• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

C. Metode Analisis 1 Rendemen

20. Morfologi Struktur Granula Pati (Manuel, 1996)

Sampel pati sebanyak 2 mg diletakkan dalam circular aluminium stubs yang dilengkapi double sided sticky tape serta dulapisi oleh suatu lapisan tipis (20 nm) yang terbuat dari emas, lalu diperiksa dan difoto dengan SEM JSM 5410LV, JEOL Ltd., Tokyo, Japan pada tegangan 5 kV dengan perbesaran 2000x, 3500x, dan 7500x.

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Pati Walur Alami

Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh karakteristik fisik dan kimia bahan, ukuran, bentuk geometri bahan, sifat permukaan partikel bahan, dan sistem secara keseluruhan (Wirakartakusumah et al, 1992). Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati unit volume tertentu. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa pati walur mempunyai densitas kamba sebesar 0.5160 gram/ml. Hasil ini dipengaruhi oleh karakteristik pati walur itu sendiri. Data densitas kamba ini diperlukan dalam industri pangan terutama untuk memperkirakan kebutuhan ruang dalam hal penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan dalam distribusi bahan. Terkait dengan hal ini, semakin besar densitas kamba suatu bahan, akan semakin ekonomis bahan tersebut karena memiliki area permukaan yang lebih luas (Fennema, 1996). Sementara itu, selama proses ekstraksi pati dari umbi walur, diketahui bahwa rendemen ekstraksi pati walur berkisar antara 2.86-5.29%. Rendemen ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan rendemen pati hasil ekstraksi dari perruvian carrot (6.91-10.30%) (Matsuguma et al., 2009), tiger nuts (15.3%), ubi jalar (20%), dan taro (10%) (Abo-El-Fetoh et al., 2010). Rendemen yang rendah ini kemungkinan disebabkan adanya proses reduksi oksalat yang dilakukan dengan perendaman menggunakan asam klorida konsentrasi 1.2 N. Perendaman dengan asam klorida akan menghidrolisis pati walur menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga rendemen pati yang dihasilkan cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan rendemen pati dari sumber lainnya (Herminiati dan Abbas, 2006). Ini terlihat dari rendemen pati walur sebelum direduksi kandungan oksalatnya yang berkisar antara 5.76-9.83%. Data rendemen yang dihasilkan memiliki rentang yang besar karena rendemen pengupasan yang bervariasi diakibatkan oleh bentuk dari umbi walur yang berlekuk sehingga sulit untuk dikupas secara manual dan umur dari umbi walur yang didapat sangat bervariasi sehingga kandungan pati yang dihasilkan juga bervariasi. Untuk selanjutnya yang dimaksudkan dengan pati walur kontrol atau pati walur alami adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi oksalat.

Derajat putih pati walur alami terukur sebesar 45.85 satuan. Derajat putih pati walur tercatat lebih rendah dibandingkan dengan pati kelapa sawit (83.02%), pati sagu (84.86%), dan pati tapioka (93.53%) (Ridwansyah et al., 2007). Secara visual, pati walur tampak berwarna coklat muda. Pencoklatan ini kemungkinan terjadi karena adanya kandungan senyawa fenol pada umbi walur. Pei-Lang et al. (2006) menyatakan bahwa pencoklatan yang terjadi pada pati sagu terjadi karena adanya senyawa fenol dan polifenol oksidase di dalam batang sagu.

Dalam Tabel 4 dapat dilihat perbandingan sifat fisikokimia antara pati walur dengan umbi walur. Tabel 4 menunjukkan bahwa pati walur memiliki kadar air 7,65% bb. Kadar air ini masih berada pada kadar air yang baik, yaitu sekitar 6-16% (Moorthy, 2002). Kandungan air pada bahan berperan penting dalam menentukan karakteristik alir dan untuk menjalankan fungsi mekanis lainnya. Namun demikian, kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan bahan menjadi lembab dan mudah ditumbuhi oleh mikroba perusak sehingga daya tahan produk selama disimpan akan berkurang (Mboungeng et al, 2008).

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pati walur yang dihasilkan memiliki kadar lemak sebesar 0,10%. Kadar lemak ini jauh berkurang dari kadar lemak umbi walur segar yaitu sebesar 3,68%. Hal ini disebabkan oleh proses ekstraksi pati yang melibatkan penyawutan umbi,

21

perendaman dengan air, dan perlakuan dengan asam. Penyawutan umbi memperluas permukaan umbi sehingga pati dan komponen lainnya seperti lemak bisa terekstrak dengan maksimal. Lemak yang terdapat di dalam umbi dan ikut terekstrak bersama pati akan mengambang dikarenakan massa jenis lemak yang lebih rendah dari air, sementara pati akan tenggelam ke dasar wadah karena memiliki massa jenis yang lebih besar dari air. Menurut Fennema (1996), lemak secara alami dapat berikatan dengan granula pati. Perlakuan dengan asam akan menghidrolisis ikatan antara lemak dan pati yang terekstrak.

Tabel 4. Data fisikokimia umbi walur dan pati walur

Komposisi fisikokimia Walura Pati walur Rendemen sebelum reduksi oksalat (%) - 5.76 - 9.83 Rendemen setelah reduksi oksalat (%) - 2.86 - 5.29 Densitas kamba (gram/ml) - 0.5160

Derajat putih - 45.85 Kadar air (% bb) 74.46 7.65 Kadar lemak (% bk) 3.68 0.10 Kadar protein (% bk) 1.64 3.95 Kadar abu (% bk) 1.25 1.75 Kadar karbohidrat (% bk) 18.97 86.55 Kadar serat kasar (% bk) 4.56 -

Kadar pati (% bk) - 78.21 Kadar Amilosa (% bk) - 19.00 Kadar amilopektin (% bk) - 59.21 pH - 4.62 a Purnomo et al. (2010)

Kadar protein pati walur tercatat sebesar 3.95% bk lebih tinggi dari kadar protein umbi walur yaitu sebesar 1.64% bk. Hal ini disebabkan proses ekstraksi yang melibatkan perlakuan asam untuk mereduksi kandungan oksalat pada pati walur. Protein yang terekstrak bersama dengan pati ketika pati mendapat perlakuan dengan asam akan tenggelam ke dasar wadah bersama dengan pati (Eromosele et al., 2008). Setelah dikeringkan, maka persen bobot protein yang terkandung di dalam pati akan menjadi semakin besar karena rendemen pati yang dihasilkan jauh lebih kecil dari umbi segar yang digunakan. Hal ini mengakibatkan persen distribusi semakin mengecil sehingga konsentrasi protein di dalam pati walur tampak lebih besar dari kadar protein umbi walur segar. Perbedaan yang besar ini juga mungkin terjadi karena karakteristik fisikokimia pati walur dibandingkan dengan umbi walur hasil penelitian Purnomo et al. (2010) bukan dengan umbi walur yang diekstrak patinya.

Pada Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa pati walur memiliki kadar abu sebesar 1.75% bk. Kadar abu pati walur ini juga lebih besar dari kadar abu umbi walur. Hal ini disebabkan karena proses ekstraksi yang tidak sempurna sehingga pati yang dihasilkan masih memiliki pengotor yang cukup tinggi (Gunaratne dan Hoover, 2002). Secara singkat, ketidakmurnian pati dapat disebabkan oleh adanya serat dan bahan pengotor (Rahman, 2007; Mboungeng et al, 2008).

Kadar pati walur hasil analisis tercatat sebesar 78.21%. Kadar pati ini juga menunjukkan tingkat kemurnian pati yang dihasilkan. Rendahnya kadar pati menunjukkan proses ekstraksi yang kurang sempurna sehingga pati banyak terbuang atau terdapat banyak pengotor pada pati yang dihasilkan (Gunaratne dan Hoover, 2002). Pati sendiri tersusun atas paling sedikit

22

tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein (Greenwood, 1976). Rasio antara amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi karakteristik fungsional pati. Oleh karena itu perlu diketahui jumlah kandungan amilosa dan amilopektin dalam pati agar dapat diketahui aplikasi dan kualitas pati yang dihasilkan (Mboungeng et al, 2008). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pati walur memiliki kadar amilosa sebesar 19% dan kadar amilopektin sebesar 59.21%. Kadar amilopektin ini ditentukan dari selisih antara kadar pati dan kadar amilosa. Adapun rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda dan bervariasi terhadap berbagai sumber pati (Tester et al, 2004).

Sementara itu pati walur memiliki pH yang rendah yaitu 4.62. Menurut Mishra dan Rai (2006) dan Mboungeng et al (2008), rendahnya pH dapat terjadi karena adanya bahan pengotor pada pati yang dihasilkan. Rendahnya nilai pH pati walur juga dapat disebabkan karena adanya perlakuan dengan asam ketika mereduksi kandungan oksalat pada pati walur.

B. Modifikasi Pati Walur dengan Heat-Moisture Treatment

1. Pengukuran Penetrasi Panas Wadah Aluminium

Penentuan waktu HMT dilakukan untuk menentukan waktu proses HMT menggunakan pati sagu dengan kadar air 17% sebagai pengganti pati walur. Pemilihan pati sagu dikarenakan profil amilografnya berdasarkan pengukuran mirip dengan pati walur yang dihasilkan (kontrol pada Gambar 6,8, dan 9). Karakteristik yang diharapkan tercapai pada penelitian pendahuluan ini adalah perubahan profil amilograf, di mana viskositas puncak, viskositas breakdown, dan viskositas balik menjadi lebih rendah dari pati alaminya. Penentuan waktu HMT dilakukan dengan melakukan uji penetrasi panas dan uji profil amilograf menggunakan RVA untuk menentukan waktu pemanasan HMT.

Uji penetrasi panas bertujuan untuk melihat keseragaman penyebaran panas di dalam wadah dengan terisi sampel dan lama waktu tunda yang terjadi sebelum suhu HMT tercapai. Penentuan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu yang diinginkan dapat dilihat dari titik terdingin pada sampel. Titik terdingin merupakan bagian sampel yang memiliki kecepatan peningkatan suhu paling rendah (coldest point). Tercapainya suhu yang diinginkan di titik terdingin dapat menjamin bahwa suhu yang diinginkan sudah tercapai pada titik yang lain di seluruh bagian sampel dan panas telah terdistribusi dengan baik.

Salah satu alat yang dapat digunakan untuk uji penetrasi panas adalah termokopel. Termokopel terdiri dari rekorder pencatat suhu dan sensor untuk mendeteksi perubahan suhu yang terjadi. Penempatan sensor termokopel dalam loyang dilakukan secara berbeda-beda tergantung bagian terdingin dari produk. Menurut Winarno (2004) letak titik terdingin dalam kemasan tergantung pada jenis perambatan panasnya, apakah secara konveksi atau konduksi. Produk yang berbentuk padat atau sangat sedikit mengandung air bebas seperti pati memiliki perambatan panas secara konduksi. Dalam proses pindah panas konduksi, panas akan merambat dari dinding kemasan ke pusat kemasan dari segala arah, dengan demikian pusat terdinginnya akan berada di pusat kemasan (Toledo 1991).

Pengukuran penetrasi panas dilakukan satu ulangan pada suhu 110oC. Pengukuran suhu pada termokopel diprogram agar ditampilkan setiap satu menit. Penentuan penetrasi panas dilakukan dengan menempatkan sensor-sensor termokopel pada posisi tertentu yang diduga sebagai titik terdingin pada loyang HMT. Adapun dimensi dari loyang yang digunakan adalah 20 x 8.5 x 2 cm dengan tebal wadah aluminium yang digunakan adalah 0.5 mm untuk

23

tutup dan 1 mm untuk wadah. Lima termokopel digunakan untuk pengukuran. Posisi termokopel dapat dilihat pada Gambar 8.Pengujian dilakukan dengan sampel tepung sagu.

Sebelum mulai pengukuran penetrasi panas, oven dipanaskan hingga mencapai suhuproses HMT yang diinginkan, yaitu 110oC. Loyang diisi dengan sampel pati sampai penuh. Pengisian sampel pati harus dilakukan sampai penuh untuk memastikan tidak ada ruang yang dapat memungkinkan terjadinya gelatinisasi parsial selama proses HMT berlangsung. Kedua loyang berisi sampel pati dimasukkan ke dalam oven. Satu untuk pengukuran penetrasi panas, dan yang lainnya sebagai pembanding dalam penentuan profil amilograf. Pengukuran penetrasi panas dimulai saat sampel selesai dimasukkan dan diakhiri ketika termokopel menunjukkan suhu pada titik termokopel menunjukkan suhu target yaitu 110oC. Data penetrasi panas terlihat pada Gambar 5.

8.5 cm 20cm (a) 2cm (b) (c1) (c2)

Gambar 4. Posisi termokopel dalam wadah HMT. ( Keterangan: (a) loyang tampak atas, (b) loyang tampak samping, (c1) tampilan loyang yang digunakan untuk HMT, (c2) tampilan uji penetrasi pada loyang HMT, bagian tengah merupakan tempat peletakan termokopel.)

.

.

.

Tc1

.

.

Tc2 Tc4 Tc3 Tc5

.

Tc4

.

Tc1

.

Tc5

.

Tc3 Tc2

.

24

( Keterangan: Tc adalah titik tempat pemasangan termokopel dan Tt adalah waktu pada saat suhu 110 oC tercapai pada titik terdingin .) Posisi termokopel di dalam wadah aluminium terlihat dari samping loyang ditampilkan pada gambar.

Gambar 5. Data profil penetrasi panas pati sagu kadar air 17%.

Berdasarkan data dari rekorder suhu dapat terlihat bahwa hasil pengukuran suhu untuk kelima titik tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lain (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa perambatan panas pada setiap titik yang diuji tidak berbeda jauh. Perambatan panas yang hampir sama pada setiap titik yang diuji menunjukkan bahwa ukuran loyang yang tidak terlalu besar dan tebal sehingga penyebaran panasnya cukup merata. Berdasarkan profil data penetrasi panas, termokopel pada titik ke-5 (Tc5) mencatat waktu paling lama untuk mencapai suhu target (110oC) dan termokopel pada titik ke-2 (Tc2) mencatat waktu tersingkat untuk mencapai suhu target (110oC). Jadi, dapat disimpulkan bahwa titik terdingin ada pada titik termokopel Tc5 yaitu titik di tengah loyang. Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu target berkisar antara 158-179 menit.

2. Penentuan Waktu HMT

Setelah mendapatkan data tentang penetrasi panas yang terjadi saat proses HMT berlangsung, penelitian dilanjutkan dengan melakukan HMT terhadap pati sagu contoh sampai diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa derajat modifikasi yang telah terjadi cukup untuk memperlihatkan perubahan yang berarti, berdasarkan profil amilograf pati sagu contoh. Proses HMT dilakukan selama 3 jam dan 6 jam terhitung sejak sampel dimasukkan ke dalam oven pada saat pengukuran penetrasi panas. Data profil amilograf hasil HMT dapat dilihat pada Gambar 6.

25

pati sagu kontrol, pati sagu HMT 3 jam, pati sagu HMT 6 jam Gambar 6. Data RVA pati sagu HMT selama 3 jam dan 6 jam pada suhu 110 oC dengan kadar

air 17%.

Berdasarkan data tersebut, dapat terlihat bahwa pati sagu mulai menunjukkan perubahan profil amilograf berupa viskositas puncak, breakdown, dan setback yang lebih rendah dari pati alaminya pada saat HMT dilakukan selama 6 jam. Oleh karena itu waktu 6 jam dipilih sebagai waktu minimum dalam melakukan proses HMT terhadap pati walur pada kadar air 17%. Modifikasi HMT pada pati walur selanjutnya dilakukan selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam.

C. Karakteristik Pati Walur HMT

Pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. Pati walur HMT kemudian dianalisis untuk melihat perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan fungsionalnya. Adapun analisis yang dilakukan adalah derajat putih, sifat birefringent pati dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi, profil pasting pati, profil kapasitas pembengkakan pati dan kelarutan, karakteristik tekstur gel, dan freeze-thaw stability.

1. Derajat Putih

Derajat putih merupakan salah satu penilaian mutu suatu bahan pangan berbentuk tepung khususnya yang berasal dari ekstraksi pati. Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda tersebut dibandingkan dengan standar contoh.

Rahman (2007) menyatakan bahwa derajat putih sangat dipengaruhi kemurnian proses ekstraksi pati. Ketidakmurnian pati yang terekstrak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan serat dan pengotor lainnya sehingga pati terlihat kurang cerah (Rahman 2007; Mboungeng et al. 2008). Tabel 5 menunjukkan HMT tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih pada pati modifikasi.

26

Tabel 5. Derajat putih pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%. Perlakuan Derajat Putih

Kontrol 45.85 ± 0.21 Suhu 100oC: 6 jam 46.18 ± 0.11 8 jam 46.05 ± 0.07 10 jam 46.95 ± 0.07 Suhu 110oC: 6 jam 46.85 ± 0.07 8 jam 45.78 ± 0.11 10 jam 46.63 ± 0.04

2. Bentuk Granula Pati (mikroskop cahaya terpolarisasi)

Hasil pengamatan granula pati walur dengan mikroskop cahaya terpolarisasi disajikan pada Gambar 7. Secara mikroskopis, granula pati walur alami berbentuk berbentuk oval dan bersudut banyak (poligonal) dengan permukaan yang halus dan tidak membentuk celah. Pada kondisi alaminya (Gambar 7A.) pati walur masih menunjukkan sifat birefringent. Birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga membentuk bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti, 2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati yang dipengaruhi oleh daerah kristalin dan amorphous pati. Sifat birefringent ini juga dikenal dengan pola maltose cross (pola silang) pada pati yang terjadi akibat perpotongan bidang biru dan kuning (Pinasthi, 2011).

Dari hasil pengamatan dengan mikroskop polarisasi dapat diketahui bahwa granula pati pada saat sebelum dan sesudah HMT masih menunjukkan sifat birefringent pada semua sampel yang diamati (Gambar 12.). Hal serupa juga dilaporkan oleh Vermeylen et al. (2006) pada pati kentang dan Pukkahuta et al. (2008) pada pati jagung.

Selama proses pemanasan pada HMT berlangsung, penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan di dalam granula pati sehingga menurunkan kristalinitas pati (Hoseney, 1998). Intensitas birefringent pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Semakin lama waktu pemanasan yang diterapkan, semakin besar pula energi panas yang diterima sehingga sifat birefringent granula semakin melemah.

3. Profil Pasting Pati

Modifikasi pati walur yang dilakukan pada suhu 100oC dan 110oC selama waktu 6 jam, 8 jam, 10 jam menghasilkan pati walur termodifikasi dengan profil amilograf yang berbeda dengan pati walur alaminya. Perubahan yang dihasilkan oleh modifikasi HMT ini dapat dipengaruhi oleh sumber pati dan kondisi modifikasi yang diterapkan (Olayinka et al. 2008; Zavareze dan Dias, 2010). Kurva amilografi pada pati native dan termodifikasi pati walur disajikan dalam Gambar 8dan 9. Tabel 6memaparkan perubahan karakteristik pasta pati walur termodifikasi.

27

Gambar 7. Granula pati walur alami dan termodifikasi HMT dengan kadar air 17% dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi pada perbesaran 1000x (Keterangan: Kontrol (A); HMT 100oC selama 6 jam (B); HMT 100oC selama 8 jam (C); HMT 100oC selama 10 jam (D); HMT 110oC selama 6 jam (E); HMT 110oC selama 8 jam (F); HMT 110oC selama 10 jam (G).)

a. Suhu Pasting (SP)

Perlakuan kadar air merubah suhu pasting (SP) pati termodifikasi yang disajikan pada Tabel 6. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan suhu pasting seiring dengan peningkatan waktu dan suhu proses modifikasi pati walur yang diamati. Namun, berdasarkan analisis dengan t-test dan ANOVA didapati bahwa suhu pasting pati walur kontrol dan pati walur modifikasi HMT tidak berbeda nyata. Fenomena serupa juga diamati oleh Varatharajan et al. (2010), Lawal dan Adebowale (2005), dan Watcharatewinkul et al (2009). Kenaikan suhu pasting ini disebabkan oleh pembentukan ulang struktur di dalam granula pati (Lawal dan Adebowale, 2005). Selama proses modifikasi terjadi peningkatan interaksi antara rantai amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, dan amilopektion-amilopektin. Peningkatan interaksi tersebut turut meningkatkan stabilitas interaksi molekul di dalam granula (Herawati, 2009). Akibatnya, dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatan tersebut (Zavareze dan Dias, 2010).

b. Viskositas Puncak (VP)

Viskositas puncak pati walur yang tercatat juga menurun selama modifikasi dilakukan. Penurunan drastis terjadi ketika pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam. Semakin lama perlakuan HMT diberikan, penurunan viskositas puncak pati walur juga terjadi namun penurunan viskositas puncak antar perlakuan berbeda dengan penurunan viskositas puncak antara pati native dan pati yang diberi perlakuan. Ini dapat terlihat dari hasil analisis sidik ragam yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara viskositas puncak pati

28

walur kontrol dan pati walur HMT, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pati walur yang diberi perlakuan HMT. Hal ini terjadi karena akibat interaksi antara molekul air, amilosa, dan amilopektin yang terjadi di dalam granula pati melalui ikatan hidrogen. Interaksi yang terjadi antara ketiga molekul menyebabkan penyusunan ulang struktur granula pati. Pada penyusunan ulang ini, ikatan yang terbentuk antara amilosa-amilosa, amilosa- amilopektin, dan amilopektin-amilopektin akan semakin kuat sehingga kelarutannya di air akan semakin berkurang (Varatharajan et al., 2010). Hal ini mengakibatkan turunnya viskositas puncak suspensi pati.

Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam.

Gambar 8. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 100oC.

Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam.

Gambar 9. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 110oC.

Tabel 6. Karakteristik pasta pati walur alami dan modifikasi HMT kadar air 17%

*Keterangan: VP = Viskositas Puncak, VPS = Viskositas Panas, VBD = Viskositas Breakdown, VBD-R = Viskositas Breakdown Relatif, VA = Viskositas Akhir, VB = Viskositas Balik VB-R = Viskositas Balik Relatif, SP = Suhu Pasting. A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain.

Perlakuan

Karakteristik pasta RVA*

VP* (cP) VPS* (cP) VBD* (cP) VBD-R* VA* (cP) VB* (cP) VB-R* SP* (oC) Kontrol 4324Ab 2155 Ab 2169 Ab 50 Ab 3704 Aa 1549 Aa 72 Aa 82.1 Aa Suhu 100oC 6 jam 3391.00 ± 411.54 Aa 2351.50 ± 306.18 Ab 1039.50 ± 105.36 Aa 31 Aa 4373.00 ± 538.82 Aa 2021.50 ± 232.64 Aa 86 Aa 83.93 ± 0.32 Aa 8 jam 2689.00 ± 104.65 Aa 1985.00 ± 101.82 Ab 704.00 ± 2.83 Aa 26 Aa 3422.50 ± 125.16 Aa 1437.50 ± 23.33 Aa 72 Aa 84.20 ± 0.00 Aa 10 jam 2480.50 ± 342.95 Aa 1839.50 ± 173.24 Ab 641.00 ± 169.71 Aa 26 Aa 3143.50 ± 485.78 Aa 1304.00 ± 312.54 Aa 71 Aa 84.35 ± 0.28 Aa Suhu 110oC 6 jam 2949.00 ± 149.91 Aa 2299.50 ± 10.61 Ab 674.50 ± 125.16 Aa 23 Aa 3898.50 ± 210.01 Aa 1599.00 ± 220.62 Aa 69 Aa 85.15 ± 0.85 Aa 8 jam 2926.50 ± 140.71 Aa 2206.50 ± 20.51 Ab 720.00 ± 120.21 Aa 25 Aa 3731.00 ± 258.80 Aa 1524.50 ± 238.29 Aa 69 Aa 84.90 ± 1.13 Aa 10 jam 2738.00 ± 171.12 Aa 2034.00 ± 19.80 Ab 731.00 ± 113.14 Aa 27 Aa 3415.00 ± 117.38 Aa 1381.00 ± 97.58 Aa 68 Aa 84.50 ± 0.57 Aa

c. Viskositas Breakdown (VBD)

Pengukuran viskositas breakdown bertujuan untuk mengetahui pengaruh modifikasi HMT pada pati walur terhadap kestabilan pati walur selama pemanasan. Menurut Collado et al. (2001), viskositas breakdown menunjukkan derajat kemudahan granula pati terdisintegrasi, dan merupakan indikasi derajat kestabilan granula pati. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa viskositas breakdown cenderung menurun selama modifikasi jika dibandingkan dengan kontrol. Selama pemanasan pada suhu 100oC, viskositas breakdown cenderung menurun seiring dengan waktu pemanasan yang semakin lama. Tingkat penurunan viskositas breakdown ini lebih jelas terlihat dengan menggunakan parameter perubahan relatif viskositas breakdown terhadap viskositas puncak atau dikenal dengan viskositas breakdown relatif (Syamsir, 2012). Pada Tabel 6, telihat bahwa jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya, viskositas breakdown relatif pati walur cenderung mengalami penurunan. Penurunan ini ditegaskan dengan analisis t test dan ANOVA yang menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara viskositas breakdown pati walur kontrol dengan sampel pati walur HMT. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Varatharajan et al. (2010), Olayinka et al (2006), dan Watcharatewinkul et al (2009). Hal ini menunjukkan bahwa pati walur hasil HMT lebih stabil terhadap panas. Peningkatan kestabilan pati terhadap panas terjadi akibat pembentukan ulang ikatan-ikatan yang ada di dalam granula pati walur. Pembentukan ulang ini menghasilkan ikatan amilopektin heliks ganda yang lebih banyak terutama di daerah amorphous granula pati. Pembentukan ikatan ini berperan dalam perubahan sifat kristalinitas pati (Adebowale dan Lawal, 2002). Namun, selama pemanasan pada suhu 110oC, terjadi sedikit peningkatan pada viskositas breakdown seiring dengan waktu pemanasan yang meningkat. Hal ini juga dialami oleh Zavarese et al. (2010). Peningkatan viskositas breakdown selama modifikasi pada suhu 110oC mungkin terjadi karena pengisian pati pada wadah saat akan melakukan HMT kurang penuh sehingga terdapat rongga di dalam wadah dan air cenderung berkumpul pada rongga tersebut. Akibatnya proses HMT menjadi kurang sempurna.

d. Viskositas Balik(VB)

Viskositas balik adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kecenderungan

Dokumen terkait