• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENARKAH PRODUSEN CPO DIRUGIKAN AKIBAT

Pendahuluan

Produsen CPO didalam negeri khususnya dari PTPN (BUMN sawit) dan produsen CPO kelas menengah, mengeluhkan rendahnya harga jual CPO akibat pemberlakuan kebijakan pungutan ekspor, pada saat harga CPO dunia yang cenderung menurun. Kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia sudah berlangsung lebih dari enam bulan sejak mulai diimplementasikan tanggal 16 Juli 2015 yang lalu. Pungutan ekspor minyak sawit yang tertuang dalam PMK 133/2015 menarik pungutan sebesar USD 50 per ton minyak sawit (CPO) yang di ekspor dan tidak tergantung harga minyak sawit dunia.

Dari segi teori ekonomi, kebijakan pungutan ekspor yang diberlakukan secara tidak langsung (indirect export levy), berpengaruh pada mekanisme pembentukan harga CPO didalam negeri. Besarnya perubahan harga CPO didalam negeri tentunya tergantung pada harga CPO dunia dan besaran pungutan ekspor yang diberlakukan.

Kajian ini akan mengevaluasi dampak kebijakan pungutan ekspor pembentukan harga CPO didalam negeri.

Kajian ini juga sekaligus mendiskusikan dua pertanyaan masyarakat yang sangat penting terkait dengan argumen pemerintah menerapkan kebijakan pungutan ekspor minyak sawit. Pertama, benarkah kebijakan pungutan ekspor menaikkan harga CPO domestik? Kedua, benarkah kebijakan pungutan ekspor merugikan produsen CPO dalam negeri?

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, kajian

Benarkah Produsen CPO Dirugikan Akibat Kebijakan Pungutan Ekspor Minyak Sawit? 645

CPO domestik antara Tanpa Pungutan Ekspor (Without Export Levy) dibandingkan Dengan Pungutan Ekspor (With Export Levy).

Pergerakan Harga CPO Dunia Vs Domestik

Secara teori ekonomi, pungutan ekspor merupakan salah satu bentuk kebijakan pajak ekspor (export tax) yang mempengaruhi sekaligus harga CPO domestik dan harga CPO fob. Jika sebelum pemberlakuan pungutan ekspor diasumsikan harga CPO domestik (Pd0) sama dengan harga CPO (f.o.b) dunia (Pw0) maka pemberlakuan pungutan sebesar t satuan, maka akan menurunkan harga CPO domestik menjadi Pd1= Pw0 (1 - t) dan menaikkan harga f.ob CPO menjadi Pw1= Pw0 (1 + t). Akibatnya harga CPO f.o.b setelah pemberlakuan pungutan ekspor lebih tinggi dari dari harga CPO domestik. Artinya terjadi disparitas harga CPO domestik dengan harga CPO f.o.b.

Dalam kaitan dengan hal tersebut menarik untuk diamati pergerakan disparitas harga CPO domestik dengan harga CPO f.ob baik dalam periode masih berlaku Bea Keluar (BK) Ekspor (harga CPO dunia masih di atas USD 750 per ton), masa Bea Keluar nol dan masa pemberlakuan pungutan ekspor (Gambar 7.1).

Gambar 7.1. Disparitas Harga CPO Januari 2014 sampai Januari 2016

Dalam periode dimana BK masih berlaku (Januari-Juli 2014), harga CPO f.o.b lebih tinggi dari harga CPO domestik, sehingga disparitas harga CPO (harga domestik dikurang harga f.o.b) menjadi negatif. Sebaliknya ketika BK nol akibat harga CPO dunia sudah di bawah USD 750/ton, harga CPO domestik lebih tinggi dari harga CPO f.o.b, sehingga disparitas harga menjadi positif. Secara teoritis seharusnya disparitas harga tersebut pada periode dimana BK nol, akan mendekati nol dimana harga CPO domestik sama dengan harga fob-nya. Menuju kondisi demikian, memerlukan waktu penyesuaian sehingga kemungkinan disparitas positif masih mungkin terjadi sementara, namun perlahan-lahan disparitas akan menuju nol yakni menuju dimana harga domestik sama dengan harga f.o.b. Proses menuju disparitas harga nol sudah mulai terjadi sejak Februari 2015 sampai Juni 2015.

Pada masa berlakunya pungutan ekspor (Juli

2015--40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60

Jan-14 February March April May Juni July August September October November December Jan-15 February March April May Juni July Aug Sep Okt Nov Des Jan-16

Bea Keluar Berlaku

Bea Keluar Nol dan Pungutan Ekspor Belum

Berlaku

Pungutan Ekspor Diberlakukan, Bea Keluar Nol

Benarkah Produsen CPO Dirugikan Akibat Kebijakan Pungutan Ekspor Minyak Sawit? 647

negatif (sama seperti periode dimana BK berlaku).

Disparitas harga tersebut dimana harga f.o.b lebih tinggi dari harga domestik, merupakan akibat dari pungutan ekspor. Data empiris tersebut sesuai dengan teori ekonomi pengaruh pajak ekspor sebagaimana telah didiskusikan di atas.

Tanpa PE Vs Dengan PE (Aktual)

Selama periode Juli 2015 sampai Januari 2016 dimana kebijakan pungutan ekspor diberlakukan, harga CPO dunia memang cenderung mengalami penurunan. Periode Januari sampai Juni 2015 dimana kebijakan pungutan ekspor diberlakukan, harga dunia (f.o.b) rata-rata USD 628 per ton atau setara dengan Rp 8137 per Kg CPO (Tabel 7.1). Namun dalam periode Juli 2015 sampai Januari 2016, harga CPO dunia mengalami penurunan bahkan pernah mencapai USD 486 per ton, dengan rata-rata periode tersebut USD 524 per ton.

Tabel 7.1. Dampak Pungutan Ekspor Terhadap Harga CPO Domestik

Bulan

Harga CPO (USD/ton)

Kurs (Rp/U SD)

Harga DomestiCPO k jika Tanpa Punguta n Ekspor (Rp/kg)3

Harga CPO Domesti k Aktual Belawan sebelum PPN (Rp/kg)2

Penguran harga gan

CPO domestic

akibat pungutan

ekspor (Rp/kg) cif

Rotte rdam

1 fob Bela wan 2

Selisih harga domestic CPO aktual - PPN

dengan harga tanpa

pungutan ekspor (Rp/kg) 4 Rataan

Jan-Jun

15 665 628 12,966 8,137 7,663 -474 -

Jul 632 598 13,367 7,987 7,075 -912 -438

Ags 548 503 13,782 6,932 5,931 -1002 -527

Sep 529 486 14,396 7,001 6,058 -943 -469

Okt 578 538 13,796 7,426 6,296 -1131 -656

Nov 554 501 13,673 6,854 5,852 -1002 -528

Des 563 520 13,855 7,199 6,268 -931 -457

Jan-16 563 523 13,889 7,263 6,390 -873 -398

Rataan Jul 15-Jan

16 567 524 13,822 7,237 6,267 -970 -496

Sumber : 1 = Oil World, 2 = SMART Investor Relations, 3 = fob belawan x kurs x 10-3, 4 = (harga CPO aktual – harga CPO tanpa pungutan ekspor)

Dengan demikian, argumen pemerintah yang mengatakan bahwa pungutan ekspor CPO dimaksudkan untuk mencegah penurunan harga CPO dunia, tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, harga CPO dunia justru mengalami penurunan hampir USD 100 per ton sejak pungutan diberlakukan sampai 31 Januari 2016.

Sesungguhnya secara teoritis sebagaimana analisis

Benarkah Produsen CPO Dirugikan Akibat Kebijakan Pungutan Ekspor Minyak Sawit? 649

pasar dunia akan dapat mendongkrak harga CPO jika : (1) terjadi penurunan volume ekspor minyak sawit Indonesia secara signifikan akibat pemberlakuan pungutan ekspor, dan (2) jika variabel permintaan dunia seperti pertumbuhan ekonomi, harga minyak nabati lain dan harga minyak fosil tidak turun. Faktanya selama Juli sampai Desember 2015 volume ekspor minyak sawit Indonesia justru meningkat (dibanding periode yang sama tahun sebelumnya) dari 11.9 Juta ton menjadi 14 juta ton.

Kemudian ketiga variabel yang mempengaruhi permintaan dunia tersebut juga mengalami penurunan.

Dengan harga CPO dunia yang demikian, harga CPO domestik pada periode analisis adalah sebagai berikut.

Seandainya pungutan ekspor tidak diberlakukan (Without Export Levy) harga CPO didalam negeri adalah sekitar Rp 6932 sampai Rp 7987 atau rata-rata Rp 7237 per Kg CPO atau turun dari rata-rata Januari-Juni 2015 yakni Rp 8137 per Kg CPO. Namun dengan pemberlakuan pungutan ekspor (With export levy) harga CPO domestik (aktual) menjadi lebih rendah yakni Rp 6058-7075 dengan rata-rata Rp 6267 per Kg CPO. Atau selisih pengurangan harga CPO antara harga aktual dengan harga tanpa pungutan ekspor sebesar Rp -970 per Kg CPO.

Selisih harga tersebut merupakan kombinasi ketidaksempurnaan pasar (imperfect market) CPO dan pengaruh pungutan ekspor. Hal ini tercermin dari periode Januari-Juni 2015 dimana pungutan ekspor belum diberlakukan, selisih harga tersebut masih terjadi. Dengan asumsi pengaruh ketidaksempurnaan pasar tersebut masih berlanjut pada periode Juli 2015-Januari 2016 maka

pengaruh murni pungutan ekspor terhadap penurunan harga CPO domestik adalah Rp. -496 per Kg CPO.

Meskipun selama periode tersebut kurs rupiah mengalami pelemahan dari Rp 12966 (rataan Januari-Juni 2015) menjadi Rp 13822 (rataan Juli 2015-Januari 2016) yang seharusnya dapat mengangkat harga CPO didalam negeri, pelemahan rupiah ternyata juga tidak mampu mengangkat harga CPO domestik baik akibat pungutan ekspor maupun akibat penurunan harga dunia.

Dampak dari kebijakan pajak ekspor secara empiris sudah banyak diungkap peneliti terdahulu (Tomic dan Mawardi, 1995; Larson, 1996; Susila, 2004; Joni, 2012).

Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan pajak ekspor minyak sawit Indonesia (apapun bentuknya) merugikan Indonesia secara keseluruhan dan menurunkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional.

Produsen CPO/TBS termasuk petani sawit adalah yang paling dirugikan.

Jika diasumsikan produksi CPO Indonesia tahun 2015 adalah 32 juta ton dimana 55 persen (17.6 juta ton) terjadi pada periode Juli-Desember 2015. Dengan pengurangan harga CPO akibat pungutan ekspor yang diterima produsen sebesar Rp -496 per Kg CPO, maka besarnya kehilangan pendapatan perusahaan-perusahaan penghasil CPO di Indonesia adalah sekitar Rp 8.73 triliun. Jika diperinci perkebunan sawit negara (PTPN) kehilangan pendapatan sebesar Rp. 600 miliar selama periode Juli-Desember 2015. Petani sawit rakyat (setara CPO) kehilangan pendapatan sebesar Rp 3.1 triliun. Sedangkan perusahaan swasta kehilangan pendapatan sebesar Rp 5.0

Benarkah Produsen CPO Dirugikan Akibat Kebijakan Pungutan Ekspor Minyak Sawit? 651

penerimaan pungutan yang diterima pemerintah dalam periode tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp 6 triliun dari sekitar 14 juta ton minyak sawit yang diekspor Indonesia selama periode Juli-Desember 2015.

Dengan demikian sama dengan studi-studi kebijakan bentuk-bentuk pajak ekspor minyak sawit terdahulu yang mengungkap bahwa secara keseluruhan nilai kerugian yang dialami Indonesia jauh lebih besar dari penerimaan pemerintah dari pajak ekspor dan surplus konsumen.

Kerugian produsen CPO sebagaimana dikemukakan di atas terjadi karena metode pemberlakuan pungutan ekspor dilakukan secara tidak langsung (indirect export levy), sehingga mempengaruhi mekanisme pembentukan harga CPO didalam negeri. Seandainya pemberlakuan pungutan ekspor dapat dirubah menjadi pungutan langsung (direct export levy) maka tidak mempengaruhi mekanisme pembentukan harga CPO didalam negeri sehingga produsen CPO tidak akan dirugikan. Dengan metode langsung tersebut, pungutan ekspor hanya diberlakukan pada perusahaan yang bergerak dalam eksportir minyak sawit dan dengan beban yang tetap setiap tahun. Bahkan (Penjelasan Pasal 5 PP No. 24/2015) beban eksportir tersebut berpeluang untuk dibiayakan sebagai biaya yang tidak diperhitungkan dalam perhitungan PPh badan.

Kesimpulan

Fakta empiris menunjukan bahwa adalah tidak benar pandangan yang mengatakan pungutan ekspor akan menaikkan harga CPO domestik. Juga tidak benar, bahwa harga CPO domestik dengan pemberlakuan pungutan ekspor (with export levy) akan lebih tinggi dari harga CPO domestik tanpa PE (without export levy). Dalam kondisi harga CPO dunia yang mengalami penurunan, adanya pungutan ekspor justru makin menurunkan harga CPO domestik lebih besar dari pungutan ekspor yang diberlakukan.

Seandainya tidak ada PE, selama periode Juli 2015-Januari 2016 produsen CPO akan memperoleh harga jual CPO dalam negeri sekitar Rp 6854 sampai dengan 7987 per Kg CPO atau rata-rata RP 7237 per Kg CPO. Namun dengan diberlakukannya PE produsen CPO domestik hanya menerima harga CPO domestik sebesar Rp 6058-7075 dengan rata-rata Rp 6267 per Kg CPO.

Pengaruh pungutan ekspor tehadap harga CPO domestik adalah sebesar Rp -496 per Kg CPO. Hal ini berarti produsen CPO didalam negeri mengalami kehilangan pendapatan (kerugian) sekitar Rp -496 per Kg CPO yang dijual.

Jika diasumsikan produksi CPO Indonesia tahun 2015 adalah 32 juta ton dimana 55 persen (17.6 juta ton) terjadi pada periode Juli-Desember 2015. Dengan pengurangan harga CPO akibat pungutan ekspor yang diterima produsen sebesar Rp -496 per Kg CPO, maka perkiraan

Benarkah Produsen CPO Dirugikan Akibat Kebijakan Pungutan Ekspor Minyak Sawit? 653

penghasil CPO di Indonesia adalah sekitar Rp 8.73 triliun terdiri dari perkebunan sawit negara (PTPN) Rp. 600 miliar, petani sawit rakyat (setara CPO) Rp 3.1 triliun dan perusahaan swasta sebesar Rp 5.0 triliun.

Sebagaimana studi-studi dampak kebijakan pajak ekspor minyak sawit terdahulu, secara keseluruhan nilai kerugian yang dialami Indonesia akibat pungutan ekspor jauh lebih besar daripada penerimaan pemerintah dari pungutan ekspor minyak sawit. Dan pihak yang paling dirugikan adalah para produsen CPO didalam negeri baik petani sawit, BUMN sawit, perusahaan perkebunan kelapa sawit kecil-menengah maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit besar.

PUNGUTAN EKSPOR (BK DAN CSF), SUDAHKAH