• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi serta Laboratorium Bioindustri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni – November 2010.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan-bahan yang digunakan antara lain empulur sagu, bakteri isolat lokal penghasil enzim selulase (Bakteri isolat J) dan penghasil enzim xilanase (Streptomyces 234P-16) koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, media untuk isolasi: Yeast Malt Extract Agar (YMEA), Yeast Glucose Chloramphenicol (YGC), Potato Dextose Agar (PDA), Potato Dextose Broth (PDB), nutrien untuk produksi biotenol (NPK dan ZA), glukosa, xilosa, bufer sitrat dan fosfat, ekstrak khamir, agar-agar, xilan oatspelt, reagen DNS, akuades, kapas, tissue, dan alkohol 96%.

Alat

Peralatan yang digunakan antara lain Hammer mill, Microwave oven merk SHARP tipe R-348 C dengan output 1000 W, Reaktor untuk produksi bioetanol, Gas Chromatography serta instrumen dan peralatan gelas.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam empat tahap yang meliputi (1) isolasi dan seleksi khamir, (2) penyiapan enzim, (3) hidrolisis empulur sagu dan (4) produksi bioetanol. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir penelitian Isolasi dan Seleksi Khamir

Isolasi khamir dilakukan terhadap 5 macam buah yang telah membusuk yaitu apel, melon, nenas, pepaya dan semangka yang berasal dari toko buah lokal. Isolasi dilakukan dengan menimbang 1 g sampel buah-buahan secara aseptis. Kemudian dibuat serial pengenceran hingga 10-4 dalam larutan fisiologis NaCl 0.85%. Sebanyak 1 ml sampel dari serial pengenceran 10-3 dan 10-4 diinokulasikan pada media YMEA (yeast malt extract agar) pada suhu ruang selama 48 jam. Koloni yang tumbuh kemudian diisolasi kembali dari mikroba lain dengan cara menginokulasi pada mediaYGC (yeast glucose chloramphenicol) yang diperkaya tetrasiklin. Inkubasi dilakukan selama 48 jam pada suhu ruang. Koloni khamir

Pre-treatment (Pemanasan konvensional

dan microwave) Pengeringan dan pengecilan

ukuran (32 mesh)

Produksi enzim selulase dan xilanase dari isolat

lokal

Empulur sagu

Analisis total gula, gula pereduksi, serat (mikroskopis) Hidrolisis menggunakan

konsorsium enzim (72 jam) )

Fermentasi (pH 5, 30°C, 120 rpm, 72 jam )

Analisis total gula, gula pereduksi, derajat polimerisasi Khamir isolat unggul Analisis proksimat dan komponen serat

Isolasi pada YMEA

Isolasi pada YGC + tetrasilkin

Seleksi pada substrat glukosa (10%) dan glukosa-xilosa (1:1)

Etanol Apel, pepaya,

semangka, melon dan nenas busuk

Likufikasi dan sakarifikasi enzimatis

Analisis total gula, gula pereduksi dan serat (mikroskopis)

Analisis parameter fermentasi dan kadar etanol (GC)

15

kemudian dimurnikan dengan teknik kuadran hingga diperoleh isolat koloni tunggal dan dipindahkan pada media PDA (potato dextrose agar).

Isolat khamir yang diperoleh kemudian diseleksi berdasarkan kemampuannya mengkonsumsi substrat dengan cara memfermentasikan isolat khamir pada media yang mengandung glukosa (10%) dan campuran glukosa-xilosa (1:1) selama 72 jam kemudian diuji kinerjanya melalui analisis perubahan total gula dan gula pereduksi, pembentukan volume CO2

Penyiapan Enzim

dan kadar etanol yang dihasilkan dengan GC (Gas Chromatography). Prosedur analisis total gula dan gula pereduksi disajikan pada Lampiran 1.

Produksi Enzim Xilanase

Produksi enzim xilanase dilakukan berdasarkan hasil penelitian Meryandini et al. (2008), yaitu dimulai dengan kultivasi Streptomyces 234P-16 pada media agar xilan 0.5% selama 5 hari pada suhu ruang. Komposisi media agar-agar xilan terdiri atas xilan 0.5 %; sukrosa 10.3 %; ekstrak khamir 1%; dan agar-agar 2%. Setelah itu dilakukan inokulasi 2 cockborer koloni pada media xilan cair. Inkubasi dilakukan menggunakan shaker selama 5 hari pada suhu 28 o

Produksi Enzim Selulase

C. Ekstrak kasar enzim dipanen dengan sentrifugasi pada 240 rpm selama 5 menit. Aktivitas enzim ditentukan berdasarkan pembentukan gula sederhana (xilosa) yang diuji menggunakan metode DNS (Miller 1959). Prosedur analisis gula sederhana metode DNS disajikan pada Lampiran 1.

Produksi enzim xilanase dilakukan berdasarkan hasil penelitian Meryandini et al. (2009) yaitu dengan menumbuhkan Bakteri Isolat J pada media agar-agar CMC dengan komposisi CMC 1%; MgSO47H2O 0.02%; KNO3 0.075%; K2HPO4 0.05%; FeSO47H2O 0.002%; CaCl2 0.004%; ekstrak khamir 0.2%; glukosa 0.1%; dan agar 2%. Pengkulturan isolat dilakukan selama 2 hari pada suhu 30 oC. Sebanyak 1-2 loop bakteri diinokulasikan dalam 100 ml media CMC cair selama 2 hari pada suhu ruang. Ekstrak kasar enzim dipanen dengan sentrifugasi pada 240 rpm selama 5 menit dan diuji aktivitasnya sebagai CMC-ase. Prosedur analisis aktivitas selulase disajikan pada Lampiran 2.

Hidrolisis empulur sagu

a. Pre-treatment (perlakuan pendahuluan) empulur sagu

Sebelum pre-treatment, bahan baku berupa empulur sagu terlebih dahulu diparut dan dikeringkan dengan sinar matahari kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven pada suhu 50 o

Pre-treatment dilakukan pada 50 ml empulur sagu dengan konsentrasi 8% melalui pemanasan konvensional (105

C selama 24 jam dan digiling hingga berukuran 35 mesh. Komponen kimia empulur sagu dianalisis sebagai komponen proksimat (air, abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat) dan komponen serat (hemiselulase, selulase, lignin). Prosedur analisis proksimat dan komponen serat disajikan pada Lampiran 3.

o

b. Likuifikasi

C, 15 menit) atau pemanasan microwave pada power level 50% (500 W) selama 2 menit (Derosya 2010). Perubahan komposisi karbohidrat akan dianalisis dengan total gula, gula pereduksi (Miller 1959) dan derajat polimerisasi hidrolisat pati. Perubahan pada struktur pati dan serat dianalisis dengan pengamatan mikroskopik. Prosedur analisis total gula dan gula pereduksi disajikan pada Lampiran 1.

Proses likuifikasi dilakukan dengan menambahkan enzim α-amilase komersial (thermamyl) menurut metode dari penelitian sebelumnya yaitu 1.75 U/g (Akyuni 2004) kemudian diinkubasi selama 3 jam pada suhu 95 o

c. Sakarifikasi

C. Perubahan komposisi karbohidrat akan dianalisis dengan total gula, gula pereduksi (Miller 1959) dan derajat polimerisasi hidrolisat pati.

Pada tahap ini ditentukan kondisi sakarifikasi empulur sagu yang telah mengalami pre-treatment. Proses sakarifikasi dilakukan dengan menambahkan konsorsium 3 enzim yaitu amiloglukosidase komersial (dextrozyme) 0.3 U/g, selulase 1 U/g dan xilanase 1 U/g pada suhu 60 oC. Proses berlangsung selama 120 jam dan perubahan komposisi karbohidrat akan dianalisis dengan total gula, gula pereduksi (Miller 1959) dan derajat polimerisasi hidrolisat pati. Perubahan pada struktur pati dan serat dianalisis dengan pengamatan mikroskopik. Prosedur analisis total gula, gula pereduksi dan derajat polimerisasi disajikan pada Lampiran 1.

17

Produksi Bioetanol

Produksi etanol menggunakan khamir isolat unggul hasil isolasi dengan menggunakan produk sakarifikasi yang dihasilkan dari tahap sebelumnya dan diperkaya dengan pupuk (NPK dan ZA). Fermentasi berlangsung secara tertutup tanpa aerasi. Desain peralatan untuk proses fermentasi disajikan pada Gambar 8. Evolusi CO2 yang dilepaskan dari sistem diukur dan dihitung sebagai laju pembentukan gas per 6 jam selama 12 jam pertama dan dilanjutkan per 12 jam hingga 72 jam. Setelah 72 jam, kultur ditetapkan pHnya, kandungan total gula residu (Dubois et al. 1956), gula pereduksi (Miller 1959), total asam (titrasi asam), dan parameter fermentasi seperti Yp/s (perolehan g produk per g substrat) dan ∆S/S (penggunaan substrat). Konsentrasi etanol ditentukan dengan Gas Chromatography (GC). Prosedur analisis total gula, gula pereduksi, total asam dan parameter fermentasi disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 8 Sistem fermentasi dalam labu Erlenmeyer menggunakan labu leher angsa.

waterbath shaker labu leher angsa

H2SO4 pekat

selang plastik bak plastik

sumbat karet

Isolasi dan seleksi khamir isolat unggul

Proses ini diawali dengan mengisolasi khamir dari 5 macam buah yang mengandung air dan gula sederhana dalam jumlah tinggi yaitu apel, melon, nenas, pepaya dan semangka yang telah membusuk dengan asumsi bahwa proses pembusukan diakibatkan oleh khamir. Gambar 9 berikut adalah kondisi buah yang digunakan sebagai sumber isolat.

Gambar 9 Buah-buahan busuk sebagai sumber isolat. (a) apel, (b) melon, (c) nenas, (d) pepaya, (e) semangka.

Buah-buahan merupakan bahan pangan yang mengandung glukosa cukup tinggi sehingga khamir dapat tumbuh optimal dalam gula sederhana seperti glukosa maupun gula kompleks disakarida yaitu sukrosa. Lathar et al. (2010) menyatakan bahwa khamir dapat diisolasi dari berbagai sumber alami seperti daun, bunga dan buah. Kerusakan buah-buahan akibat benturan dapat menyebabkan kerusakan struktur jaringan pada buah, sehingga menjadi inang yang tepat bagi khamir untuk tumbuh. Kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan khamir ditandai dengan terbentuknya bau asam dan bau alkohol,

(a) (b) (c)

20

serta terbentuknya lapisan pada permukaan, misalnya kerusakan pada sari buah (D’Mello 2003). Akibat dari pertumbuhan khamir tersebut buah-buahan mengalami kebusukan.

Isolasi khamir dari buah dilakukan menggunakan media YMEA (Yeast Malt Extract Agar) pada suhu 30 oC selama 48 jam hingga diperoleh 23 isolat. Gambar 10 berikut merupakan isolat khamir yang tumbuh pada media YMEA.

Gambar 10 Pertumbuhan isolat dari buah pada media YMEA. (a) apel, (b) melon, (c) nenas, (d) pepaya, (e) semangka.

Isolat yang diperoleh kemungkinan merupakan campuran beberapa jenis mikroba seperti khamir, bakteri atau kapang karena YMEA merupakan media umum untuk pertumbuhan khamir. Lathar et al. (2010) juga melakukan isolasi khamir dari 17 jenis buah pada media MYPG (malt extract 0.3%, yeast extract 0.3%, peptone 0.5%, glucose 1%, agar 3%) pH 6.5, suhu 26 o

Bervariasinya isolat yang diperoleh menyebabkan perlunya dilakukan isolasi khamir dari mikroba lain. Isolasi ini dilakukan dengan menumbuhkan isolat pada media YGC (Yeast Glucose Chloramphenicol) yang diperkaya C selama 48 jam. Isolat yang diperoleh bukan hanya khamir tetapi juga terdapat kapang dan bakteri. Hal ini terjadi karena kadar gula dan air yang tinggi pada buah-buahan menjadi pendukung bagi pertumbuhan mikroba selain khamir.

(a) (b)

tetrasiklin (Lampiran 4). Pertumbuhan isolat pada media YGC yang diperkaya tetrasiklin juga cukup bervariasi, beberapa isolat dapat tumbuh dengan baik dan beberapa yang lain tidak tumbuh (Gambar 11). Isolat yang tidak tumbuh diduga bakteri atau jamur karena tidak mampu tumbuh pada media yang mengandung kloramfenikol dan tetrasiklin yang berfungsi sebagai antibiotik.

Gambar 11 Pertumbuhan isolat khamir dari buah busuk pada media YGC yang diperkaya tetrasiklin (0.05 g/l).

Dari hasil isolasi didapatkan 12 isolat dengan ciri-ciri terlihat pada Lampiran 5. Isolat ini kemudian dimurnikan dan diseleksi berdasarkan kemampuannya menggunakan substrat glukosa dan campuran glukosa-xilosa (1:1). Fermentasi dilakukan Selama 72 jam pada suhu 30 o

Tabel 6 Hasil pengukuran konsumsi substrat dan kadar etanol pada fermentasi menggunakan gula murni

C sehingga diperoleh 4 isolat dengan persentase penggunaan substrat terbesar (Tabel 6).

% Penggunaan substrat Kadar etanol (%)

Isolat Glukosa Glukosa-xilosa Glukosa Glukosa-xilosa

MP 60.9 36.0 2.49 1.58

H 64.2 27.7 3.13 1.51

SB 71.1 48.2 1.68 1.14

K 65.9 32.8 1.09 1.32

Dari hasil seleksi terlihat bahwa isolat MP dan H menghasilkan etanol dua kali lebih besar pada substrat glukosa dibandingkan campuran glukosa-xilosa. Hal ini diduga bahwa kedua isolat hanya mampu mengkonversi glukosa saja pada substrat campuran. Isolat SB dan K menghasilkan etanol dalam kadar tidak jauh berbeda baik pada substrat glukosa maupun campuran glukosa-xilosa. Hal ini

Isolat tumbuh

Isolat tidak tumbuh

22

diduga bahwa kedua isolat tersebut mampu menggunakan kedua jenis substrat. Isolat khamir yang mampu mengkonversi xilosa juga dilaporkan oleh Rao et al. (2008) yang berhasil mengisolasi 374 isolat khamir dari buah-buahan dan 27 diantaranya mampu mengasimilasi xilosa.

Kemampuan khamir dalam mengkonversi substrat menjadi etanol juga dapat dilihat dari peningkatan volume CO2 yang dihasilkan selama fermentasi (Gambar 12). Berdasarkan kurva akumulasi pertambahan volume CO2 pada isolat MP dan H terlihat bahwa pertambahan volume CO2 baik pada substrat glukosa maupun campuran glukosa-xilosa menunjukkan hasil yang hampir sama. Isolat MP dan H mengkonversi substrat glukosa 5% dalam campuran glukosa-xilosa (1:1) maupun glukosa 10% menjadi etanol dengan konsentrasi yang hampir sama. Ini menunjukkan bahwa kedua isolat memiliki kemampuan penggunaan substrat yang rendah. Gambar 12 berikut adalah akumulasi pertambahan volume CO2 pada isolat MP dan H.

Gambar 12 Akumulasi pertambahan volume CO2 pada fermentasi glukosa dan glukosa-xilosa (1:1). (a) isolat MP, (b) dan isolat H.

(b) (a)

Pengamatan CO2

C

yang terbentuk selama proses fermentasi oleh kedua isolat merupakan pendekatan untuk mengetahui kadar etanol secara tidak langsung berdasarkan reaksi fermentasi berikut:

6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Dari persamaan reaksi tersebut dapat dijelaskan bahwa kadar etanol yang dihasilkan oleh glukosa setara dengan kadar CO2 yang dihasilkan. Pengamatan terhadap volume CO2 yang dihasilkan selama fermentasi juga dilakukan oleh Bonciu et al. (2010). Perubahan CO2 tersebut secara tidak langsung digunakan untuk menentukan kadar etanol yang dihasilkan oleh isolat khamir dari hidrolisat inulin. Kadar etanol ditentukan dari volume CO2 dikalikan dengan 1.045 hasil persamaan Gay-Lussac. Secara teoritis setiap molekul glukosa diubah menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2

Pengamatan terhadap perubahan volume CO

atau dalam dasar berat 51.1% gula diubah menjadi etanol dan 48.9% diubah menjadi karbondioksida.

2 digunakan sebagai data pendukung bahwa kedua isolat mampu menghasilkan CO2 sebagai produk samping dari fermentasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedua isolat mampu menghasilkan CO2 dalam fermentasi dan diduga hasil tersebut sebanding dengan etanol yang dihasilkan karena sistem fermentasi disusun agar reaksi berlangsung secara anaerob. Seiring dengan lama fermentasi terjadi peningkatan akumulasi CO2

Pada awal fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhan, tetapi setelah terjadi akumulasi CO

yang dihasilkan hingga pada waktu tertentu peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat mampu mengkonversi gula hasil hidrolisis enzimatis menjadi etanol dan ketika substrat mulai habis terjadi penurunan laju pembentukan etanol.

2 reaksi berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol, sebagian besar melalui jalur Embden Meyerhof Parnas. Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0,51 g etanol. Pada kenyataannya etanol yang dihasilkan biasanya tidak melebihi 92-95% dari hasil teoritis karena sebagian nutrisi digunakan untuk sintesis biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping

24

juga dapat terjadi dan menghasilkan gliserol, asam asetat, asam laktat, suksinat, asetaldehid, furfural, dan 2,3-butanediol. Etanol yang dihasilkan merupakan toksin bagi sel khamir saat konsentrasinya mencapai 8-18% berat. Namun hal ini dipengaruhi jenis khamir dan kondisi metabolik dari kultur. Fermentasi oleh khamir mengalami hambatan saat konsentrasi etanol mencapai 11% volume (Glazer dan Nikaido 2007).

Penyiapan enzim.

Penelitian ini menggunakan empat jenis enzim hidrolisis dimana dua diantaranya yaitu selulase dan xilanase diperoleh dari isolat lokal hasil penelitian sebelumnya. Tabel 7 berikut menyajikan karakteristik masing-masing enzim yang digunakan.

Tabel 7 Karakteristik enzim

Jenis enzim pH optimum Suhu optimum (o Aktivitas C) (U/ml) α-amilase1) 5.2 95 1327.52 Amiloglukosidase2) 4.5 60 145 Selulase3) 6.5 60 0.057 Xilanase4) 5.0 90 0.27

Sumber: 1)Wibisono (2004), 2)Akyuni (2004), 3)Sinaga (2010), 4)

Berdasarkan karakteristik enzim di atas, pada tahap likuifikasi digunakan enzim α-amilase yang berlangsung pada suhu optimum dari α-amilase yaitu 95

Meryandini et al. (2008)

o C. Pada tahap sakarifikasi digunakan konsorsium tiga enzim yaitu amiloglukosidase, selulase dan xilanase pada suhu 60 oC. Pemilihan suhu tersebut didasarkan pada suhu optimum terendah dari ketiga enzim tersebut yaitu amiloglukosidase dan selulase pada suhu 60 oC. Enzim xilanase memiliki kestabilan pada kisaran suhu 50-75 oC, namun memiliki aktivitas 41 % dari aktivitas maksimumnya. Suhu mempengaruhi kinerja enzim dimana enzim akan bekerja optimum pada suhu optimumnya. Penurunan suhu optimum tidak menurunkan kinerja enzim sedrastis peningkatan suhu proses. Suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan aktivitas katalitik enzim dan mendenaturasi enzim (Winarno 1995).

Penggunaan amiloglukosidase dan selulase secara bersamaan akan menyebabkan rusaknya granula pati sehingga terbentuk rongga untuk penetrasi enzim. Jika hanya digunakan enzim amiloglukosidase atau selulase saja, hanya bagian permukaan granula pati yang akan diserang (Wong et al. 2007). Enzim selulase akan berperan pada awal proses yaitu menjadikan granula pati lebih terbuka sehingga amiloglukosidase berkesempatan menghidrolisis bagian dalam granula pati (Safitri et al. 2009). Selanjutnya enzim xilanase akan bekerja menghidrolisis komponen xilan pada serat menjadi xilosa sehingga meningkatkan perolehan gula-gula sederhana.

Hidrolisis empulur sagu

Perlakuan pendahuluan (pre-treatment) pada empulur sagu

Bahan baku yang berupa empulur sagu yang digunakan berasal dari industri rakyat di daerah Cihampar, Bogor dengan kadar air yang masih cukup tinggi yaitu 17.9% sehingga perlu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 o

Tabel 8 Komposisi proksimat empulur sagu

C selama 24 jam. Empulur kering kemudian dihancurkan menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh. Pengecilan ukuran pada empulur sagu dapat meningkatkan luas permukaan bahan sehingga nantinya akan mempermudah akses enzim penghidrolisis. Pati dan serat harus dikecilkan ukurannya agar dapat berinteraksi dengan air secara baik (Retno et al. 2009). Selanjutnya empulur sagu dianalisis komposisinya yang meliputi komponen proksimat dan kandungan pati seperti tersaji pada Tabel 8.

Komponen Nilai

Air (% basis basah) 3.60

Abu (% basis kering) 4.49

Lemak (% basis kering) 4.26

Serat (% basis kering) 7.84

Protein (% basis kering) 2.36

Karbohidrat (by difference) (% basis kering) 78.12

26

Empulur sagu merupakan bahan baku untuk produksi pati sagu. Dari hasil analisis proksimat diketahui bahwa empulur sagu mengandung 73% pati. Kandungan pati yang tinggi ini juga dilaporkan oleh Fujii et al. (1986) bahwa empulur sagu kering didominasi oleh pati (81.51- 84.72%), sedangkan menurut Safitri et al. (2009) tepung empulur sagu mengandung pati sebesar 57.25%. Kandungan pati pada tanaman sagu bergantung pada jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Selain pati juga terdapat komponen serat sebesar 7.84 %. Fujii et al. (1986) juga melaporkan bahwa empulur sagu kering mengandung komponen serat 3.20-4.20%, sedangkan Safitri et al. (2009) menyatakan bahwa tepung empulur sagu mengandung 31.59% serat. Serat kasar merupakan komponen yang terdiri atas dinding sel, pektin, selulosa, hemiselulosa, lignin dan pentosan. Komposisi serat pada empulur sagu disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi serat empulur sagu

Komponen Nilai

Selulosa (%) 10.36

Hemiselulosa (%) 2.24

Lignin (%) 1.40

Berdasarkan analisis komposisi serat, empulur sagu mengandung bagian selulosa terbesar yaitu 10.36% dibandingkan dengan hemiselulosa 2.24%. Selain itu, ternyata empulur sagu masih mengandung lignin sebesar 1.40% sehingga diperlukan proses pre-treatment diperlukan untuk meningkatkan akses enzim dalam melakukan hidrolisis. Akses enzim dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan lignin, menurunkan kristalinitas selulosa, meningkatkan porositas dan luas permukaan bahan (Taherzadeh dan Karimi 2008). Pre-treatment dilakukan dengan pemanasan konvensional dan pemanasan microwave. Setelah pre-treatment terjadi perubahaan pada komponen empulur. Gambar 13 berikut memperlihatkan struktur empulur sagu sebelum dan setelah pre-treatment.

Gambar 13 Struktur empulur sagu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi perbesaran 100x. (a) sebelum pre-treatment, (b) setelah pemanasan konvensional, (c) setelah pemanasan microwave.

Empulur sagu sebelum pre-treatment memperlihatkan bahwa struktur granula pati masih utuh dan serat masih kompak (Gambar 13a). Hal ini dapat dilihat dari sifat birefringence granula pati yang berwarna biru kuning dan juga warna serat yang masih biru, yang memperlihatkan sifat kristalinitasnya. Warna kehitaman pada serat merupakan komponen fenolik dari lignin. Lignin memiliki struktur yang sangat kompak dan tahan terhadap hidrolisis.

Berbeda dengan empulur sagu setelah pre-treatment (Gambar 13b dan 13c) yang memperlihatkan struktur dari granula pati yang telah mengalami gelatinisasi sehingga terjadi proses swelling yang menyebabkan hilangnya sifat birefringence pati. Pemanasan menyebabkan energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat dari daya tarik-menarik antara molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk ke dalam pati dan pati akan membengkak. Granula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula. Dalam kondisi ini granula pati akan lebih mudah diserang oleh enzim-enzim hidrolisis.

Begitu pula dengan struktur serat yang mulai rusak (kristalinitasnya menurun) sehingga menjadi lebih amorf dan menjadi lebih rentan terhadap hidrolisis. Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna biru pada serat yang mulai memudar bahkan ada yang menjadi kekuningan. Pembengkakan ukuran yang merupakan perbesaran pori akibat iradiasi gelombang mikro memungkinkan masuknya enzim dan air ke bagian lebih dalam serat dan memberikan kesempatan enzim untuk infiltarsi dan menghidrolisis serat menjadi gula sederhana (Magara dan Koshijima 1990). Pada struktur lignin juga mulai rusak dan dapat dilihat dari

28

warna hitam yang mulai menghilang setelah pretreatment. Iradiasi microwave menyebabkab pemanasan terjadi pada suhu tinggi sehingga menghasilkan karbohidrat, oligosakarida dan monosakarida serta melarutkan lignin akibat putusnya ikatan eter (β-O-4) dan lignin-karbohidrat(Tsubaki et al. 2009).

Struktur pati dan serat pada pemanasan konvensional atau microwave tidak memperlihatkan perbedaan yang jelas (Gambar 13b dan 13c). Namun menurut Palav dan Seetharaman (2006), pada pemanasan microwave granula pati akan kehilangan birefringence sebelum swelling sedangkan pada pemanasan konvensional, swelling dan kehilangan birefringence granula terjadi hampir bersamaan. Selama konduksi panas, terjadi perusakan pada susunan rantai amilopektin yang membantu swelling pada daerah amorf granula pati. Pada pemanasan microwave, pecahnya granula pati terjadi akibat gerak vibrasi molekul polar selama pemanasan. Kehilangan kristalinitas pada pemanasan microwave juga dapat terjadi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan pemanasan konvensional. Hal ini terjadi karena pemanasan microwave secara langsung akan mempengaruhi kristalinitas dan merusak susunan lamela amilopektin akibat vibrasi molekul polar selama iradiasi. Kristalinitas akan hancur sebelum membentuk transisi gelas pada daerah amorf granula sehingga tidak terjadi swelling.

Likuifikasi dan Sakarifikasi

Proses hidrolisis dapat dilakukan menggunakan asam maupun secara enzimatis. Hidrolisis menggunakan asam memiliki kelemahan karena dapat menimbulkan masalah korosi pada reaktor dan menghasilkan produk samping yang dapat menghambat produk fermentasi (Gozan et al. 2007). Hidrolisis enzimatis bersifat spesifik dan ramah lingkungan. Pada tahap likuifikasi digunakan enzim α-amilase yang akan memecah amilosa dan amilopektin pada molekul pati. Pemecahan amilosa oleh α-amilase terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi amilosa menjadi amilosa rantai pendek kemudian menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi terjadi sangat cepat dan diikuti dengan penurunan viskositas dengan cepat. Tahap kedua berjalan lambat dengan membentuk glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dengan cara

yang tidak acak. Kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang mengandung ikatan α-1,6 (Winarno 1995).

Selanjutnya hidrolisis molekul maltosa menjadi glukosa dilakukan oleh enzim amiloglukosidase. Selain mengkonversi komponen maltosa menjadi glukosa, enzim ini juga memutus ikatan α-1,6 pada dekstrin. Amiloglukosidase bekerja lebih lambat dibandingkan enzim α-amilase. Pada tahap sakarifikasi digunakan konsorsium 3 enzim yaitu amiloglukosidase, selulase dan xilanase. Dengan ini diharapkan memperbesar perolehan gula sederhana karena xilanase dan selulase diharapakan mampu mengkonversi komponen serat menjadi gula sederhana. Tabel 10 memperlihatkan perubahan komposisi karbohidrat selama proses sakarifikasi.

Tabel 10 Pengaruh waktu sakarifikasi terhadap total gula, gula perduksi dan

Dokumen terkait