• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dengan beberapa zona agroklimat, Kabupaten Bogor. Penelitian dimulai bulan Maret 2006 hingga Juni 2007. Data produksi tanaman diperoleh dari pengambilan sampel sistem agroforestri, pada masing-masing zona agroklimat, yang merupakan rangkaian dari percobaan I dan II pada bab terdahulu.

78 Pengambilan data produksi dilakukan pada dua musim tanam (musim kemarau dan musim hujan) dengan analisis pemanfataan lahan di bawah tegakan, yang didasarkan kombinasi tanaman semusim, jenis tanaman, waktu tanam. Pengambilan data primer melalui kuesioner terhadap petani dan data sekunder yang diambil dari instansi terkait.

Peubah yang diamati adalah:

1. Menentukan pola tanam pergiliran tanaman, komposisi dan jenis tanaman semusim penyusun sistem agroforestri.

2. Efisiensi sistem agroforestri dilakukan perhitungan Nilai Kesetaraan Lahan (NKL)

NKL = ��1

��2

+

��1

��2

HA1 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara tumpangsari. HB1 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara tumpangsari. HA2 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara monokultur. HB2 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara monokultur

3. Analisis usaha tani dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran serta keuntungan. Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri ditentukan dengan analisis Benefit/Cost ratio (B/C ratio) dan Net Present Value (NPV). Sistem usahatani ini layak dikembangkan jika B/C ratio ≥ 0 dan NPV positif.

n NPV = ∑ Bt - Ct t=1 (1 + i)t n ∑ Bt - t=1 (1 + i)t NBCR = n ∑ Ct t=1 (1 + i)t Keterangan :

Bt = penerimaan kotor petani pada tahun t Ct = biaya kotor dalam usahatani pada tahun t n = umur ekonomis usahatani

i = discount rate Keterangan :

Bt = penerimaan kotor petani pada tahun t Ct = biaya usahatani pada tahun t

n = umur ekonomis usahatani i = discount rate

79 HASIL DAN PEMBAHASAN

Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL)

Berdasarkan hasil analisis usahatani pada beberapa zona agroklimat, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sistem pengelolaan usahatani agroforestri. Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan ini antara lain adalah perbedaan luasan lahan yang dimiliki oleh petani, jenis komoditi yang ditanam, dan pola pergiliran tanaman.

Rata-rata luas lahan yang dikelola petani berkisar 0,2 – 0,8 ha. Umumnya petani dengan luasan lahan yang terbatas menggunakan sistem usahatani tumpangsari di semua zona agroklimat. Pilihan ini diambil untuk mengurangi tingkat resiko kegagalan produksi, menyerap tenaga kerja yang lebih merata sepanjang tahun, meningkatkan produktivitas lahan dan efisien dalam penggunaan energi atau cahaya matahari, sehingga petani lebih memilih sistem tumpangsari atau tumpang gilir dibanding dengan monokultur. Pada sistem tumpangsari yang perlu diperhatikan adalah jenis dan komposisi tanaman, bentuk tajuk, umur tanaman serta aspek fisiologis yang berkaitan dengan penyerapan unsurhara tanaman, agar tidak terjadi kompetisi dan produktivitas lahan dapat dioptimalkan. Salah satu cara untuk membandingkan tingkat efisiensi lahan yaitu dengan indikator efisiensi penggunaan lahan atau Nilai Kesetaraan Lahan (NKL).

Produktivitas lahan usahatani, baik yang terbuka maupun pada sistem agroforestri dapat diketahui dengan mengetahui NKL dari tanaman yang diusahakan. Nilai dari NKL dapat mengetahui produktivitas lahan yang ditanam secara monokultur dan tumpangsari. Jika hasil analisis diperoleh nilai NKL lebih besar 1 (> 1), menunjukkan bahwa pola tanam tumpangsari lebih produktif dibandingkan monokultur. Produksi yang dihasilkan dari pertanaman dengan pola tumpangsari setara dengan produksi yang dihasilkan pada pola tanam monokultur dengan luasan yang lebih besar. Hal ini juga menunjukkan bahwa pola tumpangsari lebih produktif dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Semakin tinggi nilai NKL maka keuntungan pola tanam tumpangsari juga akan meningkat (Chozin 2006; Sasmita et al. 2006; Suwarto et al. 2005).

80 Tabel 13. Produksi tanaman wortel dan tomat dengan sistem monokultur dan

tumpangsari pada sietem agroforestri di zona agroklimat A Perlakuan Zona Agroklimat A NKL Produksi (ton/ha) N0 N2 N0 N2 Monokultur Wortel 6.80 5.83 Tomat 8.80 7.33 Tumpangsari Wortel +Tomat 1.55 1.59 Wortel 3.13 2.33 Tomat 4.05 2.93

Penanaman tanaman semusim di bawah tegakan, merupakan hasil seleksi dari beberapa tanaman semusim yang mempunyai tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap penutupan kanopi tanaman/naungan. Komposisi dan jenis tanaman penyusun agroforestri yang diterapkan disemua zona agroklimat, merupakan yang komposisi dan jenis tanaman semusim yang paling produktif dibandingkan dengan lainnya. Komposisi dan jenis tanaman penyusun agroforestri yang paling produktif masing-masing zona agroklimat adalah zona A: wortel + tomat, zona B: talas +cabai rawit dan zona C adalah talas dan jagung.

Sistem agroforetsri pada zona agroklimat A, umumnya didominasi antara tanaman tahunan/kehutanan dengan tanaman semusim yang cepat dipanen, baik yang ditanam secara monokultur maupun tumpangsari. Tanaman semusim yang dominan ditanam dan memberikan nilai ekonomi lebih produktif dalah kombinasi dari tanaman wortel, tomat, kubis dan bawang daun. Diantara tanaman tersebut maka kombinasi pola tanam tumpangsari antara wortel dan tomat, merupakan kombinasi tanaman yang paling sesuai, dengan NKL pada perlakuan N0 = 1.55 dan N2 = 1.59 (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa pertanaman dengan tumpangsari wortel dan tomat pada sistem agroforestri lebih produktif dilakukan jika hanya ditanam dengan masing-masing monokultur.

81 Tanaman wortel dan tomat merupakan tanaman yang cocok pada dataran tinggi dengan sistem monokultur dan tumpang sari, baik ditempat terbuka maupun di bawah tegakan atau naungan. Walaupun kedua komoditi tersebut diusahakan dengan sistem agroforestri namun hasil yang diperoleh menunjukkan dapat memberikan nilai ekonomi yang cukup baik bagi masyarakat. Penanaman ganda dapat menghasilkan produksi total tanaman yang diusahakan itu lebih besar dari pada produksi masing-masing tanaman tunggalnya, meskipun produksi salah satu atau seluruh tanaman yang diusahakan itu lebih rendah daripada produksi masing-masing tanaman tunggalnya. Berkurangnya kompetisi intra dan interspesies sehingga cahaya, unsur hara, dan air, dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pembentukan organ- organ tanaman. Kombinasi dan sistem pertanaman yang tepat dapat meningkatkan produktivitas lahan, (Mugnisjah dan Setiawan 1990; Sitompul dan Guritno 1995 )

Tabel 14. Produksi tanaman talas dan cabai rawit dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforestri di zona agroklimat B

Perlakuan Zona Agroklimat B NKL Produksi (ton/ha) N0 N2 N0 N2 Monokultur Talas 2.14 1.84 Cabai rawit 2.66 2.44 Tumpangsari Talas + Cabai rawit 1.65 1.64 Talas 0.98 0.74 Cabai rawit 1.19 0.89

Pola tanam agroforestri dengan sistem tumpangsari pada zona agroklimat B dan C (Tabel 14 dan 15), hampir sama dengan zona agroklimat A, nilai NKL lebih dari 1 ( >1). Pada zona B tumpangsari talas dan cabai rawit menghasilkan nilai NKL pada perlakuan N0 = 1.65 dan N2 = 1.64. Pada zona agroklimat C, tanaman talas termasuk juga kombinasi yang produktif untuk diusahakan dan toleran naungan. Nilai NKL tumpangsari talas dan jagung pada perlakuan N0= 2.20 dan N0 = 2.27.

82 Sistem agroforestri pada semua zona agroklimat dengan nilai NKL > 1, menunjukkan bahwa pola tumpangsari lebih produktif dibanding monokultur. Kondisi DAS Ciliwung hulu yang didominasi oleh lahan dengan kelerengan yang sedang hingga cukup tinggi, sangat memungkinkan penerapan sistem tumpangsari. Penutupan tanah oleh vegetasi tanaman yang lebih rapat dan waktunya yang lebih lama diharapkan bisa mempertahankan tingkat kesuburan tanah dan dapat menambah unsur hara dari sisa brangkasan tanaman setelah panen. Vegetasi tanaman mempunyai peranan yang sangat besar untuk penekanan erosi tanah dan laju aliran permukaan. Hasil produksi tanaman dengan sistem agroforestri dapat dijual dan tersedianya dana investasi bagi petani maka pengembangan pola usaha agroforestri ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Beberapa hasil penelitian telah dilakukan membuktikan bahwa sistem agroforestri atau tumpang sari tanaman kehutanan dan pertanian memiliki kontribusi nyata tidak saja terhadap subsistensi tanaman pangan, tetapi juga terhadap peningkatan pendapatan nyata yang diterima masyarakat.

Tabel 15. Produksi tanaman talas dan jagung dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforestri di zona agroklimat C

Perlakuan Zona Agroklimat C NKL Produksi (ton/ha) N0 N2 N0 N2 Monokultur Talas 2.20 1.89 Jagung 2.00 1.67 Tumpangsari Talas + Jagung 2.20 2.27 Talas 1.02 0.76 Jagung 9.20 0.69

83 Analisis finansial usahatani agroforestri di DAS Ciliwung

DAS Ciliwung Hulu adalah daerah dengan topografi terjal, dengan rata- rata kemiringan 20-40 % dan curah hujan tinggi. Produktifitas lahan dan pendapatan petani tergolong rendah. Sistem agroforestri diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya pendapatan di DAS Ciliwung. Kajian usaha agroforestri ini bertujuan untuk mendapat informasi potensi pengembangan pola usaha agroforestri pada beberapa zona agroklimat.

Sebagian besar lahan yang diusahakan petani di DAS hulu Ciliwung adalah lahan sewa atau guna pakai dari pemiliknya dan hanya sebagian kecil yang merupakan tanah milik sendiri. Tanaman tahunan yang diusahakan umumnya sudah berusia diatas 5 tahun, dan beberapa diantara sudah ditebang untuk dijual. Keuntungan diperoleh dari hasil tanaman kayu mindi, albizia maupun kayu manis dan tanaman semusim lainnya, digunakan untuk kebutuhan hidup.

Pada zoan agroklimat A, sistem pertanaman cukup intensif dan bisa mencapai 3-4 kali tanam dalam satu tahun, atau IP 400, sedangkan pada zona iklim B daan C, sistem penanaman dilakukan 2 – 3 kali setahun. Tanaman tahunan disamping bisa diperoleh hasilnya pada periode tertentu yaitu 3 -7 tahun kemudian, juga berfungsi disamping sebagai tanaman konservasi lahan Kemiringan lahan yang diusahakan petani bisa mencapai 40%, sehingga sangat rentan terhadap erosi dan kerusakan lahan.

Keuntungan mulai diperoleh pada tahun ketiga pada saat pohon kayu manis, albizia maupun kayu mindi mulai dapat ditebang (penjarangan) secara bertahap. Hasil penelitian Yuhono dan Rosmeilisa (1996) juga membuktikan bahwa potensi pola usaha agroforestri antara tanaman kehutanan (jati) dengan tanaman selain pangan seperti iles-iles dapat menyumbangkan pendapatan Rp 649.999/ ha/tahun atau Rp.54.167/bulan, dan iles-iles layak ditanam dibawah tanaman hutan dengan indikator NPV Rp.238.791,-/ (+), B/C 2,11 (>1) dan IRR 50 % (lebih tinggi dari bunga bank).

84 Analisis finansial agroforestri kayu manis + wortel + tomat (Zona A)

Biaya pengembangan agroforestri zona A terdiri dari biaya pupuk, biaya bibit, biaya pengolahan tanah, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya panen. Pendapatan yang dihasilkan dari agroforestri ini adalah hasil panen dari tanaman semusim berupa tomat dan wortel serta kayu manis. Pendapatan dari tanaman tomat dan wortel sudah bisa diperoleh pada tahun pertama sedangkan pendapatan dari kayu manis, diperoleh pada tahun ke-4 dan Tahun ke-7.

Analisis kelayakan investasi menggunakan tiga kriteria berupa Net Present Value (NPV), Internal Rate of return (IRR), dan Net Benefit Cost (Net B/C) menghasilkan kesimpulan layak untuk tiga skenario pola usahatani pada zona A. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Manis + Wortel berturut-turut sebesar Rp. 7.637.488, 2,57, 43 persen. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Manis + Tomat berturut-turut sebesar Rp. 7.716.048, 2,34, 40 persen. Nilai NPV, BCR dan IRR pada pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat berturut-turut sebesar Rp 9.101.318, 2,89, 49 persen (Tabel 16). Tabel 16. Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat A

Pola Agroforestri

NPV BCR IRR

Kayu Manis + Wortel 7.637.488 2,57 43% Kayu Manis + Tomat 7.716.048 2,34 40% Kayu Manis + Wortel + Tomat 9.101.318 2,89 49%

Pada hasil analisis kelayakan pada zona A terlihat pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya. Oleh karena itu, pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat lebih direkomendasikan untuk dikembangkan pada agroforestri zona A. Pola usahatani ini dipilih karena menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya.

85 Analisis Kelayakan agroforestri kayu Albizia + Talas + cabai rawit (Zona B)

Pola usahatani pada zona agroklimat B untuk pengembangan Agroforetri diperlukan pada lahan dengan luasan 0,5 ha – 1 ha. Umur kegiatan analisis usahatani diasumsikan selama 7 tahun. Pola usahatani yang diusahakan menggunakan 3 skenario yaitu: Kayu Albizia + Cabai Rawit, Kayu Albizia + Talas dan Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas.

Biaya pengembangan agroforestri zona B terdiri dari biaya pupuk, biaya bibit, biaya pengolahan tanah, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya panen. Pendapatan yang dihasilkan dari agroforesti ini adalah hasil panen dari tanaman semusim berupa cabai rawit dan talas serta kayu Albizia. Pendapatan dari tanaman cabai rawit dan talas sudah bisa diperoleh pada tahun pertama sedangkan pendapatan kayu Albizia diperoleh pada tahun ke 4 dan Tahun ke-7.

Analisis kelayakan investasi menggunakan tiga kriteria berupa Net Present Value (NPV), Internal Rate of return (IRR), dan Net Benefit Cost (Net B/C) menghasilkan kesimpulan layak untuk 3 skenario pola usahatani pada zona B. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit berturut-turut sebesar Rp. 8.107.529, 2,81, 51 persen. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Albizia + Talas berturut-turut sebesar Rp. 7.264.763, 2,78, 49 persen. Nilai NPV, BCR dan IRR pada usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas berturut-turut sebesar Rp 10.865.887, 2,96, 52 persen (Tabel 17), Tabel 17 Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat B

Pola

Agroforestri NPV BCR IRR

Kayu Albizia + Cabai Rawit 8.107.529 2,81 51%

Kayu Albizia + Talas 7.264.763 2,78 49%

Kayu Albizia + Cabai Rawit+ Talas 10.865.887 2,96 52% Pada hasil analisis kelayakan pada zona B terlihat pola usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya. Oleh karena itu, pola usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas lebih direkomendasikan untuk dikembangkan pada agroforestri zona B. Pola usahatani ini dipilih karena menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya.

86 Analisis Kelayakan agroforestri kayu mindi + talas + jagung (Zona C)

Biaya pengembangan agroforestri zona C terdiri dari biaya pupuk, biaya bibit, biaya pengolahan tanah, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya panen. Pendapatan yang dihasilkan dari agroforesti ini adalah hasil panen dari tanaman semusim berupa jagung dan talas serta kayu Mindi. Pendapatan dari tanaman cabai rawit dan talas sudah bisa diperoleh pada tahun pertama sedangkan pendapatan dari kayu Mindi baru bisa diperoleh pada tahun ke 4 dan Tahun ke 7.

Analisis kelayakan investasi menggunakan tiga kriteria berupa Net Present Value (NPV), Internal Rate of return (IRR), dan Net Benefit Cost (Net B/C) menghasilkan kesimpulan layak untuk 3 skenario pola usahatani pada zona C. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Mindi + Jagung berturut- turut sebesar Rp. 7.295.898, 2,86, 53 persen. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Mindi + Talas berturut-turut sebesar Rp. 6.617.161, 2,74, 48 persen. Nilai NPV, BCR dan IRR pada pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas berturut-turut sebesar Rp 8.849.687, 2,93, 57 persen (Tabel 18).

Tabel 18. Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat C Pola

Agroforestri NPV BCR IRR

Kayu Mindi + Jagung 7.295.898 2,86 53% Kayu Mindi + Talas 6.617.161 2,74 48% Kayu Mindi + Jagung +Talas 8.849.687 2,93 57% Pada hasil analisis kelayakan pada zona C terlihat pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya. Oleh karena itu, pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas lebih direkomendasikan untuk dikembangkan pada agroforestri zona C. Pola usahatani ini dipilih karena menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya.

Hasil pengamatan penggunaan lahan petani atau masyarakat telah menanam tanaman tahunan yang berfungsi sebagai penahan air mencegah erosi dan tanaman pangan untuk kebutuhan konsumsi, namun komposisinya belum

87 berimbang, proporsi tanaman tahunan masih relatif kecil untuk pencegahan erosi dan mempertahankan produktivitas lahan.

Rata-rata produktifitas tanaman semusim pada beberapa zona agroklimat, masih menunjukkan hasil yang bervariasi, seperti pada zona agroklimat A, produksi tanaman tomat sekitar 18 – 25 ton/ha dan wortel 15 – 22 ton/per hektar. Pada zona B, produksi talas juga bervariasi mulai 8 – 12 ton/ha, cabai rawit 20 – 24 ton /ha. Sedangkan pada zona agroklimat C, produksi jagung manis 15-22 ton/ha dan ubi jalar berkisar 22- 27 ton/ha.

Hasil panen pada umumnya dijual dan sebagian dikonsumsi sendiri. Masih bervariasinya produktifitas bukan hanya kurang suburnya lahan, tetapi karena kurangnya modal untuk usaha tani, sehingga tidak dilakukan pemeliharaan yang baik seperti melakukan pemupukan sesuai anjuran, pemilihan varietas unggul dan pemberantasan hama penyakit. Kepemilikan lahan petani relatif rendah yaitu 0,25 ha. Hasi kajian teknis maupun ekonomis beberapa alternatif pola usaha agroforestri ini menunjukkan terbukanya potensi pengembangan pola usaha agroforestri untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang ada DAS Ciliwung seperti rendahnya produktifitas tanah, konservasi tanah, dan peningkatan pendapatan petani secara berkesinambungan dengan memperhatikan faktor penambahan modal bagi petani. Adanya lembaga keuangan dan kemitraan dengan usahawan dapat menjaga jaminan pasar dan penerapan teknologi yang baik.

Berdasarkan hasil pengamatan, di DAS Ciliwung hulu hutan rakyat didominasi oleh kebun campuran, yaitu lahan yang ditanami campuran tanaman kehutanan misalnya mindi (Melia azedarach), sengon (Paraserianthes falcataria), dan kayu afrika (Maesopsis emenii), holtikultura tahunan misalnya pepaya (Carica papaya), pisang (Musa sp.), pala (Myristica fragrans), dan holtikultura semusim misalnya nanas (Ananas comosus), kunyit (Curcuma domestica), singkong (Manihot sp). Hutan murni pada umumnya masuk dalam kawasan hutan milik negara, sedangkan semak atau belukar kebanyakan juga ditemukan dalam kawasan hutan negaraKawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung hulu sebagian besar merupakan hutan lindung.

88 Produksi hutan rakyat di DAS Ciliwung hulu, seperti halnya hutan rakyat pada umumnya di Pulau Jawa, diperoleh dari tanaman tahunan yang tumbuh dalam bentuk hutan murni, kebun-kebun campuran atau hutan belukar. Pada zona agroklimat A, sekitar 60.58 % petani mengusahakan tanaman semusim dengan sistem agroforestri, dengan satu jenis tanaman dan 39.42 menanam dengan pola multicropping di bawah tegakan tanaman kehutanan. Zona agroklimat B, bmerupakan zona peralihan antara zona A dan C, sehingga pola agroforestri yang diusahakan merupakan kombinasi keduanya. Sedangkan pada zona agroklimat C, sekitar 58.65 % masyarakat yang mengusahakn agrofeesri sederhana (multiplecropping) dan 41.35% dengan hanya mengusahakan satu satu tanaman di bawah tegakan/monokultur.

89 SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Produktivitas tanaman yang ditanam secara agroforestri dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Pola agroforestri secara teknis mudah dilaksanakan dan berdasarkan proporsi, komposisi dan jenis tanaman sesuai dengan kondisi zona agroklimat.

2. Nilai ratio kesetaraan lahan (NKL) lebih produktif pada sistem tumpangsari (lebih dari satu tanaman di bawah tegakan kayu) dibanding denfgan sistem tunggal (monoculture). Sistem agroforestri pada tiga zona agroklimat (A, B, C), di DAS Ciliwung hulu layak secara teknis maupun ekonomis berdasarkan indikator nilai kesetaraan lahan (NKL) dan analisis kelayakan ekonomi. 3. Hasil analisis finansial pada zona A terlihat pola usahatani Kayu Manis +

Wortel + Tomat adalah yang terbaik dengan NPV Rp 9.101.318, BCR = 2.89 dan IRR 49%. Pada zona B terlihat pola agroforetri Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya, yaitu NPV Rp. 10.865.887, BCR= 2.96 dan IRR= 52%. Hasil analisis kelayakan pada zona C terlihat pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dengan NPV= Rp. 8.849.687, BCR 2.93 dan IRR = 57%.

90 PEMBAHASAN UMUM

Pada daerah aliran sungai (DAS) pengembangan sistem usahatani diarahkan kepada pengelolaan lahan yang mempunyai efek ganda terhadap keberlanjutan lingkungan. Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Berdasarkam penggunaan lahan di DAS secara garis besar dikelompokkan menjadi : hutan, tegalan, perkebunan sawah, permukiman dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umunya didasarkan pada karakteriktik lahan dan daya dukung lingkungannya.

Pemanfaatan lahan kering di DAS Ciliwung Hulu cukup potensial jika dilakukan pengelolaan dengan memperhatikan kaidah keseimbangan dan keberlanjutan. Pengelolaan lahan yang dilakukan di DAS bagian hulu, umumnya sangat intensif, sehingga peningkatan erosi tanah dan tingkat pencemaran air akibat pemanfaatan pupuk dan pestisida yang cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah hulu, pemanfaatan lahan pada satu tahun periode tanam, dapat dilakukan 3-4 kali (zona agroklimat A), sedangkan pada zona agroklimat B dan C dilakukan penanaman sebanyak 2-3 kali. Beberapa tanaman kehutanan/tegakan yang ada di kawasan hulu, umumnya adalah hutan rakyat yang jumlah tegakannya sangat terbatas, terutaman pada kemiringan lereng 20-30%.

Terbatasnya tegakan tanaman hutan yang homogen (membentuk ekosistem hutan) di kawasan hulu akan berpengaruh terhadap kurang berkembangnya pelaksanaan konservasi air dan tanah. Hasil penelitian pendahuluan, untuk menentukan lokasi penelitian dengan titik sampel yang homogen cukup sulit dilakukan, karena sangat terbatasnya lokasi kawasan hutan. Pengamatan pada tiga zona agroklimat (Tabel 5), tanaman kehutanan yang masih cukup signifikan jumlahnya adalah kayu manis (Cinamomum burmanii), pinus (Pinus merkusii), kayu afrika (Maesopsis eminii), damar (Agathis damara), albizia (Paraserianthes falcataria (L.), dan mindi (Melia azedarach). Tanaman kehutanan tersebut, sangat sedikit yang dijumpai dalam jumlah yang homogen, umumnya hanya merupakan tegakan yang menyebar, terutaman pada zona A

91 dan B, sedangkan pada zona C umumnya kebun campuran atau sistem agroforetri kompleks.

Pengembangan sistem agroforestri di kawasan DAS merupakan alternatif sistem usaha tani yang dapat dikembangkan dengan memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Beberapa tanaman semusim yang berpotensi untuk dikembangkan secara agroforestri adalah Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L, Daucus carota L., Ipomea batatas (L.) Lam, Lycopersicon esculentum Mill, Phaseolus vulgaris dan Zea mays L. Saccharata (Tabel 6). Hasil analisis iklim mikro dan produksi tanaman semusim, tanaman yang paling sesuai ditanam dengan pola agroforestri di zona A adalah Lycopersicon esculentum Mill , Zona A dan B adalah Colocasia esculenta L, di zona B dan C adalah Capsicum frutescens L., sedangkan pada zona C adalah Zea mays L. Saccharata.

Tanaman semusim tersebut di atas, merupakan hasil seleksi dari beberapa jenis tanaman yang banyak diusahakan di DAS hulu. Tanaman tersebut cukup toleran terhadap rendahnya intensitas radiasi surya yang diteruskan oleh tanaman kehutanan atau tegakan. Hal ini tercermin dari produksi yang dihasilkan masih cukup signifikan, walaupun tingkat penutupan tajuk tanaman sekitar 20-40%.

Hasil analisis iklim mikro menunjukkan bahwa perbedaan zona agroklimat pada DAS hulu Ciliwung menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karaktek iklim mikro dibawah tegakan tanaman tahunan dan karakter fisiologi tanaman (Tabel 7). Sistem agroforestri merupakan salah satu sistem pertanaman yang mampu menjaga kelestarian lingkungan. Sistem ini baik dikembangakan karena mempunyai manfaat dari segi pelestraian, keanekaragaman jenis (biodiversity), unsurhara (biogeokimia), fisik tanah, serta peningkatan tingkat pendapatan masyarakat. Pencapaian sistem ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan faktor lingkungan fisik, sosial-ekonomi dan teknologi secara

Dokumen terkait