KONDISI WILAYAH YOGYAKARTA PADA MASA HAMENGKUBUWANA VII YANG MELATARBELAKANG
B. Munculnya Kebutuhan Akan Sarana Transportasi Kereta Api Di Yogyakarta
Meningkatnya persewaan tanah yang dipakai untuk perkebunan swasta membuat semakin mendorong meningkatnya arus transportasi untuk mengangkut barang hasil perkebunan dari perkebunan tersebut menuju daerah pelabuhan. Sebagai perbandingan, sebelum Perang Jawa, Residen Yogyakarta, Mayor Hubert Gerard Nahuys van Burgst (1818-1823) membuat kesepakatan kepada Keraton Surakarta dan Yogyakarta agar bertanggung jawab atas keselamatan barang- barang hasil perkebunan yang diangkut hingga sampai batas wilayah kedua
kerajaan tadi.24
Nahuys menyadari pentingnya sarana transportasi untuk mengirim barang hasil perkebunan di Yogyakarta dan Surakarta menuju pelabuhan-pelabuhan
Vorstenlanden 1850-1900, dalam Harahap, Arselan. Prisma, Industri Perkebunan: Kemakmuran Untuk Siapa? (Jakarta:1991) Hal. 16-17).
23
BPAD DIY, op.cit., Hal. 7 24
30
ekspor yang berada di utara Jawa harus melalui jalan yang panjang. Kondisi ini merupakan perjalanan yang beresiko, terutama pada keamanan barang tersebut.
Selesainya Perang Jawa menyebabkan permasalahan di bidang transportasi. Akses jalan dari dan menuju Yogyakarta mengalami kerusakan. Jalan raya dan jalan militer yang dibuat guna memadamkan Perang Jawa banyak mengalami
kerusakan. terlebih setelah perang selesai kondisi jalan tersebut menjadi tidak
terurus. 25
Perbaikan jalan mulai dilakukan pada jalur yang menuju Semarang serta yang mengarah ke timur menuju Surakarta dengan melewati Klaten. Perbaikan jalan juga dilakukan di daerah selatan Yogyakarta, tepatnya di daerah pegunungan selatan menuju Pacitan untuk memperlancar akses perdangangan sarang burung di Rongkop, Gunung Kidul. Selain itu, dibangun juga jalan yang menuju Bagelen
melewati Brosot dan Semangi menuju Purworejo pada tahun 1832.26
Membaiknya kondisi ekonomi Belanda makin mendorong pembangunan di Hindia Belanda, antara lain pembangunan fasilitas transportasi darat yang terus dilakukan oleh Belanda. Hingga akhir abad 19 di Hindia Belanda sudah terbangun jaringan jalan sepanjang 20.000 Km, 250 jembatan batu dengan panjang lebih dari
10 meter, 1500 jembatan kecil, serta sekitar 10.000 jembatan besi.27 Pembangunan
fasilitas transportasi bertujuan untuk mendukung kemampuan bersaing Belanda di
25
Surjomihardjo, Abdurahman, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930, (Jakarta:2008). Hal. 25
26
Ibid. 27
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900:
31
tengah-tengah persaingan perdagangan hasil bumi di wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Karena bagi Belanda, dengan lancarnya arus transportasi dari
daerah hulu28 yang merupakan daerah penghasil komoditas hasil bumi, semakin
cepat komoditas tersebut dapat dikapalkan dan semakin cepat pula tersedia di pasaran dunia.
Pembangunan fasilitas tersebut memang bertujuan mempercepat laju transportasi komoditas ekspor. Hanya saja, ada empat faktor yang masih memperlambat arus transportasi komoditas ekspor tersebut, yaitu faktor cuaca, faktor keamanan, faktor alat transportasi yang dipakai, dan faktor harga.
Faktor pertama adalah alat transportasi yang dipakai. Pada masa itu, untuk mengangkut hasil bumi dipakai gerobak yang masih ditarik sapi atau kerbau. Ketersediaan sapi dan kerbau yang terbatas serta masih diharuskannya pengusaha perkebunan untuk mengusahakan alat transportasinya sendiri membuat pihak pengusaha harus membuat perjanjian kerja dengan para petani yang memiliki gerobak untuk disewa baik selama proses pengangkutan dari ladang menuju
pabrik maupun dari pabrik menuju daerah pelabuhan.29
Faktor kedua adalah faktor cuaca. Cuaca menyebabkan pengiriman komoditas menjadi tidak tepat waktu yang menyebabkan kapal-kapal di pelabuhan
28
Wolfe, Roy L., Transportation and Politics (Kanada: 1963) Hal. 52.
Wilayah ini juga disebut core area, wilayah inti yang menjadi penentu dari
jalannya kegiatan perekonomian suatu wilayah, misalnya daerah pertanian atau pertambangan. Karenanya lalu lintas barang dan manusia serta arus komunikasi di wilayah ini lebih ramai dari daerah lainnya.
29
Widi Wardojo, Waskito, 2012, “Jalur Kereta Api Semarang-Surakarta
dan Pengaruh Sosial Ekonomi di Karesidenan Surakarta”, Tesis, Universitas
32
hilir harus menunggu lama karena barang muatan yang tak kunjung datang. Terlambatnya pengiriman komoditas ekspor tersebut dikarenakan kondisi jalan yang berupa tanah sehingga bila hujan turun dapat berubah menjadi genangan lumpur. Tentu saja ini menyulitkan gerobak yang ditarik oleh sapi atau kerbau untuk melewatinya.
Faktor ketiga adalah faktor keamanan yang sangat rawan karena pengiriman lewat darat dalam jumlah besar menarik perhatian banyak orang dan tak jarang menarik perhatian banyak orang. Tidak hanya barang bawaannya saja yang memiliki resiko dicuri, resiko sapi atau kerbau yang menarik gerobak untuk dicuri atau mati dalam perjalanan juga sangat tinggi.
Faktor keempat adalah faktor harga. Walaupun dengan banyaknya permintaan akan gerobak mengakibatkan keberadaan gerobak menjadi sangat banyak, bahkan pemilik gerobak boleh dikatakan menjadi pekerjaan semi professional, harga yang ditawarkan selalu naik karena persaingan antara perusahaan satu dan yang lainnya yang berani menyewa dengan harga tinggi. Sebagai gambaran, harga biaya angkut gerobak dengan muatan satu pikul kopi dari Kedu (Magelang) menuju Semarang saja pada tahun 1840 seharga f 3.30.
Harga itu naik dari harga tahun 1833 yang sekitar f 1, 36.30
Sebagai gambaran tentang penggunaan gerobak sebagai sarana pengangkutan di Yogyakarta pada masa ini, daya jelajal gerobak tidak hanya terbatas di lingkungan Yogyakarta saja (Wates, Gondomanan, Ngabean,
30
Zuhdi, Susanto, Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu
33
Lempuyangan, Utara Tugu, Utara Pasar Beringharjo, Kaliurang), tetapi sampai
wilayah Magelang, Temaggung, Wonosobo, Solo, Sragen, dan Purworejo.31
Biasanya gerobak tersebut dikontrak oleh pabrik gula guna mengangkut barang pada masa penanaman dan pemeliharaan tebu (untuk mengangkut bibit tebu, pupuk dan obat tanaman dari pabrik ke lahan penanaman), hingga pada masa
panen tebu (untuk mengangkut hasil panen ke pabrik).32
Untuk menjaga efektifitas pengiriman barang komoditas ekspor tersebut, Belanda mulai memikirkan skenario-skenario yang cocok untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Berawal dari artikel majalah Kopiist, tahun 1842
dengan judul “Jalur-Jalur Kereta Uap dan Gerbong-Gerbongnya”, impian masyarakat dan pemerintah akan kehadiran sebuah alat transportasi yang aman,
cepat, dan tepat waktu semakin nyata.33 Setelah perdebatan yang berlangsung
cukup lama tentang pengelolaan jaringan kereta api uap di Hindia Belanda, akhirnya pemerintah Belanda berhasil membuat aturan seputar penyelenggaraan jaringan kereta api uap yang dipegang oleh perusahaan swasta NISM.
Kereta api pertama di Hindia Belanda dapat beroperasi melintasi jalur Semarang-Tanggung (Grobogan, Jawa Tengah) pada tanggal 10 Februari 1870
31
Wikanto, Edi, 1986, “Gerobak Sebagai Sarana Transportasi Di
Yogyakarta Antara Tahun 1942-1972: Kaitannya Dengan Kondisi Sosial Ekonomi”, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, unpublished, Hal. 14-15
32
Ibid.,. Hal. 19 33
Mrazek, Rudolf, Engginers of Happy Land: Perkembangan Teknologi
34
dan menghubungkan Surakarta. Pada tanggal 10 Juni 1872, jalur yang tersambung menuju Yogyakarta berhasil diselesaikan.
Keunikan jalur kereta api di Jawa, yang langsung terhubung dengan kota- kota pelabuhan serta penggunaannya yang pada awalnya untuk mengangkut hasil perkebunan membuat usaha kereta api memiliki kedekatan dengan industri pelayaran dan pelabuhan. Seperti jalur kereta NISM yang memiliki hubungan baik dengan pelabuhan di Semarang.
Meskipun pada masa ini era Liberalisme sedang berlangsung, ternyata Pemerintah Belanda juga memiliki kepentingan untuk membangun jaringan kereta api milik perusahaan pemerintah Belanda. Melihat peluang dari dibukanya jalur kereta api oleh NISM, segera dibentuk badan usaha milik pemerintah Belanda
yang bergerak di bidang transportasi, De Staatsspoor en Tramwegen (SS) di
Hindia Belanda berdiri tahun 1878.34
Pada gilirannya, SS dapat berperan menjadi pesaing yang baik bagi NISM maupun perusahaan swasta lainnya yang mulai bermunculan dan menanam rel di
pulau Jawa. Jumlah jalur yang dimiliki SS sepanjang 187.283 Km35. Untuk jalur
kereta milik swasta (NISM), dan perusahaan swasta lainnya) di Jawa Tengah
34
Dasrin Zen dan PT. Kereta Api (Persero), Tanah Kereta Api :Suatu
Tinjauan Historis, Hukum Agraria/Pertanahan dan Hukum Pembendaharaan Negara, (Bandung: 2000) Hal. 1
35
Zuhdi, Susanto, CILACAP (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu
35
berjumlah 1665 Km.36 Status Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan wilayah
hulu dan maraknya kegiatan sewa menyewa tanah menjadikan daerah tersebut sebagai target utama dalam jalur transportasi kereta api. Jalur kereta api SS yang
ada di Yogyakarta berawal dari Stasiun Tugu yang berdiri tanggal 12 Mei 188737
dan terhubung dengan pelabuhan Cilacap di sebelah barat Yogyakarta.
Munculnya SS membawa pengaruh bagi persewaan tanah di Yogyakarta, yaitu tumbuhnya perkebunan swasta di sebelah barat Yogyakarta yang makin tumbuh seiring dengan terbentuknya jalur kereta api milik SS yang menuju Pelabuhan Cilacap. Diantaranya Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden (Sewoegaloer), NV. Cultuur Maatschappij Padokan en Barongan (Padokan), Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden (Rewoeloe), N.V. Maatschappij tot Exploitatie der Suiker Fabriek Tjebongan, dan Indigo Onderneming Soember Nilo.38
36
Putra, Tiyas Adi, 2012, “Latar Belakang Pemilihan Lokasi Stasiun Tugu
dan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta”, Skripsi, Universitas Gajah Mada,
unpublished. Hal. 28. 37
Ballegoijen de Jong, Michiel van, Spoorwegstations Op Java,
(Amsterdam:1997) Hal 146 38
Data diolah dari http://kaarten.abc.ub.rug.nl/root/afz/indo/krt-1890-indo-
36 BAB III
PEMBANGUNAN DAN PERKEMBANGAN STASIUN TUGU DI