• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Penelitian Utama

4.2.1 Nilai organoleptik

Penilaian mutu ikan secara organoleptik merupakan metode penilaian secara sensori yang menggunakan panca indera manusia. Metode ini merupakan cara yang digunakan untuk mengukur, menganalisa dan menginterpretasikan karakter dari suatu bahan pangan (Huss 1995). Penetapan fase kemuduran mutu pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa lembar nilai (score sheet)

yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006). Nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S

Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai organoleptik pada ikan dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Hal ini berarti bahwa semakin lama ikan disimpan maka mutu ikan akan semakin menurun. Menurut Ozogul et al. (2006), semakin lama waktu penyimpanan maka nilai mutu organoleptik/sensori dari ikan akan semakin menurun.

Secara umum, nilai organoleptik ikan P, Q, R dan S tidak menunjukan perbedaan yang mencolok. Kondisi tidak dipuasakan-dipuasakan atau kenyang-lapar pada ikan bandeng tidak berpengaruh terhadap mutu organoleptik dari ikan bandeng. Perbedaan hanya terjadi pada lamanya ikan mengalami kemunduran mutu dimana ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang (P dan Q) lebih cepat busuk, yaitu pada jam ke-19 penyimpanan serta ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling mengalami kebusukan lebih lama,

yaitu pada jam ke-540 (23 hari). Suhu penyimpanan memberikan efek terhadap kemunduran mutu pada ikan. Hal ini dikarenakan perkembangan bakteri pembusuk dapat ditekan dengan suhu yang lebih rendah (Huss 1995).

Pada ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling (kode: R dan S), ikan yang dipuasakan (kode: S) memiliki nilai organoleptik yang lebih baik dibanding ikan yang tidak dipuasakan (kode: R) sampai fase post rigor. Hal ini dikarenakan pada ikan yang dipuasakan/lapar proses pemecahan ATP berlangsung lebih lambat sehingga kondisi post mortem-nya lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan terhadapan ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang disimpan pada suhu dingin, kondisi kenyang-lapar pada ikan berpengaruh pada kadar glikogen dan ATP dari ikan tersebut. Glikogen dan ATP digunakan untuk proses metabolisme ikan dan rendahya kadar glikogen dan ATP memperlambat metabolisme ikan. Rendahnya metabolisme pada ikan ketika mati akan menyebabkan kondisi stres pada ikan berkurang sehingga kemunduran mutu sensori berlangsung lebih lambat (Morkore et al. 2008).

Pada fase pre rigor, nilai organoleptik dari ikan P, Q, R, dan S bernilai 9 atau masih dalam kondisi segar. Menurut Adawyah (2007), ikan yang masih segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa maupun teksturnya. Ikan bandeng segar ini mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, serta belum ada perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki dinding perut utuh. Bau ikan sangat segar sesuai dengan jenis. Teksturnya padat, elastis bila ditekan dengan

jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Berdasarkan SNI 01-2346-2006, ikan segar memiliki nilai organoleptik 7-9

(BSNb 2006).

Pada fase rigor mortis, ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-8. Ikan ini memiliki ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang

tulang belakang, dinding perut utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang.

Fase post rigor ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik untuk dimakan sebelum ikan tersebut busuk. Pada skala 1-9, nilai organoleptik 7 merupakan batas akhir dimana ikan dalam kondisi terbaik untuk dimakan (BSNb 2006). Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Menurut SNI 01-2346-2006, nilai organoleptik 5-6 tergolong ikan yang agak segar (BSNb 2006).

Fase busuk atau tidak segar ikan bandeng ditandai dengan nilai organoleptik antara 1-3 (BSNb 2006). Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat ada sedikit putih. Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, serta mudah menyobek daging dari tulang belakang.

Kulit ikan bandeng mengalami kemunduran mutu yang sebanding seperti pada ikan bandeng utuh. Fase kemunduran mutu yang terjadi sama halnya dengan ikan bandeng. Pada kulit ikan bandeng, nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S mengalami kecenderungan yang sama seperti pada nilai organoleptik ikan bandeng. Nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Berikut disajikan nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 5.

Gambar 5. Rata-rata nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Kulit ikan bandeng mengalami kondisi yang berbeda pada setiap fase kemunduran mutu. Pada fase pre rigor, kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S memiliki nilai organoleptik 8-9 atau masih dalam kondisi segar. Kulit ikan pada fase ini memiliki ciri-ciri lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. Pada fase rigor mortis, kulit ikan bandeng memiliki nilai 7-8 dengan ciri-ciri lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan.

Pada fase post rigor kondisi kulit ikan bandeng menurun nilainya menjadi 5-6 dengan ciri-ciri lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh. Sedangkan pada fase busuk nilai organoleptik kulit adalah 3 dengan ciri-ciri lendir

tebal menggumpal, warna putih kuning. Nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Perbedaan hanya

suhu ruang mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat dibanding yang disimpan pada suhu chilling.

Pengetahuan akan mutu bahan baku dapat menjadi dasar bagi pengembangan produk dari bahan baku tersebut. Pada pemanfaatan untuk konsumsi maupun agroindustri manapun, bahan baku dari ikan yang baik akan sangat mempengaruhi mutu dan daya saing dari produk tersebut. Mutu pada ikan dapat dilihat dari daya simpan produk tersebut. Pada penelitian ini kulit ikan bandeng yang disimpan dalam suhu ruang (26-30 0C), yaitu ikan P dan Q memiliki daya simpan sekitar 19 jam dan ikan R dan S yang disimpan pada suhu

chilling ((-1)-5 0C) mempunyai daya simpan sekitar 540 jam (23 hari).

Kecepatan kemunduran mutu pada ikan terjadi tergantung pada beberapa hal. Hal ini terdiri dari jenis ikan, suhu, penanganan setelah ikan mati, ukuran, kondisi fisik ikan, serta kondisi stres pada ikan (Huss 1995). Pada ikan-ikan laut tertentu di daerah tropis, kecepatan kemunduran mutu tergantung dari perbedaan suhu pada habitat asal dan suhu penyimpanan. Makin besar perbedaan suhu pada

habitat dan suhu penyimpanan makin cepat ikan membusuk (Abe dan Okuma 1991 dalam Huss 1995). Salah satu cara dalam mencegah

kemuduran mutu pada ikan adalah dengan menyimpan ikan pada suhu chilling. Suhu chilling dapat memperlambat kemunduran mutu pada ikan dikarenakan suhu

chilling dapat menghambat aktivitas bakteri pembusuk pada ikan. Namun, suhu chilling tidak banyak membantu dalam hal kemunduran mutu karena pengaruh

enzim atau autolisis (Medina et al. 2009). 4.2.2 Nilai pH

Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu zat atau larutan (HAM 2001). Nilai pH dapat menunjukkan tingkat kesegaran dari ikan. Nilai pH ikan yang sudah tidak segar tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih segar. Hal ini karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa, misalnya amoniak, trimetilamin dan senyawa basa volatil lainnya (Poli et al. 2005). Hasil pengukuran nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R dan S selama kemunduran mutu disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Rata-rata nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 6 mengalami perubahan selama periode kemunduran mutu. Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S turun pada saat setelah ikan dimatikan kemudian naik kembali setelah fase rigor mortis sampai busuk. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada saat setelah ikan dimatikan (pre rigor) adalah 6,42 sedangkan kulit ikan bandeng Q dan S pada fase pre rigor memiliki nilai pH 7,11. Ketika memasuki fase

rigor mortis, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S turun. Hal ini disebabkan

karena akumulasi asam laktat akibat respirasi anaerob. Respirasi anaerob sendiri terjadi akibat terhentinya aliran darah yang membawa oksigen pada ikan setelah ikan itu mati sehingga terjadi respirasi anaerob glikogen yang menghasilkan asam laktat (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada fase rigor mortis, yaitu 6,02 sedangkan kulit ikan bandeng Q dan S pada fase

sebelumnya pada fase rigor mortis. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan Q pada fase post rigor bernilai 6,61 dan 6,78 serta kulit ikan bandeng R dan S bernilai 6,55 dan 6,78. Pada fase busuk, nilai pH kulit ikan bandeng terus naik. Pada fase busuk, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S berturut-turut adalah 6,79, 7,02, 7,80, dan 6,94. Kenaikan nilai pH pada fase post rigor dan busuk disebabkan karena terakumulasinya basa-basa volatil akibat aktivitas bakteri (Huss 1995). Nilai pH ikan pada saat fase post mortem berkisar antara 7,4-6,0 atau dapat lebih rendah lagi (Delbarre-Ladrat et al. 2006).

Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S secara umum tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok selama kemunduran mutu. Perbedaan nilai pH terdapat pada fase-fase kemunduran mutu ikan selama penyimpanan. Pada fase awal kemunduran mutu ikan, nilai pH ikan berkisar netral dikarenakan belum terjadi penurunan pH akibat respirasi anaerob glikogen. Nilai pH akan turun akibat dihasilkannya asam laktat akibat respirasi anaerob glikogen yang disebabkan terhentinya aliran oksigen setelah ikan mati. Nilai pH akan naik setelah glikogen habis melewati proses respirasi anaerob. Autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri yang menghasilkan senyawa-senyawa basa menyebabkan kenaikan nilai pH pada ikan (Huss 1995). Ketika pH turun, enzim autolisis terutama enzim katepsin yang aktif pada suhu asam akan mendegradasi

protein menyebabkan terdegradasinya protein pada ikan (Delbarre-Ladrat et al. 2006).

Pengujian sidik ragam (ANOVA) dengan α=0,05 dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kombinasi ikan bandeng sebelum dipanen P, Q, R, dan S terhadap nilai pH selama kemunduran mutu. Hasil penelitian

menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada fase-fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor serta busuk) selama waktu penyimpanan

(ANOVA; α=0,05) (Lampiran 5). Hal serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang diberi perlakuan diberi makan dan tidak sebelum dipanen pada penyimpanan dingin (Morkore et al. 2008). Perbedaan nilai pH tersebut dikarenakan nilai pH ikan

berubah seiring waktu kemunduran mutu akibat terbentuknya asam laktat dan aktivitas enzim serta bakteri (Huss 1995).

Dokumen terkait