• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KIN

A. Ngrombeng Dulu

A.4. Membawakan Si Rombeng

Pakaian dibeli sudah pasti dimaksudkan untuk dikenakan. Demikian halnya dengan pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul”. Pada satu kesempatan pakaian semacam itu pun saya pakai untuk mengikuti perkuliahan di kampus. Momen ini menjadi momen yang paling menggetarkan dan sulit dilupakan. Hal itu dikarenakan bahwa sekuat apapun upaya saya menyiasati rombengan; sehebat apapun usaha saya membawakan rombengan; di mata kawan-kawan saya identitas pakaian bekas atau rombengan itu ternyata masih menjadi sesuatu yang mencolok mata, sehingga dengan sangat mudah dan cepat mereka kenali. Identitas ke- “bekas”-an rombengan seperti murahan, kotor, dan “ora murwat” itu dengan cepat

18 Jean Baudrillard (1981), For A Critique of The Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, USA: Tellos Press Ltd., hlm. 66.

59

dan gampang bisa mereka “endus”. Untuk membedakan mana pakaian baru dan mana pakaian bekas atau rombengan rupa-rupanya bukan merupakan satu hal yang sulit bagi kawan-kawan saya. Identitas ke-“bekas”-an yang melekat dalam rombenganataupakaian “awul-awul” ibarat noda getah membandel yang membekas pada sebuah kain yang tetap menempel dan sama sekali tidak bisa dibersihkan meski telah dicuci ribuan kali.

Tidak pelak saya pun kemudian sering menjadi bahan gunjingan di antara teman-teman kampus. Gunjingan yang kemudian mereka kemukakan secara verbal dalam bentuk sindiran dan olok-olok. Saya disindir dan diolok-olok sebagai anggota Perguruan Kaypang – nama perguruan silat yang terdiri dari para pengemis dengan ciri uniform tambal-tambal sebagaimana diilustrasikan dalam cerita silat karya mendiang Asmaraman Soekawati alias Kho Ping Hoo dari Solo yang terkenal di tahun 1980-an. Gunjingan dan olok-olok sebagaimana disampaikan teman-teman saya itu sudah pasti bukanlah merupakan ekspresi kebencian, tetapi tak beda jauh dengan celetukan. Keduanya sudah barang pasti hanya dimaksudkan sebagai semacam gurauan. Gunjingan dan olok-olok teman itu terkadang saya rasakan cukup mengganggu. Hanya saja menghadapi gunjingan teman-teman saya memilih untuk tutup mulut. Reaksi saya tersebut merupakan ungkapan sikap saya dalam membutatulikan komentar dan ulah teman-teman.

Akan tetapi, bagaimana halnya jika harus berhadapan dengan para pembesar kampus seperti dosen, dekan, atau rektor? Sosok yang selain “berwibawa” di depan mahasiswa suka juga main kuasa, seperti halnya mengharuskan para mahasiswanya untuk berpakaian secara “baik dan benar”: bersih, rapi, dan formal. Persis sebagaimana bunyi peringatan yang terpampang di pintu ruang kerja mereka:

60

“Hanya Mahasiswa/siswi Berpakaian Pantas dan Sopan Yang Akan Dilayani”. Atau juga saat harus melakukan konsultasi pengisian KRS (Kartu Rencana Studi), menerima KHS (Kartu Hasil Studi), konsultasi skripsi, atau urusan kegiatan kampus lainnya? Bagaimana pula halnya jika tiba-tiba harus didaulat mewakili kampus berada di depan audiens membawakan makalah dalam sebuah seminar? Atau kegiatan wajib berupa mengunjungi pacar tercinta?

Olok-olokan yang datang dari teman-teman dan peringatan para pembesar kampus itu rupanya menggarisbawahi pada satu kenyataan, bahwa berpakaian semata-mata bukan hanya berarti mengenakan pakaian. Lebih dari itu, berpakaian berkait berkelindan dengan cara kita mengolah penampilan. Ungkapan tentang beradab atau barbar, kaya atau miskin, intelek atau tidak intelek, tiba-tiba hadir bukan karena hal-hal yang berkaitan dengan perilaku, kekayaan, atau luasnya pengetahuan yang kita miliki, melainkan karena pakaian yang kita kenakan. Identitas yang diberikan orang lain lebih dulu terhubung dengan penampilan yang kita bawakan lewat pakaian. Di antara pelbagai ragam ejekan, olok-olok, dan perintah untuk “berpakaian sopan”, rombengan yang saya pakai rupa-rupanya belum bisa membawa diri saya pada berada dalam situasi dan kondisi sebagaimana yang diinginkan umum; situasi dan kondisi yang wajar.

Apa yang saya rasakan adalah bahwa rombengan yang saya kenakan rupanya masih tetap membebani dan “menjebloskan” saya pada sebuah abnormalitas. Abnormalitas tersebut tidak terbatas mengacu pada pengertian persoalan sistem berpakaian, tetapi lebih jauh menyentuh pada nilai yang berakar pada penampilan (identitas). Rombengan yang saya kenakan seolah-olah mematok diri saya sebagai warga kelas dua, bahkan “pidak pejarakan” alias miskin papa. Karena rombengan

61

yang saya kenakan, saya merasa bahwa saya tengah membawakan diri selayaknya orang yang belum jadi orang. Identitas pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” yang bekas, kotor, cacat, murahan, dan tidak hiegienis seolah-olah tetap melekat dan telah sedemikian rupa mengontaminasi diri saya. Diri saya seolah menjadi benar-benar tercemar karena rombengan yang saya pergunakan. Rombengan kala itu benar-benar saya sadari sangat mengendala gerak dan kebebasan saya manakala harus berhubungan atau melakukan komunikasi dengan orang lain di luar diri saya.

Kendala yang menimpa saya itu pada gilirannya menjadi sesuatu yang sudah semestinya saya terima sebagai sebuah kewajaran atau kesemestian. Buah dari penyimpangan atau kecemaran yang saya lakukan karena menggunakan rombengan. Semuanya menjadi sesuatu yang sudah sepantasnya saya terima secara natural atau sudah semestinya menimpa dalam diri saya. Dihadapkan pada kenyataan dan bayangan semacam itu, saya pun dengan terpaksa harus “menyerah”. Berdamai dengan keadaan. Memilih langkah kompromi. Pada waktu-waktu selanjutnya pakaian bekas atau rombengan itu pun tidak saya pakai lagi sebagai pakaian utama, melainkan lebih sebagai pakaian cadangan. Sebagai sebuah pakaian cadangan, rombengan itu pun hanya akan saya pakai untuk bermain atau melibatkan diri dalam kegiatan ekstra-kurikuler. Sebuah aktivitas dan lingkungan yang tidak banyak menuntut formalitas atau bahkan sama sekali tidak menekankan unsur kerapian, ke- trandy-an, atau kebaruan dalam berpakaian. Sebuah lingkungan yang jauh dari kesan mulia dan dekat dengan kesan barbar, tidak berkelas, atapun sama sekali tidak intelek!

62