• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Sertifikasi Guru

3. Model-Model Komitmen

pekerjaan adalah guru yang menyadari tugas dan kewajiban yang diembannya, memiliki pemahaman yang tinggi serta mengenal dirinya sebagai seseorang yang mengabdikan diri dengan penuh keihklasan untuk mendampingi peserta didik dalam belajar. Guru yang memiliki komitmen berkeinginan untuk terus belajar meningkatkan pemahaman dan memiliki kepedulian dalam memahami setiap karakteristik peserta didik, serta berusaha mencari tahu bagaimana seharusnya peserta didik belajar, sehingga jika terdapat kegagalan dalam pelaksanaannya guru berusaha untuk menemukan penyebab dan mencari jalan keluar bersama peserta didik bukan mendiamkan, membiarkan ataupun menyalahkan peserta didik.

3. Model-Model Komitmen

Allen & Meyer (Kreitner & Kinicki, 2013: 164), mengemukakan tiga model komitmen yaitu affective commitment, continuance commitment, and normative

commitment:

Affective commitment refers to the employee`s emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Employees with a strong affective commitment continue employment with an organization because they want to do so. Continuance commitment refers to an awareness of the cost associated with leaving the organization. Employees whose primary link to the organization is based on continuance commitment remain because they need to do so. Finally, normative commitment reflects a feeling of obligation to continue employment. Employees with a high level of normative commitment feel that they ouhgt to remain with the organization.

Model-model komitmen yang dikemukakan oleh Allen & Meyer tersebut menggambarkan komponen yang berpengaruh terhadap suatu komitmen. Affective

commitment, yaitu berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikatpada

35

sendiri, kunci dan komitmen ini adalah keinginan (want to). Continuance

commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan kebutuhan rasional.

Komitmen ini terbentuk atas dasar untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan untuk bertahan (need to). Normative commitment, merupakan suatu komitmen yang didasarkan pada norma yang ada dalam diri seseorang, berisi keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap organisasi. Seseorang merasa harus bertahan karena loyalitas. Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to).

Jika konsep yang dikemukaan Allen & Meyer di atas dikaitkan dengan guru maka komitmen afektif pada guru akan menjawab seberapa tinggi taraf keterikatan guru secara psikologis terhadap sekolah atau seberapa besar keinginan guru untuk memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi sekolah (keinginan). Komitmen kontinuitas mengenai seberapa banyak guru menerima manfaat dari keterlibatannya dalam sekolah.Sedangkan komitmennormatif mengarah pada kesadaran atau kesetiaan guru terhadap sekolah yang ditunjukkan dengan perasaan untuk terlibat secara aktif dalam tugas tugas organisasional.

Berdasarkan konsep Allen & Meyer (Kreitner & Kinicki, 2013: 164) dan penjabaran indikator komitmen guru di atas, maka komitmen guru dalam penelitian ini mengacu pada sikap keikhlasan guru dalam bekerja, kesadaran dalam arti memiliki rasa tanggungjawab, kepedulian, serta kedisiplinan dalam bekerja.

36 C. Konsep Dasar Kepuasan Kerja Guru 1. Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Siagian (2014: 295), “kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif tentang pekerjaannya.” Konsep yang hampir sama dikemukakan oleh Wirawan (2015: 285) yang mengatakan, “kepuasan kerja adalah persepsi, perasaan dan sikap orang mengenai berbagai aspek pekerjaannya. Persepsi positif dapat menimbulkan kinerja, motivasi, dan etos kerja yang tinggi. Sebaliknya persepsi negatif dapat menurunkan kinerja, motivasi dan etos kerja rendah.”

Menurut Edy Sutrisno (2013: 319), “kepuasan kerja sangat tergantung pada persepsi besarnya perbedaan antara apa yang menjadi harapan dan kebutuhan seseorang terhadap pekerjaan dengan kenyataan yang dirasakan, dan tingkat kepuasan merupakan gabungan dari penilaian seseorang terhadap berbagai faktor pekerjaan dan faktor individu” hal ini berarti kepuasan kerja menunjukkan adanya aspek evaluasi dari yang dirasakan seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Wexley & Yukl (Suwatno & Priansa, 2011: 263), “job satisfaction is the way

employee feels about his or her job. It is generalized attitude toward the job based on evaluation of different aspect of the job. A person attitude toward his job reflect pleasant and unpleasant exeperiences in the job and his expectations about future experiences.” Secara singkat pengertian ini mengartikan kepuasan kerja

merupakan sikap terhadap pekerjaan yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda dari pekerjaan. Sikap tersebut menggambarkan

37

pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan dan harapan mengenai pengalaman mendatang.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja merupakan cara atau sikap seseorang merasakan pekerjaannya yang didasarkan pada persepsi yang berhubungan dengan apa yang diharapkan dengan kenyataan yang dirasakan, sehingga menimbulkan senang-tidaknya pada pekerjaan yang dijalani. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan harapan seseorang, maka semakin tinggi kepuasan yang dirasakan dan meningkatkan kinerja, semakin sedikit aspek-aspek yang tidak sesuai dengan keinginan maka semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakan. 2. Indikator Kepuasan Kerja

Veithzal Rivai & Sagala (2011: 856-857) menyebutkan beberapa teori tentang kepuasan kerja, antara lain:

1) Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory): mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang tersebut akan lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

2) Teori Keadilan (Equality Theory): orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung ada tidaknya keadilan (Equality) dalam suatu situasi kerja. Komponen utama dalam teori ini yaitu input, hasil, dan ketidakadilan.

3) Teori Dua Faktor (Two Factor Theory): teori ini didasarkan pada rumusan hierarki kebutuhan (Hierarchy of need). Tingkah laku manusia didasari oleh dua macam kebutuhan yang berbeda satu sama lain yaitu kebutuhan fisiologis (ektrinsik) dan psikologis (instrinsik).

Kesimpulan dari ketiga teori ini secara garis besar adalah seseorang akan merasa puas ataupun tidak terhadap pekerjaan dapat diukur melalui perhitungan

38

kesesuaian antara sesuatu yang harus dan kenyatannya, keadilan yang dirasakan dalam situasi kerja, serta faktor instrinsik dan ektrinsik yang muncul dan dirasakan seseorang dalam bekerja. Kepuasan dan ketidakpuasan kerja dapat dilihat dari sikap seseorang dalam bekerja. Sebagaimana pendapat Tiffin (Edy Sutrisno, 2011: 76) yang mengatakan, “kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya.” Jika dikaitkan dengan guru, maka kepuasan kerja guru dapat dilihat dari sikap guru di dalam bekerja.

Menurut Siagian (2014: 295) analisis tentang kepuasan kerja berkaitan dengan prestasi, tingkat kemangkiran, dan keinginan pindah. Lebih lanjut Siagian (2014: 296-297) dijelaskan secara ringkas bahwa, seseorang yang memiliki kepuasan kerja akan terus berusaha meningkatkan prestasinya, dan memiliki tingkat kemangkiran yang rendah. Sedangkan seseorang yang tidak memiliki kepuasan dalam kerja tingkat kemangkiran tinggi, memiliki prestasi kerja yang rendah, serta berkeinginan untuk meninggalkan organisasi lebih tinggi. Pendapat lain yang hampir sama mengenai hubungan kepuasan kerja dengan tingkat kehadiran diungkapkan oleh A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2013: 118) yang mengatakan, “pegawai yang kurang puas cenderung memiliki tingkat ketidakhadiran tinggi, dengan alasan yang tidak logis dan subjektif.” Edy Sutrisno (2011: 77) juga mengemukakan pendapatnya bahwa, “ketidakpuasan karyawan dalam kerja akan mengakibatkan suatu situasi yang tidak menguntungkan baik secara organisasi maupun individual.” Lebih lanjut Edy Sutrisno menjelaskan bahwa:

Ketidakpuasan dalam kerja akan dapat menimbulkan perilaku agresif, atau sebaliknya akan menunjukkan sikap menarik diri dari kontak dengan

Dokumen terkait