasi secara dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya dapat diterapkan dalam rangka pemulihan kerugian pihak ketiga karena perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires. Namun demikian sehubungan dengan maksud itu pula masih tersedia satu mekanisme lagi yang perlu dicermati dan diperbandingkan karakteristik dan relevansinya.

Adapun mekanisme yang dimaksud adalah upaya yang disebut dengan

substitution, yang secara umum mengandung pengertian, melayani orang lain sebagai

pengganti. Dalam mekanisme substitution terdapat hubungan segitiga di antara pengganti, yang digantikan dan pihak ketiga. Substitution atau penggantian pada pokoknya merupakan prinsip yang telah diterima secara luas bahwa dengan prinsip tersebut seseorang atau pengutang barudapat menerima utang dari orang lain (debitur atau debitur asli), dan dengan cara demikian pengutang baru itu kemudian menggantikan kedudukan debitur.

Upaya penggantian tersebut tidaklah muncul dengan sendiri,melainkan harus pula didasarkan pada adanya persetujuan penggantian dari krediturnya. Dalam upaya pemulihan kerugian pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan

ultra vires, persetujuan penggantian yang dimaksud harus diberikan oleh pihak

ketiga. Berdasarkan upaya penggantian atau substitution terjadilah peralihan kewajiban dari debitur asli kepada debitur baru. Analog dengan pemulihan kerugian sebagai diuraikan di atas, maka peralihan kewajiban terjadi dari Direksi yang sebelumnya dibebani tanggungjawab pribadi itu kepada perseroan.

Apabila dibandingkan dari uraian di atas tampaklah suatu perbedaan yang cukup signifikan, dan secara garis besarnya perbedaan tersebut dapat diuraikan dengan kalimat proses dalam subrogasi pada pokoknya menghasilkan kreditur baru yang disebut dengan pihak ketiga, sedangkan mekanisme dalam penggantian atau

substitution menciptakan adanya debitur baru yang berkewajiban sebagai pengganti

85 A. Kesimpulan

Berkaitan dengan permasalahan dalam rumusan masalah, penulis menyimpulkan mengenai permasalahan yang dijadikan pertanyaan dalam rumusan masalah yakni :

1. Adapun dasar-dasar perlindungan hukum terhadap pihak investor dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires pada pokoknya dapat diuraikan dari pandangan bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan doktrin yang berlaku secara universal. Di Indonesia dapat dikemukakan secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.

Berdasarkan penelusuran terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenaiultra vires terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak menerima Doktrin Ultra Vires, semata-mata karena tidak dijumpai adanya aturan atau norma dalam sistemhukumnya yang menentukannya secara tegas.

Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan tersebut dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang dalamanggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan.

Disamping itu terdapat pula beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga. Dasar-dasar tersebut meliputi Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun Servanda dan Doktrin

Ultra Vires Modern. Dengan bertumpu pada dasar-dasar tersebut, maka dapatlah

diberikan perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. 2. Bertumpu pada pemahaman mengenai perspektif hak dan bentuk-bentuk

kerugian yang timbul baik dari peristiwa hukum maupun hubungan hukum, maka kerugian akibat tindakan Direksi perseroan yang ultra vires dapat melahirkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian. Proses penggantian kerugian tersebut meliputi upaya pemulihan atau upaya-upaya remedial yang bertujuan untuk mengembalikan atau menggantikan hak-hak dari pihak-hak yang dirugikan baik yang secara nyata sudah terjadi maupun yang diharapkan akan terwujud.

Pemahaman mengenai upaya pemulihan atau remedy mencerminkan dua tindakan, pertama, tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan mencegah, serta yang kedua, tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang bertujuan memulihkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bentuk-bentuk

upaya remedial terhadap kerugian akibat tindakan ultra vires tersebut meliputi tindakan ratifikasi dan pemberian ganti rugi.

(Pasal 3 ayat 2) “Pasal Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”.

Ratifikasi berarti pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggungjawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggungjawab yang bertujuan memperbaiki kondisi perjanjian dan mencegah kerugian.

Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Disamping itu pemberian ganti rugi juga merupakan salah satu bentuk upaya remedial yang bersifat menanggulangi kerugian yang timbul. Dalam hal pihak ketiga yang dirugikan merupakan kreditur, maka mereka dapat melakukan injunction atau mencegah perseroan membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga, dan tracing atau menarik kembali pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh.

Direksi yang dibebani tanggungjawab pribadi tidak mampu bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup, maka langkah yang dapat dipandang sebagai solusinya adalah melakukan proses

substitution. Dengan langkah ini, perseroan terlebih dahulu melakukan

berkewajiban mempertanggungjawabkannya kepada perseroan. Dalam hubungan ini yang diutamakan adalah memulihkan hak-hak pihak investor.

B. Saran

1. Prioritas utama dalam penerapan Doktrin Ultra Vires pada dasarnya adalah pencegahan terhadap tindakan Direksi yang melampaui kewenangan perseroan. Berkaitan dengan upaya mendukung pencegahan tersebut maka baik direksi maupun pihak investor yang akan menjalin hubungan kontraktual dengan perseroan hendaknya memahami terlebih dahulu ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang bersangkutan.

Pemahaman di atas antara lain dapat diperoleh melalui konsultasi hukum. Dengan pemahaman tersebut akan dapat diketahui kesesuaian antara transaksi yang hendak dilakukan dengan ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.

2. Upaya pemulihan hak-hak pihak investor atas tindakan ultra vires direksi perseroan perlu diatur secara tegas dan terperinci dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas dan perlu adanya pengawasan yang lebih di dalam organ perseroan agar terhindar dari tindakan ultra vires yang dapat merugian pihak investor (pihak ketiga).

89

Al-Qur’an dan Terjemahan. Buku-buku:

Ais, Chatamarrasjid. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual

HukumPerseroan, Bandung:Citra Aditya Bakri,2004.

Apeldoorn, L. J.Van. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978. Fuady, Munir. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya

DalamHukum Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Gie, The Liang. Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta: Penerbit Super, 1979.

Ginting, Jamin. Hukum Perseroan Terbatas (UU. No. 40 Tahun 2007), Bandung: Citra AdityaBakti,2007.

Ichsan, Achmad. Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga,

Aturan-Aturan Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983.

Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.

Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum(Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1986.

Nadapdap, Binoto. Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Jala Permata Aksara,2009. Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2

Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas,Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Pramono, Nindyo. Bunga Rampai Hukum Bisnis, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006. Prodjodikoro, R.Wirjono. Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Sumur

Bandung, 1980.

Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Prinst, Darwan. Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986). Subekti, R. Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

Subekti, R. Kamus Hukum, Jakarta:Pradnya Paramita, 1973.

Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT. Intermasa,1977.

Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. Organ Perseroan Terbatas,Jakarta:Sinar Grafika,2009.

Tirta Amidjaja, M.H. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan,Jakarta:Djambatan, 1956. Tirtodiningrat, K.R.M.T. Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,Jakarta:

Pembangunan,1963.

Wicaksono, Frans Satrio. Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia, 2009.

Makalah/Artikel:

A. Partomuan Pohan,Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris,

DireksiDan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum

DiSekitar Penanaman Modal,Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan BadanKoordinasi Penanaman Modal, Jakarta, 1990.

J. Satrio, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang, Alumni, Bandung, 1999.

Mas Soebagio, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang, Alumni, Bandung, 1976.

Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak :Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.

Majalah/Koran:

Syarif Basir, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, 2009.

Perundang-undangan:

Kitab Undang-undang Perdata.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 26 s/d 56 KUHD.

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 Tentang Nama Perseroan Terbatas. Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang No.4 Tahun 1971 Tentang Perubahan dan Penambahan Ketentuan Pasal 54 KUHD.

INTERNET:

Irma Nurhayati,Ulasan Tentang Stasus Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut

Undang-undang Nomor 1Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas H.1.Magister

Hukum UGM, http://mhugm.wikidot.com diakses pada tanggal16/07/2013 19:43WIB.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan di akses pada tanggal 11/1/2014 pada jam 20:20 WIB

Samuel Label, Perseroan Terbatas dan 15 Elemen Yuridisnya,

Kusumohamidjojo, Pacta Sun Servanda,1986,http:// www.kamushukum.com, diakses pada tanggal 18/07/2013 14:25 WIB.

Flora Raimond Lamandesa, Penegakan Hukum,2008, WWW.Scribb.com diakses pada tanggal 20/07/2013, 22:25 WIB.

Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013

9:00WIB.

Shareholder, http://legal-dictionary.com 22/09/2013 : 10.31 WIB

Damage, http://www.thefreedictionary.com. 30/09/2013 8:29 WIB.

Definition of Damage, http://www.merriam-webster.com. 30/09/2013 8:35 WIB.

Definition of Damage, http://www.brainyquote.com 30/09/2013 8:38 WIB.