• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam melaksanakan gadai harus sesuai aturan “pusako salingka suku” (pusaka selingkar suku) maksudnya hanya boleh menggadai kepada anggota kaum yang ada di dalam suku yang sama dan tidak boleh dilaksanakan di luar suku.

Pusako salingka suku harus memperhatikan tingkatan yaitu jarak kekerabatan sesuai dengan pepatah yang mengatakan:

Tabel 12 : Tingkatan/Jarak Penerima Gadai

No Tingatan/Jarak Penerima Gadai Jumlah

1 Jarak sajangka (sejengkal) 8

2 Jarak saheto (sehasta) 2

3 Jarak sadapo (sedepa) 3

4 Jarak saimbauan (batas teriakan) 3

Jumlah 16

Menggadai tanah harta pusaka tinggi secara adat harus dicari terlebih dahulu anggota keluarga yang paling dekat yaitu keluarga ibu, jika tidak ada diberi kepada keluarga setingkat nenek, jika tidak ada dicari kepada anggota kaum dari saudara nenek begitu tingkatan yang harus ditempuh untuk menggadai pusaka tinggi.

Pada saat ini tingkatan jarak tersebut sudah tidak diberlakukan lagi, bagi sipenggadai siapa yang bisa menerima gadai dalam waktu cepat kepada ia benda gadai diserahkan.

Gadai yang dilakukan di nagari Kamang Mudiak dahulu pada umumnya bersifat saling tolong menolong dan perjanjian dilakukan di bawah tangan di atas kertas bermaterai cukup yang sifatnya saling percaya, pada saat ini gadai yang dilaksanakan oleh orang yang menggadai mempunyai motifasi memperoleh keuntungan materiil berupa emas, rupiah atau padi yang akan digunakan untuk kepentingan pribadinya dengan mengatasnamakan untuk kepentingan kaum dan bagi penerima gadai mempunyai motifasi bila tanah yang digadaikan tidak ditebus maka tanah gadaian tersebut akan dijadikan miliknya secara pribadi karena tanah mempunyai nilai jual yang akan bertambah setiap saat. Gadai di sini dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :68

Tabel 13 : Cara Pengikatan Gadai

No Cara pengikatan Gadai Jumlah

1 Disaksikan dan diketahui oleh mamak kepala waris, Walijorong, Walinagari, Kerapatan Adat Nagari.

4

2 Tidak dihadiri oleh para saksi dan tidak diketahui oleh mamak kepala waris, Walijorong dan Walinagari Kerapatan Adat Nagari

12

Sumber : data primer yang diolah 30 April 2014

Pengikatan gadai dari tabel di atas dilakukan dengan dua cara yaitu pertama disaksikan dan diketahui oleh mamak kepala waris, Walijorong, Walinagari, KAN kedua tidak disaksikan dan tidak diketahui oleh mamak kepala waris, Walijorong, Walinagari, KAN. Terhadap cara kedua banyak menimbulkan masalah harta pusaka tinggi menjadi persengketaan oleh para ahli waris si penggadai maupun para ahliwaris si pemegang gadai. Persengketaan tersebut dapat berupa menyertipikatkan surat tanah gadai tersebut yang dilakukan oleh pemegang gadai karena telah merasa miliknya sejak puluhan tahun. Oleh karena itu apabila timbul masalah dalam gadai tersebut, baru Kerapatan Adat Nagari dan Walinagari dilibatkan atau diikut sertakan.

Nabi Muhammad SAW bersabda : “Muslimuna ala syuru-tihim, yang maksudnya orang-orang Islam itu (terikat) dengan beberapa syarat yang mereka buat dalam suatu perjanjian, tentu saja syarat-syarat tersebut tidak bertentangan dengan hukum syari’at.” Perjanjian gadai yang dilakukan dalam masyarakat adat di

Minangkabau tidak bertentangan dengan hadist tersebut dan sejalan dengan kaidah fiqih yang menyatakan “al-adah muhak-kamah” yang berarti bahwa adat kebiasaan itu dapat dijadikan sebagai hukum.69

Dalam sistem gadai sekarang ini sulit untuk mencari legalitasnya, maka Kerapatan Adat Nagari, Wali Nagari dan Wali Jorong menganjurkan dalam perjanjian gadai harus dilakukan secara tertulis, diketahui mamak kepala waris, Wali Jorong dan Wali Nagari untuk memiliki kepastian hukum. Apabila terjadi sengketa dan perselisihan akan diselesaikan menurut peraturan hukum adat jika tidak dapat di selesaikan maka harus diselesaikan di Pengadilan Negeri.

Sando berasal dari kata sandera yaitu yang dijadikan rungguan (jaminan). Dalam pinjam meminjam uang, padi, emas, rupiah kepada orang lain untuk satu keperluan yang amat penting, yang disandokan ialah barang-barang tetap.

Ada beberapa persetujuan pinjam meminjam di nagari Kamang Mudiak yang karena beberapa keadaan berakhir dengansandoatau gadai.70

1. Cagak, dalam hal ini yang dicagakkan atau yang dijadikan jaminan ialah sawah, ladang, hutan, bukit selama 2 x 7 hari, kalau tidak dapat dibayar dalam tempo 14 hari makacagakdijadikan gadai biasa.

2. Ronggoh atau runggu, yang dironggohkan ialah barang-barang yang boleh diangsak-angsak, seperti barang-barang berharga seperti emas, lamanya hanya dalam satu hari atau dua hari. Jika utang tidak dapat dibayar, sering juga

barang-69Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sunggut,Op Cit, hlm. 279

barang yang dijadikan ronggoh itu misalnya emas diganti dengan tanah sesuai nilainya dengan uang yang dipakai, dan tidak jarang kejadian berakhir dengan pagang gadaijuga.

Pinjam meminjam yang dicagak, dironggoh ataupun di runggu yang dibayar pada waktunya, ditebus hanya sebanyak pinjaman, tidak boleh melebihi seperti pepatah adat : “salang kumbali, gadai batauri”.

Sipenggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas kesepakatan kepada kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagaisando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun ke sawah tidak juga ditebus, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang, emas, rupiah, padi tadi.

Adapun orang yang hendak menebus (ahli waris penggadai) wajib menyediakan uang itu tidak lebih dari jumlah yang diperlukan untuk melepaskan salah satu “hutang adat”, apabila harta itu sekedar akan digadaikan saja.

Tetapi kalau harta itu memang akan dijual, maka orang yang menghambat (digadai tidak sesuai dengan tingkatan yang harus ditawarkan kepada siapa terlebih dahulu) atau menebus itu wajib mengadakan uang sebanyak harta itu digadaikan, atau berapa harga setinggi-tingginya orang lain sanggup membeli harta itu. Bila dijual ada kelebihan daripada pembayarannya, tidak boleh juga sisa uang digunakan untuk keperluan lain, melainkan wajib dibelikan kembali tanah untuk penambah besarnya harta dalam kaum.

Begitulah kemampuan adat dalam hal menjual menggadaikan harta pusaka seperti hutan, bukit, tanah ladang, sawah dan lain-lain sebagainya.

Maka jikalau jual tidak berpelalu atau gadai tidak berpengaku maka kedua-duanya itu tidak sah, batal hukumnya sepanjang adat.

Bila hal ini terjadi, dan harta yang dijual atau digadaikan itu diambil saja oleh salah seorang warisnya di mana dia berhak menjual atau menggadai maka yang menerima gadai tidak boleh menahan harta itu di tangannya, melainkan wajib baginya melepaskan harta tersebut. Jika ditahannya juga, kesalahan orang tersebut sepanjang adat yaitu :71

a. salahnyamembeli gadai tidak berpelalu, ataumemegang indak berpengaku. b. perbuatannya itu di pandang orang sebagai merampas hak orang dengan

kekerasan, dengan tidak mau menurut jalan yang sudah diatur sepanjang adat, yaitu merusak adat yang berlaku dalamnagari.

Waris yang mengambil kembali harta itu di bolehkan, tidak wajib baginya membayar kembali uang gadai yang sudah diberikan oleh penerima gadai. Jika si penerima gadai mau kembali uangnya, maka ia harus memintanya sendiri kepada siapa uangnya itu diberikannya, sungguhpun demikian jikalau harta yang digadai orang atau dipegangnya dengan tidak diakui itu telah berlalu setahun lamanya atau telah berlalu tiga bulan, atau telah tiga kali mengambil hasilnya, maka waris-waris yang hendak menahan atau mengambil harta itu kembali harus mencari jalan

keadilan, ia wajib mengadu kepada hakim dan dilarang merebut atau merampas harta itu sebelum hakim memutuskannya.

Bila yang menerima gadai atau yang memegang belum menguasainya bertahun, atau lepas tiga bulan, harta yang hasilnya diambil berbulan, dan ia tidak mau melepaskan harta itu dari tangannya, maka harta itu wajib diketengahkan (diselesaikan) dahulu oleh hakim dengan mencari penjelasan - penjelasan. Adapun mamak kepala waris dari orang yang berperkara dalam perkara, wajib mengadukan perkaranya itu kepada kerapatan adat tempat perkara itu, supaya perkaranya diselesaikan oleh rapat penghulu.

Maka hakim yang berhak dalam rapat itu wajib pula dengan segera memeriksa perkara itu. Jika betul larangan yang dilakukan sipenahan/penerima gadai hakim wajib memeriksa dan menghukum bahwa gadai itu menjadi batal dan memerintahkan agar mengembalikan harta itu kepada yang berhak. Dan hakim wajib memberi nasehat kepada yang yang menggadaikan itu supaya ia mengembalikan uang yang sudah diterimanya itu karena perbuatan itu “tiada menurut jalan sepanjang adat”.

Apabila yang menggadai dan yang menerima gadai tidak mau menurut nasehat hakim atau penghulu yang menghukum, maka nyatalah orang itu melawan ketentuan adat tentang penjagaan harta benda di dalam nagari. Kalau bersua (bertemu) yang demikian, orang-orang itu jadi lawan oleh segala penghulu dan orang banyak dalamnagariitu. Maka wajiblah penghulu menyerahkan orang itu kepada orang yang lebih berkuasa, supaya ia jangan sampai merusak adat yang baik dalamnagariatau membuat malu dalamnagariitu.

Gadai tanah yang dikenal dalam hukum adat sampai sekarang masih merupakan suatu pranata yang digunakan oleh masyarakat desa. Bahkan di Sumatera Barat masih banyak ditemukan prakteknya di tengah masyarakat. Dengan terminologi baru yang disebut salang pinjam sebagai reaksi yang ditempuh masyarakat untuk menghindar agar tidak menyalahi ketentuan pasal 7 UU No.56 Prp tahun 1960.72

Dokumen terkait