• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PUNGUTAN

Pendahuluan

Kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia sudah berlangsung lebih dari enam bulan sejak mulai diimplementasikan tanggal 16 Juli 2015 yang lalu.

Pungutan ekspor minyak sawit yang tertuang dalam PMK 133/2015 menarik pungutan sebesar USD 50 per ton minyak sawit (CPO) yang di ekspor.

Kebijakan pungutan ekspor (indirect export levy) maupun bea keluar ekspor (indirect export duty) merupakan bentuk pajak ekspor minyak sawit yang diberlakukan pada ekspor minyak sawit Indonesia. Bea keluar sudah diberlakukan sejak tahun 2011 (sebelumnya disebut pajak ekspor) sampai saat ini. Sedangkan pungutan ekspor minyak sawit baru diberlakukan sejak bulan Juli 2015. Sehingga saat ini kedua kebijakan tersebut berlaku pada ekspor minyak sawit Indonesia. Jika harga CPO dunia dibawah USD 750 per ton, bea keluar nol.

Sedangkan pungutan ekspor CPO (juga turunannya) berlaku sebesar USD 50 per ton CPO dan tidak tergantung harga.

Dari segi teori ekonomi, kedua kebijakan tersebut merupakan kebijakan pajak ekspor yang berdampak pada pembentukan harga di pasar domestik dan mempengaruhi harga ekspor. Oleh karena mempengaruhi pembentukan harga CPO didalam negeri, maka kedua kebijakan tersebut juga mempengaruhi harga industri hilir CPO (oleofood, oleokimia, biofuel, dan lain-lain) dan juga mempengaruhi pembentukan harga di sektor hulu CPO yakni perkebunan kelapa sawit (harga tandan buah segar, TBS). Kemudian,

Evaluasi Dampak Kebijakan Pungutan Ekspor dan Implikasinya 631

karena kedua kebijakan tersebut mempengaruhi harga ekspor minyak sawit Indonesia, maka juga mempengaruhi daya saing minyak sawit Indonesia ke berbagai tujuan ekspor.

Kajian ini akan mengevaluasi dampak kebijakan pungutan ekspor terhadap daya saing minyak sawit Indonesia untuk berbagai negara/kawasan tujuan ekspor.

Selain itu juga dilakukan analisis bagaimana perubahan daya saing minyak sawit Indonesia relatif terhadap daya saing minyak sawit Malaysia. Pendekatan dilakukan dengan perbandingan antara sebelum pemberlakuan pungutan ekspor (before export levy) dan sesudah pemberlakuan pungutan ekspor (after export levy).

Implikasi perubahan daya saing minyak sawit Indonesia dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga dianalisis.

Perubahan Daya Saing Minyak Sawit Indonesia

Kebijakan penerapan pajak ekspor baik secara eksplisit (seperti bea keluar, pungutan) maupun secara implisit (seperti Domestic Market Obligation) akan mempengaruhi harga ekspor atau daya saing minyak sawit Indonesia. Dalam sejarah kebijakan perdagangan internasional industri minyak sawit Indonesia (Sipayung dan Purba, 2015) berbagai kebijakan pajak ekspor sudah dilakukan oleh pemerintah yakni: (1) kebijakan alokasi dan harga maksimum CPO domestik (DMO) dalam periode 1973-1990, (2) kebijakan pajak ekspor 1991-2011, (3)

kebijakan bea keluar 2012-sekarang dan (4) kebijakan pungutan ekspor mulai Juli 2015-sekarang.

Dampak dari kebijakan terdahulu yakni kebijakan DMO dan pajak ekspor secara empiris sudah banyak diungkap peneliti terdahulu (Tomic dan Mawardi, 1995;

Larson, 1996; Susila, 2004). Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan pajak ekspor minyak sawit Indonesia (apapun bentuknya) merugikan Indonesia secara keseluruhan dan menurunkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional. Produsen CPO/TBS termasuk petani sawit adalah yang paling dirugikan.

Kebijakan pungutan ekspor secara ekonomi berdampak sama dengan kebijakan pajak ekspor lainnya yakni menurunkan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia di pasar internasional. Dalam konteks perdagangan internasional setidaknya ada empat variabel yang perlu dilihat dalam mengukur daya saing relatif minyak sawit yakni (1) depresiasi/apresiasi mata uang negara pengekspor terhadap negara pengimpor.

Depresiasi mata uang eksportir terhadap importir merupakan subsidi implisit/insentif ekspor. Sebaliknya apresiasi mata uang ekportir terhadap importir merupakan pajak implisit (disinsentif ekspor), (2) tarif impor minyak sawit (import duty, import levy) di negara tujuan ekspor, (3) tarif bea keluar ekspor (export duty) dari negara ekportir dan (4) tarif pungutan ekspor (export levy) dari negara eksportir. Kombinasi keempat indikator tesebut dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Dalam periode Juli 2015-Januari 2016, harga CPO dunia (fob Belawan) berkisar antara USD 486 – USD 598

Evaluasi Dampak Kebijakan Pungutan Ekspor dan Implikasinya 633

ekspor CPO sebesar USD 50 per ton setara dengan sekitar 10 persen (pembulatan) pungutan ekspor.

Dibandingkan dengan periode sebelum diberlakukan pungutan ekspor (Januari-Juni 2015), pemberlakuan pungutan ekspor minyak sawit (CPO) dalam periode Juli 2015-Januari 2016 menurunkan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia ke seluruh negara/kawasan tujuan ekspor.

Untuk tujuan ekspor ke China daya saing minyak sawit Indonesia mengalami penurunan sebesar -17 persen dibanding periode sebelum pemberlakuan pungutan ekspor. Penurunan daya saing tersebut sebagian besar disumbang oleh kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia. Selain itu juga sedikit disebabkan apresiasi Rupiah terhadap Yuan pada periode Juli 2015-Januari 2016.

Tabel 6.1. Dampak Pungutan Ekspor Terhadap Daya Saing Minyak Sawit Indonesia Periode Januari 2015-Januari 2016

Indikator Insentif/Disinsentif

Negara Tujuan Ekspor Minyak Sawit (CPO)

China (Yuan) India (Rupee) Eropa (Euro) Row (USD)

Jan-Jun 15

15-Jul Jan

16 Jan-Jun 15

Jul 15-Jan

16

Jan-Jun 15

15-Jul Jan

16

Jan-Jun 15

15-Jul Jan

16

INDONESIA

Depresiasi (apresiasi) Rupiah

(%) 6.04 -1.44 3.03 -1.10 2.19 0.94 5.84

4.33 Export Duty (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Export Levy (%) 0.00 -10.00 0.00 -10.00 0.00 -10.00 0.00 -10.00 Import Duty (%)

-9.00 -9.00 -7.50 -12.50

-3.80 -3.80 na na Netto Peningkatan

(+)/penurunan (-)

-2.96 -20.44 -4.47 -23.60

-1.61 -12.86 5.84 -5.67

Daya Saing Ekspor

Indikator Insentif/Disinsentif

Negara Tujuan Ekspor Minyak Sawit (CPO)

China (Yuan) India (Rupee) Eropa (Euro) Row (USD)

Jan-Jun 15 Jul 15-Jan 16

Jan-Jun 15

Jul 15-Jan 16

Jan-Jun 15

Jul 15-Jan 16

Jan-Jun 15

Jul 15-Jan 16 Perubahan daya

saing : Jan-Jun 15 vs Jul 15-Jan 16 (%)

-17.48 -19.13 -11.25 -11.51

MALAYSIA

Depresiasi (apresiasi) Ringgit

(%) 4.90 9.20 1.93 9.59 1.09 11.85 4.70 15.60

Export Duty (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Export Levy (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Import Duty (%)

-9.00 -9.00 -7.50 -12.50

-3.80 -3.80 na na Netto Peningkatan

(+)/penurunan (-)

-4.10 0.20 -5.57 -2.91

-2.71 8.05 4.70 15.60

Daya Saing Ekspor

Perubahan daya saing : Jan-Jun 15 vs Jul 15-Jan 16 (%)

4.30

2.66

10.76 10.90 Perubahan Daya

Saing Indonesia Relatif Terhadap Malaysia (%)

1.14 -20.64 1.11 -20.69 1.10 -20.91 1.14 -21.27

Daya saing ekspor minyak sawit Indonesia ke India juga mengalami penurunan yakni -19 persen dari periode sebelum pemberlakuan pungutan ekspor. Penurunan daya saing tersebut sebagian besar disebabkan oleh kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia dan tarif impor minyak sawit yang mengalami peningkatan sejak Agustus 2015 di India. Selain itu juga sedikit disebabkan apresiasi Rupiah terhadap Rupee pada periode Juli 2015-Januari 2016.

Evaluasi Dampak Kebijakan Pungutan Ekspor dan Implikasinya 635

Daya saing ekspor minyak sawit Indonesia ke kawasan Uni Eropa pun menurun sebesar -11 persen dibandingkan sebelum pungutan ekspor diberlakukan.

Meskipun terjadi peningkatan insentif ekspor akibat depresiasi Rupiah terhadap Euro, daya saing masih mengalami penurunan akibat pungutan ekspor yang diterapkan Indonesia sendiri.

Untuk tujuan ekspor minyak sawit Indonesia ke negara/kawasan dunia lainnya, sesungguhnya menikmati insentif ekspor dari melemahnya Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat. Namun pungutan ekspor yang diberlakukan Indonesia sendiri mengakibatkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan daya saing sebesar -11 persen.

Daya Saing Minyak Sawit Malaysia

Berbeda dengan Indonesia, Malaysia yang tidak memberlakukan ekspor minyak sawit justru menikmati kenaikan daya saing keseluruh kawasan kecuali ke India akibat kenaikan tarif impor minyak sawit India. Meskipun China dan Uni Eropa memberlakukan tarif impor minyak sawit, dapat ditutup oleh depresiasi Ringgit Malaysia terhadap mata uang negara importir.

Untuk tujuan ekspor ke China daya saing minyak sawit Malaysia mengalami peningkatan yang cukup besar yakni 4.3 persen dibanding periode sebelumnya.

Peningkatan daya saing tersebut sebagian besar disumbang oleh depresiasi Ringgit terhadap Yuan sebesar 9.2 persen periode Juli 2015-Januari 2016.

Daya saing ekspor minyak sawit Malaysia ke India juga mengalami kenaikan sebesar 2.6 persen dari periode sebelumnya. Peningkatan daya saing tersebut sebagian besar ditopang oleh depresiasi Ringgit terhadap Rupee yang cukup besar sebesar 9.6 persen. Depresiasi Ringgit tersebut dapat mengurangi penurunan insentif ekspor akibat kebijakan tarif impor minyak sawit India yang mengalami peningkatan sejak Agustus 2015.

Peningkatan daya saing minyak sawit Malaysia ke kawasan Uni Eropa juga terjadi sebesar 10.8 persen dibandingkan sebelumnya. Depresiasi Ringgit terhadap Euro yang mencapai 11.8 persen memberikan peningkatan insentif ekspor Malaysia ke Uni Eropa.

Untuk tujuan ekspor minyak sawit Malaysia ke negara/kawasan dunia lainnya juga mengalami peningkatan daya saing. Depresiasi Ringgit terhadap Dollar Amerika Serikat sebesar 15.6 persen menciptakan insentif ekspor yang besar bagi Malaysia untuk ekspor minyak sawit ke negara lainnya.

Dengan kata lain Malaysia sebagai eksportir minyak sawit terbesar kedua dunia dan menjadi pesaing utama Indonesia mengalami perbaikan daya saing yang signifikan pada periode Juli 2015 – Januari 2016 dibandingkan dengan periode sebelumnya. Depresiasi Ringgit terhadap berbagai mata uang negara importir miyak sawit memberi keuntungan bagi Malaysia. Apalagi Malaysia tidak memberlakukan pungutan ekspor seperti Indonesia.

Evaluasi Dampak Kebijakan Pungutan Ekspor dan Implikasinya 637

Daya Saing Indonesia Vs Malaysia

Secara keseluruhan jika dibandingkan antara posisi daya saing minyak sawit Indonesia relatif terhadap minyak sawit Malaysia menunjukan bahwa akibat pemberlakuan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia, daya saing Indonesia mengalami penurunan sebesar lebih dari 20 persen dibandingkan dengan Malaysia untuk seluruh negara/kawasan ekspor minyak sawit.

Untuk tujuan ekspor ke China, daya saing relatif Indonesia terhada Malaysia mengalami penurunan -20.6 persen dibandingkan periode sebelumnya. Penyebabnya adalah kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia dan depresiasi mata uang Ringgit terhadap Yuan.

Penurunan daya saing Indonesia relatif terhadap Malaysia untuk tujuan ekspor minyak sawit ke India juga terjadi akibat kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia. Selain itu juga disebabkan oleh depresiasi Ringgit dan apresiasi Rupiah terhadap Rupee. Hal yang sama juga terjadi untuk tujuan ekspor ke Uni Eropa. Daya saing Indonesia relatif terhadap Malaysia mengalami penurunan sebesar -21 persen akibat dari pungutan ekspor Indonesia dan depresiasi Ringgit terhadap Euro serta apresiasi Rupiah terhadap Euro.

Demikian juga penurunan daya saing Indonesia relatif terhadap Malaysia untuk tujuan ekspor minyak sawit ke negara/kawasan dunia lainnya. Hal ini terjadi akibat kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia. Selain itu juga disebabkan oleh depresiasi Ringgit dan apresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

Dengan demikian searah dengan hasil-hasil studi dampak kebijakan pajak ekspor minyak sawit Indonesia terdahulu, kebijakan pemberlakuan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia menurunkan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia keseluruh tujuan ekspor. Bahkan juga menurunkan daya saing relatif Indonesia terhadap Malaysia.

Implikasi Pada Era MEA

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah resmi diberlakukan sejak awal Januari 2016 lalu. Salah satu prinsip MEA adalah aliran barang dan jasa antar anggota MEA bebas tanpa hambatan baik tarif maupun non tarif.

Jika sebelum MEA, perdagangan antara Indonesia dengan Malaysia atau Singapura merupakan ekspor impor, maka dalam berlakunya MEA hanya seperti perdagangan antar pulau. Selain itu, MEA juga sudah menyepakati prinsip satu kawasan pabean (single window). Setiap anggota MEA bebas memilih pelabuhan eksternal (ekspor maupun impor dari dan ke MEA) di kawasan MEA. Untuk ekspor minyak sawit misalnya eksportir Indonesia bebas memilih menggunakan pelabuhan Indonesia atau pelabuhan Malaysia atau Singapura sesuai yang lebih menguntungkan baginya. Oleh karena itu, cepat atau lambat tarif eksternal seperti pajak ekspor minyak sawit (baik bea keluar maupun pungutan ekspor) akan disamakan dalam kawasan MEA. Analisis tentang hal ini telah dilakukan oleh PASPI Vol. 1 No. 30/2015.

Evaluasi Dampak Kebijakan Pungutan Ekspor dan Implikasinya 639

Pemberlakuan MEA dengan prinsip-prinsip di atas memerlukan penyesuaian dalam kebijakan ekspor minyak sawit Indonesia. Sebagaimana ditunjukan pada Tabel 1, perbedaan pajak ekspor minyak sawit Indonesia dengan Malaysia adalah adanya pungutan ekspor minyak sawit Indonesia. Selain itu, meskipun kedua negara juga memberlakukan bea keluar, namun secara netto pajak ekspor minyak sawit di Indonesia masih lebih tinggi dari Malaysia.

Jika kebijakan pajak ekspor Indonesia tersebut masih tetap lebih tinggi dari Malaysia pemberlakuan MEA, maka minyak sawit Indonesia akan mudah mengalir ke Singapura atau Malaysia melalui perdagangan “antar pulau” (bukan ekspor-impor) untuk menghindari pajak ekspor yang lebih tinggi jika menggunakan dokumen ekspor dari Indonesia. Kualitas pelayanan prosedur ekspor dan pelabuhan di negara tersebut yang masih lebih baik dibandingkan dengan pelabuhan di Indonesia, akan menjadi daya tarik tersendiri untuk ekspor minyak sawit.

Jika hal ini yang terjadi, Indonesia akan dirugikan baik dari kehilangan pendapatan jasa pelabuhan maupun pajak eskpor.

Anggota MEA perlu segera menyepakati tarif eksternal bersama, dengan prinsip single window kepabeanan. Sehingga ekspor minyak sawit Indonesia dapat dilakukan dari seluruh pelabuhan di kawasan MEA tanpa harus kehilangan pendapatan dari pajak ekspor.

Untuk itu, pajak ekspor minyak sawit Indonesia yang bersifat indirect export levy/duty seperti selama ini, akan lebih baik (better off) dihapus atau setidaknya dirubah menjadi direct levy sehingga tidak mempengaruhi daya

saing minyak sawit Indonesia maupun MEA di pasar internasional.

Kesimpulan

Daya saing ekspor minyak sawit Indonesia pada periode Juli 2015-Januari 2016 ke seluruh negara/kawasan tujuan ekspor mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelum pemberlakuan pungutan ekspor. Penurunan daya saing tersebut sebagian besar disebabkan oleh kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia (indirect export levy). Meskipun depresiasi Rupiah terhadap mata uang negara importir minyak sawit memberi insentif bagi ekspor minyak sawit Indonesia, tidak mampu menetralisir dampak pungutan ekspor.

Malaysia sebagai eksportir minyak sawit terbesar kedua dunia dan menjadi pesaing utama Indonesia mengalami perbaikan daya saing yang signifikan pada periode Juli 2015 – Januari 2016 dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kebijakan Malaysia yang tidak memberlakukan pungutan ekspor (indirect export levy) dan depresiasi Ringgit terhadap berbagai mata uang negara importir miyak sawit memberi keuntungan bagi Malaysia.

Penurunan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia relatif terhadap Malaysia juga terjadi untuk seluruh negara/kawasan tujuan. Hal ini terjadi akibat kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia yang dipungut secara tidak langsung (indirect export levy). Selain itu juga

Evaluasi Dampak Kebijakan Pungutan Ekspor dan Implikasinya 641

disebabkan oleh depresiasi Ringgit dan Rupiah yang berbeda terhadap mata uang negara importir.

Perbedaan yang kontras antara daya saing ekspor minyak sawit Indonesia dengan Malaysia, perlu dilakukan perubahan cepat khususnya merubah indirect export levy menjadi direct export levy dengan berlakunya MEA agar kerugian yang lebih besar tidak dialami Indonesia.

BENARKAH PRODUSEN CPO DIRUGIKAN AKIBAT