• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Work-Life Balance

Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran work-life balance dari subjek penelitian. Oleh karena itu, peneliti menggunakan alat

penelitian berupa skala work-life balance. Jumlah aitem pada skala work-life balance yang digunakan dalam penelitian ini adalah 14 aitem dengan 5 alternatif

pilihan jawaban. Hasil perhitungan rata-rata empirik dan rata-rata hipotetik work-life balance dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.13. Mean Empirik dan Mean Hipotetik Work-Life Balance

Variabel Skor Empirik Skor Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Work-Life Balance 31 70 54.37 6.237 14 70 42 9.33

Berdasarkan tabel 4.13, diperoleh bahwa nilai rata-rata empirik work-life balance adalah 54.37 dengan nilai standar deviasi sebesar 6.237 dan nilai rata-rata

hipotetik work-life balance adalah 42 dengan nilai standar deviasi sebesar 9.33. Jika dilihat perbandingan antara nilai rata-rata empirik dan nilai rata-rata hipotetik, maka dapat dilketahui bahwa tingkat work-life balance pada subjek penelitian lebih tinggi daripada rata-rata tingkat work-life balance pada populasi umumnya.

b. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Persepsi Dukungan Organisasi

Tujuan selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi dukungan organisasi dari subjek penelitian. Oleh karena itu, peneliti menggunakan alat penelitian berupa skala persepsi dukungan organisasi. Jumlah aitem pada skala persepsi dukungan organisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 aitem dengan 5 alternatif pilihan jawaban. Hasil perhitungan rata-rata empirik dan rata-rata-rata-rata hipotetik persepsi dukungan organisasi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.14. Mean Empirik dan Mean Hipotetik Persepsi Dukungan Organisasi

Variabel Skor Empirik Skor Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Persepsi Dukungan

Organisasi

40 87 65.08 7.746 18 90 54 12

Berdasarkan tabel 4.14, diperoleh bahwa nilai rata-rata empirik persepsi dukungan organisasi adalah 65.08 dengan nilai standar deviasi sebesar 7.746 dan nilai rata-rata hipotetik persepsi dukungan organisasi adalah 54 dengan nilai standar deviasi sebesar 12. Jika dilihat perbandingan antara nilai rata-rata empirik dan nilai rata-rata hipotetik, maka dapat dilketahui bahwa tingkat persepsi dukungan organisasi pada subjek penelitian lebih tinggi daripada rata-rata tingkat persepsi dukungan organisasi pada populasi umumnya.

6. Kategorisasi Skor Work-Life Balance dan Persepsi Dukungan Organisasi a. Kategorisasi Skor Work-Life Balance

Kategorisasi skor work-life balance dapat diperoleh dengan perhitungan nilai rata-rata hipotetik sebesar 42 dan standar deviasi sebesar 9.33 yang dibulatkan menjadi 9.

Tabel 4.15. Kategorisasi Skor Work-Life Balance

Rentang Nilai Kategori Jumlah (N) Presentase

X < 33 Rendah 1 0.38%

33 ≤ X < 51 Sedang 60 22.90%

X ≥ 51 Tinggi 201 76.72%

Jumlah 262 100%

Berdasarkan tabel 4.15 dapat diketahui bahwa jumlah subjek penelitian yang memiliki work-life balance pada kategori rendah adalah 1 orang (0.38%), jumlah subjek penelitian yang memiliki work-life balance pada kategori sedang adalah 60 orang (22.90%) dan jumlah subjek penelitian yang memiliki work-life balance pada kategori tinggi adalah 201 orang (76.72%).

b. Kategorisasi Skor Persepsi Dukungan Organisasi

Kategorisasi skor persepsi dukungan organisasi dapat diperoleh dengan perhitungan nilai rata-rata hipotetik sebesar 54 dan standar deviasi sebesar 12.

Tabel 4.16. Kategorisasi Skor Persepsi Dukungan Organisasi

Rentang Nilai Kategori Jumlah (N) Presentase

X < 42 Negatif 1 0.38%

42 ≤ X < 66 Netral 139 53.06%

X ≥ 66 Positif 122 46.56%

Berdasarkan tabel 4.16 dapat diketahui bahwa jumlah subjek penelitian yang memiliki persepsi dukungan organisasi pada kategori rendah adalah 1 orang (0.38%), jumlah subjek penelitian yang memiliki persepsi dukungan organisasi pada kategori sedang adalah 139 orang (53.06%) dan jumlah subjek penelitian yang memiliki persepsi dukungan organisasi pada kategori tinggi adalah 122 orang (46.56%).

B. PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh persepsi dukungan organisasi terhadap work-life balance dengan nilai R2 = 0.336 dan p = 0.000. Hal ini berarti bahwa semakin positif persepsi dukungan organisasi seseorang maka semakin tinggi tingkat work-life balance nya, sebaliknya semakin negatif persepsi dukungan organisasi seseorang maka semakin rendah tingkat work-life balance nya.

Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan pengaruh persepsi dukungan organisasi terhadap work-life balance. Pertama, persepsi dukungan organisasi dimaknai karyawan sebagai bentuk keinginan organisasi untuk membantu karyawan dalam mengatur kehidupan kerja dan keluarganya (Shafter, Harrison, Gilley & Luk, 2001). Hal ini ditandai dengan kebijakan organisasi dalam menyediakan waktu kerja yang fleksibel bagi karyawan (Warren & Jhonson, 1995; Khan, Saleem, Khan & Khan, 2016). Selain itu, Kossek, Pichler, Bodner dan Hammer (2011) menambahkan bahwa adanya perhatian merupakan salah satu bentuk dukungan tidak langsung yang diberikan organisasi terhadap kehidupan keluarga karyawan. Dengan demikian, karyawan yang merasakan adanya

dukungan dari organisasi akan lebih mampu mengurangi tingkat stres dalam kehidupan keluarganya sehingga karyawan tersebut mampu memenuhi peran di pekerjaan dan keluarga dengan seimbang (Thakur dan Kumar, 2015).

Kedua, work-life balance ditandai dengan adanya pembagian waktu dan komitmen yang baik oleh karyawan dalam memenuhi tuntutan peran di kehidupan pekerjaan dan keluarganya (Greenhaus & Allen, 2011). Keseimbangan pemenuhan tuntutan pekerjaan dan keluarga tidak hanya menjadi fokus karyawan, tetapi juga menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh organisasi. Ketika karyawan merasa bahwa kehidupannya diperhatikan oleh organisasi, maka karyawan akan mempersepsikannya sebagai dukungan organisasi (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian Kumarasamy, dkk (2015) yang menyatakan bahwa dukungan organisasi dapat membantu karyawan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan keluarga.

Ketiga, bagi karyawan yang sudah menikah, setiap organisasi sebaiknya meletakkan peran pekerjaan dan keluarga dalam kedudukan yang sama penting sehingga karyawan dapat menjalankan kedua perannya dengan seimbang (Thompson & Prottas, 2006; Sinha, 2012). Berkaitan dengan hal itu, dukungan terhadap kehidupan pekerjaan dan keluarga merupakan sebuah bentuk penghargaan organisasi terhadap kontribusi karyawan. Hal ini yang kemudian membuat karyawan merasa bahwa mereka tidak perlu mengorbankan kehidupan keluarga demi memenuhi tuntutan pekerjaannya sehingga mereka dapat menaruh perhatian kepada kehidupan pekerjaan dan keluarganya secara seimbang (Kossek, Colquitt & Noe, 2001).

Berdasarkan hasil tambahan penelitian diperoleh bahwa aspek keadilan, dukungan yang diterima dari atasan, dan penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan berkorelasi dengan work-life balance. Pada aspek keadilan, Shore dan Shore (1995) menyatakan bahwa keadilan dalam membuat keputusan merupakan bentuk perhatian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Hal ini menjadi penting karena ketika karyawan merasa bahwa organisasi memperhatikan kesejahteraannya, maka tidak sulit bagi karyawan untuk memenuhi tuntutan peran pekerjaan dan keluarganya.

Pada aspek dukungan yang diterima dari atasan, adanya dukungan dari atasan terhadap kehidupan pekerjaan dan keluarga merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh karyawan (Stachowski, 2013). Atasan memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan kesejahteraan karyawan dalam menjalankan perannya di dalam pekerjaan dan keluarga dimana hal ini merupakan indikasi dari adanya persepsi dukungan organisasi (McCarthy, Cleveland, Hunter, Darcy & Grady, 2013; Kumarasamy, Pangil & Isa, 2015).

Pada aspek penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan, (Karasek & Theorell, 1990; Fagan, Lyonette, Smith & Tejeda, 2012) menjelaskan bahwa kondisi beban kerja yang terlalu berat akan menimbulkan stres yang membuat karyawan kesulitan menyeimbangkan tuntutan peran pekerjaan dan keluarganya. Selain itu, kondisi kerja yang tidak aman juga akan menghambat karyawan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga dengan seimbang. Sementara itu, Lazar, Osoian dan Ratiu (2010) menjelaskan bahwa sistem penggajian yang baik dari organisasi akan mendukung keseimbangan pemenuhan tuntutan pekerjaan

dan keluarga karyawan. Beham dan Drobnic (2010) juga menambahkan bahwa kemandirian karyawan dalam bekerja akan membawa dampak positif bagi kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawan. Rhoades dan Eisenberger (2002) kemudian menyimpulkan bahwa beban kerja, ketidakamanan dalam bekerja, sistem penggajian dan kemandirian merupakan hal yang dipersepsikan karyawan sebagai dukungan organisasi.

Hasil tambahan dalam penelitian ini mengemukakan bahwa ada dua aspek persepsi dukungan organisasi yang berpengaruh terhadap work-life balance, yaitu aspek keadilan dan aspek dukungan yang diterima dari atasan.

BAB V

Dokumen terkait