• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Definisi Organisasi

Organisasi menurut Robbins (1990) merupakan sebuah entitas sosial yang terkoordinasi secara sadar dengan ikatan yang relatif dapat diidentifikasi, yang memiliki fungsi mendasar dari keanggotaannya yang bersifat berkelanjutan, untuk mencapai sebuah tujuan umum atau seperangkat tujuan bersama. Adapun penjelasan dari definisi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Entitas sosial berarti bahwa organisasi merupakan sebuah unit yang terdiri dari orang-orang atau sekelompok orang yang saling berinteraksi satu sama lain. Karena organisasi merupakan sebuah entitas sosial, maka pola interaksi yang berkembang antar anggotanya haruslah terjalin dengan harmonis dan serasi untuk meminimalisir hal-hal yang dapat mengacaukan organisasi. Implikasi paling penting dari definisi ini adalah secara eksplisit adanya kebutuhan untuk menjalankan koordinasi sebagai pola umum interaksi yang terjadi antar anggota organisasi.

b. Terkoordinasi secara sadar bermakna bahwa dalam sebuah organisasi memerlukan sebuah manajemen atau pihak yang menjalankan fungsi manajerial.

c. Organisasi memiliki ikatan yang secara relatif dapat diidentifikasi. Hal ini berarti ikatan dalam organisasi tersebut bisa saja berubah dari waktu ke waktu dan ada kemungkinan tidak senantiasa jelas dalam perkembangannya. Namun hal yang harus selalu jelas dalam ikatan ini adalah adanya ikatan yang secara definitif dapat membedakan antara anggota organisasi dengan non-anggota organisasi.

d. Individu-individu dalam organisasi memiliki ikatan keanggotaan yang kontinyu. Ini tidak berarti bahwa status keanggotaan dalam organisasi berlangsung seumur hidup. Justru secara konstan, biasanya organisasi akan melakukan pergantian anggota, meskipun besar kemungkinan tetap ada anggota organisasi yang bertahan menjadi anggota, dengan derajat keanggotaan yang berubah.

e. Organisasi didirikan untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Hal ini berarti bahwa tujuan besar tersebut tidak dapat dicapai jika hanya diusahakan seorang diri. Adanya kerja bersama dengan individu lain memungkinkan tujuan bersama yang ingin diraih, dapat dicapai dengan lebih efisien.

Dari definisi di atas diketahui bahwa organisasi merupakan sebuah entitas sosial yang terkoordinasi secara relatif dapat diidentifikasi oleh

individu-individu dalam organisasi, memiliki ikatan keanggotaan yang kontinyu untuk mencapai sebuah tujuan bersama.

2. Jenis Organisasi

Menurut Latif (2009) membagi jenis-jenis organisasi berdasarkan hal tersebut, maka organisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis.

a. Organisasi formal. Dalam organisasi jenis ini, terdapat tujuan dan hirarki kewenangan yang jelas. Pola-pola koordinasi yang diterapkan pun bersifat rasional, dibagi sesuai dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

b. Organisasi sosial. Pada jenis organisasi ini, koordinasi yang muncul bersifat spontan tanpa melibatkan pembagian tugas dan koordinasi yang rasional demi mencapai tujuan bersama. Diantara jenis organisasi ini adalah hubungan teman atau peer group. Dalam hubungan teman, mungkin saja terdapat kesepakatan bersama untuk melakukan suatu aktivitas dan keinginan mencapai suatu tujuan bersama.

c. Organisasi informal, merupakan organisasi yang pola koordinasinya hadir diantara para anggota organisasi formal yang sebenarnya tidak terdapat dalam cetak biru organisasi.

Dalam sebuah organisasi, Munandar (2001) menyebutkan bahwa secara struktural akan terdapat dua jenis kelompok kerja. Kelompok dalam organisasi ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal diberi batasan oleh struktur organisasi yang berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab

tertentu, yang pelaksanaannya diarahkan pada tercapainya tujuan organisasi. Kelompok informal merupakan organisasi yang tidak diberi batasan oleh struktur organisasi dan terjadi secara spontan antara sejumlah tenaga kerja sebagai jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan tertentu.

Kelompok formal dapat dibedakan menjadi kelompok komando dan kelompok tugas (Munadar, 2001). Ciri khas pada kelompok komando adalah adanya sejumlah staf yang melapor secara langsung kepada seorang manajer tertentu. Sementara kelompok tugas merupakan kelompok dalam yang terdiri dari tenaga kerja yang bekerja bersama untuk menyelesaikan pekerjaan. Secara definitif, kelompok komando dapat juga dikategorikan sebagai kelompok tugas. Hal yang membedakan adalah pada kelompok tugas mungkin saja terdiri dari tenaga kerja yang berasal dari satuan- satuan kerja lain dalam organisasi dan bersifat sementara.

Berdasarkan definisi di atas, Kantor Akuntan Publik (KAP) yang akan diteliti termasuk dalam organisasi formal yang didalamnya terdapat kelompok formal. Hal ini dikarenakan dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) terdapat tujuan dan hirarki kewenangan yang jelas. Terdapat koordinasi dan dibagi sesuai dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kantor Akuntan Publik (KAP) memiliki struktur dan hirarki yang jelas serta terdapat kelompok formal yang diberi batasan oleh struktur organisasi yang berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab tertentu, yang pelaksanaannya diarahkan pada tercapainya tujuan organisasi.

C. Komitmen Organisasi

Komitmen anggota organisasi menjadi hal penting bagi sebuah organisasi dalam menciptakan kelangsungan hidup sebuah organisasi apapun bentuk organisasinya. Komitmen menunjukkan hasrat karyawan sebuah perusahaan untuk tetap tinggal dan bekerja serta mengabdikan diri bagi perusahaan (Amilin dan Dewi, 2008).

Robbins (2001) mendefinisikan komitmen pada organisasi yaitu sampai tingkat mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Sedangkan menurut Hatmoko (2006), komitmen organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan sasaran- sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi.

Menurut Anik dan Arifuddin (2003), komitmen dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai- nilai dari organisasi dan atau profesi.

2. Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi dan atau profesi.

3. Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi dan atau profesi.

Dari ketiga definisi di atas diketahui bahwa komitmen merupakan kepercayaan, kemauan, dan keinginan untuk kepentingan organisasi dan atau profesi. Menurut Anik dan Arifuddin (2003) mengemukakan komitmen organisasi terbangun bila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan atau profesi antara lain: 1. Identification yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan organisasi. 2. Involment yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan

bahwa pekerjaannya adalah menyenangkan.

3. Loyality yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan tempat tinggal.

Berdasarkan beberapa definisi dan pemaparan di atas, peneliti mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sikap kerja seseorang yang merupakan hasil dari identifikasi diri dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi yang mempengaruhi keputusan pekerja untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.

Terdapat berbagai definisi yang berusaha menjelaskan mengenai komitmen organisasi. Untuk itu Meyer & Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai:

“is a psychological state that (a) characterizes the employee’s relationship with the organization, and (b) has implications for the decision to continue membership in the organization”.

Dari penjelasan di atas, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai kondisi psikologis yang menggambarkan hubungan karyawan dengan

organisasi dan mempengaruhi keputusan karyawan untuk melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi tersebut.

Komitmen organisasi dengan penekanan pada ikatan afektif sebagai kekuatan relatif dari identifikasi dan keterlibatan individu dengan organisasi tertentu, komitmen organisasi yang berfokus pada persepsi dipandang sebagai keuntungan yang diasosiasikan dengan mempertahankan keterlibatan dalam organisasi dan kerugian yang diasosiasikan dengan meninggalkan organisasi. Pekerjaan yang memiliki komitmen merasa memiliki kewajiban moral untuk bertahan dalam organisasi, terlepas dari status, fasilitas dan kepuasan yang diberikan oleh organisasi kepadanya.

Dari definisi di atas, peneliti menyimpulkan untuk menggunakan pengertian komitmen organisasi dari Meyer & Allen (1997) yaitu bahwa komitmen organisasi merupakan suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan keterkaitan dan keterlibatan individu pada suatu organisasi yang melibatkan faktor afektif, kontinuans dan normatif sebagai perasaan kewajiban untuk tetap mempertahankan keanggotaannya serta persepsi mengenai kerugian yang akan muncul jika menghentikan keanggotaan di organisasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, komitmen organisasi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) penerimaan terhadap tujuan organisasi, (2) keinginan untuk bekerja keras bagi organisasi, dan (3) keinginan untuk tetap berada dalam organisasi.

Dari ketiga komponen tersebut telah berkembang menjadi tiga bentuk komitmen sebagai berikut:

a. Komitmen afektif

Komitmen ini berupa hubungan emosional yang kuat dari individu kepada organisasi. Hubungan emosional yang kuat akan berdampak pada keinginan individu untuk tetap bekerja pada suatu perusahaan karena mereka setuju dengan tujuan dan nilai-nilai dari perusahaan. Individu dengan komitmen afektif yang tinggi memiliki keinginan untuk tetap berada pada suatu organisasi karena mereka memang menginginkannya. b. Komitmen kontinuans

Komitmen ini terkait dengan dan keinginan yang kuat dari individu untuk tetap bekerja pada suatu organisasi karena dipengaruhi oleh perasaan kerugian yang akan ditimbulkan bila meninggalkan pekerjaan tersebut. Kecenderungan bertahannya individu dalam komponen kontinuans karena mereka merasakan kebutuhan untuk mempertahankan keanggotaannya. Selain itu karyawan juga mempertimbangkan hal-hal yang telah diinvestasikannya selama bekerja di organisasi.

c. Komitmen normatif

Komitmen ini menggambarkan perasaan kewajiban untuk tinggal dalam suatu organisasi oleh individu. Komitmen normatif pada diri karyawan karena mereka merasa harus terus menjadi anggota organisasi. Karyawan dengan memiliki komitmen normatif karena adanya tekanan normatif yang terinternalisasi dalam diri karyawan selama proses sosialisasi nilai-nilai pada masa awal bergabung. Hal ini akan mengakibatkan tanggung jawab moral untuk bertahan dalam organisasi.

Menurut Meyer & Allen (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu:

1. Karakteristik Organisasional

Salah satu karakteristik organisasi yang dapat mempengaruhi komitmen afektif adalah struktur organisasi.

2. Karakteristik Personal

Salah satu karakteristik organisasi yang dapat mempengaruhi komitmen afektif adalah yang berhubungan dengan usia (organisasi dan masa kerja disuatu posisi).

3. Pengalaman Kerja

Salah satu karakteristik organisasi yang dapat mempengaruhi komitmen afektif adalah yang berhubungan dengan tantangan kerja, tingkat otonomi dan berbagai keahlian yang digunakan oleh pekerja.

Menurut Meyer & Allen (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu:

1. Investasi

Karyawan yang meyakini keahlian dan training yang telah diperolehnya selama berada di suatu organisasi sulit untuk diterapkan di organisasi lain akan memiliki komitmen kontinuans yang besar dibandingkan mereka yang berpikir sebaliknya. Bahwa kehilangan uang pensiun, status dan job

security yang akan dialami individu ketika meninggalkan organisasi akan berpengaruh positif pada komitmen kontinuans terhadap organisasi. 2. Alternatif

Persepsi mengenai alternatif pekerjaan lain yang tersedia memiliki korelasi negatif dengan komitmen kontinuans. Individu yang mempersepsikan bahwa ada banyak alternatif pekerjaan yang tersedia baginya di luar organisasi akan memiliki komitmen kontinuans yang lebih rendah dibandingkan individu yang mempersepsikan alternatif yang sedikit.

Perkembangan komitmen normatif pada karyawan dalam organisasi didasari oleh tekanan yang dialami individu pada masa awal sosialisasi baik dari keluarga maupun budaya serta selama masa sosialisasi yang mereka dapatkan pada masa awal bergabung dengan organisasi. Pada masa sosialisasi ini, individu akan diajarkan mengenai tingkah laku dan sikap yang dituntut oleh organisasi. Dalam proses sosialisasi individu belajar hal-hal apa saja yang dihargai dan diharapkan dari mereka oleh keluarga, budaya serta organisasi. Kepada individu juga ditanamkan pentingnya kesetiaan pada suatu organisasi.

Komitmen normatif juga terbentuk dengan adanya psychological contract antara pekerja dan organisasi. Psychological contracts ini terdiri dari keyakinan pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan mengenai tanggung jawab dari masing-masing pihak. Pemahaman psycohological contracts

bersifat subjektif dan berbeda pada masing-masing pihak.

Komitmen profesional adalah tingkat loyalitas individu pada Profesinya seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut (Larkin, 1990) dalam Ujianto dan Alwi (2005). Tidak ada hubungan antara pengalaman internal dengan komitmen profesionalisme, lama bekerja hanya mempengaruhi pandangan profesionalisme, hubungan dengan sesama profesi, keyakinan terhadap peraturan profesi dan pengabdian pada profesi. Hal ini disebabkan bahwa semenjak awal tenaga profesi telah dididik untuk menjalankan tugas- tugas yang komplek secara independen dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan tugas-tugas dengan menggunakan keahlian dan dedikasi mereka secara profesional.

Komitmen Profesional dapat didefinisikan sebagai (1) Sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari profesi, (2) Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh- sungguh guna kepentingan profesi, (3) sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi.

E. Sikap Perubahan

Menurut Anik dan Arifuddin (2003) mengungkapkan bahwa perubahan membuat sesuatu untuk menjadi lain. Adapun perubahan terencana merupakan kegiatan perubahan yang disengaja dan berorientasi tujuan. Tujuan dari perubahan terencana: (1) perubahan itu mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan dalam lingkungan (2) perubahan itu mengupayakan perubahan perilaku karyawan. Terdapat tiga

jenis perubahan organisasi yang memiliki implikasi utama terhadap pengelolaan sumber daya manusia dan sangat mungkin tetap berlangsung dalam abad 21: (1) perubahan yang terus berlangsung ke arah strategi berfokus pada konsumen dan kualitas menyeluruh, (2) restrukturisasi organisasi dan terus berlangsungnya upaya perampingan perusahaan dan pemutusan hubungan kerja, dan (3) inisiatif untuk merespon terhadap tuntutan angkatan kerja yang semakin beragam.

Menurut Anik dan Arifuddin (2003) proses perubahan membutuhkan waktu karena organisasi merupakan sistem yang komplek dengan berbagai ketergantungan, dengan mengadakan perubahan berarti kolaborasi dan kemitraan antar manajer lini, profesional sumber daya manusia dan semua karyawan. Idealnya kerja sama ini terjadi selama berlangsungnya semua fase perubahan, di mulai dari pengertian terhadap sifat perubahan organisasi itu sendiri dan terus berlanjut pada perencanaan, pelaksanaan, penelitian kembali, dan menyesuaikan kembali sumber daya manusia, pengembangan organisasi hampir selalu berfokus pada nilai (values), sikap (attitudes), kepemimpinan (leadership), iklim organisasi (organizations’ climate) variabel manusia (people variables). Pengembangan organisasi mengkonsentrasikan pada perasaan (feel ings) dan emosi (emotions), ide dan konsep, menempatkan pentingnya pertimbangan pada keterlibatan individual dan partisipasi.

Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan perubahan, organisasi harus senantiasa berada dalam keadaan yang siap untuk berubah. Namun, kesiapan organisasi untuk berubah juga perlu didukung oleh karyawan yang

terbuka, mempersiapkan diri dengan baik, dan siap untuk berubah (Eby, L.T., Adams, D.M., Russell, J.E.A, & Gaby, S.H., 2000). Banyak penelitian menemukan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan usaha untuk melakukan perubahan.

Kesiapan individu untuk berubah didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi (apa yang berubah), proses (bagaimana perubahan diimplementasikan), konteks (lingkungan dimana perubahan terjadi), dan individu (karakterisitik individu yang diminta untuk berubah) yang terlihat di dalam suatu perubahan (Holt, Armenakis, Field, dan Harris, 2007). Kesiapan individu untuk berubah secara kolektif juga merefleksikan sejauh mana individu atau sekelompok individu cenderung untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini (Ciliana, 2008).

Kesiapan merefleksikan keyakinan, sikap, dan intensi anggota-anggota organisasi bergantung pada sejauh mana perubahan diperlukan dan kapasitas organisasi untuk melaksanakan perubahan tersebut dengan sukses. Kesiapan merupakan tanda kognitif bagi seseorang untuk memilih antara tingkah laku menahan dan mendukung usaha perubahan. Untuk mengurangi resistensi anggota organisasi, maka perlu dibentuk kesiapan untuk berubah terlebih dahulu. Selanjutnya, (Madsen et al., 2005) menjelaskan bahwa kesiapan lebih dari sekedar memahami perubahan dan atau menyakini perubahan. Kesiapan merupakan kumpulan dari pikiran dan inten menuju usaha perubahan yang

spesifik. Kesiapan untuk berubah akan meningkatkan potensi bagi efektivitas usaha perubahan.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian mendefinisikan kesiapan individu untuk berubah sebagai sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi, proses, konteks, dan individu yang terlibat di dalam suatu perubahan, yang merefleksikan sejauh mana kecenderungan individu untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.

Domain-domain dari kesiapan individu untuk berubah (Holt et al., 2007), yaitu:

1. Appropriateness (ketepatan untuk melakukan perubahan)

Individu merasakan adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang prospektif, serta berfokus pada manfaat dari perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, dan kongruensi tujuan perusahaan dengan tujuan perubahan.

2. Change Efficacy (rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah) Individu merasa bahwa ia memiliki kemampuan dan dapat menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan perubahan yang prospektif.

3. Management Support (dukungan manajemen)

Individu merasa bahwa pemimpin dan manajemen dalam organisasi memiliki komitmen dan mendukung pelaksanaan perubahan yang prospektif.

4. Personal Benefit (manfaat bagi individu)

Individu merasa bahwa ia akan memperoleh manfaat dari pelaksanaan perubahan yang prospektif.

Dalam mengukur kesiapan individu untuk berubah, penelitian perlu memperhatikan beberapa perspektif yang terkandung di dalam domain-domain kesiapan untuk berubah antara lain (Holt et al., 2007):

1. Proses perubahan: langkah-langkah yang dilakukan selama implementasi perubahan. Salah satu dimensi dari proses perubahan adalah sejauh mana partisipasi pegawai diperbolehkan.

2. Isi dari perubahan organisasi: inisiatif spesifik yang diperkenalkan. secara tipikal, isi dari perubahan organisasi terarah pada administrasi, prosedur, teknologi, atau karakteristik struktural dari organisasi.

3. Konteks organisasi: kondisi dan lingkungan dimana para pegawai berfungsi dalam organisasi.

4. Atribut individual dari pegawai: beberapa pegawai lebih menghendaki adanya perubahan organisasi daripada pegawai yang lainnya.

F. Kepuasan Kerja

Menurut Spector (2000) kepuasan kerja merupakan variabel sikap (attitudinal variable) yang merefleksikan apa yang dirasakan seseorang mengenai pekerjaannya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Riggio (2000) dalam Ciliana (2008) bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan dan sikap seseorang mengenai pekerjaannya. Selain itu, Robbins (2003) juga

memandang kepuasan kerja sebagai sikap seseorang terhadap pekerjaannya sebagai hasil penilaian terhadap perbedaan antara jumlah ganjaran positif yang ia terima dengan jumlah yang ia percaya seharusnya ia terima.

Anik dan Arifuddin (2005) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu tingkatan perasaan yang positif/negatif tentang beberapa aspek dari pekerjaan, situasi kerja, dan hubungan dengan rekan sekerja. Kepuasan kerja tergantung pada tingkat perolehan intrinsik dan ekstrinsik dan pada pandangan pekerja terhadap perolehan tersebut. Tingkat perolehan mempunyai nilai yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda. Bagi orang tertentu, pekerjaan yang penuh tanggung jawab dan yang menantang mungkin menghasilkan perolehan yang netral atau bahkan negatif. Bagi orang lain, perolehan pekerjaan semacam itu mungkin mempunyai nilai yang positif. Orang mempunyai nilai (valensi) yang berbeda-beda, yang dikaitkan dengan perolehan pekerjaan. Perbedaan tersebut akan menimbulkan perbedaan tingkat kepuasan kerja bagi tugas pekerjaan yang intinya sama.

Anik dan Arifuddin (2005) mengatakan bahwa perbedaan individu yang penting lainnya adalah keterlibatan orang dalam pekerjaan. Orang berbeda dalam tingkat (1) sampai seberapakah pekerjaan merupakan pusat perhatian dan kehidupannya, (2) sampai seberapakah orang aktif ikut berperan serta dalam pekerjaan, (3) sampai seberapakah mereka merasakan pekerjaan sangat penting bagi harga dirinya, (4) sampai seberapakah orang merasakan pekerjaan itu berkesesuaian dengan dirinya. Orang yang tidak terlibat dalam pekerjaan tidak dapat diharapkan mendapatkan kepuasan kerja yang sama

dengan mereka yang terlibat. Hal inilah yang menyebabkan bahwa dua orang dapat melaporkan tingkat kepuasan yang berbeda-beda untuk hasil kerja yang sama. Perbedaan lain adalah keadilan yang dirasakan tentang perolehan orang lain. Jika perolehan itu dirasakan kurang adil, maka pekerja akan merasa tidak puas dan berusaha mencari jalan untuk mendapatkan keadilan.

Kepuasan kerja dapat pula didefinisikan sebagai keadaan emosi yang menyenangkan sebagai hasil persepsi seseorang terhadap pekerjaannya, apakah pekerjaan tersebut dapat memenuhi atau memfasilitasi tercapainya pemenuhan nilai pekerjaan yang penting bagi orang tersebut. Kepuasan kerja sebagai cara pandang seseorang terhadap pekerjaannya, apakah ia memandang pekerjaannya sebagai sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan (Ciliana, 2008).

Berdasarkan pernyataan beberapa tokoh di atas, peneliti mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan, sikap, dan persepsi seseorang terhadap pekerjaannya, baik secara keseluruhan maupun dari aspek-aspek pekerjaannya, yang menghasilkan keadaan emosi yang menyenangkan bagi orang tersebut.

Menurut Spector (1997) faktor-faktor penyebab kepuasan kerja dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori umum, yaitu faktor-faktor lingkungan pekerjaan dan faktor-faktor individu. Enam faktor penyebab kepuasan kerja yang termasuk ke dalam faktor lingkungan pekerjaan antara lain:

Individu yang merasakan kepuasan intrinsik ketika melakukan tugas- tugas dalam pekerjaannya akan menyukai pekerjaan mereka dan memiliki motivasi untuk memberikan performa yang lebih baik.

2. Batasan dari organisasi (organizational constraints)

Batasan dari organisasi adalah kondisi lingkungan pekerjaan yang menghambat performa kerja karyawan. Karyawan yang mempersepsikan adanya tingkat batasan yang tinggi cenderung untuk tidak puas dengan pekerjaannya.

3. Peran dalam pekerjaan

Ambiguitas peran dan konflik peran memiliki hubungan dengan kepuasan kerja. Karyawan mengalami ambiguitas peran ketika ia tidak memiliki kepastian mengenai fungsi dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan. Sedangkan konflik peran terjadi ketika individu mengalami tuntutan yang bertentangan terhadap fungsi dan tanggung jawabnya.

4. Konflik antara pekerjaan dan keluarga

Konflik antara pekerjaan dan keluarga terjadi ketika tuntutan dalam pekerjaan dan tuntutan keluarga saling bertentangan satu sama lain. Konflik tersebut memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan kerja. Karyawan yang mengalami tingkat konflik yang tinggi cenderung untuk memiliki tingkat kepuasan kerja yang rendah.

5. Gaji

Hubungan antara tingkat gaji dan kepuasan kerja cenderung lemah. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa gaji bukan merupakan faktor

yang sangat kuat pengaruhnya terhadap kepuasan kerja. Walaupun tingkat

Dokumen terkait