• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memadukan Hadis-hadis yang Tampak Bertentangan

PENELITIAN MATAN HADIS KEMAKSUMAN MUHAMMAD SAW

B. Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang dengan Abū

3) Memadukan Hadis-hadis yang Tampak Bertentangan

Sebelum melangkah pada pembahasan hadis-hadis yang tampak bertentangan mengenai paha termasuk aurat atau bukan, saya mencoba menjelaskan apa arti dari al-Fakhidz itu sendiri. Kata al-Fakhidz menurut Ibn

48 Al-Bukh rī, aḥīḥ al-Bukh rī (al-Q hirah: D r ibn al-Jauzī, 2010), 438. (no hadis 3695)

Manẓūr ialah Waṣl ma bayna al-S q wal-Warik (dari lutut sampai pangkal paha/ pinggang),49 begitu juga menurut A mad Mukhtar ʻUmar bahwa makna al-Fakhidz adalah Ma Fawqa al-Rukbah ilá al-Warik (dari atas lutut sampai pinggang).50 Jadi, batasan paha itu dari atas lutut sampai pada pangkal paha.

Jika diperhatikan hadis riwayat ʻ isyah di atas, bertentangan dengan hadis riwayat Jarhad di bawah ini, berikut penjelasannya:

51

“Telah menceritakan kepada kami usayn bṬ Muḥammad berkata; telah menceritakan kepada kami Ibn Abū al-Zin d dari Bapaknya dari Zur ah bṬ Abd

al-Raḥm n bṬ Jarhad dari Jarhad kakeknya dan beberapa orang Aslam selainnya

yang bisa dipertanggungjawabkan, Rasulullah Saw. melewati Jarhad dan paha Jarhad tersingkap di halaman masjid. Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya,

“Wahai Jarhad tutuplah pahamuṬ paha itu auratṬ”

Satu sisi hadis riwayat ʻ isyah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. dengan sengaja membiarkan pahanya terbuka pada saat menjamu Abū Bakar dan ʻUmar. Sisi lain pada hadis riwayat Jarhad bahwa Muhammad Saw. memerintahkan kepada Jarhad untuk menutup pahanya karena paha termasuk bagian dari aurat. Jelas bahwa kedua hadis ini menuai kontradiksi.

Untuk menghilangkan kontradiksi antara kedua hadis tersebut, saya

49Ibn Manẓūr, Lis n al-Arab (Beirūt: D r al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 3, 501.

50 A mad Mukhtar ʻUmar, Mu jam al-Lughah al- Arabiyah al-Mu ṣirah (al-Q hirah: lim al-Kutub, 2008), J. 3, 1679.

51

Sanadnya aḥīḥ, lihat A mad b. anbal, al-Musnad (al-Q hirah: D r al- adīts, 1995), Cet. 1, J. 12, 378. Lihat juga J. 16, 325-326.

menggunakan metode al-Jam wal-Tawfiq52 agar kedua hadis tetap berlaku dan digunakan sebagai dalil tanpa mengesampingkan salah satu hadis. Karena pada asalnya nash-nash syariʻah yang tetap tidak mengandung kontradiksi, karena yang

hak tidak akan berlawanan dengan yang hak pula. Kalaupun terjadi adanya kontradiksi, maka hal itu sebenarnya hanya sepintas penglihatan saja, namun pada hakikatnya tidak demikian. Untuk itu hadis-hadis tersebut dikompromikan, karena setiap hadis masing-masing mempunyai wadah. Apabila sebuah nash hadis ditempatkan pada wadahnya maka hadis yang terlihat kontradiksi akan hilang.53

Adapun hadis riwayat Jarhad, peristiwa itu terjadi di halaman masjid, Nabi Saw. melewati Jarhad dalam keadaan pahanya terbuka, kemudian Nabi Saw. memerintahkan Jarhad untuk menutup pahanya karena termasuk kedalam bagian aurat. Perlu diperhatikan bahwa di halaman masjid itu merupakan tempat perkumpulan atau kerumunan orang-orang dan dikategorikan sebagai tempat umum, sehingga tak pantas bila seseorang terbuka auratnya.

Sedangkan pada hadis riwayat ʻ isyah, peristiwa ini terjadi di rumah

ʻ isyah (rumah Nabi Muhammad Saw. juga), Muhammad Saw. sedang berbaring

dan paha beliau dalam keadaan terbuka, kemudian Abū Bakar meminta izin untuk masuk danʻUmar pun demikian, Muhammad Saw. tidak merubah posisinya (paha beliau masih dalam keadaan terbuka) saat menjamu Abū Bakar dan ʻUmar.

Berbeda ketika sahabat ʻUtsm n meminta izin untuk masuk seketika Nabi Saw. merubah posisinya (menutup kedua pahanya) dan menurut Nabi Saw., ʻUtsm n

52

Yaitu kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Lihat M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), 73.

53 Yūsuf al-Qaraḍ wī, Kayfa Nata mal ma a al-Sunnah al-Nabawiyah (al-Q hirah: D r al-Syurūq, 2002), 133.

adalah seorang yang pemalu. Peristiwa ini terjadi di hari yang berbeda. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Peristiwa riwayat Jarhad terjadi di tempat umum yaitu di halaman masjid. Halaman masjid merupakan tempat perkumpulan, dan tempat lalu-lalang orang-orang.

2. Peristiwa riwayat ʻ isyah dan ʻUtsm n ini terjadi di dalam rumah Nabi Muhammad Saw. dan ʻ isyah, di dalam rumah pribadi tidak di tempat umum

ataupun tempat lalu-lalang orang-orang.

3. Kemudian Abū Bakar merupakan Sahabat yang paling dekat dengan Nabi,

selain itu juga Abū Bakar sebagai mertua Nabi karena putri Abū Bakar, ʻ isyah, menjadi istri Nabi setelah Khadijah meninggal dunia dan usia Abū

Bakar lebih muda dua tahun dari Nabi Muhammad Saw.54

4. Begitupun dengan Sahabat ʻUmar merupakan mertua Nabi juga, karena putri ʻUmar, af ah dinikahi oleh Nabi Muhammad Saw. setelah af ah ditinggal wafat suaminya Khunays.55

5. ʻUtsm n b. ʻAff n merupakan mantu dari Nabi Muhammad Saw. karena ʻUtsm n menikahi anak Nabi yang bernama Ruqayyah dan beliau seorang yang pemalu.56

Dalam hal ini, aurat terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, bagian kemaluan dan dubur laki-laki dan perempuan, ini merupakan inti dari aurat yang diwajibkan kepada laki-laki dan perempuan untuk

54

Komarudin b. Mikam dan Fathurahman, Surga Untuk Sahabat Sepuluh Orang Pilihan Allah Swt (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 1.

55

Muhammad Husain Haekal, Biografi Umar bin Khattab RAṬ Penerjemah Ali Audah (Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), Cet. 3, 49.

56

M. Ismail Mustari, Menjadi Belia Cemerlang (Kuala Lumpur: PTS Professional Publishing, 2005), 42.

selalu menutupnya setiap waktu, tempat dan dalam keadaan apapun kecuali dalam kondisi darurat dan situasi tertentu. Kedua, bagian yang merendahkan atau memalukan bagi seorang laki-laki dan perempuan bila bagian tersebut terbuka, seperti, paha dan tipisnya bagian dalam. Maka itu disebut sebagai aurat karena berdekatan dengan aurat dan paha merupakan bagian terdekat dari aurat.57

Menurut Ibn al-Qayyim mengatakan dalam kitab Tahdhīb al-Sunan bahwa murid-murid Imam A mad mengkompromikan (al-Jam ) hadis-hadis tersebut dengan membagi aurat kedalam dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan), seperti kedua paha dan mughallaẓah (berat) yaitu kemaluan dan dubur. Tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan dari melihat paha karena paha juga termasuk aurat dan membuka paha tergolong aurat mukhaffafah

(ringan).58

Dalam masalah paha, aurat ataupun bukan aurat. Paha itu bukan aurat yang harus tertutup sebagaimana qubul dan dubur karena bukan tempat keluarnya kotoran59 dan paha sebagai aurat harus tertutup karena upaya menjaga kehormatan dan memperindah budi pekerti. Dalam masalah ini, seharusnya kelompok tertentu tidak menganggap remeh, bagi yang tidak merasa malu baik orang-orang yang berkedudukan ataupun berorganisasai (berkelompok), maka lebih baik menggunakan hadis-hadis ini semua dari pada menjauhi sebagian hadis saja.60

57 Ibn Qutaybah, Ta wīl Mukhtalif al- adīts (al-Q hirah: D r Ibn ʻAff n, 2009), Cet. 2, 592-593.

58Ibn Qayyim, Tahdhīb al-Sunan (al-Riy ḍ: al-Maʻrif, 2007), Cet. 1, J. 4, 1920-1921. 59Ibn Qud mah, al-Mughnī (al-Riy ḍ: D r ʻ lam al-Kutub, 1997), Cet. 3, J. 2, 285. 60 Abū al-Ma sin Yūsuf, al-Mu taṣar min al-Mukhtaṣar Masykal al- ts r (Beirūt: ʻ lim al-Kutub, tt), J. 2, 256.

Paha merupakan aurat ringan boleh dibuka dihadapan orang-orang tertentu dan tidak boleh dibuka dihadapan selain mereka. Dalam hal ini Ibn Rusyd dan penyusun al-Dakhl mengatakan makruh melihat paha.61 Paha sebagai aurat namun tidak seperti aurat sebenarnya. Ketika paha dikatakan sebagai aurat kemudian dinafikan maka hukumnya menjadi ringan. Maka makruh membuka paha dihadapan selain orang tertentu, dan menjaga paha dari hadapan orang lain.62

Maka dapat disimpulkan bahwa aurat merupakan sesuatu yang memalukan (aib), yang harus dijaga dan disembunyikan agar tidak terlihat oleh orang lain,63 sehingga orang akan merasa malu ataupun hina apabila bagian tertentu terbuka dan terlihat oleh banyak orang. Pengecualian, aurat boleh terbuka bagi seorang laki-laki dan perempuan pada tempat yang tidak terikat dengan sesuatu (bebas). Seperti, didalam kamar mandi, rumah, dihadapan istri atau suami, dan tidak baik diperlihatkan ditempat umum, seperti masjid, pasar, dan tempat-tempat ramai lainnya.

Ketika paha dianggap sebagai aurat itu bila berada di tempat umum dan berhadapan dengan orang yang merasa malu ketika ia melihat paha, maka tidak boleh membuka paha dihadapan orang tersebut. Sebagaimana dalam riwayat ini, sikap yang diperlihatkan Nabi Saw. kepada ʻUtsm n berbeda dengan sikap Nabi

Saw. kepada Abū Bakar dan ʻUmar, karena ʻUtsm n seorang yang pemalu. Sehingga Nabi Saw. menutup pahanya agar ʻUtsm n menyampaikan keperluannya kepada Nabi Saw.

61 ʻAlī b. Khalaf al-Manūfī al-M likī, Kif yat al- lib al-Rabb nī (al-Q hirah: D r a l-Madanī, 1989), J. 4, 353.

62 li ʻAbd al-Samīʻ al- bī al-Azharī, al-Tsamr al-D nī (tp:tt), 577.

63 Ma mūd ʻAbd al-Ra m n, al-Muṣṭalaḥ t wal-Alf ẓ al-Fiqhīyah (Q hirah: D r al-Faḍīlah, tt), J. 2, 556.

Harus dipahami pada konteks dan kondisi tertentu. Sebab, konteks dua hadits di atas terjadi pada keadaan-keadaan tertentu. Bergaul dengan siapa saja, baik dengan orang yang sudah dikenal ataupun belum, tentu disesuaikan dengan keadaan dan siapa yang dihadapi, dengan mengabaikan kesenangan pribadi dan tidak pandang usia dalam masalah pergaulan ini. Pada peristiwa ini Nabi Saw. berhadapan dengan saudara-saudaranya, seperti Abū Bakar dan ʻUmar selain sebagai sahabat terdekat, keduanya sebagai mertua Nabi Saw. dan ʻUtsm n sebagai mantu Nabi Saw. Sehingga pantas ketika ʻUtsm n masuk, Nabi Saw.

langsung merubah posisi dengan menutup kedua paha dan bersiap sedia untuk

menjamu ʻUtsm n. Kemudian ketika ditanya oleh ʻ isyah tentang hal ini? Nabi

Saw. menjawab bahwa ʻUtsm n adalah seorang pemalu dan Nabi Saw. takut kalau ʻUtsm n tidak akan menyampaikan keperluannya karena melihat Nabi Saw. dalam keadaan pahanya terbuka.64

Hadis ini memperlihatkan akhlak Nabi Saw. yang luhur yaitu memperhatikan dan mempertimbangkan sifat beliau ketika berhadapan dengan para sahabatnya dan menghindari dari terjadinya kesalahan ketika berhadapan dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang terdekat Nabi Saw.65

64 Mu ammad al-Amīn b. ʻAbdullah al-Urmī, al-Kawkab al-Wahh j wal-Rawḍ al

-Bahh j fi Syarḥ aḥīḥ Muslim ( Jeddah: D r al-Minh j, 2009), Cet. 1, J. 23, 420-422.

65 afiy al-Ra m n al-Mub rakfūrī, Minnat al-Mun im fi Syarḥ aḥīḥ Muslim (al-Riyaḍ: D r al-Sal m, 1999), J. 4, 85.

4) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis (Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya).

Pada suatu hari Nabi Saw. sedang berada dalam rumahnya, duduk dengan mengenakan sarung (iz r). Sarung tersebut tersingkap sehingga terbuka bagian

antara kaki sampai ke paha. Kemudian Abū Bakar datang dan mohon izin masuk

untuk bertemu dengan Nabi Saw, Nabi Saw. mengizinkan Abū Bakar ra. masuk begitu juga dengan ʻUmar ra. Datang pula ʻUtsm n ra. dan mohon izin masuk dengan maksud bertemu dengan Nabi Saw. kemudian Nabi Saw. segera memperbaiki iz r-nya yang tersingkap. Kemudian ʻUtsm n dan Nabi Saw.

berbincang-bincang hingga akhirnya ʻUtsm n berpamitan. Sementara itu, tak lama

kemudian setelah ʻUtsm n pulang.ʻ isyah bertanya kepada Nabi Saw.: “Wahai Rasulullah, Abū Bakar datang menemuimu, begitu juga dengan ʻUmar, namun

engkau tidak mengubah posisimu. Ketika ʻUtsm n masuk, engkau segera

memperbaiki posisimu, kenapa ya Rasulullah? Kemudian Nabi Saw. menjelaskan

kapada ʻ isyah: “Wahai ʻ isyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu

kepada seseorang karena para malaikat saja merasa malu kepadanya.”66

Itulah sebuah perlakuan yang sangat istimewa dari Nabi Saw. kepada

ʻUtsm n, padahal sebelumnya Nabi Saw. berbaring dan pada saat menyambut

Abū Bakar dan ʻUmar, Nabi Saw. tidak merubah posisinya. Perasaan malu Nabi

Saw. terhadap ʻUtsm n merupakan bentuk rasa hormat dan rasa hormat Nabi Saw.

bukan atas dasar faktor usia, akan tetapi karena kemulian akhlak ʻUtsm n yang

bisa dikatakan di atas rata-rata. lebih jauh lagi, Nabi Saw. pernah menyatakan

66 Ibn amzah al- usaynī al- anafi, al-Bay n wal-Ta rīf fī Asb b al-Wurūd al- adīts al

bahwa akhlak ʻUtsm n paling menyerupai dengan akhlak beliau.67 C. Perdebatan Kemaksuman Nabi Muhammad Saw.

Para ulama sepakat bahwa para Nabi dan Rasul maksum dari dosa besar dan aib-aib yang buruk, seperti zina, mencuri, menipu, menyembah berhala, sihir, dan lain sebagainya.68 Namun terjadi perbedaan pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw, maksum dari sebelum dan sesudah kenabian, karena prilaku seorang Nabi itu mempengaruhi dakwahnya di masa setelah kenabian. Oleh karenanya, setiap calon Nabi harus mempunyai perjalanan hidup/tingkah laku yang baik dan berjiwa bersih sehingga tidak mencemarkan dalam mengemban risalah dan dakwahnya.

Allah Swt. telah memilih Nabi-nabinya dari manusia terjaga sejak kecil di bawah pengawasan Allah Swt. dan menjadikan mereka sebagai orang-orang pilihan yang terbaik. Oleh karena itu, mereka harus maksum dari sebelum dan sesudah kenabian.69

Sebagaimana firman Allah Swt. mengenai Nabi Mūsá as.:

70

Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), Maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya. dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku dan supaya kamu diasuh di bawah

pengawasan-Ku”Ṭ

67

Dr. Musthafa Murad, Kisah Hidup Utsman bin Affan, Penerjemah Khalifurrahman Fath (Jakarta: Zaman, 2009), 26.

68ʻUmar Sulaym n al-Asyqar, Rasul Dan Risalah Menurut al-Qur‟an Dan Hadis. Penerjemah Munir F. Ridwan (Riyaḍ: D r al-ʻIlmīyah, 2008), 148.

69 Mu ammad ʻAlī al- būnī, al-Nubuwah wal-Anbiy (Beirūt: Maktabah al-Ghaz lī, 1975), J. 3, 57.

Ayat lain:

71



“Dan Sesungguhnya mereka pada sisi kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.”

Selain itu juga, atas dasar menafikan dosa-dosa kecil pada kedua periode (sebelum dan sesudah kenabian) sama halnya dengan menafikan dosa-dosa besar pada kedua periode. Syarīf al-Murtaḍá memberikan sebuah analogi bahwa orang-orang yang boleh melakukan dosa besar kemudian ia bertaubat dan terlepas dari siksa dan cela, jiwa ini tidak senyaman menerima ucapan orang yang tidak melakukan hal itu. Demikian juga seperti halnya para Nabi yang dibolehkan melakukan dosa kecil sebelum atau sesudah kenabian, sekalipun dosa tersebut telah diampuni, namun tetap jiwa tidak senyaman menerima ucapan orang yang dianggap suci dari perbuatan-perbuatan keji.72

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. maksum hanya setelah kenabian dari dosa kecil dan dosa besar, karena sebelum kenabian tidak ada perintah untuk mengikuti, hanya diperintahkan setelah turunnya wahyu dan Allah Swt. memuliakan dengan memberikan mandat mengemban risalah dan amanah. Adapun sebelum kenabian sebagaimana umumnya manusia biasa, namun perilaku mereka tidak terjatuh ke dalam lembah dosa ataupun menyimpang dari perbuatan keji dan hina. Sekalipun mereka tidak melakukan dosa dan menyimpang semasa sebelum kenabian, mereka tidak

71 d [38]: 47.

maksum, akan tetapi mereka tetap terjaga dengan pengawasan dan kesucian.73 Mengenai hal ini juga, terdapat perbedaan pendapat, satu sisi para Nabi tidak terjaga dari dosa-dosa kecil, karena dosa kecil bukan merupakan kemaksiatan. Ada juga beragapan bahwa para Nabi terjaga dari dosa-dosa kecil dengan alasan dosa kecil itu maksiat. Jelasnya, terhadap perkara yang berbentuk perintah dan larangan, mereka semua maksum. Adapun dalam perkara atau perbuatan yang bersifat makrūh,74 mandūb,75 dan khil f al-aulá,76 para Nabi tidak maksum. Bisa saja mereka melakukan perbuatan yang makrūh, meninggalkan yang mandūb, atau pun melakukan khil f al-aulá, menurutnya perkara tersebut tidak berujung pada dosa dan tidak tergolong ke dalam aspek-aspek maksiat.77

Dua sisi seorang Nabi sebelum diangkat menjadi Nabi78: 1. Belum ada Pembebanan Syariat Mutlaq

Dalam hal ini maksum tidak mempunyai arti penting, karena sesuatu hal diketahui sebagai maksiat (melanggar) setelah adanya hukum syara’ dan taklif.

Oleh karena itu, bukan merupakan hal penting, apakah Nabi itu maksum atau tidak. Akan tetapi, ketinggian kesucian Rasul, kejernihan jiwa, keluhuran ruh, akal sehatnya ini menunjukkan keteladanan (sebagai contoh) yang tinggi diantara

73Mu ammad ʻAlī al- būnī, al-Nubuwah wa al-Anbiy (Beirūt: Maktabah al-Ghaz lī, 1975), J. 3, 57.

74Makrūh merupakan perkara yang tidak dianjurkan namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya.

75Mandūb merupakan perkara yang dianjurkan namun tidak terdapat konsekuensi bila tidak melakukannya.

76Khial f al-Aulá artinya meyalahi yang utama dalam arti memilih yang kurang utama. Contohnya, menjamak salat dengan berjamaah lebih baik daripada menjamak salat dengan sendirian.

77 Taqiy al-Dīn al-Nabh nī, al-Syakhṣiyah al-Isl miyah (Beirūt: D r al-Umah, 2003), J. 1, 135.

78 Mu ammad ʻAlī al- būnī, al-Nubuwah wal-Anbiy (Beirūt: Maktabah al-Ghaz lī, 1975), J. 3, 57-58.

kaumnya, baik dalam akhlak, pergaulan, amanah, dan terhindar dari perilaku buruk yang bertentangan dengan akal sehat.

2. Sudah Ada Pembebanan untuk Mengikuti Syariat Rasul Terdahulu

Sebagai contoh, Nabi Luth as. sebelum diangkat menjadi Nabi ia mengikuti pamannya yaitu Nabi Ibrahim as. Dalam hal seperti ini, tidak ada dalil

qatʻi yang menunjukkan adanya kemaksuman Nabi, baik dari dosa besar maupun dari dosa kecil. Walaupun tidak ada dalil yang menjelaskan hal itu, perjalanan hidup para Nabi sebelum kenabiannya, sudah banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dijauhkan dari maksiat, besar maupun kecil.

Sifat jaiz yang dimiliki oleh para Rasul merupakan kebolehan bagi mereka melakukan apa yang umumnya dilakukan oleh manusia biasa, seperti makan, minum, berhubungan badan dengan istri, mempunyai anak, pergi ke pasar, berniaga, menggembala, mengalami muda dan tua, jatuh sakit, namun penyakitnya tidak melemahkan jiwa mereka untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang Rasul dan tidak sampai menyebabkan orang-orang disekelilingnya lari menjauh dan enggan bergaul dengannya. Tentu dengan batasan tindakan yang dilakukan tidak menurunkan kehormatan dan derajat mereka yang tinggi dan luhur.79

Adapun dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sekilas mengandung teguran Allah Swt. yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Seperti, Nabi Saw. bermuka masam dan berpaling kepada Ummi Maktum, perlu dilihat ulang,

79

Husein Afandiy al-Jisr al-Tharabilisiy, Memperkokoh Akidah Islamiyah (Dalam Perspektif Ahlussunnah Waljamaah). Penerjemah Abdullah Zakiy al-Kaaf (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 54.

siapakah yang bermuka masam? Suatu ketika Nabi Saw. sedang bersama pembesar-pembesar kaum kemudian datang Ibn Ummi Maktum kepada Nabi Saw. untuk belajar Islam kemudian Nabi Saw. berpaling dengan bermuka masam sehingga Allah Swt. menegur Nabi Saw.

Ayat tersebut bukanlah ditujukan kepada Nabi Saw. karena bermuka masam bukan merupakan sifat Nabi Saw. sekalipun dalam menghadapi musuh-musuhnya apalagi dengan orang-orang beriman yang mendapatkan petunjuk (dikatakan Ibn Ummi Maktum sudah masuk Islam), kemudian Nabi Saw. mempunyai ciri khusus yang bersedia bersama orang-orang kaya dan sibuk bersama orang-orang fakir, akhlak mulia ini lah yang melekat pada diri Nabi Muhammad Saw. Dikarenakan Allah Swt. telah mengagungkan akhlak Nabi Saw. sebelum turun surah ( ) yang terdapat dalam surah al-Qalam

ayat 4, menurut beberapa riwayat yang jelas berdasarkan tartib nuzūl al-suwar

bahwa surah tersebut turun setelah surah al-ʻAlaq ( ). Bagaimana bisa

masuk akal sedangkan Nabi Saw. itu bagus akhlaknya dan Allah Swt. telah mengkhususkan Nabi Saw. sebagai sebaik-baiknya akhlak, yang kemudian dituduhkan Nabi Saw. mengerutkan wajahnya kepada orang buta yang datang meminta Nabi Saw. untuk mengajarinya tentang Islam. Ditegaskan kembali bahwa para Nabi dan Rasul merupakan orang-orang yang bersih dari hal-hal yang dibenci. Jadi tidak mungkin Nabi Muhammad Saw. berperilaku masam wajahnya kepada seseorang yang hendak belajar Islam kepadanya.80

80 Abī Jaʻfar Mu ammad b. al- asan al- ūsī, al-Tiby n fī Tafsīr al-Qur n (Beirūt: D r I y al-Tur ts al-ʻArabī, tt), J. 10, 268-269.

Menurut al- kim dalam al-Mustadrak, bahwa ( ) ditujukan

kepada Nabi Saw. yang berpaling dari Ibn Ummi Maktum yang saat itu ia datang meminta petunjuk kepada beliau, sedangkan Nabi Saw. sedang bersama pembesar orang-orang musyrik. Setelah peristiwa tersebut Nabi Saw. memuliakan Ibn Ummi Maktum.81 Menurut riwayat dari al-Im m al- diq bahwa ayat tersebut ditujukan (yang bermuka masam) kepada seorang laki-laki dari Banī Umayyah82 yang saat itu sedang bersama Nabi Saw. dan kemudian Ibn Ummi Maktum datang menghampiri Nabi Saw. untuk belajar Islam.83

Kemudian ada yang berpendapat bahwa ketika Rasulullah Saw. tengah mengajari mereka (pembesar Quraisy), Ibn Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. datang kepadanya. Kemudian Nabi Saw. menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya. Namun, Nabi Saw. tidak menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy. Karena Ibn Ummi Maktum miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi Muhammad Saw. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayyah (yakni

ʻUtsm n b. ʻAff n) bermuka masam dan berpaling kepadanya. Perbuatan

81 Abī al- asan ʻAlī b. A mad al-W idī, Asb b Nuzūl al-Qur n (Beirūt: D r al-Kutub al-ʻIlmiyah, 1991), Cet. 1, 471-472.

82 Seperti ʻUtbah b. Rabīʻah, Ab Jahal b Hisy m, al-ʻAbb s b. ʻAbd al-Mu alib, Ubay