• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERUMAHAN

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional dengan putusan arbitrase internasional berbeda satu sama lain. UU No. 30 Tahun 1999 juga mengaturnya secara terpisah diantara eksekusi kedua macam arbitrase tersebut.

Pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase nasional dapat dilakukan baik secara sukarela atau secara paksa. Eksekusi putusan arbitrase secara sukarela dimaksudkan sebagai pelaksanaan putusan yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak Ketua Pengadilan Negeri, melainkan para pihak yang berkewajiban melaksanakan putusan tersebut dan melaksanakan sendiri isi putusan arbitrase tersebut, sedangkan eksekusi secara paksa dimaksudkan jika pihak yang berkewajiban tidak melaksanakan kewajibannya, diperlukan campur tangan ketua Pengadilan Negeri dan aparatnya untuk memaksanakan pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan, agar dapat dieksekusinya suatu putusan arbitrase, harus dilakukan suatu prosedur hukum yang disebut dengan akta pendaftaran. Yang dimaksud dengan akta pendaftaran adalah pencatatan dan pendaftaran bagian pinggir atau dipinggir putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditanda tangani bersama-sama, oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan putusan arbitrase tersebut. Penanda tangan tersebut dilakukan pada saat pencatatan dan

pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak putusan diucapkan.

Perlu pula ditekankan bahwa tanpa dilakukan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri pada waktunya, maka putusan tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi seandainya pihak yang putusan arbitrasenya dieksekusi tidak mau melaksanakan sendiri putusan tersebut secara sukarela dan berbuat kelalaian dalam melakukan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrasenya di Pengadilan Negeri tersebut mengakibatkan pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat dipaksakan oleh aparat pemerintah. Tindakan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri ini dalam praktek sering disebut dengan istilah

”deponir”. Jadi tindakan deponir putusan arbitrase bukan hanya merupakan tindakan pendaftaran yang bersifat administratif belaka, tetapi telah bersifat konstitutif dalam arti merupakan satu rangkaian dalam proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat dieksekusi putusan jika tidak dilakukan pendeponiran tersebut.

Eksekusi secara paksa atas putusan arbitrase tersebut dilakukan sesuai dengan aturan eksekusi, terhadap aturan ini tidak berbeda dengan cara eksekusi terhadap putusan pengadilan umum yang telah mempunyi kekuatan hukum dalam eksekusi. Prinsip hukum dalam eksekusi putusan arbitrase ini yaitu putusan arbitrase bersifat independen, sehingga tidak dapat dicampuri oleh ketua Pengadilan Negeri ketika dilaksanakan eksekusi, Pasal 62 ayat (4) dari UU No. 30 Tahun 1999 dengan tegas melarang Ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksa alasan atau pertimbangan

dari putusan arbitrase, dengan demikian Ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk meninjau suatu putusan arbitrase secara formal berdasarkan Pasal 62 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999.

Penolakan eksekusi tidak mempunyai hukum apapun, penolakan eksekusi oleh Ketua Pengadilan tersebut dilaksanakan jika ada alasan-alasan sebagai berikut : 1. Arbitrase memutus melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya.

2. Putusn arbitrase bertentangan dengan kesusilaan. 3. Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban.

4. Arbiter memutus perkara tidak memenuhi keseluruhan syarat sebagai berikut : a. Mengenai perdagangan.

b. Mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

c. Mengenai sengketa menurut hak dan perundang-undangan tidak dapat dilakukan perdamaian.

Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam suatu proses dimana :

34

1. Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka.

2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase

33

Munir Fuady, Op.Cit, h. 162.

34

tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang dapat diselesaikan dengan arbitrase.

3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Satu hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa selain ketiga hal tersebut di atas, ketua pengadilan negeri tidak diberikan kewenangan untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Tujuan dari arbitrase atau penundaan ini yaitu memberikan kepada arbitrase apabila majelis tersebut masih berwenang untuk bertindak, artinya belum melampaui jangka waktu kesempatan untuk memulai lagi dengan penyelenggaraan arbitrase supaya menunda sidangnya untuk memberi kesempatan bagi arbitrase mengupayakan dasar-dasar dari penolakan.

35

Sudargo Gautama, Op.Cit, h. 66.

35

Bahwa tujuan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri untuk mengetahui pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat dilakukan banding. Baik Mahkamah Agung maupun pengadilan tidak boleh menangani atau mempertimbangkan permohonan banding atas putusan tersebut.

Sebaliknya jika Ketua Pengadilan Negeri menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase dapat dilakukan banding. Mahkamah Agung akan menanganinya dan mempertimbangkan untuk mengambil keputusan atas banding tersebut secara cepat dan tidak melampaui 90 hari sejak permohonan banding disampaikan kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menyatakan tata cara

untuk mempercepat penyelesaian banding ini, jika tidak adanya tata cara demikian akan mempengaruhi kewajiban Mahkamah Agung untuk menangani, mempertimbangkan dan memutuskan banding tersebut sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam ketentuan ini. Di sini terlihat adanya kemungkinan banding langsung ke Mahkamah Agung (tidak lagi melalui Pengadilan Tinggi).

Alasannya tentu untuk mempersingkat kemungkinan dapat diselesaikan dan dilaksanakannya putusan bersangkutan. Perlu mendapat penjelasan tentang batasan waktu untuk melaksanakan eksekusi jika putusan arbitrase dinyatakan oleh pengadilan dapat dilaksanakan.

Akan tetapi hal itu tidak terdapat di dalam UU No. 30 Tahun 1999 namun demikian ada penjelasan yang menyatakan bahwa ditetapkan waktu untuk melaksanakan eksekusi, disini ada hal menarik karena jangka waktu untuk melakukan hal yang baru dan tidak terdapat didalam acara pelaksanaannya putusan dari pengadilan biasa melalui Pengadilan Negeri.

Dalam prakteknya justru tidak adanya ketegasan mengenai jangka waktu berapa lama, harus sudah diselesaikan eksekusi ini dan pelaksanaannya dalam praktek, maka timbullah penguluran-penguluran waktu yang tidak terhingga.

Penetapan ini atau batasan waktu penting untuk kepentingan hukum, memang jika ditetapkan jangka waktu untuk terlaksananya suatu eksekusi melalui Pengadilan Negeri, adalah sesuatu hal yang ideal karena semua kelambatan eksekusi yang dialami pada waktu sekarang ini, dengan dijalankan proses eksekusi dihadapan Pengadilan Negeri yang sering kali tertunda sampai bertahun-tahun karena berbagai

faktor, menurut kenyataan merupakan salah satu sebab mengapa dalam perkara perdata seringkali putusannya tidak dapat dieksekusi.

Seringkalinya putusan tidak dapat dieksekusi atau sangat lambatnya eksekusi ini hanya karena menetapkan secarik kertas belaka. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase adalah salah satu kemajuan yang besar dan patut dihargai tetapi melihat struktur keadaan pada waktu sekarang ini hal itu sangat sulit untuk dicapai dalam prakteknya.

Dokumen terkait