• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Landasan Kehidupan Politik

BAB IV. HASIL PENELITIAN

4. Membangun Landasan Kehidupan Politik

Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden

merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus, walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X. Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata rakyat.

Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip Purwadi (2009: 1-2) mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh

commit to user

karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai „wakil Tuhan‟ di muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.

Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai politik yang menantang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang didukung oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi, komunikasi, dan perekonomian yang dengan cepat mempertinggi kesadaran Surakarta atas adanya suatu dunia Internasional yang tentu saja tidak berpusat di Surakarta, apalagi diwakili oleh sebuah Sumbu Semesta yang tinggal dalam keraton (John Pemberton, 2003: 156).

Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan politik terhadap Indonesia yaitu menjadi Politik Etis yang digagas oleh van Deventer. Pemikiran ini berdasarkan bahwa negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan maupun pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa Belanda dilontarkan dalam berbagai pengungkapan. Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas. Selama zaman liberal (1870-1900) kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, maka kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mencapai ketentraman, keadilan, modernitas dam kesejahteraan. Pihak yang beraliran kemanusiaan membenarkan apa yang dipikirkan kalangan pengusah itu akan menguntungkan, maka lahirlah Politik Etis tersebut (M. C Ricklefs, 1991: 227-228).

Politik Etis yang mengandung konsep tentang Hutang Kehomatan yang harus dibayar Belanda kepada jajahannya sebagai pengganti harta kekayaan yang pernah diambilnya. Efisiensi, kemakmuran, dan ekspansi adalah slogan dari

commit to user

politik baru itu yang memerlukan campur tangan yang lebih langsung dan lebih tegas oleh gubernemen dalam masyarakat setempat. Pegawai Belanda seakan- akan diilhami oleh suatu dorongan misi yang khusus untuk mengangkat orang pribumi, “mengubah” dan “memperbaiki” masyarakat. Di Vorstenlanden para residen tiba pada suatu pandangan bahwa tugas utamanya adalah untuk menyadarkan pemerintah swapraja bahwa pemerintahannya harus diatur untuk kepentingan kemakmuran rakyat umumnya, dan bahwa jika mereka yaitu raja-raja “yang memerintah sendiri” ternyata kurang berhasil, maka pemerintah Eropa akan ikut campur dan melaksanakan apa yang diperlukan (George D. Larson, 1990: 27- 28).

Menurut Wertheim yang dikutip Hermanu. J, (2005: 99) mengatakan “Politik Etis pada intinya adalah memperluas dan memperbaiki program-program yang sudah ada, yaitu: perluasan pendidikan model Barat, irigasi, peningkatan pelayanan kesehatan, dan meningkatakan pertumbuhan industrialisasi”. Banyak sekali usaha yang dijalankan dibidang pendidikan, dan hasil-hasilnya sering kali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung Politik Etis menyetujui ditingkatkannya ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia (M. C Ricklefs, 1991: 236). Perkembangan abad ke-20 ini ditandai dengan timbulnya berbagai studi club (perkumpulan) untuk kepentingan belajar yang membangkitkan rasa kebangsaan Indonesia dan lambat laun menjadi partai-partai politik yang menumbuhkan keinginan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Paku Buwono X dapat melihat perubahan dan perkembangan- perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda harus harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Paku Buwono X menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama. Pelaksanaan Politik Etis di Hindia Belanda justru menjadi landasan bagi Sunan untuk melaksanakan politik simbolis dengan mendirikan sekolah khusus untuk mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama “Mamba’ul Ulum” pada tahun 1905. Madrasah itu dibangun dibagian selatan halaman masjid besar di Surakarta, seberang jalan dari pasar Klewer sekarang.

commit to user

Lulusan madrasah ini dapat diterima menjadi siswa pada Universitas Al Azhar di Kairo, juga ada beberapa Universitas lain diluar negeri yang menerima siswa lulusan “Mamba’ul Ulum” dengan melalui tambahan kursus pendidikan umum. Di Solo juga terdapat pesantren terkenal yang didirikan oleh Kyai Djamsari di kampung Djamsaren. Pesantren ini juga tidak hanya dikenal diseluruh Jawa melainkan juga di Pulau-pulau diluar Jawa, bahkan dikenal di Malaysia” (R.M Karno, 1990: 45-46). Selain pondok Pesantren Djamsaren juga ada satu lagi pondok pesantren yang terkenal di Solo yaitu Pesantren Gebang Tinatar yang diasuh oleh Kyai Hasan Basri (Purwadi, dkk, 2009: 58).

Pendirian madrasah Mamba’ul Ulum merupakan kebijakan politik yang cukup berani, karena dalam Staatsblad van nederlandsch-Indie 1893, No. 125, pasal 5, dikemukakan adanya larangan terhadap pengajaran agama islam di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta, baik di dalam maupun di luar kelas. Bertumpu pada staatsblad tersebut di atas, muncul pemikiran-pemikiran dari para elit politik keraton (ulama dan pembesar keraton), yaitu:

1) Dengan tidak diajarkannya pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah dapat mempengaruhi akhlak anak-anak pribumi. Pengajaran agama merupakan aspek penting yang diharapkan dapat membangun sikap

akhlakul kharimah yang bermakna bagi kehidupan masa depan.

2) Sejak dua dekade akhir abad ke-19, gerakan zendeling atau pngabar injil meluas di kota-kota Vorstenlanden. Di antara raja-raja

Vorstenlanden terdapat perbedaan dalam menyikapi gerakan

zendeling. Sunan Paku Buwono X yang baru saja naik tahta pada tahun 1893 sangat menolak gerakan zendeling. Keinginan pendeta Bakker untuk mendirikan sekolah dan rumah sakit Kristen pada tahun1910, di

ditrict dan onderdistrict Kasunanan, ditolak oleh Sunan. Namun

keinginan Pendeta Bakker ditanggapi positif oleh Sri Mangkunegoro, dan Bakker diijinkan mendirikan sekolah Kristen di kawasan kelurahan Banjarsari, sedangkan rumah sakit diizinkan didirikan di kawasan Kelurahan jebres (MT. Arifin dkk, 2005: 102).

commit to user

Penolakan Sunan Paku Buwono X dilandasi pemikiran bahwa:

a) Sunan sebagai Sayidin Panotogomo, sehingga tidak mingkin member izin agama lain untuk mendirikan sekolah agama di wilayah kekuasaannya.

b) Gerakan zendeling dapat mendorong dan memicu radikalisme dan fanatisme Islam di Kasunanan Surakarta.

c) Hampir disemua kota-kota Vorstenlanden sedang tidak aman, banyak penggarongan, perampokan, dan pembakaran rumah, yang sudah bersifat endemis, sehingga gerakan zendeling dikhawatirkan dapat memperkeruh suasana (MT. Arifin dkk, 2005: 103). Munculnya berbagai kerusuhan sosial di Vorstenlanden adalah sebagai akibat meluasnya kemiskinan dan hilangnya keteladanan di Surakarta. Masyarakat maupun bangsawan yang telah jatuh miskin bisa saja tersulut keinginan untuk bergabung dengan gerombolan perampok atau

kecu (George D. Larson, 1990: 27-61).

Di dalam kurikulum Mamba’ul Ulum dapat ditafsirkan adanya upaya memadukan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Menurut Taufik Abdullah yang dikutip Hermanu. J (2005: 106) mengatakan “Penambahan pelajaran bahasa, berhitung, dan ilmu kodrat (ilmu pengetahuan alam) menunjukkan adanya perbedaan dengan pendidikan di pondok pesantern yang mengutamakan mempelajari kitab-kitab agama Islam serta intensifikasi ritual

peribadatan”. Dengan demikian dapar dikatakan bahwa Madrasah Mamba’ul

Ulum adalah bentuk transisional menuju pendidikan Islam modern.

Sementara itu, di kampung dan di desa didalam wilayah Kasunanan Surakarta pada 1914 didirikan sekolah-sekolah dasar bagi rakyat dan bagi para sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandsche School

(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda) didalam Baluwarti, Sekolah Parmadi Siwi (Taman kanak-kanak) bagi putra-putri dan cucu raja dan sekolah “Parmadi Putri” setaraf HIS khusus bagi wanita, anak, cucu dan

sentana. Sebelum Parmadi Putri dibuka, para putri raja mendapat pendidikan dalam bahasa Belanda, masak memasak makanan Barat dan kerajian tangan

commit to user

misalnya merajut, menyulam, merenda dan sebagainya oleh wanita-wanita Belanda yang datang pada hari-hari tertentu di Keraton untuk memberi les (R.M Karno, 1990: 45).

Pengurusan sekolah “Pamardi Siwi”, ”Pamardi Putri” dan “Kasatrian

dilakukan oleh G.P.H Kusumobroto atas perintah Paku Buwono X, karena dibiayai dengan uang dari kas keraton. Sedangkan sekolah-sekolah dasar untuk umumyamg tersebar diseluruh Kasunanan Surakarta, termasuk juga sekolah “Mamba’ul Ulum” dibiayai dengan uang kas negara Kasunanan (Rijkskas) di kantor Kepatihan. G.P.H Kusumobroto juga mendapat tugas untuk mengurus bersekolahnya para putar raja dan beberapa keponakan serta cucu pria yang dibiayai oleh Paku Buwono X. Dari uang pribadi Paku Buwono X membentuk dana “beasiswa“ bagi anak-anak pandai dari para abdi dalem (pegawai Kasunanan) yang kurang mampu. G.P.H Hadiwidjojo lah yang mengurusi masalah beasiswa itu. Menurut beliau yang berhasil menggunakan dengan baik beasiswa itu ialah 1. Prof. Dr. Mr. Soepomo (penyusun UUD 1945, Menteri Kehakiman), 2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo (Gubernur Nusa Tenggara di Bali, Menteri Kehakiman), 3. Prof. Dr. Mr. Wirjono Prodjodikoro (Ketua Mahkamah Agung, Menteri Koordinator Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri), 4. Prof. Dr. Mr. Notonagoro (penjabar Pancasila dan Guru Besar Universitas Gajah Mada), 5. Dr. Radjiman Widiodiningrat (ketua BPUPKI), 6. Domo Pranoto (Mayor Jendral Polisi, Anggota DPR), dan lain-lainnya (R.M Karno, 1990: 46).

Para putra raja tidak dimasukkan ke sekolah Kasatriaan atau HIS umum, melainkan ke Europesche Lagere School (Sekolah dasar untuk orang barat dengan bahasa Belanda) dan mereka dipondokkan pada kluarga Eropa, selanjutnya ke MULO (SMP) ke AMS (SMA) atau HBS (5 tahun) di Semarang atau Bandung, baru ke Perguruan Tinggi baik di Indonesia maupun di negeri Belanda (Darsiti Soeratman, 2000: 369-370). Untuk keperluan tenaga pertanian dan perkebunan, maka Paku Buwono X merasa perlu diadakan sebuah sekolah yang mengajarkan kepada sisiwanya tentang pertanian dan perkebunan. Ide ini disambut masyarakat dengan antusias. Untuk pertama kalinya didirikanlah sekolah pertanian dan

commit to user

perkebunan ini di Tegalgondo, Delanggu pada tahun 1929 (Purwadi, dkk, 2009: 59).

b. Usaha-Usaha Dalam Bidang Politik

Usaha-usaha yang dilakukan Sunan Paku Buwono X dalam rangka membangun kehidupan politik di Surakarta menjadi lebih lengkap dengan perannya membantu dan mengayomi organisasi-organisasi nasional, dalam usahanya melawan Belanda dan mengusirnya dari bumi tanah Jawa. Baik G.P.H Hangabehi maupun G.P.H Kusumoyudo pernah menjadi Anggota Pengurus Besar Sarekat Islam yang diketuai R.M HOS Tjokroaminoto, maupun anggota Boedi Oetomo. G.P.H Hadiwidjojo, R.M.T Woerjaningrat (keponakan dan menantu sang Raja) juga merupakan tokoh-tokoh terkenal dalam kepengurusan Boedi Oetomo. Lingkungan keluarga keraton dibentuk juga perkumpulan dengan nama

Narpawandawa” dan bagian keputrian dinamakan “Poetri Narpawandawa”.

R.M.T Woerjaningrat dan Pangeran Hadiwidjojo masing-masing pernah menjabat sebagai ketua Narpawandawa, sedangkan B.R.A Woerjaningrat adalah ketua pertama Poetri Narpawandawa (R.M Karno, 1990: 46-47). Paku Buwono X secara diam-diam memberi sokongan kepada perkumpulan-perkumpulan politik itu. Disebelah utara pasar Singosaren dididirikan sebuah gedung pertemuan

Habipraya” yang dapat digunakan untuk mengadakan rapat-rapat atau

pertemuan oleh masyarakat Solo dengan uang sewa. Bung Karno pernah berpidato di tempat itu, tanpa bisa dihalangi oleh Belanda. Selain dari pada itu, di tempat yang sama terdapat sebuah ruangan untuk bermain bilyard untuk penduduk Solo yang berminat (Purwadi, dkk, 2009: 20).

Paku Buwono X sungguh makin menyadari bahwa perwakilan rakyat sebagai salah satu sarana demokrasi dalam pengambilan keputusan oleh rakyat yang dapat dijadikan landasan bagi arah melaksanakan kekuasaan eksekutif kekuasaan memerintah. Dalam rangka melaksanakan kesadaran itu beliau mendirikan “Bale Agung” pada tanggal 21 Maret 1935, yang semula berfungsi

sebagai lembaga memberi pertimbangan, dan secara bertahap akan diberi fungsi sebagai perwakilan rakyat sepenuhnya. Dengan lahirnya Bale Agung , dihapuslah

commit to user

Dewan kerajaan yang sebagian besar terdiri dari anggota keluarga raja. Bale Agung ini terdiri dari seorang ketua diantara 10 orang yang ditunjuk oleh raja, dua orang adalah putranya, 5 orang pegawainya dan 3 orang selebihnya semua pegawai Gubernemen berkebangsaan Belanda. G.P.H Hadiwidjojo yang pada waktu itu anggota Volksraad, terpaksa melepaskan kedudukannya karena ditunjuk oleh Paku Buwono X sebagai ketua Bale Agung yang pertama dan R.T. Mr. Wironegoro sebagai sekretaris (R.M Karno, 1990: 46-49).

c. Politik Ngideri Buwono

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Paku Buwono X yang merupakan strateginya yaitu dengan melakukan perjalanan kerja ke berbagai daerah yang disebut dengan perjalanan incognito atau disebut dengan Ngideri Buwono

(Kuntowijoyo, 2004: 94). Dalam kajian Islam Ngideri Buwono adalah tindakan diplomatis untuk menciptakan strategi pergolakan. Dalam Islam, diplomasi adalah

Kayfiyah (cara) untuk disampaikan kepada masyarakat sebagai bagian dari uslub

kifahi (strategi pergolakan)untuk menghadapi pemerintah Belanda (Muhammad

Hawari, 2003: 14-15).

Dalam menjalankan pekerjaan raja, jaman dahulu juga termasuk kewajibannya untuk secara berkala pada malam hari melakukan perjalanan dinas rahasia mengelilingi kota Raja dan sekitarnya agar dapat menangkap suka duka dan keluhan rakyat. Pekerjaan ini merupakan tugas setiap raja dari keturunan Mataram. Pada suatu malam dalam melaksanakan kewajibannya tersebut Sri Susuhunan Paku Buwono X dalam kegelapan harus melompati parit dan tergelincir jatuh di kampug Ngruki, daerah Kedawung Barat. Akibat jatuh itu kaki Sinuhun menjadi cacat, tidak dapat disembuhkan dan tidak begitu kuat jika dipakai berjalan. Setelah cacat pada kakinya Sri Susuhunan Paku Buwono X merubah taktik, untuk dapat mendapat informasi tentang pendapat rakyat dengan menyebar pegawai keraton yang buta untuk mendengarkan pendapat rakyat di warung-warung dan di tempat-tempat yang dikunjungi orang banyak, kemudian mereka menghadap Sinuhun dan mereka bercerita tentang pengalaman mereka tidak dalam bentuk laporan. Dari omongan bebas mereka itu Paku Buwono X

commit to user

dapat mengambil gambaran tentang apa yang menjadi pikiran rakyat kecil (R.M Karno, 1990: 49).

Proses Ngideri Buwono meliputi perjalanan di berbagai wilayah di Jawa, Sumatera Selatan, Bali, dan Lombok, dengan menggunakan jasa transportasi kereta api dan kapal laut. Pada awal abad ke-20 ini, pada masa jabatan Residen Vogel, Sunan melakukan perjalanan ke Semarang dengan membawa dua ratus pengiring. Pada tahun 1916 Sunan merencanakan untuk pergi ke Buitenzorf

(Bogor) untuk menyampaikan ucapan terimakasih kepada Sri Maharatu Wilhelmina atas pemberian bintang Grootkruis in de Orde van Oranje Nasaau

lewat Gubjen De Fock. Dua tahun kemudian pada 1924 sunan melakukan perjalan ke Malang. Pada 1929 Paku Buwono X dan rombongannya mengunjungi pulau Bali dan pulau Lombok. Di pulau Bali, Paku Buwono X mengunjungi I Gusti Gede Bagus Jelantik di Karangasem dan Anak Agung I Gusti Gede Taman di Kabupaten Bangli. Selain itu juga berkunjung ke tempat asisiten Residen Mataram (Lombok). Pada tahun 1935 PakuBuwono X berkunjung ke Lampung. Setahun kemudian pada tahun 1936, dengan alasan meninjau Gubernur Surakarta yang dirawat di rumah sakit di Surabaya, Paku Buwono X bersama rombongan pergi ke Surabaya, kemudian sunan singgah di kabupaten Gresik (Darsiti Soeratman, 2000: 383-385).

Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono

yang dilakukan oleh Sunan ini. Belanda memikirkan masalah uang yang dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena meskipun Paku Buwono X dianggap mengadakan perjalanan incognito, ia menonjolkan dirinya sebagai kaisar Jawa (George D. Larson, 1990: 222). Semua itu dilakukan oleh Paku Buwono X dalam rangka membangun kehidupan politik di Surakarta dan nasionalisme Indonesia melawan pejajahan Belanda.

commit to user

B. PERAN KERATON DALAM PERGERAKAN KEBANGSAAN