• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran

KONSEP ISLAM TENTANG INSTITUSI PENYELENGGARA PEMILU

C. PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA OLEH KPU

Memang sama sekali tidak ada jaminan pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’

akan menghasilkan pemerintahan yang demokratis11. Pemerintahan hasil pemilu yang paling bermutu sekalipun bisa Saja inefisien, korup, tidak bertanggung jawab dan tak sanggup menerima kebijakan yang dituntut kepentingan umum. Contoh paling menonjol bisa dilihat pada pemerintahan hasil pemilu 1955 di Indonesia.

Pemilu pertama tersebut dianggap berlangsung ‘luber’ dan ‘jurdil’, namun

ternyata tidak dapat menjamin kelanjutan sistem demokrasi parlamenter, sebuah sistem yang dinilai paling ideal untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Ketiadaan konsensus politik serta makin sengitnya konflik antar partai, khususnya antara PNI dengan Masjumi, menyebabkan Kabinet Ali Sastroamindjojo Kedua tak

11

. Pax Benedanto, Ignatius Haryanto,Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999), hal. 5.

dapat menjalankan tugas-tugas pokok mereka. Sebab itu, Presiden Soekarno mengajukan usul untuk mengubah sistem politik menjadi ‘demokrasi terpimpin’

Pada Oktober 1956. Tiga tahun kemudian , pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 1945. Begitu dekrit itu dikeluarkan, sistem demokrasi parlamenter resmi terkubur. Cengkraman penguasa pun makin kuat tertancap.

Meskipun gagal membentuk pemerintahan yang demokratis, Pemilu 1955 tetap layak dipakai sebagain tolak ukur untuk menilai pelaksanaan Pemilu 1999. Pemilu pertama tersebut boleh jadi merupakan satu-satunya pemilu yang bermutu selama 54 tahun Indonesai merdeka. Pemilu-pemilu lainnya, yang berturut-turut berlangsung pada 1971, 1977, 1982, 1992, dan 1997, dianggap melulu

menegakkan ‘kedaulatan penguasa’, bukannya kedaulatan rakyat. Demikian buruk

enam pemilu Orde Baru tersebut sehingga sering diejek sebagai ‘pemilu semu’

karena prkatis hasilnya sudah diketahui sebelumnya.12

Pemilu 1955 dianggap bermutu terutama karena menjunjung tinggi semangat kerakyatan. Pemerintahan Burhanuddin Harahap memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut menentukan jalannya pemilu. Partai-partai politik dan berbagai unsur masyarakat lainnya terlibat sejak penyusunan undang-undang, pendaftaran calon pemilih, kampanye, hingga proses

12

. Pax Benedanto, Ignatius Haryanto,Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999), hal. 6.

34

penghitungan suara13. Dengan demikian tidak heran bila segala bentuk penyelewangan dan kecurangan dapat ditekan. Hebatnya lagi, kendati berlangsung dalam suasan konflik antar golongan dan partai politik yang amat tinggi serta sarana yang sangat minim pemilu dapat berjalan dengan lancar, aman, dan damai.

Pemilu 1999 bisa jadi merupakan episode puncak dari gerakan reformasi yang terjadi sejak awal 1998. gerakan ini telah berhasil mendesak Soeharto untuk meletakkan jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Sejak itu saluran aspirasi masyarakat terbuka lebar, antara lain berupa bermunculnya partai-partai politik baru, tumbuh pesatnya media massa, dan juga maraknya unjuk rasa.

Pemilu di era reformasi ini memposisikan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara yang bebas dan mandiri yang keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil partai peserta pemilu dan wakil pemerintahan (pasal 8 ayat 2 UU N0. 3 Taahun 1999). Ketika keanggotaan lembaga itu diresmikan oleh presiden, di dalamnya ada 48 wakil partai dan 5 wakil pemerintah. Khusus wakil pemerintah, hanya 1 orang yang dapat dikatakan berstatus pejabat tinggi departemen, selebihnya kalangan cendikiawan dan tokoh masyarakat yang diberi mandat oleh pemerintah.14

Antusiasme atau euforia masyakarat memang nampak jelas dalam pelaksanaan Pemilu 1999, terlebih pada masa kampanye dan pemungutan suara. Gelombang kerusuhan berbau SARA (suku, ras, agama dan antar golongan )

13

. Herbert Feith,Pemilu 1965 di Indonesia, (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 1999), hal. 15.

14

. Biro Humas Komisi Pemilihan Umum,Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999.

yang melanda beberapa daerah, termasuk yang terjadi menjelang masa kampanye, tidak menyurutkan semangat sebagian besar masyarakat untuk meriahkan pesta demokrasi kedelapan ini. Kendati jumlah peserta membludak dan persaingan antar pendukung partai tinggi, namun kampanye dan pemungutan suara berjalan dengan aman dan lancar.

Mulusnya kampanye dan pemungutan suara ternyata tidak diikuti dengan lancarnya proses penghitungan dan penetapan hasil perolehan sauara. Walau menggunkan berbagai perangkat canggih dan sistem yang rapi, proses penghitungan suara berjalan amat lambat sehingga penetapan hasil pemilu 1999 harus ditunda berkali-kali. Padahal, hasil pemilu 1999 itu begitu dinanti-nanti masyakarat karena dianggap sebagai salah satuy pintu utama untuk keluar dari kemelut krisis yang berkepanjangan.

Semula orang mengira proses penghitungan suara yang lambat tersebut disebabkan oleh sikap hati-hati para pelaksana atau paling tidak berbagai persoalan teknis. Pengalaman buruk selama enam pemilu mendorong wakil-wakil partai dan unsur-unsur masyarakat lainnya, yang dilibatkan di setiap tingkat proses penghitungan suara, bekerja lebih cermat dan awas terhadap berbagai kecurangan yang mungkin timbul.

Demikinlah, hasil pemilu 1999 baru diputuskan oleh KPU pada 26 Juli 1999, atau hampir sebulan lebih lambat dari jadwal. Semula ditetapkan hasil pemilu akan diperoleh pada 8 Juli 1999. Memang terdapat banyak kelemahan dan kesalahan, tetapi karena Pemilu 1999 dipersiapkan dalam waktu terbatas dan

36

merupakan pengalaman pertama melaksanakan pemilu yang bersandikan pada prinsip-prinsip demokrasi, maka kelemahan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat.15

Rakyat kemudian terlibat menjadi saksi dinamika politik Pasca Pemilu 1999. Moral dan Kinerja sebagian pimpinan politik yang duduk di legislatif maupun eksekutif, jauh dari harapan, fakta ini tak saja menimbulkan kecewa, tetapi juga memunculkan sikap skeptis terhadap pemilu berikutnya. Inilah yang menyebabkan kenapa pemilu 2004 menjadi titik krusia dalam proses reformasi politik di Indonesia ke depan.

Lalu pada tanggal 6 Mei 2003 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melantik para anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwas Pemilu) di tingkat pusat. Panwas Pemilu ini kemudian telah membentuk di tingkat Pusat. Panwas Pemilu ini kemudian telah membentuk Pnawas Pemilu Provinsi pada tanggal 12 Juni 2003. Selanjutnya berturut-turut dibentuk Panwas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panwas Pemilu Kecamatan. Pada awalnya (bahkan pada draf RUU pemilihan umum), panitia Pengawas Pemilu ini tidak dirancang untuk ada. Pemikiran awalnya, pengawasan akan dilakukan secara terintegrasi di berbagai bidang. Dengan demikian pengawasan akan dilakukan sesuai kewenangan dari lembaga-lembaga negara yang sudah ada (termasuk oleh KPU sendiri) serta juga dilakukan oleh masyarakat melalui para pemantau pemilu.

15

. Topo Santoso dan Didik Supriyanto,Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 25.

Sepanjang pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, Panitia Pengawas Pemilihan Umum sudah mulai dikenal pada pemilu-pemilu Orde Baru (khususnya sejak pemilu tahun 1982). Panitia pengawas yang dulu dikenal dengan Panwaslak itu diketuai oleh Jaksa Agung dan beranggota banyak unsur pemerintahan serta unsur peserta pemilu.16

Pada pemilu 2004, ada tiga pelanggaran yang ditindak Panwaslu. Pertama, pelanggrana administratif. Kedua, pelanggaran pidana. Ketiga, penyelesaian sengketa. Dan pada Pemilu 2009, masalah penyelesaian sengketa tidak ditangani lagi oleh panwaslu, tetapi masih tetap ada tiga pelanggaran yang harus ditangani dengan menambahkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. UU No.22/2007 tentang penyelenggara Pemilu, dan UU No 10/20008 tentang Pemilu Legislatif menetapkan: model penanganan tiga pelanggaran ini sebagai berikut:

Pertama, pelanggaran administratif diserahkan ke KPU. Kedua, pelanggaran pidana ke penyidik (polisi). Ketiga, kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota KPU/KPU PROVINSI/KABUPATEN/KOTA dibentuk Dewan kehormatan bersifat ad hoc. Pada prakteknya, penyelesaian berbagai macam pelanggaran Pemilu tidak menunjukan harapan sebagaiamana yang diikat UU.17

Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang

16

. Topo Santoso dan Didik Supriyanto,Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 64.

17

. Ramdansyah,Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, (Jakarta:Rumah Demokrasi, 2010), hal. 8.

38

Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :

Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;

Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;

Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS; Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk

setiap daerah pemilihan;

Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;

Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;

Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:

1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.18

18

http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum (diakses pada tanggal 9 April 2015 pkl. 00.21.

8

BAB IV

ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PENETAPAN