• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MERGER BANK UMUM DALAM PELAKSANAAN

D. Pelaksanaan Merger Bank Umum

Dikeluarkannya PBI No.8/16/PBI/2006 Tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia, maka para pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari satu bank diwajibkan untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan. Dimana Bank Indonesia, menawarkan opsi merger sebagai salah satu pelaksanaan single presense policy tersebut. Pembatasan peraturan ini dengan sampai Desember 2010, telah memaksa pihak-pihak yang terkait untuk melaksanakannya, diantaranya Pemegang Saham Pengendali yang menguasai Bank Niaga dan Bank Lippo yaitu Khazanah Nasional Berhad yang merupakan perusahaan milik Malaysia, telah memilih opsi merger untuk melaksanakan single presence

policy tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan disahkannya merger antara Bank Niaga

dan Bank Lippo pada bulan 1 November 2008 yang lalu.190

Setelah dikeluarkannya Peraturan Kepemilikan Tunggal, Khazanah dianggap sebagai pemegang saham pengendali Bank Niaga dan Bank Lippo. Per tanggal 31 Desember 2007, Khazanah ,secara efektif, secara langsung maupun tidak langsung, menguasai 93,60% saham Bank Lippo dan12,52% saham Bank Niaga. Per tanggal 30 April 2008, kepemilikan Khazanah di Bank Niaga berubah menjadi 14,36 %

190

Merger ini dilakukan setelah CIMB Group Sdn Bhd membeli 51% saham LippoBank dari Santubong Investments BV pada tanggal 28 Oktober 2008. Diikuti dengan saham LippoBank ditukarkan dengan saham Bank CIMB Niaga. Mulai tanggal 28 Oktober 2008 saham LippoBank tidak lagi tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.Pemegang saham Bank CIMB Niaga dan LippoBank yang menyatakan kehendak untuk menjual sahamnya kepada CIMB Group (cash options) akan menerima pembayaran tunai pada tanggal 7 November 2008. Dengan suksesnya proses merger ini, CIMB Group menjadi pemegang saham pengendali Bank CIMB Niaga dengan kepemilikan sekitar 77,75%. “Bank CIMB Niaga Resmi Merger”, dalam http://www.antara.co.id/arc/2008/11/3/bank- niaga-lippo-resmi-merger/. Diakses tanggal 23 Desember 2008.

karena penambahan kepemilikan Khazanah di BCHB (Bumiputra-Commerce

Holdings Berhad). Dari ketiga alternatif yang diberikan berdasarkan Peraturan

Kepemilikan Tunggal Bank, maka dengan mempertimbangkan maksud dan komitmen Khazanah serta dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku serta prosedur terkait dengan ketiga alternatif tersebut juga kepentingan seluruh stakeholders, Direksi dan Dewan Komisaris Bank Niaga dan Bank Lippo berpendapat bahwa rencana merger adalah pilihan terbaik bagi semua

stakeholders.191

Dalam Rancangan Penggabungan Bank Niaga dan Bank Lippo, prosedur

merger ini didahului dengan rencana pembelian saham Bank Lippo milik Santubong

sebesar 51% oleh CIMB Group dan 42,6% oleh Santubong Ventures.192 Hal ini didasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.9/32/DPNP tanggal 12 Desember 2007 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, Butir III.C. Pada intinya, peraturan ini menyatakan bahwa dalam suatu bank yang akan melakukan merger atau konsolidasi, dimana untuk melancarkan proses merger atau konsolidasi dimaksud perlu didahului dengan akuisisi terhadap bank yang akan dimerger atau dikonsolidasi maka Bank Indonesia hanya dapat memberikan persetujuan apabila bank yang diakuisisi tersebut langsung dimerger atau dikonsolidasi dengan bank yang dikendalikan oleh pemegang saham

191

Rancangan Penggabungan PT.Bank Niaga Tbk. dengan PT.Bank Lippo Tbk, 3 Juni 2008, hlm. 57, diambil dari situs http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/D5A925DF-BB8B-4903-9EE0- B6D6A95695CC/12172/932.pdf . Diakses tanggal 28 Oktober 2008.

192

pengendali. Dengan demikian, maka proses merger yang didahului dengan akuisisi tersebut merupakan suatu proses berkesinambungan tanpa jeda.

Pembelian saham Bank Lippo yang dilakukan oleh CIMB Group dan Santubong Ventures yang merupakan proses yang saling terkait dengan rencana

merger, maka pembelian saham tersebut tidak mengikuti proses akuisisi bank yang

berlaku secara umum serta tidak perlu ditindaklanjuti dengan proses fit and proper

test sebagaimana disyaratkan oleh Bank Indonesia bagi pemegang saham pengendali

baru. Akan tetapi, rencana pembelian saham Bank Lippo harus mendapat persetujuan-persetujuan sebagai berikut:193

1. Adanya kesepakatan antara CIMB Group dengan Santubong dimana CIMB Group akan melakukan pembelian saham Bank Lippo milik Santubong.194

2. Diperolehnya izin penggabungan dari Bank Indonesia.

3. Telah diperolehnya persetujuan dari RUPS BCHB dan CIMB Group. 4. Persetujuan dari Suruhanjaya Sekuriti

5. Persetujuan dari Bank Negara Malaysia.

6. Persetujuan dari Suruhunjaya Sekuriti (atas nama Foreign Investment Committee) 7. Persetujuan dari Bursa Malaysia Securities.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses merger Bank Niaga dan Bank Lippo ini adalah:195

193

Ibid., hlm. 53. 194

CIMB Group,BCHB, Khazanah dan Santubong menandatangani perjanjian jual beli saham (share sale and purchase agreement) sehubungan dengan rencana pembelian saham Bank Lippo milik Santubong oleh CIMB Group sebesar 51%. Ketentuan dalam perjanjian jual beli dan rencana penggabungan adalah saling terkait (interconditional).Ibid, hlm. 52.

1. Diperolehnya persetujuan merger dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) masing-masing bank peserta penggabungan;

2. Dipenuhinya semua persyaratan sebagaimana termuat dalam Anggaran Dasar masing-masing bank peserta penggabungan;

3. Diperolehnya pernyataan efektif dari Bapepam-LK;

4. Diperolehnya persetujuan atau tidak ada keberatan dari para kreditur dan persetujuan dari pihak lainnya yang berkepentingan sebagaimana diisyaratkan dalam perjanjian-perjanjian dimana masing-masing bank peserta penggabungan menjadi pihak di dalamnya;

5. Diperolehnya izin penggabungan dari Bank Indonesia;

6. Diperolehnya surat penerimaan pemberitahuan atas perubahan anggaran dasar bank yang menerima penggabungan dari Menkumham.196

Selain persyaratan tersebut diatas, dalam rangka rencana merger, berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku di Malaysia diperlukan persetujuan- persetujuan sebagai berikut:197

195

Ibid.,hlm.65. 196

Rencana merger Bank Niaga dan Bank Lippo dilakukan dengan mengadakan perubahan Anggaran Dasar. Perubahan Anggaran Dasar tersebut merupakan perubahan Anggaran Dasar yang harus diberitahukan kepada Menkumham. Dalam UUPT Pasal 21 menyebutkan perubahan Anggaran Dasar ada dua jenis yaitu 1. Perubahan Anggaran Dasar yang harus mendapatkan persetujuan Menkumham, yaitu perubahan yang meliputi: a. nama perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan; c. jangka waktu berdirinya perseroan; d. besarnya modal perseroan; e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor dan/atau; f. status perseroan yang tertutup menjadi perseroan terbuka atau sebaliknya. 2. Perubahan Anggaran Dasar yang cukup diberitahukan kepada Menkumham yaitu perubahan Anggaran Dasar selain perubahan yang disebutkan diatas. Lalu pada Pasal 26 UUPT disebutkan perubahan Anggaran Dasar dalam rangka merger berlaku sejak tanggal : a. persetujuan Menkumham; b. kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menkumham; atau c. pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menkumham, atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan atau akta Pengambialihan.

1. persetujuan rapat umum pemegang saham BCHB; 2. persetujuan dari Bank Negara Malaysia.

Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan merger Bank Niaga dan Bank Lippo terkait dengan prosedur hukum yang harus dilaksanakan yaitu sebagai berikut:

1. Dikeluarkannya UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menggantikan UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyebabkan Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas yang mengatur tentang merger menjadi tidak relevan lagi, begitu juga dengan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum yang dibuat masih berdasarkan pada UUPT yang lama yaitu UU No.1 Tahun 1995. Walapun begitu menunggu dikeluarkannya peraturan pemerintah seperti yang diamanatkan pada Pasal 134 UUPT No.40 Tahun 2007, kedua peraturan pemerintah tersebut masih berlaku hingga saat ini. Salah satu pasal yang tidak relevan lagi pada PP No.27 Tahun 1998 diantaranya adalah:

Pasal 4 ayat (3) menyatakan :

”Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan Rapat Umum Pemegang Saham mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.”

197

Sedangkan pada PP No.28 Tahun 1999 hanya ada satu pasal yang merujuk pada UU No.1 Tahun 1995, yaitu:

Pasal 6 ayat (2) menyatakan :

”Pemegang saham minoritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimiliki dibeli oleh bank dengan harga yang wajar sesuai ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”

2. Adanya ketidaksesuaian antara peraturan yang lebih tinggi derajatnya dengan peraturan yang lebih rendah derajatnya, yaitu:

a) Pengecualian merger Bank Niaga dan Bank Lippo dari Peraturan Bapepam LK No.IX.E.I.

Rencana merger antara Bank Niaga dan Bank Lippo ini merupakan transaksi benturan kepentingan sebagaimana yang didefinisikan dalam Peraturan Bapepam- LK No.IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Namun berdasarkan surat dari Bapepam-LK yang ditujukan kepada Bank Niaga No.S- 2344/BL/2008 dan Bank Lippo No.S-2345/BL/2008, rencana merger ini dikecualikan dari Peraturan IX.E.1, mengingat merger ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Kepemilikan Tunggal Bank. Oleh karenanya, pelaksanaan RUPS akan dilakukan dengan mengacu pada ketentuan UUPT dan Anggaran Dasar masing- masing bank peserta merger.198

Seperti dijelaskan pada Bab III mengenai prosedur merger bank umum yang merupakan perusahaan terbuka apabila terdapat transaksi yang mengandung benturan kepentingan maka transaksi tersebut harus mendapat persetujuan dari pemegang

198

saham independen. Tujuan harus mendapat persetujuan dari pemegang saham independen merupakan eksistensi perlindungan pemegang saham independen (minoritas) yang menjadi salah satu aspek sentral dari transaksi pasar modal. Penyebutan dan pengaturan pemegang saham independen dalam Peraturan IX.E.1 sebelumnya juga telah mendapat tempat dalam Undang-Undang Pasar Modal No.8 Tahun 1995 khususnya dalam Pasal 82 yang mengatur tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, Benturan Kepentingan, Penawaran Tender, Penggabungan, Peleburan, dan Pengambalihan, hanya saja dalam ketentuan Pasal 82 ayat (2) UUPM tersebut, kewajiban untuk memperoleh persetujuan dari pemegang saham independen digantungkan pada keputusan Bapepam artinya tidak otomatis setiap transaksi yang mengandung unsur benturan kepentingan harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham independen. Ketergantungan pada keputusan Bapepam tersebut terlihat dari pemakaian kata “dapat” dalam Pasal 82 ayat (2) UUPM tersebut. Berikut isi dari pasal tersebut:

“Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham mayoritas pemegang saham independen apabila emiten atau perusahaan publik tersebut melakukan transaksi dimana kepentingan ekonomis emiten atau perusahaan publik tersebut berbenturan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik dimaksud”

Berdasarkan hal diatas terlihat adanya perubahan kualitas dari substansi persetujuan pemegang saham independen, dari semula dalam Pasal 82 ayat (2) UUPM tercatat sebagai “dapat” secara gramatika bahasa bermakna “bukan suatu keharusan/kewajiban” menjadi suatu “keharusan/kewajiban mutlak” sebagaimana

diatur dalam Peraturan IX.E.1. Dengan demikian pengecualian merger bank niaga dan bank lippo dari Peraturan IX.E.1 berdasarkan surat dari Bapepam adalah dapat dibenarkan karena sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yaitu lex

superior derogate lex inferiori (undang-undang yang dibuat oleh penguasa lebih

tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula).

b) Ketentuan mengenai keberatan kreditur dan pemegang saham minoritas mengenai rencana pelaksanaan merger.

Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum menyebutkan tentang keberatan kreditur pada Pasal 37 ayat (3) dan ayat (4) junto SK Direksi Bank Indonesia No.51/KEP/DIR/1999 tentang Prosedur dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Umum pada Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4).199 Kedua peraturan tersebut menyebutkan keberatan kreditur dan pemegang saham minoritas yang belum mendapat penyelesaian, maka merger tidak dapat dilaksanakan. Sedangkan masih dalam PP No.28 Tahun 1999 tersebut pada pasal lain yaitu Pasal 6 menyebutkan hak dari pemegang saham minoritas agar sahamnya dibeli oleh bank dengan harga yang wajar dan sepanjang pelaksanaan hak ini, tidak menghentikan proses pelaksanaan merger.200 Hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya harga yang wajar itu merupakan wujud keberatan

199

PP No.28 Tahun 1999 Pasal 37 ayat (3) dan ayat (4) jo. SK.Direksi Bank Indonesia No.51/KEP/DIR/1999 Pasal 8 ayat (3) dan (4) memiliki redaksi yang sama mengenai keberatan kreditur dan pemegang saham minoritas atas merger. Berikut bunyi dari kedua ayat tersebut: Pasal 37 ayat (3) “Keberatan kreditur dan pemegang saham minoritas disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham guna mendapat penyelesaian; ayat (4) “Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum tercapai, merger dan konsolidasi tidak dapat dilaksanakan.”

200

Dalam SK Direksi BI No.51/KEP/DIR/1999 tidak ada mengatur tentang hak dari pemegang saham minoritas agar sahamnya yang dimiliki dibeli oleh bank dengan harga yang wajar.

dari mereka atas tindakan merger yang dilakukan perusahaan dengan keluar dari perusahaan tersebut, dimana keberatan dari pemegang saham minoritas ini tidak menghentikan proses pelaksanaan merger.

Apabila dilihat dari ketentuan dalam UUPT pada Pasal 127 menyebutkan dengan tegas hanya keberatan dari kreditor yang belum mendapat penyelesaian, maka

merger tidak dapat dilaksanakan sedangkan bagi keberatan pemegang saham

minoritas, UUPT pada Pasal 126 menyebutkan pemegang saham minoritas yang keberatan terhadap merger hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga wajar sesuai dengan Pasal 62 UUPT, dimana dalam pelaksanaan hak tersebut tidak menghentikan proses pelaksanaan merger. Keberatan pemegang saham minoritas yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1999 jo. SK Direksi Bank Indonesia No.51/KEP/DIR/1999 ini dapat menimbulkan makna ganda dalam penafsirannya, akan tetapi berdasarkan asas perundangan-undangan yang berlaku maka ketentuan dalam UUPT-lah yang berlaku. Hal itu juga yang terjadi dalam prosedur merger Bank Niaga dan Bank Lippo, dimana tidak diperolehnya persetujuan kreditur dapat menghambat proses merger tersebut sedangkan keberatan dari pemegang saham minoritas bukan hambatan untuk tidak melanjutkan proses merger. 3. Pengecualian merger Bank Niaga dan Bank Lippo dari ketentuan Bapepam

Peraturan IX.E.1, maka persetujuan merger oleh RUPS mengikuti ketentuan yang diatur dalam UUPT dan Anggaran Dasar masing-masing bank peserta merger, yaitu RUPS dianggap sah apabila dihadiri oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh

paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. Dalam hal kuorum rapat tidak terpenuhi, maka rapat kedua depat mengambil keputusan dengan syarat dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang hadir dalam rapat tersebut.(Pasal 89 UUPT)

4. Selain ketiga hal diatas yang harus diperhatikan terkait merger bank umum maupun merger pada jenis perusahaan lainnya adalah dampaknya terhadap persaingan usaha yang sehat. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa

merger berpotensi menimbulkan monopoli yang jelas bertentangan dengan UU

No.5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam undang-undang tersebut ada dua pasal yang mengatur tentang merger yaitu Pasal 28 dan Pasal 29 UU No.5 tahun 1999. Dimana ketentuan mengenai

merger ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berikut kutipan

kedua pasal tersebut:

Pasal 28 UU No 5 Tahun 1999 menyatakan:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan

usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahan lain

apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha

yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya Pasal 29 UU No 5 Tahun 1999 menyatakan:

(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.

(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata

cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan kedua pasal tersebut setiap badan usaha wajib melapor ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 Tahun 1999.201 Akan tetapi, hingga saat ini Pemerintah masih belum menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang tersebut. Walaupun begitu, KPPU akan melakukan pengendalian terhadap merger, konsolidasi dan atau akuisisi khususnya bagi merger, konsolidasi dan atau akuisisi yang mengakibatkan berkurangnya tingkat persaingan di

pasar bersangkutan dan dapat menimbulkan kerugian masyarakat yaitu dengan

menerbitkan pedoman yang mengatur mengenai notifikasi sebelum merger dan akuisisi dilaksanakan (pra-notifikasi) untuk mendapatkan opini KPPU mengenai ada tidaknya pengaruh merger dan akuisisi tersebut terhadap pasar. Pedoman ini termuat dalam Peraturan Komisi Persaingan Usaha No.1 Tahun 1999 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan yang dikeluarkan pada tanggal 13 Mei 2009. Pra-notifikasi ini memang bersifat sukarela dari pelaku usaha yang akan melakukan merger dan belum mandatori, namun pedoman ini sangat penting bagi

201

Pasal 30 ayat (1) UU No 5 Tahun 1999 menyebutkan “untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi”.

pelaku usaha. Tujuannya untuk mencegah praktek monopoli dengan cara-cara merger dan akuisisi.202

Secara umum ada dua hal diatur dalam pedoman, yakni pra-notifikasi sebelum melakukan akuisisi dan merger, dan penilaian (preview) terhadap ada atau tidaknya pelanggaran dari suatu akuisisi dan merger. Setelah pra-notifikasi, KPPU akan mengeluarkan surat keputusan. Isinya bisa berupa objection letter (keberatan terhadap rencana merger dan akusisi), conditional no objection letter (tidak keberatan dengan syarat-syarat) dan no objection letter (tidak keberatan).203 Akan tetapi, demikian tidak semua badan usaha wajib melaporkan rencana merger dan akusisi. Dalam pra-notifikasi disebutkan kategori perusahaan yang wajib lapor. Salah satunya mengenai batas minimal (threshold) nilai aset dan laba badan usaha yang ingin merger dan akuisisi. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Peraturan Komisi PersainganUsaha No.1 Tahun 2009, yang isinya sebagai berikut:

Pasal 3:

(1) Pelaku Usaha dapat melakukan pra-notifikasi jika penggabungan atau peleburan badan usaha memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. nilai aset badan usaha hasil penggabungan atau peleburan melebihi Rp

2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah); atau

b. nilai penjualan (omzet) badan usaha hasil penggabungan atau peleburan

melebihi Rp 5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah); atau

c. mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% (lima puluh

persen) pada pasar bersangkutan.

(2) Khusus untuk industri jasa keuangan (bank dan non-bank) berlaku ketentuan sebagai berikut :

202

“Merger dan Akuisisi akan Diatur dalam dua PP”, dalam http://hukumonline.com/detail.asp?id=20693&cl=Berita. Diakses tanggal 1 Juli 2009.

203

“Rencana merger dan akuisisi wajib lapor ke KPPU”, dalam http://hukumonline.com/detail.asp?id=21494&cl=Berita . Diakases tanggal 1 Juli 2009.

a. nilai aset badan usaha hasil penggabungan atau peleburan melebihi Rp 10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah); atau

b. nilai penjualan (omzet) badan usaha hasil penggabungan atau peleburan

melebihi Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah); atau

c. mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% (lima puluh

persen) pada pasar bersangkutan.

Keluarnya pedoman pra-notifikasi mengenai merger diatas banyak menjadi perdebatan, karena disamping belum keluarnya Peraturan Pemerintah sesuai yang diamanatkan Pasal 28 dan Pasal 29 UU No.5 Tahun 1999, pra-notifikasi tersebut tidak sesuai dengan sistem yang dianut pada Pasal 29 UU No.5 Tahun 1999 karena pasal tersebut menggunakan pendekatan post merger notification. Hal ini dapat dilihat dari sebagian kalimat Pasal 29 UU No 5 Tahun 1999 yang secara eksplisit menyebutkan ”wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut”

serta wewenang sanksi administratif KPPU yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf e UU No 5 Tahun 1999 yaitu menetapkan pembatalan merger dan akuisisi.204 Sedangkan Pasal 28 – pasal lainnya tentang merger –hanya menyatakan pelaku usaha yang hendak melakukan merger wajib untuk memastikan merger tidak akan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian, berdasarkan pasal diatas pemberitahuan dilakukan setelah merger dan akusisi selesai dilaksanakan (post-notifikasi). Sedangkan pendapat lain mengatakan pedoman pra-notifikasi yang dikeluarkan KPPU didasarkan pada Pasal 35 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 yang

204

“Perlu ada Pedoman Pengkajian Merger” dalam http://hukumonline.com/detail.asp?id=18083&cl=Berita. Diakses tanggal 1 Juli 2009.

menugaskan KPPU untuk melakukan penilaian ada tidaknya penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 UU No.5 Tahun 1999.

Walaupun begitu usaha KPPU dalam mengeluarkan pedoman merger patut dihargai karena meski dibenarkan oleh undang-undang, merger akan menjadi ilegal manakala merger itu berdampak negatif bagi persaingan usaha dan kepentingan umum. Oleh karena itu KPPU hadir dengan solusi yang dapat memenuhi kebutuhan pelaku usaha serta tanpa melanggar ketentuan undang-undang, yaitu menerbitkan peraturan yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu berupa pedoman bagi pelaku usaha untuk melakukan pra-notifikasi sebelum merger.205

Sehubungan dengan upaya konsolidasi perbankan melalui merger yang diramalkan masih akan terus berlangsung sampai terbentuknya stratifikasi bank sesuai API, maka menunggu keluarnya Peraturan Pemerintah mengenai merger seperti yang diamanatkan dalam UU No.5 Tahun 1999, harus ada koordinasi antara Bank Indonesia dengan KPPU. Koordinasi ini terkait dengan prosedur merger yang harus dijalankan oleh bank yang akan melakukan merger, dimana bank yang ingin

merger, secara sukarela memberitahukan kepada KPPU rencana melakukan merger

atau meleburkan badan usaha, atau mengambil alih saham. Tujuannya adalah meminta pendapat KPPU mengenai dampak yang ditimbulkan merger, akuisisi atau