• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Perkawinan Bagi Masyarakat Yang Tidak Mampu

4.2.3 Tingkat Ekonomi Masyarakat Pada Pelaksanaan Perkawinan

4.2.3.3 Pelaksanaan Perkawinan Bagi Masyarakat Yang Tidak Mampu

Adapun pelaksanaan perkawinan untuk masyarakat yang tidak mampu yang pada prosesi pernikahannya sudah tidak menggunakan lagi adat yang sebenarnya atau dalam pelaksanaannya yang masih sederhana, ini di karenakan kurangnya dana atau kemampuan mereka belum mampu. Hal ini sesuai di ungkapkan oleh bapak Abdullah Mahmud selaku pemangku adat, yaitu:

“Kalo yang mongilalo tetap saja masih menggunakan karena tahapan ini artinya memperhatikan jadi memang masih ada ini tahap mongilalo, berikut tahap mohabari sama masih ada itu di Desa Huluduotamo, baru kalo yang momatata u pilo‟otawa sudah tidak menggunakan lagi karena ini menggunakan dana yang cukup banyak kasian masyarakat yang miskin kan dorang tidak ada kelebihan, yang motolobalango masih ada itu cuman acaranya hanya sekedar karena tergantung dari keuangan, paling banyak sekarang itu sudah di laksanakan di kantor agama yang ada cuma wali sekalian juga meringankan beban kepada kedua orang tua. Deng pelaksanaan yang tidak mampu ini kasiang bo biasa-biasa, bagi mereka itu asal depe anak so selamat kasana tidak penting gaga atau tidak itu pesta yang penting so kaweng. Deng masih banyak dari realita sekarang mereka itu so terburu-buru karena ada kesalahan (hamil duluan) yang terjadi antara dua insan, apalagi so

zaman skarang anak-anak skarang beda dengan yang lalu-lalu, kalo sekarang dorang salalu kaluar malam jadi banyak kesempatan untuk pacaran, kalo lalu ini tidak ada ini anak-anak cewe mo dapalia di jalan kalo malam-malam, sehingga kalo pelaksanaan perkawinan sekarang itu so tidak lagi mengikuti tahapan

perkawinan yang seharusnya di lakukan.”21

Kebanyakan untuk masyarakat yang tidak mampu pelaksanaannya hanya biasa-biasa yang sesuai dengan kecukupan mereka, dan ada juga mengambil langkah yang cepat yaitu paling banyak untuk masyarakat tingkat bawah melaksanakan perkawinan di laksanakaan di kantor agama dan yang hadir hanya wali dengan tujuan meringankan beban kepada kedua orangtua mereka. Dan sekarang banyak realita bahwa pelaksanaan perkawinan hanya terburu-buru di akibatkan adanya terjadi kesalahan atau sudah hamil duluan, sehingga pelaksanaan perkawinan sekarang sudah tidak mengikuti lagi pelaksanaan perkawinan yang sebenarnya.

Berikut hasil wawancara dari Bapak Ali Tune yaitu:

“Masyarakat yang di bawah itu biasanya so tidak menggunakan, ada juga yang so ta salah duluan itu lagi so tidak pake adat mongilalo, mongilalo ini meraba-raba bagimana kalo so ta salah ini biasanya orang yang menggunakan mongilalo ini orang yang blum ta salah atau masih bae-bae, biasanya begitu. Tahapan mohabari pada masyarakat yang tidak mampu tetap saja masih ada itu sampe sekarang. Tetap masih ada itu pada tahapan momatata u pilo‟otawa biar pada masyarakat yang tidak mampu tetap masih menggunakan itu. Selanjutnya tolobalango tetap masih ada itu, masih menggunakan terkecuali orang yang kawin sirih itu yang tidak menggunakan hal-hal yang seperti itu. Monga‟ata dalalo tetap juga masih ada, kalau masyarakat yang tidak mampu pelaksanaannya hanya sederhana, biasanya kasian orang yang tidak mampu mereka ambil satu kali itu sekalian dengan akad nikah dengan tujuan untuk mengurangi biaya agar tidak banyak yang mo kaluar. Tahap molenilo juga masih tetap ada, cuman pelaksanaannya tetap saja

21

sederhana karena itu sesuai kemampuan dari pihak laki-laki. Yang momu‟o ngango tetap ada juga namun pelaksanaannya juga masih saja sederhana. Modepita maharu tetap ada juga namun isi dari maharu itu hanya secukupnya sesuai kemampuan. Dilonggato untuk ekonomi di bawah biasanya di uangkan satu kali itu dalam

ongkos misalnya 20 juta so di situ semua begitu.22

Untuk masyarakat yang tidak mampu pada pelaksanaan perkawinan untuk tahapan mongilalo masih tetap ada, selanjutnya tahapan mohabari tetap saja masih ada, momatata u pilo‟otawa juga masih di gunakan, untuk tolobalango masih tetap ada, untuk monga‟ata dalalo, molenilo dan momu‟o ngango juga masih ada namun pelaksanaannya hanya sederhana, modepita maharu juga ada namun isi dari mahar hanya secukupnya sesuai dengan kemampuan dari pihak laki-laki, selanjutnya modepita dilonggato sudah sekalian dengan biaya ongkos.

Berikut hasil wawancara dengan Bapak Niko Laiya:

“Yang tidak mampu juga bagitu kurang akad nikah saja tidak ada pelaksanaannya itu berbeda-beda, bedanya yang tidak mampu kasihan kurang langsung akad nikah saja. Begitu juga yang cuma sederhana depe pelaksanaan momatata u pilo‟otawa. Begitu juga masyarakat yang tidak mampu masih ada itu tolobalango cuma sederhana juga depe pelaksanaan. Kalau motolobalango emplop itu cuman 1, cuman ayahanda yang dapat itu. Begitu juga yang tidak mampu dia so bekeng satu kali itu artinya 1 hari itu dia mo bekeng itu pelaksanaan. So tidak lagi modepita dilonggato, samua itu

bahan-bahan dapur pada saat hari H itu so diuangkan semuanya.”23

Untuk masyarakat yang kurang mampu pelaksanaan perkawinannya hanya se sederhana mungkin karena melihat status sosialnya yang masih di bawah, sehingga pelaksanaan perkawinannya hanya akad nikah saja.

22

Wawancara. Ali Tune. 16 Juli 2013 23

Selanjutnya pergeseran atau perubahan pernikahan di lihat dari beberapa segi tujuan, ekonomi, adat dan kesenian pada pelaksanaan dahulu hingga masa kini menurut Bapak Rilli Abudi:

“Kalau mo dilihat dari segi tujuan dahulu orang yang melakukan pernikahan karena mo kase banyak keturunan dan dorang pe pegangan makin banyak anak makin banyak rezeki, sekalian dengan hubungan keluarga tidak akan putus, sehingga banyak anak yang nikah dengan keluarga saja, dan itu harta tidak akan terbagi pa orang lain, kalau sekarang kan orang yang bekeng pernikahan dengan di dasari oleh motivasi kebahagiaan dan lebih suka memakai KB dan di masyarakat yang mampu juga itu sama itu begitu juga yang tidak mampu dengan yang kurang mampu. Kalo di lihat dari segi ekonomi waktu dulu biaya nikah dan mahar di tentukan dengan benda-benda seperti tanah, pohon kelapa, sawah atau ternak namun sekarang di tentukan dengan uang, semua masyarakat itu sama begitu cuma yang bedanya di ukuran, masyarakat yang mampu uangnya lebih banyak dan sebaliknya. Trus di lihat dari segi adat dahulu itu adat dupito atau wo’opo

(seorang nenek tidur bersama dengan pengantin baru pada waktu malam pertama pernikahan), dan kalo sekarang adat itu so hilang

di masyarakat yang mampu. Kurang mampu maupun tidak mampu memang so ilang itu adat. Dari segi kesenian pengiring dahulu itu acara di ramaikan dengan kesenian seperti sulunani dan buruda, tapi kalau sekarang apa lagi sudah zaman modern di ramaikan dengan band atau alat elektronika lainnya, kalo masyarakat yang mampu ada itu biasa pake organ karna dorang bisa ba bayar tapi kalau masyarakat yang kurang mampu biasa ada pake dan biasa tidak ada, masyarakat yang tidak mampu tidak ada lagi begitu,

karena kasihan tidak ada biaya untuk ba bayar akan.”24

Dari hasil penelitian di lapangan dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan perkawinan pada masyarakat yang tidak mampu pelaksanaannya tidak terlalu begitu mewah hanya ada sesederhana mungkin, karena dengan melihat tingkat ekonomi yang masih di bawah dan status sosialnya pun masih di bawah.

24

Dokumen terkait