• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim

PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISAL

B. Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim

Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUD 1945 juga menggarIskan bahwa Komisi Yudisial “memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Secara esensial, kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merujuk kepada kode etik (code of ethics) dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) yang menjadi panduan keutamaan bagi para hakim baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.162

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kode etik (code of ethics) dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) ditegakkan? Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bahwa Komisi Yudisial diberikan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

162

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.

keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial sebagai bentuk pengawasan terhadap hakim. Ketentuan tentang pengawasan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang-Undang Komisi Yudisial.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial “Hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Namun, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Uji Materil Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan rumusan Pasal 1 angka 5 tersebut. Dalam pertimbangnnya tentang hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah termasuk dalam kategori sebagai hakim yang merupakan objek pengawasan Komisi Yudisial.

Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengawasan Komisi Yudisial sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial adalah:

1. Dari sistematika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad

Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.

2. Dalam ketentuan Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang Kekuasaan Kehakiman yang dibentuk sebelum pembentukan Undang-Undang Komisi Yudisial. Dalam Undang-Undang-Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi ditentukan adanya lembaga majelis kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak menentukan bahwa hakim konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi Yudisial.

3. Berbeda halnya dengan hakim biasa, hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. hakim konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan hakim konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula.

4. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran Komisi Yudisial sama sekali.

5. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga lain.163

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kewenangan pengawasan Komisi Yudisial bukan untuk mengawasi lembaga peradilan, melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim sebagai individu. Selain itu, hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bukanlah untuk menerapkan prinsip

checks and balances karena hubungan semacam ini hanya terkait erat dengan

prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of power). Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial merupakan lembaga yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini kekuasaan kehakiman (yudikatif). Namun, Komisi Yudisial bukanlah pelaksana dari kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial

163

berperan dalam pengusulan calon Hakim Agung, sedangkan fungsi pengawasan penuh tetap dipegang oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim ini, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus bekerja sama erat dalam hubungan kemitraan.

Dalam kerangka konseptual model pengawasan pelaksanaan tugas para hakim, dilakukan melalui dua jenis pengawasan, yaitu: pertama, pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara internal Mahkamah Agung dapat membentuk Badan Pengawas di tingkat pusat pada lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Pengawas di tingkat daerah pada msing-masing Peradilan Tingkat Banding, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibawa pimpinan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung. Kedua, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh komisi independen dalam hal ini dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat. Subyek terlapor adalah hakim. Untuk memperoleh kepastian benar tidaknya laporan, Komisi Yudisial meminta keterangan dari terlapor melalui surat panggilan. Hasil keterangan dibuat berita acara yang ditandatangani oleh terlapor dan anggota Komisi Yudisial. Selanjutnya dilakukan analisis dan pembahasan dalam rapat pleno. Agenda rapat pleno untuk menentukan benar tidaknya laporan masyarakat dan apakah hakim melanggar prinsip penting yang

melekat pada jabatan dan tugas hakim, yaitu: kode etik dan pedoman perilaku hakim (code of conduct), prinsip imparsialitas dan profesionalitas hakim. Dari mekanisme ini, tahapan pemeriksaan terhadap hakim adalah penting dan menentukan, apakah laporan masyarakat benar atau salah.

Apabila terbukti ada unsur pelanggaran atas prinsip-prinsip di atas, Komisi Yudisial mengajukan rekomendasi sanksi terhadap hakim terlapor. Rekomendasi diajukan kepada ketua Mahkamah Agung, dengan tembusan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.164

Dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim, Komisi Yudisial wajib menaati norma, hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta menjaga kerahasian keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota Komisi Yudisial.

Perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

165

Keseluruhan tindakan pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berujung pada pemberian rekomendasi kepada organisasi profesi yaitu

Dalam hal pemanggilan dan meminta keterangan hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, harus didasarkan pada kode etik dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) yang telah ditetapkan. Kode etik (code of conduct) dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) yang konkret ini menjadi sebuah standar atau tolak ukur dalam melaksanakan pengawasannya.

164

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

165

Mahkamah Agung. Berkaitan dengan pasal-pasal usul penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung.

Dalam menjalankan peranannya untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim.166

166

Pasal 24 ayat (1) Undang -Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Undang-Undang Komisi Yudisial tidak secara eksplisit memberikan kriteria perilaku hakim yang bagaimanakah yang dianggap layak untuk diusulkan memperoleh penghargaan. Akan tetapi kriteria penilaian prestasi hakim tidak lepas dari pedoman perilaku hakim (code of conduct), yaitu: berprilaku adil, berprlaku jujur, berprilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berprilaku rendah hati dan bersikap profesional.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis mengemukakan beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

1. Kekuasaan kehakiman merupakan karakteristik negara hukum yang demokratis dimana kekuasaan kehakiman merupakan aspek utama negara hukum. Secara umum terdapat dua prinsip pokok dalam kekuasaan kehakiman, yaitu:

a. Prinsip kekuasaan kehakiman yang mandiri (the principle of

judicial independence); dan

b. Prinsip kekuasaan kehakiman yang tidak memihak (the principle of

judicial impartiality).

Kedua prinsip tersebut ditegaskan dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 yang menyebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.” Hal yersebut semakin dipertegas dalam UUD 1945 setelah perubahan yang memasukkannya dalam batang tubuh UUD 1945 pada Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

2. UUD 1945 setelah perubahan telah mengintroduksi sebuah lembaga baru yang kewenangannya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Lembaga ini berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berdasarkan kewenannya Komisi Yudisial memiliki dua tugas yaitu, pertama berkenaan dengan rekruimen hakim agung dan kedua berkenaan dengan pembinaan hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial sebagaimana diatur pada Pasal 24B UUD 1945 menegaskan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan atau intervensi kekuasan lain. Secara struktural dapat dikatakan bahwa kedudukan Komisi Yudisial sederajat dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasan kehakiman.

3. Dalam menjalankan wewenang berkenaan dengan mengusulkan pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial terlebih dahulu menjaring nama-nama bakal calon yang diajukan oleh Mahkamah Agung dan masyarakat luas. Kemudian Komisi Yudisial melakukan proses seleksi

terhadap bakal calon yang telah disaring mencakup seleksi admisnistratif maupun seleksi kualitas, kepribadian dan integritas calon hakim agung yang dilakukan dengan berbagai metode. Dalam jangka waktu lima belas hari sejak proses seleksi dilakukan, Komisi Yudisial kemudian menetapkan dan mengajukan tiga orang nama calon hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan calon hakim agung dan mengajukannya kepada Presiden untuk mengangkat calon hakim agung menjadi hakim agung dengan mengeluarkan Keputusan Presiden. Menyangkut pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sedangkan dalam menjalankan kewenangan Komisi Yudisial menegakkan kehormatan dan keluhuran serta menjaga perilaku hakim terdapat hubungan kemitraan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Bahwa objek pengawasan Komisi Yudisial adalah perilaku hakim sebagai individu di luar dan di dalam kedinasan agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran penulis adalah:

1. Peran strategis Komisi Yudisial dalam perekrutan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim hendaknya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari upaya memberantas mafia peradilan khususnya yang melibatkan para hakim.

2. Perlu dipertegas dan dipertajam kembali fungsi pengawasan Komisi Yudisial melalui mekanisme pengawasan yang elegan dan dasar hukum yang kuat sehingga mekanisme checks and balance antarlembaga negara dapat berjalan sesuai dengan ide pembentukan Komisi Yudisial.

3. Hakim konstitusi hendaknya termasuk dalam kategori hakim yang diawasi Komisi Yudisial. Hal ini penting untuk menjaga mekanisme

cheks and balances antarlembaga negara dalam sistem ketatanegaraan